Jembatan Enang-enang yang selesai tahun 1911. (sumber : media-kitlv.nl) |
Catatan : Khalisuddin*
Hingga tahun 2014 dataran tinggi Gayo
makin tersohor ke seantero dunia karena citarasa kopi Arabicanya walau
sebenarnya sudah terkenal sejak seratusan tahun silam karena penjajah
Belanda datang ke Gayo juga untuk kopi yang dulunya disebut Urang Gayo
sebagai Kewe alias Qahwa. Bertahun-tahun Belanda melakukan pembukaan
jalan ke Gayo dengan mengorbankan nyawa ribuan rakyat Aceh khususnya
pesisir utara juga warga Gayo di tahun 1902.
Tidak kurang dari 20 tahun, sebatang demi sebatang pohon hutan ditebang dengan tanpa peralatan modern sejenis Chain Shaw.
Setapak demi setapak tebing berbatu dikeruk dan dipahat dengan hanya
mengandalkan cangkul, linggis hingga pahat sampai akhirnya ruas jalan
sejauh 101 kilometer dari Simpang jalan Gayo di kota Bireuen hingga tepi
danau Lut Tawar depan Pendopo Bupati Aceh Tengah terbuka.
Seorang, wartawan kota Bireuen, Bahrul
Walidin dalam tulisannya berjudul “Menyingkap Sejarah Pembangunan Jalan
Menuju Dataran Gayo-Dibangun 1902, Ribuan Nyawa Rakyat Melayang” yang
diterbitkan SumutPos edisi
Bisa dibayangkan bagaimana mengerjakan
itu semua dari kawasan Krueng Simpur, Cot Panglima, Enang-enang, Tenge
Besi hingga berujung di Singah Mata pintu gerbang kota Takengon.
Selanjutnya menurut pemerhati sejarah
Gayo, Zulfikar Ahmad menyebutkan dalam sebuah literatur Belanda ditulis
banyak warga Gayo khususnya dari kampung Nosar Takengon turut menjadi
korban pemaksaan ikut RODI membuka jalan tersebut. Bahkan sempat
menjadi pemicu pemberontakan yang dipimpin Aman Gombang dan Pang Mondol
dari Kampung Nosar.
Saat itu, para pemuda dan masyarakat
kampung yang ditangkap oleh Belanda dari berbagai kawasan di tanoh Gayo,
dipaksa bekerja untuk membangun jalan Bireuen-Takengon sejak tahun
1903-1913. Ada yang berasal dari kampung-kampung sekitar lokasi
pembangunan ada pula yang berasal dari kawasan lain.
Dalam pengerjaannya, bila menjumpai batu
cadas, perataan dilanjutkan dibagian yang tidak terdapat batu cadasnya.
Apabila pembentukan tebing atau perataan jalan sudah sesuai dengan yang
diinginkan, batu-batu cadas yang menonjol dipecahkan menjadi
serpihan-serpihan kecil dan ditabur diatas permukaan jalan.
Puluhan tahun dihabiskan untuk membangun
jalan Bireuen–Takengon ini. Ratusan nyawa dikorbankan, ada yang kembali
ke kampungnya, tidak sedikit yang tidak diketahui kabar beritanya.
Kehilangan orang-orang yang dicintai
akibat dijemput paksa oleh serdadu Belanda, tentu saja meninggalkan luka
mendalam bagi masyarakat. Demikian pula yang dirasakan oleh para
ibu-ibu dikampung Nosar.
Atas pengorbanan ini, selayaknyalah Urang Gayo juga warga pesisir Aceh pemakai jalan Gayo Bireuen-Takengon berterimakasih (berijin-Gayo:red)
dan berdo’a untuk para Syuhada yang telah mengorbankan nyawa atas
kekejaman kerja paksa RODI gagasan Gubernur Militer Belanda, Van Heutsz
itu.
Sungguh layak untuk mengenang peristiwa
memilukan ini dibangun sebuah monumen di lintasan jalan tersebut dengan
lokasi di tapal batas Kabupaten Bener Meriah dan Bireuen. Ditempati itu
juga nantinya dibangun tempat istirahat bagi yang melintas serta museum
mini sehingga para pengguna jalan bisa istirahat sambil melihat-lihat
isi museum tentang sejarah pembangunan jalan tersebut.
Betapa tidak, karya ribuan
rakyat pesisir utara Aceh, khususnya masyarakat Peusangan dan warga Gayo
itu baru bisa mulai diperbaharui beberapa tahun belakangan ini yang
hingga pertengahan tahun 2014 belum tuntas walau dengan dana memadai
dengan peralatan yang termoderen.
Gagasan memperbaharuinya juga setelah
ribuan warga dataran tinggi Gayo dan pengguna jalan lainnya menjerit
atas kondisi jalan yang terasa kian sempit serta kondisi rusak yang
kerap mengundang terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Penyair gaek LK. Ara, Sabtu 25 Februari
2012 lalu sempat nyatakan kekecewaannya atas lambatnya proses
peningkatan bagian badan jalan Gayo di Cot Panglima. Tubuh rentanya
kelelahan setelah melintasi jalan tersebut ditengah derasnya hujan.
“Batu yang dungu, itu judulnya”, kata
LK. Ara sambil merebahkan tubuh, mata terpejam namun untaian puisi
kegeramanpun mengalir dari mulutnya. Merasa terhormat berkesempatan
diminta menuliskan apa yang dia ucapkan.
Hujan sore itu
Seperti rindu membasahi tebing-tebing Cot Panglima
Keruh air matanya melingkar-lingkar digundukan tersendat
dan bongkahan tebing yang dikikis alat berat
Sebenarnya ia sudah rindu menjadi lalu lintas menuju negeri kahyangan
tapi selalu saja orang tak mempedulikan
kalau kini air matanya keruh karena sudah terlalu lama berteduh
dibalik batu yang dungu
Ya, jalan ini adalah urat nadi segala
urusan selama lebih dari seratus tahun secara turun temurun. Bagi Urang
Gayo, akses mengenal dunia luar tentu tak lepas dari adanya jalan ini.
Bukan saja bagi warga Gayo namun juga ribuan warga pesisir Aceh dalam
aktivitas perdagangan. Jalan ini pula yang menjadi sarana penjalin
kekerabatan seiman dan sekeyakinan pegunungan dan pesisir.
Namanya Jalan Gayo, begitu warga pesisir menyebut jalan yang bagi warga Gayo terbiasa dengan sebutan jalan Takengon-Bireuen.
Sumber: LintasGAYO
loading...
Post a Comment