Foto repro buku Biografi Teuku Nyak Arif |
PARA pahlawan telah mengorbankan jiwa-raganya untuk kebesaran dan kejayaan bangsa dan negara. Itu sebabnya, tokoh-tokoh sejarah tersebut pantas diteladani, dicontoh perilakunya serta dikenang amal baktinya. Terutama bagi generasi muda sebagai pewaris perjuangan dan pengisi hasil perjuangan.
Salah seorang pahlawan nasional dari Aceh ialah Teuku Nyak Arif. Perjuangannya membela bangsa dan negara cukup dikenal. Sejarah perjuangan Panglima Sagi 26 Mukim wilayah Besar sejak tahun 1920 yang juga Residen/Gubernur Aceh pertama (1945-1956) itu kemudian ditulis oleh Mardanas Safwan dalam buku Biografi Teuku Nyak Arif, diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta 1992.
Dikutip dari buku itu, salah seorang wartawan senior di Indonesia, H. Mohammad Said dalam bukunya, Aceh Sepanjang Abad, menulis: “Bagaimanapun, jasa Teuku Nyak Arif dalam perjuangan kemerdekaan tidak dapat diremehkan. Bahwa ia diungsikan ke Takengon dan meninggal di sana tidak boleh dilihat dari prasangka bahwa jasanya tidak ada lagi. Kita banyak membaca riwayat-riwayat revolusi, bahkan revolusi Perancis sendiri, betapa orang berada paling depan menggalakkan revolusi telah dinilai sebaliknya. Memang sejarah bisa membiarkan tertutup dengan riwayat-riwayat yang benar faktanya. Tetapi kalau kita masih lapang waktu, kenapa kita harus membiarkan seseorang diselimuti kabut-kabut yang melindungi kebenaran.”
Teuku Nyak Arif meninggal dunia di Takengon, 4 Mei 1946. Dari Takengon, jenazahnya dibawa ke Kutaraja dan dimakamkan di tanah pemakaman keluarga di Lamreung. Makam Teuku Nyak Arif berdampingan dengan makam ayahnya sendiri, Teuku Nyak Banta.
Sebagai penghargaan dari jasa-jasanya, Menteri Sosial melalui Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor Pol. 1/62/ PK/72 tanggal 17 Februari 1962, menetapkan Teuku Nyak Arif sebagai perintis Pergerakan Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah diadakan penelitian mendalam oleh pemerintah mengenai riwayat hidup dan perjuangannya, Presiden kemudian melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/ Tahun 1974 tertanggal 9 November 1974, menetapkan almarhum Teuku Nyak Arif sebagai Pahlawan Nasional.
Menteri Sosial Prof. Dr. Haryati Subadto lantas meresmikan pemugaran makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif di Desa Lamreung, Meunasah Baktrieng, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 17 September 1991, sore.
Lantas, bagaimana riwayat hidup Teuku Nyak Arif? Berikut kisahnya sejak masa kecil hingga menjadi Panglima Sagi 26 Mukim, dikutip dari buku Biografi Teuku Nyak Arif:
Cerdas dan berani
Teuku Nyak Arif dilahirkan di Ulee Lheue, 17 Juli 1899. Ayahnya, Teuku Nyak Banta yang mempunyai kedudukan sebagai Panglima Sagi 26 Mukim. Ibunya, Cut Nyak Rayeuk berasal dari Ulee Lheue.
Sejak masa kanak-kanak, Teuku Nyak Arif termasuk anak cerdas, berani dan mempunyai sifat yang keras. Ia selalu menjadi pemimpin di antara teman-temannya, baik dalam pergaulan di sekolah maupun luar sekolah. Permainan paling disenangi Teuku Nyak Arif adalah sepak bola. Ia selalu menonjol sebagai bintang lapangan. Di samping berolah raga, Teuku Nyak Arif menyenangi kesenian. Ia dapat memainkan biola dengan baik. Ia bisa pula bermain sulap yang dipertunjukkan dalam pertemuan sesama teman, sebagai hiburan dan rekreasi.
Setelah menyelesaikan pelajaran di sekolah dasar/Sekolah Rakyat di Kutaraja (Banda Aceh sekarang), Teuku Nyak Arif dimasukkan oleh orang tuanya ke Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi. Jarak antara Banda Aceh dan Bukitinggi tidaklah dekat, apalagi saat itu hubungan belum lancar seperti sekarang. Menurut keyakinan orang tuanya, Teuku Nyak Arif di samping menuntut pengetahuan juga harus menambah pengalaman dengan bersekolah di daerah lain. Teuku Nyak Arif dalam usia sangat muda telah hidup berpisah dari orang tua, saudara-saudara dan keluarganya.
Selama bersekolah di Bukittinggi dari tahun 1908 sampai 1913, Teuku Nyak Arif termasuk anak yang pandai. Tiap tahun ia naik kelas dengan hasil yang memuaskan. Ia juga mempunyai banyak teman, baik di dalam maupun di luar sekolah. Direktur Sekolah Raja Bukittinggi, B.J. Visser sangat senang kepada Teuku Nyak Arif, karena ia termasuk anak yang pandai, sehingga selalu mendapat pujian. Teman-teman sedaerah dengan Teuku Nyak Arif yang bersekolah di Bukittinggi antara lain Teuku Ad, Teuku Moh. Ali dan Teuku Leman.
Nama Teuku Nyak Arif pada waktu itu sangat terkenal di kalangan murid-murid Kweekschool yang oleh orang Indonesia disebut Sekolah Raja. Anak-anak Sekolah Raja di Bukittinggi sebagian besar ditempatkan di dalam asrama, lebih-lebih anak-anak yang berasal dari luar daerah Sumatera Barat. Pergaulan anak-anak yang tinggal di dalam asrama umumnya lebih akrab dari yang tinggal di luar.
Sekolah Raja Bukittinggi mempunyai dua jurusan yaitu jurusan Guru dan jurusan Pamong Praja (pemerintahan). Teuku Nyak Arif memilih jurusan Pamong Praja, karena ia adalah calon Panglima Sagi 26 Mukim.
Nama baik Teuku Nyak Arif tersemat sebagai teladan yang indah dalam hati murid-murid Sekolah Raja yang berasal dari berbagai daerah Pulau Sumatera. Sifat dan sikapnya yang cekatan, tutur kata yang ringkas tetapi tegas menjadi perhatian di sekolah. Itulah sebabnya, ia disegani teman-teman seperguruan, terutama yang duduk di kelas lebih tinggi. Murid-murid Sekolah Raja lainnya yang berasal dari Aceh adalah T. Idris, T. Mahmud, T. Rayeuk, T. Rahman, T.M. Alibasya, T. Raja Ibrahim, T. Usman dan T. Said Abdul Aziz. Mereka ini mengakui martabat dan gengsi Teuku Nyak Arif.
Daerah Aceh dikenal oleh penduduk Bukittinggi dengan nama Tanah Rencong, karena daerah itu terkenal dengan rencongnya.
Benci Belanda
Sejak masa muda, Teuku Nyak Arif mempunyai perasaan benci kepada Belanda. Pada waktu itu anak-anak bangsawan Aceh yang bersekolah di Bukittinggi mendapat tunjangan dari pemerintah f 10 (sepuluh gulden) tiap bulan dengan perantaraan Residen Aceh H.N.A. Swart. Karena bencinya kepada pemerintah Hindia Belanda, Teuku Nyak Arif tidak bersedia menerima uang itu.
Teuku Nyak Arif sejak masa muda juga gemar membaca buku ilmu pengetahuan, terutama karya pemimpin-pemimpin terkemuka Indonesia. Tulisan paling disenanginya adalah karya Agus Salim. Kebetulan pada waktu itu Agus Salim sedang berada di Bukittinggi, membuka sekolah HIS partikelir di Koto Gadang Bukittinggi dari tahun 1911-1915.
Tahun 1912, Teuku Nyak Arif melanjutkan pelajarannya ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Serang, Banten. Daerah dituju semakin jauh, pengetahuan dan pengalamannya semakin banyak. Makin lama Teuku Nyak Arif makin matang, terutama dalam bidang politik pemerintahan. Selama bersekolah di Serang (1912-1915), Teuku Nyak Arif memperdalam ilmu dalam bidang pamong praja sebagai lanjutan Sekolah Raja Bukittinggi. Kalau di Sekolah Raja di Bukittinggi pergaulan Teuku Nyak Arif terbatas di antara anak-anak yang berasal dari Sumatera, di sekolah OSVIA pergaulannya lebih luas lagi, seperti dengan pemuda berasal dari daerah Sunda, Jawa dan Kalimantan.
Sekolah OSVIA di Serang khusus diadakan oleh Belanda untuk anak-anak raja dan bangsawan dari seluruh Indonesia, seperti dari Aceh dan Sumatera Timur, bahkan dari Kalimantan. Anak raja Sambas, Kutai dan Ngabang juga bersekolah di sini.
Salah seorang teman Teuku Nyak Arif di OSVIA adalah Tengku Moh. Arifin dari Sumatera Timur. Menurut Tengku Moh. Arifin, Teuku Nyak Arif selama bersekolah di Serang selalu menunjukkan perasaan tidak senang kepada Belanda dan perasaan itu betul-betul tertanam di dadanya. Teuku Nyak Arif sangat sensitif terhadap Belanda. Ia sering konflik dengan guru-guru dan direktur sekolah, orang Belanda.
Teuku Nyak Arif sering tidak mengikuti peraturan yang dikeluarkan sekolah, terutama yang menyinggung perasaan nasional seperti cara hormat berlebihan terhadap guru. Akibat sikapnya ini, Teuku Nyak Arif sering mendapat teguran dari guru-guru atau direktur sekolah. Tetapi, guru-guru dan pemimpin sekolah tidak berani bersikap keras terhadap anak-anak Aceh, karena pemerintah Hindia Belanda selalu berusaha mengambil hati orang-orang Aceh.
Pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa daerah Aceh merupakan api dalam sekam terhadap Belanda. Pemberian beasiswa kepada anak-anak bangsawan bangsa Indonesia termasuk Aceh, merupakan taktik Belanda untuk membendung perlawanan rakyat Indonesia.
Kalau Teuku Nyak Arif marah, guru-gurunya tidak berani bertindak keras. Teuku Nyak Arif bersama teman-temannya anak Sumatera tidak mau disuruh menghapus papan tulis waktu belajar. Pernah pada suatu kali, Teuku Nyak Arif disuruh oleh gurunya membersihkan papan tulis, seperti biasanya dia juga menolak perintah gurunya itu. Karena sangat marahnya maka guru itu tidak bersedia memberikan pelajaran, sehingga pada jam itu, murid-murid tidak jadi belajar.
Perasaan tidak mau tunduk terhadap Belanda sangat menonjol pada orang-orang Aceh termasuk juga para pelajarnya. Sebaliknya terhadap teman-temannya, termasuk yang berasal dari daerah luar Aceh, Teuku Nyak Arif sangat baik dan ramah. Hubungan dengan teman-temannya sangat akrab, baik dalam pergaulan sehari-hari, lebih-lebih dalam bidang politik.
Kelompok diskusi
Teuku Nyak Arif mengadakan suatu kelompok diskusi dengan teman-temannya yang membicarakan persoalan politik. Mereka membahas tajuk rencana yang terdapat dalam koran-koran nasional, kemudian mendiskusikan persoalan itu. Berkat kegiatannya itu, pengetahuan Teuku Nyak Arif mengenai politik makin luas dan dalam. Pandangan Teuku Nyak Arif terhadap nasionalisme Indonesia makin lama makin mantap dan menemui bentuknya yang makin sempurna. Menurut Teuku Nyak Arif, bangsa Indonesia harus bersatu dalam menuju cita-cita mencapai kemerdekaan.
Tahun 1915, Teuku Nyak Arif pulang ke Aceh untuk ikut menyumbangkan tenaganya bagi pembangunan daerah. Tahun 1918-1920, ia bekerja sebagai pegawai urusan distribusi beras makanan rakyat (Ambtenaar bij de voedsel voorziening) daerah Aceh. Di samping bekerja di kantor, Teuku Nyak Arif mengikuti kegiatan politik. Tahun 1918, ia memasuki organisasi diawasi Nationale Indische Partij (NIP) yang mulanya bernama Insulinde diketuai Douwes Dekker dan kawan-kawannya di Jakarta. Dalam salah satu rapat di Kutaraja, Teuku Nyak Arif mengadakan perdebatan dengan Dr. De'Vries yang waktu itu menjadi Gezaghebber di Lhok Seumawe. Karena pembicaraannya yang bebas dan tangkas, Teuku Nyak Arif dipilih menjadi ketua NIP cabang Kutaraja.
Tahun 1919, dalam kongres Syarekat Aceh (Aceh Vereeniging) periode II Teuku Nyak Arif terpilih menjadi ketua pengurus besar menggantikan TT. Muhammad Thayeb dari Peureulak. Syarekat Aceh adalah suatu organisasi yang bergerak dalam bidang sosial. Mulai saat itu namanya menjadi populer di kalangan pemuda. Nama samarannya yang sering dipanggilkan oleh pemuda adalah Max. Rumahnya di Jalan Merduati yang berdampingan dengan rumah Teuku Hasan Dik selalu ramai dikunjungi oleh pemuda-pemuda Aceh. Di samping membicarakan politik, para pemuda yang datang ke rumah Teuku Nyak Arif juga membicarakan soal-soal sosial.
Di antara tokoh pemuda yang sering datang berkunjung ke rumah Teuku Nyak Arif dan Teuku Hasan Dik adalah H.M. Zainuddin, Tuanku Mahmud dan Teuku Usman. Mereka mendirikan perkumpulan sepak bola, perkumpulan bilyard dan mengadakan sandiwara. Di dalam klub (perkumpulan) tidak ada perbedaan antara anak-anak bangsawan dan anak-anak orang kebanyakan. Dengan jalan ini Teuku Nyak Arif telah mencoba menanamkan jiwa demokrasi di kalangan generasi muda.
Dalam permainan sandiwara yang berjudul Raja Matahari, Teuku Nyak Arif ikut bermain dengan nama samaran Max. Panggilan Max pada waktu itu lebih dikenal dari nama Teuku Nyak Arif, lebih-lebih di kalangan teman-temannya. Nama panggilan Max berasal dari buku Max Havelaar yang dikagumi oleh Teuku Nyak Arif.
Para pembesar Belanda mencurigai perkumpulan pemuda ini, karena dianggap mereka sebagai kedok untuk melakukan kegiatan politik. Para pemuda yang umumnya berkumpul pada setiap sore selalu oleh mata-mata Belanda, lebih-lebih kalau mereka mengadakan pesta diawasi secara ketat. Perkumpulan Aceh Vereeniging juga sering mengadakan sandiwara yang mengeritik Pemerintah Hindia Belanda.
Teuku Nyak Arif, walaupun telah diakui oleh para pemuda sebagai pemimpin mereka, tidak sombong kepada seluruh teman-temannya. Dengan bijaksana ia juga telah berhasil menyelesaikan pertikaian antara golongan tua dan golongan muda pada waktu itu. Pertikaian antara golongan bangsawan dan golongan ulama pun berhasil diselesaikan Teuku Nyak Arif dengan baik, melalui musyawarah.
Teuku Nyak Arif, meskipun dalam suasana santai, selalu mengeluarkan kata-kata yang berisi seperti perasaan tanggung jawab dan percaya kepada diri sendiri. Soal penjajahan adalah masalah yang serius, dan penjajahan itu harus diakhiri di Tanah Air Indonesia. Ketika membicarakan masalah yang serius, Teuku Nyak Arif selalu duduk dan berdiri untuk memperlihatkan kesungguhannya. Ia selalu menyendiri kalau ada yang dipikirkannya dan dalam berbicara ia selalu bersemangat.
Perasaan nasional setahap demi setahap berhasil ditanamkan oleh Teuku Nyak Arif di kalangan pemuda. Perjuangan rakyat Indonesia pada saat itu harus dialihkan ke bidang politik karena rakyat belum dapat mengungguli kemampuan perlengkapan militer Belanda. Rakyat Indonesia terutama pemuda harus mengikuti organisasi politik kebangsaan yang menuju Indonesia Merdeka, atau mencita-citakan kemerdekaan Indonesia.
Panglima Sagi
Kegiatan Teuku Nyak Arif secara formal terpaksa dihentikan, karena ia diangkat menjadi Panglima Sagi 26 Mukim menggantikan ayahnya pada tahun 1920 dengan kedudukan di Lam Nyong. Sebenarnya pengangkatan sebagai Panglima Sagi 26 Mukim dihitung mulai tahun 1911, tetapi karena dia masih di bawah umur dan masih bersekolah, maka ayah kandungnya Teuku Sri Imeum Muda Nyak Banta mewakili Panglima Sagi 26 Mukim dari tahun 1911-1919.
Sebagai seorang pemuda yang telah dewasa, Teuku Nyak Arif mulai memikirkan untuk hidup berumah tangga. Atas kehendak orang tuanya maka Teuku Nyak Arif kemudian nikah dengan putri Teuku Maharaja yang menjadi Zelfbestuurderf/Uleebalang di Lhok Seumawe.
Saat diadakan penjemputan dalam pernikahan tersebut, calon mertua Teuku Nyak Arif menghendaki upacara yang meriah dan mewah, menurut adat istiadat bangsawan Aceh pada waktu itu. Keinginan dan usul calon mertuanya itu ditolak oleh Teuku Nyak Arif. Ia menginginkan diadakan upacara sederhana saja dalam pernikahan itu. Akhirnya calon mertuanya mengalah dan upacara pernikahan dilakukan dengan sederhana. Perkawinan itu tidak berlangsung lama. Mereka akhirnya berpisah secara baik-baik sebelum mendapat anak.
Tidak lama Teuku Nyak Arif menduda. Pada akhir tahun 1927, ia nikah lagi dengan seorang putri Minangkabau kelahiran Meulaboh yang bernama Jauhari, putri seorang Mantri Polisi bernama Yazid, yang waktu itu bertugas di Kutaraja. Jauhari pada waktu itu adalah seorang pelajar MULO, sekolah tertinggi yang ada di Kutaraja. Sebelum nikah, Teuku Nyak Arif tidak pernah mengenal langsung gadis Jauhari, tetapi lama kelamaan keduanya dapat saling mencocokkan diri. Perkawinan antarsuku ini tidak mendapat tantangan dari pihak keluarga Teuku Nyak Arif. Mereka semua menyetujui dan tidak ada yang menghalangi.
Masyarakat Minangkabau yang berada di Aceh juga menyambut gembira adanya perkawinan ini, karena merupakan suatu kehormatan bagi masyarakat Minang mendapat bangsawan Aceh. Tambahan lagi Teuku Nyak Arif seorang yang pandai bergaul, dan fasih mempergunakan bahasa Minang.
Perkawinan Teuku Nyak Arif dengan Cut Nyak Jauhari mendapatkan tiga anak; dua laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah Teuku Ashari, Teuku Syamsul Bahri dan Cut Nyak Arifah Nasri.
Teuku Nyak Arif berusaha mendidik anak-anaknya hidup sederhana, walaupun mereka mempunyai kesanggupan untuk hidup mewah. Teuku Nyak Arif dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarganya sangat disiplin. Anak-anaknya diharuskan makan secara teratur dan berpakaian rapi. Mereka juga diharuskan belajar dengan rajin dan teratur. Pada waktu sore hari diharuskan belajar mengaji Alquran. Menurutnya harus ada keseimbangan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama dalam mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam zaman Hindia Belanda, putra sulung Teuku Nyak Arif mulanya disekolahkan di Europese Lagere School Sigli, tetapi kemudian dipindahkan ke Taman Siswa Kutaraja. Putra kedua disekolahkan di Taman Siswa, dan yang bungsu (putri) disekolahkan di Muhammadiyah Kutaraja.
Pendidikan anak-anak Teuku Nyak Arif berhasil dengan baik. Anak laki-laki yang tertua berhasil mendapat gelar insinyur (Ir) dari THS Delft di Negeri Belanda. Anak yang kedua menjadi Sarjana Hukum (SH), dan anak perempuan satu-satunya nikah dengan Drs. T Umar Ali, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mantan Duta Besar Republik Indonesia di Brazilia, dan mantan Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan.
Teuku Nyak Arif dalam kehidupannya sehari-hari juga tidak membedakan teman dalam pergaulan. Ia yang digolongkan termasuk ke dalam golongan bangsawan (uleebalang) tidak mengurung diri bergaul dengan golongannya saja. Teuku Nyak Arif juga banyak bergaul dengan golongan ulama, terutama Teungku Haji Hasan Krueng Kale dan juga Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Teuku Nyak Arif selalu mempergunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan dengan keluarganya di rumah, walaupun dapat berbahasa Aceh dan Minang. Bahasa asing yang dikuasai Teuku Nyak Arif adalah bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sebagai seorang penganut agama Islam termasuk penganut yang taat, hafal beberapa ayat Alquran di luar kepala.
Hubungan Teuku Nyak Arif dengan pemimpin pergerakan Indonesia pada umumnya akrab. Sebagai seorang teman, M.H. Thamrin pernah berkunjung ke rumah Teuku Nyak Arif saat berada di Aceh. Begitu pun waktu Teuku Nyak Arif ke Jakarta dengan istrinya, pernah menginap di rumah Dr. Sam Ratulangi. Ketika berkunjung ke luar Aceh dengan istrinya, Teuku Nyak Arif tidak membatasi dirinya hanya berkunjung pada keluarga yang berasal dari daerah Aceh saja.
Sebagai seorang pemimpin rakyat, Teuku Nyak Arif lebih mementingkan tugas daripada kepentingan keluarga. Tugas adalah nomor satu, sedangkan keluarga nomor dua. Karena istrinya juga seorang yang berpendidikan, Teuku Nyak Arif kadang-kadang juga membicarakan soal-soal tugas dengan keluarganya. Istrinya juga senang dengan pekerjaan suaminya, dan kadang-kadang membantu kelancaran tugas tersebut.
Pada zaman pendudukan Jepang, Teuku Nyak Arif melarang orang-orang perempuan berhubungan dengan Jepang, baik keluarga maupun rakyat Aceh sendiri. Kepada keluarga dan teman-teman, ia selalu mengatakan agar jangan mematuhi betul peraturan yang dibuat oleh Jepang. Pada saat akhir penjajahan Belanda dan permulaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Teuku Nyak Arif sibuk sekali mengatur taktik perjuangan, sering larut malam baru pulang ke rumah.
Karena terlalu berat melakukan tugas maka kesehatannya makin lama makin mundur, apalagi Teuku Nyak Arif mengidap penyakit gula. Ia sering melakukan tugas keliling daerah Aceh untuk mengobarkan semangat perjuangan. Ketika ada kawannya yang menganjurkan Teuku Nyak Arif supaya pindah saja dari daerah Aceh, dengan tegas ia menolaknya, karena merasa tenaganya masih diperlukan di Aceh, apalagi karena harus menghadapi bermacam-macam tantangan. Ia ingin hidup atau mati, sakit senang di daerahnya. Kalau keluarganya ingin pindah ke daerah Sumatera Barat diizinkan. Tetapi keluarga Teuku Nyak Arif tidak ingin pindah ke daerah asalnya. Mereka lebih senang hidup di samping Teuku Nyak Arif, baik dalam suka maupun duka.
Pada masa-masa permulaan kemerdekaan, Teuku Nyak Arif juga sering mengadakan rapat di rumahnya sendiri dengan tokoh dan pemuka masyarakat Aceh lainnya. Keluarganya diminta oleh Teuku Nyak Arif agar mengerti pentingnya perjuangan kemerdekaan. Mereka harus berkorban untuk kepentingan perjuangan itu, dengan mengorbankan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Keluarganya harus melayani kepentingan perjuangan, dan kalau perlu menjual milik keluarga untuk membiayainya. Pernah Teuku Nyak Arif menyuruh istrinya menjual perhiasan untuk membiayai perjuangan kemerdekaan Indonesia yang telah lama dicita-citakan oleh seluruh rakyat.
Melindungi rakyat
Sejak Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagi (Sagi Hoofd) 26 Mukim, ia berkedudukan di Lam Nyong. Walaupun daerah Aceh telah dikuasai oleh Belanda, tetapi para pemimpin Aceh yang seluruhnya beragama Islam, tidak betul-betul tunduk kepada Belanda. Mereka bertekad bahwa umat Islam boleh mengalah sementara, akan tetapi hanya sementara saja, dan pada waktunya mereka harus melawan kembali. Inilah pesan sakti waktu perang Aceh berakhir.
Teuku Nyak Arif sebagai seorang terpelajar yang telah mendapatkan pendidikan Barat di luar daerahnya sendiri (Bukittinggi dan Serang) menyadari benar akan hal ini. Rakyat Indonesia buat sementara harus menerima bekerja sama dengan Belanda, dan apabila datang saatnya mereka harus melawan.
Dalam memerintah daerahnya, Teuku Nyak Arif selalu bersikap keras dan tegas terhadap pemerintah Hindia Belanda. Ia selalu melindungi rakyatnya dari tindakan sewenang-wenang pemerintah Hindia Belanda. Terhadap rakyatnya sendiri, ia selalu memerintah dengan adil dan bijaksana. Walaupun ia seorang raja, ia selalu bergaul seperti orang biasa dengan rakyat.
Rakyat 26 Mukim sangat menyayanginya, karena ia tidak merugikan atau mengambil harta milik rakyat. Bahkan harta miliknya sering diserahkannya untuk kepentingan rakyat. Syair pujian rakyat 26 Mukim terhadap Teuku Nyak Arif: Tamat sekolah umur 15 tahun, telah pintar memimpin rakyat, negeri teratur, rakyat senang, sayang kepada rakyat, seorang ahli hukum dan ahli pemerintahan. Syair itu diucapkan oleh rakyat dalam bahasa Aceh.
Seluruh kepentingan rakyat Aceh diperjuangkan oleh Teuku Nyak Arif. Terhadap bawahannya, ia tidak pernah menganggap rendah, bawahannya dianggap sebagai teman biasa saja. Walaupun begitu, bawahannya tidak pernah meremehkan Teuku Nyak Arif, mereka tetap menghargai dan bahkan lebih menghormati.
Syair lainnya yang dinyanyikan oleh rakyat demi cintanya kepada Teuku Nyak Arif, sebagai berikut: Teuku Nyak Arif Panglima Sago (Teuku Nyak Arif pemimpin negeri). Geyou geutanyo agama yang trang (Memerintah memeluk agama yang nyata)—W ajib taikot Saidil Amri (Diwajibkan kita mengikut Saidil Amri)—Yang suruh rabbi raja yang senang (Yang disuruh Tuhan raja yang bahagia).
Demikianlah di antara syair pujian terhadap Teuku Nyak Arif yang kebanyakan dihafal oleh rakyat dan dibacakan dalam berbagai kesempatan dan dalam pertemuan-pertemuan resmi. Pada masa itu di daerah Aceh umumnya dan di daerah onderafdeling Kutaraja khususnya banyak berdiam orang-orang dari daerah lain seperti suku Jawa, suku Sunda, suku Batak dan suku Minang. Masing-masing suku ini hidup berdampingan secara damai, berkat bimbingan Teuku Nyak Arif.
Suku Minang termasuk suku yang terbanyak tinggal di Aceh dan kebanyakan dari mereka itu hidup berdagang dan menjadi pegawai negeri. Di samping berdagang, orang-orang Minang ini giat berdakwah, mengembangkan agama Islam.
Hubungan Minangkabau dan Aceh merupakan hubungan tradisional yang telah berlangsung sejak abad ke-16. Bahkan Kerajaan Minangkabau pernah dikuasai oleh Kerajaan Aceh pada abad ke-17 melalui hubungan dagang. Pahlawan Aceh yang terkenal, Teuku Umar yang telah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, keturunannya berasal dari daerah Minangkabau. Teuku Nyak Arif yang telah menjadi pemimpin Aceh juga pernah bersekolah di Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi tahun 1908 sampai 1913.
Akibat perasaan nasional (nasionalisme) yang telah mulai menyala-nyala dalam dada Teuku Nyak Arif, ia sebagai pemimpin tidak membeda-bcdakan suku-suku lain yang berdiam di Aceh. Ia menganggap orang-orang yang berdiam di daerah Aceh adalah orang-orang Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Kebinekaan harus menuju Tunggal Ika (Indonesia yang bersatu). Ini telah merupakan cita-cita Teuku Nyak Arif sejak masa mudanya.
Sebagai aparat pemerintah Hindia Belanda, Teuku Nyak Arif tidak dapat secara terang-terangan memimpin organisasi yang bersifat nasional Indonesia. Sebelum menjabat Panglima Sagi. Teuku Nyak Arif pada tahun 1918 pernah menjadi ketua NIP cabang Kutaraja (Banda Aceh). Kini ia tidak dapat melakukan hal seperti itu, karena terikat dengan jabatannya. Tetapi, Teuku Nyak Arif tetap membantu setiap usaha yang bersifat nasional. Atas bantuan Teuku Nyak Arif, di Aceh juga berdiri Jong Islamieten Bond.
Teuku Nyak Arif yang mempunyai watak keras, selalu bertentangan dengan kontroleur, bahkan dengan residen Belanda sekalipun. Ia lekas naik darah, bila merasa tersinggung oleh siapa pun juga, tetapi kalau persoalannya telah selesai, dendamnya pun hilang.[Sumber: portalsatu.com]
Salah seorang pahlawan nasional dari Aceh ialah Teuku Nyak Arif. Perjuangannya membela bangsa dan negara cukup dikenal. Sejarah perjuangan Panglima Sagi 26 Mukim wilayah Besar sejak tahun 1920 yang juga Residen/Gubernur Aceh pertama (1945-1956) itu kemudian ditulis oleh Mardanas Safwan dalam buku Biografi Teuku Nyak Arif, diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta 1992.
Dikutip dari buku itu, salah seorang wartawan senior di Indonesia, H. Mohammad Said dalam bukunya, Aceh Sepanjang Abad, menulis: “Bagaimanapun, jasa Teuku Nyak Arif dalam perjuangan kemerdekaan tidak dapat diremehkan. Bahwa ia diungsikan ke Takengon dan meninggal di sana tidak boleh dilihat dari prasangka bahwa jasanya tidak ada lagi. Kita banyak membaca riwayat-riwayat revolusi, bahkan revolusi Perancis sendiri, betapa orang berada paling depan menggalakkan revolusi telah dinilai sebaliknya. Memang sejarah bisa membiarkan tertutup dengan riwayat-riwayat yang benar faktanya. Tetapi kalau kita masih lapang waktu, kenapa kita harus membiarkan seseorang diselimuti kabut-kabut yang melindungi kebenaran.”
Teuku Nyak Arif meninggal dunia di Takengon, 4 Mei 1946. Dari Takengon, jenazahnya dibawa ke Kutaraja dan dimakamkan di tanah pemakaman keluarga di Lamreung. Makam Teuku Nyak Arif berdampingan dengan makam ayahnya sendiri, Teuku Nyak Banta.
Sebagai penghargaan dari jasa-jasanya, Menteri Sosial melalui Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor Pol. 1/62/ PK/72 tanggal 17 Februari 1962, menetapkan Teuku Nyak Arif sebagai perintis Pergerakan Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah diadakan penelitian mendalam oleh pemerintah mengenai riwayat hidup dan perjuangannya, Presiden kemudian melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/ Tahun 1974 tertanggal 9 November 1974, menetapkan almarhum Teuku Nyak Arif sebagai Pahlawan Nasional.
Menteri Sosial Prof. Dr. Haryati Subadto lantas meresmikan pemugaran makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif di Desa Lamreung, Meunasah Baktrieng, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 17 September 1991, sore.
Lantas, bagaimana riwayat hidup Teuku Nyak Arif? Berikut kisahnya sejak masa kecil hingga menjadi Panglima Sagi 26 Mukim, dikutip dari buku Biografi Teuku Nyak Arif:
Cerdas dan berani
Teuku Nyak Arif dilahirkan di Ulee Lheue, 17 Juli 1899. Ayahnya, Teuku Nyak Banta yang mempunyai kedudukan sebagai Panglima Sagi 26 Mukim. Ibunya, Cut Nyak Rayeuk berasal dari Ulee Lheue.
Sejak masa kanak-kanak, Teuku Nyak Arif termasuk anak cerdas, berani dan mempunyai sifat yang keras. Ia selalu menjadi pemimpin di antara teman-temannya, baik dalam pergaulan di sekolah maupun luar sekolah. Permainan paling disenangi Teuku Nyak Arif adalah sepak bola. Ia selalu menonjol sebagai bintang lapangan. Di samping berolah raga, Teuku Nyak Arif menyenangi kesenian. Ia dapat memainkan biola dengan baik. Ia bisa pula bermain sulap yang dipertunjukkan dalam pertemuan sesama teman, sebagai hiburan dan rekreasi.
Setelah menyelesaikan pelajaran di sekolah dasar/Sekolah Rakyat di Kutaraja (Banda Aceh sekarang), Teuku Nyak Arif dimasukkan oleh orang tuanya ke Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi. Jarak antara Banda Aceh dan Bukitinggi tidaklah dekat, apalagi saat itu hubungan belum lancar seperti sekarang. Menurut keyakinan orang tuanya, Teuku Nyak Arif di samping menuntut pengetahuan juga harus menambah pengalaman dengan bersekolah di daerah lain. Teuku Nyak Arif dalam usia sangat muda telah hidup berpisah dari orang tua, saudara-saudara dan keluarganya.
Selama bersekolah di Bukittinggi dari tahun 1908 sampai 1913, Teuku Nyak Arif termasuk anak yang pandai. Tiap tahun ia naik kelas dengan hasil yang memuaskan. Ia juga mempunyai banyak teman, baik di dalam maupun di luar sekolah. Direktur Sekolah Raja Bukittinggi, B.J. Visser sangat senang kepada Teuku Nyak Arif, karena ia termasuk anak yang pandai, sehingga selalu mendapat pujian. Teman-teman sedaerah dengan Teuku Nyak Arif yang bersekolah di Bukittinggi antara lain Teuku Ad, Teuku Moh. Ali dan Teuku Leman.
Nama Teuku Nyak Arif pada waktu itu sangat terkenal di kalangan murid-murid Kweekschool yang oleh orang Indonesia disebut Sekolah Raja. Anak-anak Sekolah Raja di Bukittinggi sebagian besar ditempatkan di dalam asrama, lebih-lebih anak-anak yang berasal dari luar daerah Sumatera Barat. Pergaulan anak-anak yang tinggal di dalam asrama umumnya lebih akrab dari yang tinggal di luar.
Sekolah Raja Bukittinggi mempunyai dua jurusan yaitu jurusan Guru dan jurusan Pamong Praja (pemerintahan). Teuku Nyak Arif memilih jurusan Pamong Praja, karena ia adalah calon Panglima Sagi 26 Mukim.
Nama baik Teuku Nyak Arif tersemat sebagai teladan yang indah dalam hati murid-murid Sekolah Raja yang berasal dari berbagai daerah Pulau Sumatera. Sifat dan sikapnya yang cekatan, tutur kata yang ringkas tetapi tegas menjadi perhatian di sekolah. Itulah sebabnya, ia disegani teman-teman seperguruan, terutama yang duduk di kelas lebih tinggi. Murid-murid Sekolah Raja lainnya yang berasal dari Aceh adalah T. Idris, T. Mahmud, T. Rayeuk, T. Rahman, T.M. Alibasya, T. Raja Ibrahim, T. Usman dan T. Said Abdul Aziz. Mereka ini mengakui martabat dan gengsi Teuku Nyak Arif.
Daerah Aceh dikenal oleh penduduk Bukittinggi dengan nama Tanah Rencong, karena daerah itu terkenal dengan rencongnya.
Benci Belanda
Sejak masa muda, Teuku Nyak Arif mempunyai perasaan benci kepada Belanda. Pada waktu itu anak-anak bangsawan Aceh yang bersekolah di Bukittinggi mendapat tunjangan dari pemerintah f 10 (sepuluh gulden) tiap bulan dengan perantaraan Residen Aceh H.N.A. Swart. Karena bencinya kepada pemerintah Hindia Belanda, Teuku Nyak Arif tidak bersedia menerima uang itu.
Teuku Nyak Arif sejak masa muda juga gemar membaca buku ilmu pengetahuan, terutama karya pemimpin-pemimpin terkemuka Indonesia. Tulisan paling disenanginya adalah karya Agus Salim. Kebetulan pada waktu itu Agus Salim sedang berada di Bukittinggi, membuka sekolah HIS partikelir di Koto Gadang Bukittinggi dari tahun 1911-1915.
Tahun 1912, Teuku Nyak Arif melanjutkan pelajarannya ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Serang, Banten. Daerah dituju semakin jauh, pengetahuan dan pengalamannya semakin banyak. Makin lama Teuku Nyak Arif makin matang, terutama dalam bidang politik pemerintahan. Selama bersekolah di Serang (1912-1915), Teuku Nyak Arif memperdalam ilmu dalam bidang pamong praja sebagai lanjutan Sekolah Raja Bukittinggi. Kalau di Sekolah Raja di Bukittinggi pergaulan Teuku Nyak Arif terbatas di antara anak-anak yang berasal dari Sumatera, di sekolah OSVIA pergaulannya lebih luas lagi, seperti dengan pemuda berasal dari daerah Sunda, Jawa dan Kalimantan.
Sekolah OSVIA di Serang khusus diadakan oleh Belanda untuk anak-anak raja dan bangsawan dari seluruh Indonesia, seperti dari Aceh dan Sumatera Timur, bahkan dari Kalimantan. Anak raja Sambas, Kutai dan Ngabang juga bersekolah di sini.
Salah seorang teman Teuku Nyak Arif di OSVIA adalah Tengku Moh. Arifin dari Sumatera Timur. Menurut Tengku Moh. Arifin, Teuku Nyak Arif selama bersekolah di Serang selalu menunjukkan perasaan tidak senang kepada Belanda dan perasaan itu betul-betul tertanam di dadanya. Teuku Nyak Arif sangat sensitif terhadap Belanda. Ia sering konflik dengan guru-guru dan direktur sekolah, orang Belanda.
Teuku Nyak Arif sering tidak mengikuti peraturan yang dikeluarkan sekolah, terutama yang menyinggung perasaan nasional seperti cara hormat berlebihan terhadap guru. Akibat sikapnya ini, Teuku Nyak Arif sering mendapat teguran dari guru-guru atau direktur sekolah. Tetapi, guru-guru dan pemimpin sekolah tidak berani bersikap keras terhadap anak-anak Aceh, karena pemerintah Hindia Belanda selalu berusaha mengambil hati orang-orang Aceh.
Pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa daerah Aceh merupakan api dalam sekam terhadap Belanda. Pemberian beasiswa kepada anak-anak bangsawan bangsa Indonesia termasuk Aceh, merupakan taktik Belanda untuk membendung perlawanan rakyat Indonesia.
Kalau Teuku Nyak Arif marah, guru-gurunya tidak berani bertindak keras. Teuku Nyak Arif bersama teman-temannya anak Sumatera tidak mau disuruh menghapus papan tulis waktu belajar. Pernah pada suatu kali, Teuku Nyak Arif disuruh oleh gurunya membersihkan papan tulis, seperti biasanya dia juga menolak perintah gurunya itu. Karena sangat marahnya maka guru itu tidak bersedia memberikan pelajaran, sehingga pada jam itu, murid-murid tidak jadi belajar.
Perasaan tidak mau tunduk terhadap Belanda sangat menonjol pada orang-orang Aceh termasuk juga para pelajarnya. Sebaliknya terhadap teman-temannya, termasuk yang berasal dari daerah luar Aceh, Teuku Nyak Arif sangat baik dan ramah. Hubungan dengan teman-temannya sangat akrab, baik dalam pergaulan sehari-hari, lebih-lebih dalam bidang politik.
Kelompok diskusi
Teuku Nyak Arif mengadakan suatu kelompok diskusi dengan teman-temannya yang membicarakan persoalan politik. Mereka membahas tajuk rencana yang terdapat dalam koran-koran nasional, kemudian mendiskusikan persoalan itu. Berkat kegiatannya itu, pengetahuan Teuku Nyak Arif mengenai politik makin luas dan dalam. Pandangan Teuku Nyak Arif terhadap nasionalisme Indonesia makin lama makin mantap dan menemui bentuknya yang makin sempurna. Menurut Teuku Nyak Arif, bangsa Indonesia harus bersatu dalam menuju cita-cita mencapai kemerdekaan.
Tahun 1915, Teuku Nyak Arif pulang ke Aceh untuk ikut menyumbangkan tenaganya bagi pembangunan daerah. Tahun 1918-1920, ia bekerja sebagai pegawai urusan distribusi beras makanan rakyat (Ambtenaar bij de voedsel voorziening) daerah Aceh. Di samping bekerja di kantor, Teuku Nyak Arif mengikuti kegiatan politik. Tahun 1918, ia memasuki organisasi diawasi Nationale Indische Partij (NIP) yang mulanya bernama Insulinde diketuai Douwes Dekker dan kawan-kawannya di Jakarta. Dalam salah satu rapat di Kutaraja, Teuku Nyak Arif mengadakan perdebatan dengan Dr. De'Vries yang waktu itu menjadi Gezaghebber di Lhok Seumawe. Karena pembicaraannya yang bebas dan tangkas, Teuku Nyak Arif dipilih menjadi ketua NIP cabang Kutaraja.
Tahun 1919, dalam kongres Syarekat Aceh (Aceh Vereeniging) periode II Teuku Nyak Arif terpilih menjadi ketua pengurus besar menggantikan TT. Muhammad Thayeb dari Peureulak. Syarekat Aceh adalah suatu organisasi yang bergerak dalam bidang sosial. Mulai saat itu namanya menjadi populer di kalangan pemuda. Nama samarannya yang sering dipanggilkan oleh pemuda adalah Max. Rumahnya di Jalan Merduati yang berdampingan dengan rumah Teuku Hasan Dik selalu ramai dikunjungi oleh pemuda-pemuda Aceh. Di samping membicarakan politik, para pemuda yang datang ke rumah Teuku Nyak Arif juga membicarakan soal-soal sosial.
Di antara tokoh pemuda yang sering datang berkunjung ke rumah Teuku Nyak Arif dan Teuku Hasan Dik adalah H.M. Zainuddin, Tuanku Mahmud dan Teuku Usman. Mereka mendirikan perkumpulan sepak bola, perkumpulan bilyard dan mengadakan sandiwara. Di dalam klub (perkumpulan) tidak ada perbedaan antara anak-anak bangsawan dan anak-anak orang kebanyakan. Dengan jalan ini Teuku Nyak Arif telah mencoba menanamkan jiwa demokrasi di kalangan generasi muda.
Dalam permainan sandiwara yang berjudul Raja Matahari, Teuku Nyak Arif ikut bermain dengan nama samaran Max. Panggilan Max pada waktu itu lebih dikenal dari nama Teuku Nyak Arif, lebih-lebih di kalangan teman-temannya. Nama panggilan Max berasal dari buku Max Havelaar yang dikagumi oleh Teuku Nyak Arif.
Para pembesar Belanda mencurigai perkumpulan pemuda ini, karena dianggap mereka sebagai kedok untuk melakukan kegiatan politik. Para pemuda yang umumnya berkumpul pada setiap sore selalu oleh mata-mata Belanda, lebih-lebih kalau mereka mengadakan pesta diawasi secara ketat. Perkumpulan Aceh Vereeniging juga sering mengadakan sandiwara yang mengeritik Pemerintah Hindia Belanda.
Teuku Nyak Arif, walaupun telah diakui oleh para pemuda sebagai pemimpin mereka, tidak sombong kepada seluruh teman-temannya. Dengan bijaksana ia juga telah berhasil menyelesaikan pertikaian antara golongan tua dan golongan muda pada waktu itu. Pertikaian antara golongan bangsawan dan golongan ulama pun berhasil diselesaikan Teuku Nyak Arif dengan baik, melalui musyawarah.
Teuku Nyak Arif, meskipun dalam suasana santai, selalu mengeluarkan kata-kata yang berisi seperti perasaan tanggung jawab dan percaya kepada diri sendiri. Soal penjajahan adalah masalah yang serius, dan penjajahan itu harus diakhiri di Tanah Air Indonesia. Ketika membicarakan masalah yang serius, Teuku Nyak Arif selalu duduk dan berdiri untuk memperlihatkan kesungguhannya. Ia selalu menyendiri kalau ada yang dipikirkannya dan dalam berbicara ia selalu bersemangat.
Perasaan nasional setahap demi setahap berhasil ditanamkan oleh Teuku Nyak Arif di kalangan pemuda. Perjuangan rakyat Indonesia pada saat itu harus dialihkan ke bidang politik karena rakyat belum dapat mengungguli kemampuan perlengkapan militer Belanda. Rakyat Indonesia terutama pemuda harus mengikuti organisasi politik kebangsaan yang menuju Indonesia Merdeka, atau mencita-citakan kemerdekaan Indonesia.
Panglima Sagi
Kegiatan Teuku Nyak Arif secara formal terpaksa dihentikan, karena ia diangkat menjadi Panglima Sagi 26 Mukim menggantikan ayahnya pada tahun 1920 dengan kedudukan di Lam Nyong. Sebenarnya pengangkatan sebagai Panglima Sagi 26 Mukim dihitung mulai tahun 1911, tetapi karena dia masih di bawah umur dan masih bersekolah, maka ayah kandungnya Teuku Sri Imeum Muda Nyak Banta mewakili Panglima Sagi 26 Mukim dari tahun 1911-1919.
Sebagai seorang pemuda yang telah dewasa, Teuku Nyak Arif mulai memikirkan untuk hidup berumah tangga. Atas kehendak orang tuanya maka Teuku Nyak Arif kemudian nikah dengan putri Teuku Maharaja yang menjadi Zelfbestuurderf/Uleebalang di Lhok Seumawe.
Saat diadakan penjemputan dalam pernikahan tersebut, calon mertua Teuku Nyak Arif menghendaki upacara yang meriah dan mewah, menurut adat istiadat bangsawan Aceh pada waktu itu. Keinginan dan usul calon mertuanya itu ditolak oleh Teuku Nyak Arif. Ia menginginkan diadakan upacara sederhana saja dalam pernikahan itu. Akhirnya calon mertuanya mengalah dan upacara pernikahan dilakukan dengan sederhana. Perkawinan itu tidak berlangsung lama. Mereka akhirnya berpisah secara baik-baik sebelum mendapat anak.
Tidak lama Teuku Nyak Arif menduda. Pada akhir tahun 1927, ia nikah lagi dengan seorang putri Minangkabau kelahiran Meulaboh yang bernama Jauhari, putri seorang Mantri Polisi bernama Yazid, yang waktu itu bertugas di Kutaraja. Jauhari pada waktu itu adalah seorang pelajar MULO, sekolah tertinggi yang ada di Kutaraja. Sebelum nikah, Teuku Nyak Arif tidak pernah mengenal langsung gadis Jauhari, tetapi lama kelamaan keduanya dapat saling mencocokkan diri. Perkawinan antarsuku ini tidak mendapat tantangan dari pihak keluarga Teuku Nyak Arif. Mereka semua menyetujui dan tidak ada yang menghalangi.
Masyarakat Minangkabau yang berada di Aceh juga menyambut gembira adanya perkawinan ini, karena merupakan suatu kehormatan bagi masyarakat Minang mendapat bangsawan Aceh. Tambahan lagi Teuku Nyak Arif seorang yang pandai bergaul, dan fasih mempergunakan bahasa Minang.
Perkawinan Teuku Nyak Arif dengan Cut Nyak Jauhari mendapatkan tiga anak; dua laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah Teuku Ashari, Teuku Syamsul Bahri dan Cut Nyak Arifah Nasri.
Teuku Nyak Arif berusaha mendidik anak-anaknya hidup sederhana, walaupun mereka mempunyai kesanggupan untuk hidup mewah. Teuku Nyak Arif dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarganya sangat disiplin. Anak-anaknya diharuskan makan secara teratur dan berpakaian rapi. Mereka juga diharuskan belajar dengan rajin dan teratur. Pada waktu sore hari diharuskan belajar mengaji Alquran. Menurutnya harus ada keseimbangan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama dalam mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam zaman Hindia Belanda, putra sulung Teuku Nyak Arif mulanya disekolahkan di Europese Lagere School Sigli, tetapi kemudian dipindahkan ke Taman Siswa Kutaraja. Putra kedua disekolahkan di Taman Siswa, dan yang bungsu (putri) disekolahkan di Muhammadiyah Kutaraja.
Pendidikan anak-anak Teuku Nyak Arif berhasil dengan baik. Anak laki-laki yang tertua berhasil mendapat gelar insinyur (Ir) dari THS Delft di Negeri Belanda. Anak yang kedua menjadi Sarjana Hukum (SH), dan anak perempuan satu-satunya nikah dengan Drs. T Umar Ali, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mantan Duta Besar Republik Indonesia di Brazilia, dan mantan Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan.
Teuku Nyak Arif dalam kehidupannya sehari-hari juga tidak membedakan teman dalam pergaulan. Ia yang digolongkan termasuk ke dalam golongan bangsawan (uleebalang) tidak mengurung diri bergaul dengan golongannya saja. Teuku Nyak Arif juga banyak bergaul dengan golongan ulama, terutama Teungku Haji Hasan Krueng Kale dan juga Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Teuku Nyak Arif selalu mempergunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan dengan keluarganya di rumah, walaupun dapat berbahasa Aceh dan Minang. Bahasa asing yang dikuasai Teuku Nyak Arif adalah bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sebagai seorang penganut agama Islam termasuk penganut yang taat, hafal beberapa ayat Alquran di luar kepala.
Hubungan Teuku Nyak Arif dengan pemimpin pergerakan Indonesia pada umumnya akrab. Sebagai seorang teman, M.H. Thamrin pernah berkunjung ke rumah Teuku Nyak Arif saat berada di Aceh. Begitu pun waktu Teuku Nyak Arif ke Jakarta dengan istrinya, pernah menginap di rumah Dr. Sam Ratulangi. Ketika berkunjung ke luar Aceh dengan istrinya, Teuku Nyak Arif tidak membatasi dirinya hanya berkunjung pada keluarga yang berasal dari daerah Aceh saja.
Sebagai seorang pemimpin rakyat, Teuku Nyak Arif lebih mementingkan tugas daripada kepentingan keluarga. Tugas adalah nomor satu, sedangkan keluarga nomor dua. Karena istrinya juga seorang yang berpendidikan, Teuku Nyak Arif kadang-kadang juga membicarakan soal-soal tugas dengan keluarganya. Istrinya juga senang dengan pekerjaan suaminya, dan kadang-kadang membantu kelancaran tugas tersebut.
Pada zaman pendudukan Jepang, Teuku Nyak Arif melarang orang-orang perempuan berhubungan dengan Jepang, baik keluarga maupun rakyat Aceh sendiri. Kepada keluarga dan teman-teman, ia selalu mengatakan agar jangan mematuhi betul peraturan yang dibuat oleh Jepang. Pada saat akhir penjajahan Belanda dan permulaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Teuku Nyak Arif sibuk sekali mengatur taktik perjuangan, sering larut malam baru pulang ke rumah.
Karena terlalu berat melakukan tugas maka kesehatannya makin lama makin mundur, apalagi Teuku Nyak Arif mengidap penyakit gula. Ia sering melakukan tugas keliling daerah Aceh untuk mengobarkan semangat perjuangan. Ketika ada kawannya yang menganjurkan Teuku Nyak Arif supaya pindah saja dari daerah Aceh, dengan tegas ia menolaknya, karena merasa tenaganya masih diperlukan di Aceh, apalagi karena harus menghadapi bermacam-macam tantangan. Ia ingin hidup atau mati, sakit senang di daerahnya. Kalau keluarganya ingin pindah ke daerah Sumatera Barat diizinkan. Tetapi keluarga Teuku Nyak Arif tidak ingin pindah ke daerah asalnya. Mereka lebih senang hidup di samping Teuku Nyak Arif, baik dalam suka maupun duka.
Pada masa-masa permulaan kemerdekaan, Teuku Nyak Arif juga sering mengadakan rapat di rumahnya sendiri dengan tokoh dan pemuka masyarakat Aceh lainnya. Keluarganya diminta oleh Teuku Nyak Arif agar mengerti pentingnya perjuangan kemerdekaan. Mereka harus berkorban untuk kepentingan perjuangan itu, dengan mengorbankan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Keluarganya harus melayani kepentingan perjuangan, dan kalau perlu menjual milik keluarga untuk membiayainya. Pernah Teuku Nyak Arif menyuruh istrinya menjual perhiasan untuk membiayai perjuangan kemerdekaan Indonesia yang telah lama dicita-citakan oleh seluruh rakyat.
Melindungi rakyat
Sejak Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagi (Sagi Hoofd) 26 Mukim, ia berkedudukan di Lam Nyong. Walaupun daerah Aceh telah dikuasai oleh Belanda, tetapi para pemimpin Aceh yang seluruhnya beragama Islam, tidak betul-betul tunduk kepada Belanda. Mereka bertekad bahwa umat Islam boleh mengalah sementara, akan tetapi hanya sementara saja, dan pada waktunya mereka harus melawan kembali. Inilah pesan sakti waktu perang Aceh berakhir.
Teuku Nyak Arif sebagai seorang terpelajar yang telah mendapatkan pendidikan Barat di luar daerahnya sendiri (Bukittinggi dan Serang) menyadari benar akan hal ini. Rakyat Indonesia buat sementara harus menerima bekerja sama dengan Belanda, dan apabila datang saatnya mereka harus melawan.
Dalam memerintah daerahnya, Teuku Nyak Arif selalu bersikap keras dan tegas terhadap pemerintah Hindia Belanda. Ia selalu melindungi rakyatnya dari tindakan sewenang-wenang pemerintah Hindia Belanda. Terhadap rakyatnya sendiri, ia selalu memerintah dengan adil dan bijaksana. Walaupun ia seorang raja, ia selalu bergaul seperti orang biasa dengan rakyat.
Rakyat 26 Mukim sangat menyayanginya, karena ia tidak merugikan atau mengambil harta milik rakyat. Bahkan harta miliknya sering diserahkannya untuk kepentingan rakyat. Syair pujian rakyat 26 Mukim terhadap Teuku Nyak Arif: Tamat sekolah umur 15 tahun, telah pintar memimpin rakyat, negeri teratur, rakyat senang, sayang kepada rakyat, seorang ahli hukum dan ahli pemerintahan. Syair itu diucapkan oleh rakyat dalam bahasa Aceh.
Seluruh kepentingan rakyat Aceh diperjuangkan oleh Teuku Nyak Arif. Terhadap bawahannya, ia tidak pernah menganggap rendah, bawahannya dianggap sebagai teman biasa saja. Walaupun begitu, bawahannya tidak pernah meremehkan Teuku Nyak Arif, mereka tetap menghargai dan bahkan lebih menghormati.
Syair lainnya yang dinyanyikan oleh rakyat demi cintanya kepada Teuku Nyak Arif, sebagai berikut: Teuku Nyak Arif Panglima Sago (Teuku Nyak Arif pemimpin negeri). Geyou geutanyo agama yang trang (Memerintah memeluk agama yang nyata)—W ajib taikot Saidil Amri (Diwajibkan kita mengikut Saidil Amri)—Yang suruh rabbi raja yang senang (Yang disuruh Tuhan raja yang bahagia).
Demikianlah di antara syair pujian terhadap Teuku Nyak Arif yang kebanyakan dihafal oleh rakyat dan dibacakan dalam berbagai kesempatan dan dalam pertemuan-pertemuan resmi. Pada masa itu di daerah Aceh umumnya dan di daerah onderafdeling Kutaraja khususnya banyak berdiam orang-orang dari daerah lain seperti suku Jawa, suku Sunda, suku Batak dan suku Minang. Masing-masing suku ini hidup berdampingan secara damai, berkat bimbingan Teuku Nyak Arif.
Suku Minang termasuk suku yang terbanyak tinggal di Aceh dan kebanyakan dari mereka itu hidup berdagang dan menjadi pegawai negeri. Di samping berdagang, orang-orang Minang ini giat berdakwah, mengembangkan agama Islam.
Hubungan Minangkabau dan Aceh merupakan hubungan tradisional yang telah berlangsung sejak abad ke-16. Bahkan Kerajaan Minangkabau pernah dikuasai oleh Kerajaan Aceh pada abad ke-17 melalui hubungan dagang. Pahlawan Aceh yang terkenal, Teuku Umar yang telah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, keturunannya berasal dari daerah Minangkabau. Teuku Nyak Arif yang telah menjadi pemimpin Aceh juga pernah bersekolah di Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi tahun 1908 sampai 1913.
Akibat perasaan nasional (nasionalisme) yang telah mulai menyala-nyala dalam dada Teuku Nyak Arif, ia sebagai pemimpin tidak membeda-bcdakan suku-suku lain yang berdiam di Aceh. Ia menganggap orang-orang yang berdiam di daerah Aceh adalah orang-orang Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Kebinekaan harus menuju Tunggal Ika (Indonesia yang bersatu). Ini telah merupakan cita-cita Teuku Nyak Arif sejak masa mudanya.
Sebagai aparat pemerintah Hindia Belanda, Teuku Nyak Arif tidak dapat secara terang-terangan memimpin organisasi yang bersifat nasional Indonesia. Sebelum menjabat Panglima Sagi. Teuku Nyak Arif pada tahun 1918 pernah menjadi ketua NIP cabang Kutaraja (Banda Aceh). Kini ia tidak dapat melakukan hal seperti itu, karena terikat dengan jabatannya. Tetapi, Teuku Nyak Arif tetap membantu setiap usaha yang bersifat nasional. Atas bantuan Teuku Nyak Arif, di Aceh juga berdiri Jong Islamieten Bond.
Teuku Nyak Arif yang mempunyai watak keras, selalu bertentangan dengan kontroleur, bahkan dengan residen Belanda sekalipun. Ia lekas naik darah, bila merasa tersinggung oleh siapa pun juga, tetapi kalau persoalannya telah selesai, dendamnya pun hilang.[Sumber: portalsatu.com]
loading...
Post a Comment