SURYA Paloh dengan sangat gamblang mengatakan bendera dan lambang Aceh bukan prioritas. Tidak sepenting upaya pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja di Aceh. Dan ini bukan omong kosong. Setiap tahun, angka pengangguran di seluruh Aceh semakin tinggi.
Ada kesalahan orientasi yang nyata. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, misalnya, lebih suka menghabiskan energi untuk membahas hal-hal yqng bukan prioritas, seperti bendera dan lambang daerah, ketimbang mengurusi penciptaan lapangan kerja. Mereka lebih suka mempermainkan isu ini sebagai alat memperluas kekuasaan: politik bendera.
Bayangkan, hanya untuk mengurusi bendera saja, uang negara yang dihabiskan mencapai miliaran rupiah dan energi yang tidak sedikit. Hasilnya: nol besar. Para politisi ini memainkan jurus mabok dengan gerak tak teratur. Alih-alih merobohkan lawan, jurus ini malah membuat mereka tersungkur. Masyarakat menganggap jurus itu usang.
Belum lagi pemimpin daerah yang menganggap hotel, mall, lapangan golf dan mobil mewah sebagai sebuah simbol kemajuan. Dan menafikan kebutuhan dasar masyarakat Aceh. Jelas sekali bahwa hal-hal itu tak cocok dibangun di Aceh; tidak untuk saat ini. Aceh lebih membutuhkan kemandirian dalam memperoleh bahan-bahan pangan pokok dan berdaulat. Meraih kembali harga diri yang telah lama terkoyak-koyak oleh kezaliman bangsa sendiri.
Setiap tahun, Aceh mengantongi uang belasan triliun dari dana otonomi khusus. Di saat yang sama, Aceh juga menyumbang angka pengangguran mencapai 217 ribu atau sekitar 9,93 persen. Pertanyaan mendasar saat ini adalah, mengapa pemerintah, di setiap lapisan pemerintahan di Aceh, lebih suka berpikir muluk-muluk ketimbang menghadapi realita dan menjawabnya dengan aksi dan solusi?
Di Banda Aceh, misalnya, mengapa tidak membangun kawasan Peunayong menjadi sebuah pusat pertokoan, jajanan dan sentra pejalan kaki. Menjadikan kawasan ini nyaman dan aman bagi seluruh pengunjung tentu lebih murah ketimbang membangun mall dan membuka kran ritel yang bukan saja mengikis tradisi dan cenderung menjadikan masyarakat menjadi “mata duitan”. Membangun mall hanya akan mematikan pasar tradisional, yang menjadi sumber penghidupan banyak nyak-nyak serta ribuan masyarakat.
Para penguasa tak perlu berkoar-koar tentang kesejahteraan. Karena selama ini, perilaku yang mereka pertontonkan seperti tak mengenal Tuhan. Menumpuk harta dan memamerkannya di masyarakat yang lapar.
Satu hal yang pasti, Aceh tak akan maju sampai seluruh pemimpinnya rela mengikis rasa sombong dan mulai memahami hakekat kesederhanaan Aceh. Hanya itu yang dibutuhkan untuk membangun Aceh. Bukan retorika politik. (AJNN)
Ada kesalahan orientasi yang nyata. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, misalnya, lebih suka menghabiskan energi untuk membahas hal-hal yqng bukan prioritas, seperti bendera dan lambang daerah, ketimbang mengurusi penciptaan lapangan kerja. Mereka lebih suka mempermainkan isu ini sebagai alat memperluas kekuasaan: politik bendera.
Bayangkan, hanya untuk mengurusi bendera saja, uang negara yang dihabiskan mencapai miliaran rupiah dan energi yang tidak sedikit. Hasilnya: nol besar. Para politisi ini memainkan jurus mabok dengan gerak tak teratur. Alih-alih merobohkan lawan, jurus ini malah membuat mereka tersungkur. Masyarakat menganggap jurus itu usang.
Belum lagi pemimpin daerah yang menganggap hotel, mall, lapangan golf dan mobil mewah sebagai sebuah simbol kemajuan. Dan menafikan kebutuhan dasar masyarakat Aceh. Jelas sekali bahwa hal-hal itu tak cocok dibangun di Aceh; tidak untuk saat ini. Aceh lebih membutuhkan kemandirian dalam memperoleh bahan-bahan pangan pokok dan berdaulat. Meraih kembali harga diri yang telah lama terkoyak-koyak oleh kezaliman bangsa sendiri.
Setiap tahun, Aceh mengantongi uang belasan triliun dari dana otonomi khusus. Di saat yang sama, Aceh juga menyumbang angka pengangguran mencapai 217 ribu atau sekitar 9,93 persen. Pertanyaan mendasar saat ini adalah, mengapa pemerintah, di setiap lapisan pemerintahan di Aceh, lebih suka berpikir muluk-muluk ketimbang menghadapi realita dan menjawabnya dengan aksi dan solusi?
Di Banda Aceh, misalnya, mengapa tidak membangun kawasan Peunayong menjadi sebuah pusat pertokoan, jajanan dan sentra pejalan kaki. Menjadikan kawasan ini nyaman dan aman bagi seluruh pengunjung tentu lebih murah ketimbang membangun mall dan membuka kran ritel yang bukan saja mengikis tradisi dan cenderung menjadikan masyarakat menjadi “mata duitan”. Membangun mall hanya akan mematikan pasar tradisional, yang menjadi sumber penghidupan banyak nyak-nyak serta ribuan masyarakat.
Para penguasa tak perlu berkoar-koar tentang kesejahteraan. Karena selama ini, perilaku yang mereka pertontonkan seperti tak mengenal Tuhan. Menumpuk harta dan memamerkannya di masyarakat yang lapar.
Satu hal yang pasti, Aceh tak akan maju sampai seluruh pemimpinnya rela mengikis rasa sombong dan mulai memahami hakekat kesederhanaan Aceh. Hanya itu yang dibutuhkan untuk membangun Aceh. Bukan retorika politik. (AJNN)
loading...
Post a Comment