AMP - Banyak figur yang telah menunjukkan hasrat untuk ikut kontestasi dalam pemilihan Gubernur Aceh pada Pilkada 2017 mendatang. Tapi, nama dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto, selalu menarik perhatian. Gerak-geriknya kerap dikritisi, terutama berkaitan dengan status gubernur aktif yang masih melekat pada dirinya.
Namun, tekat bulat Zaini Abdullah untuk mempertahankan kekuasaannya, patut beri diapresiasi. Apalagi, didasari oleh dorongan sebagian masyarakat—dan tak lepas dari keinginan orang-orang dalam lingkaran kekuasaannya—yang katanya berharap pria 76 tahun itu bisa merealisasikan program pembangunan berkelanjutan.
Abu Doto barangkali menyimpulkan, satu periode kekuasaan tak cukup untuk menuntaskan visi misi kepala daerah, yang sesungguhnya memang dirancang untuk lima tahun anggaran. Dari sini sebetulnya publik sudah bisa menimbang-nimbang motivasi seorang bakal kandidat mencalonkan diri. Apakah dia memang tampil lantaran panggilan hati nuraninya untuk melayani rakyat atau karena memang ingin mempertahankan nikmat kekuasaan?
Tapi, kecenderungan–merujuk pada beberapa penelitian di Indonesia–perilaku pemilih masih relatif “bermahzab” transaksional material. Para pemilih tidak lagi secara suka rela mendukung partai atau kandidat. Mereka akan mendukung asalkan ada imbalan terhadap dukungan yang diberikan. Jadilah pilkada sebagai momentum transaksi dengan perputaran uang dalam jumlah sangat banyak.
Keseragaman perilaku pemilih itu jelas menyemburkan harapan bagi bakal peserta pilkada. Terutama mereka yang memiliki modalitas politik, khususnya petahana (sedang menjabat).
Sebagai incumbent, Abu Doto jelas menjadi perhitungan. Modal itu sangat berharga. Dia bisa menghadiri acara atau menciptakan acara agar bisa selalu bertemu dengan warga. Abu Doto juga sudah dikenal luas masyarakat Aceh jauh sebelum dia menjabat sebagai gubernur negeri bersyariat Islam ini.
Sebagai politisi, dia diketahui memiliki basis pendukung yang terkonsentrasi di kawasan Kabupaten Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya. Tapi, beberapa variabel itu jelas tak menjamin seorang incumbent bisa mempertahankan kekuasaan.
Militansi kader dan kapasistas organisasi partai politik (semua yang tak dimiliki dr. Zaini Abdulah) tetap menjadi kunci utama kemenangan dalam pemilihan umum, di samping faktor kualitas calon yang juga sangat menentukan.
Publik sadar, kemajuan daerah membutuhkan kepala daerah yang kuat dan berkualitas serta mempunyai kemampuan, energik, inovatif maupun kreatif. Beberapa penantang Abu Doto memiliki hampir semua sumber daya ini.
Tak salah jika dia akan menjalani proses kompetisi yang berat di saat usianya yang sudah sepuh dan senja. Pertarungan wacana, ideologi, opini publik, strategi media dan kampanye, serta citra diri kandidat jauh menempatkan para penantang berada di atas dr. Zaini Abdullah. Setidaknya sejumlah survei baru-baru ini telah menunjukkan itu.
Soal basis suara, misal, Abu Doto juga masih harus berbagi dengan bakal kandidat lainnya seperti Zakaria Saman (Apa Karia) yang juga maju melalui jalur perseorangan (independen). Termasuk Teuku Muhammad Nurlif, Ketua DPD I Partai Golkar Aceh. Ketiganya berasal dari satu trah: Pidie. Selain itu, upayanya untuk meraup dukungan dari berbagai kabupaten/kota juga dikabarkan minim responden, meski setiap kunjungannya ke daerah Abu Doto kerap dihadiahi ribuan salinan (fotokopi) kartu tanda penduduk (KTP)—terlepas sahih tidaknya dukungan itu.
Tensi aparatur di internal Pemerintah Aceh juga makin panas-dingin. Sayed Mustafa Usab, Ketua Tim Sukses dr. Zaini Abdullah menyadari benar bahwa sebagian besar pegawai negeri sipil (PNS) hanya bermanis muka, dan cenderung diam-diam memihak pada bakal kandidat yang punya modalitas dan tingkat elektibilitas yang besar. Ini, boleh jadi, semakin menyulitkan Zaini Abdullah untuk mempertahankan kekuasaannya.
Itulah sebabnya, keikutsertaan Abu Doto Zaini sebagai bakal calon–yang mungkin dalam waktu dekat akan menjadi calon gubernur–harus disikapi dengan objektif. Apalagi, sas-sus berkembang bahwa keinginan itu datang bukan murni dari lubuk hati seorang Zaini Abdullah, tapi dari bisikan dan dorongan orang-orang yang belum rela melepaskan nikmatnya kekuasaan.
Indikasi ini memang cukup terlihat. Jauh-jauh hari, publik sering mendengar jika “kontrak” dr. Zaini Abdullah sebagai gubernur hanya untuk satu periode, dan salah satu yang menjadi alasannya adalah faktor usia. Bagaimana kisah berikutnya? Wartawan MODUS ACEH, Dadang Heryanto, menulis untuk Laporan Utama pekan ini.**
Namun, tekat bulat Zaini Abdullah untuk mempertahankan kekuasaannya, patut beri diapresiasi. Apalagi, didasari oleh dorongan sebagian masyarakat—dan tak lepas dari keinginan orang-orang dalam lingkaran kekuasaannya—yang katanya berharap pria 76 tahun itu bisa merealisasikan program pembangunan berkelanjutan.
Abu Doto barangkali menyimpulkan, satu periode kekuasaan tak cukup untuk menuntaskan visi misi kepala daerah, yang sesungguhnya memang dirancang untuk lima tahun anggaran. Dari sini sebetulnya publik sudah bisa menimbang-nimbang motivasi seorang bakal kandidat mencalonkan diri. Apakah dia memang tampil lantaran panggilan hati nuraninya untuk melayani rakyat atau karena memang ingin mempertahankan nikmat kekuasaan?
Tapi, kecenderungan–merujuk pada beberapa penelitian di Indonesia–perilaku pemilih masih relatif “bermahzab” transaksional material. Para pemilih tidak lagi secara suka rela mendukung partai atau kandidat. Mereka akan mendukung asalkan ada imbalan terhadap dukungan yang diberikan. Jadilah pilkada sebagai momentum transaksi dengan perputaran uang dalam jumlah sangat banyak.
Keseragaman perilaku pemilih itu jelas menyemburkan harapan bagi bakal peserta pilkada. Terutama mereka yang memiliki modalitas politik, khususnya petahana (sedang menjabat).
Sebagai incumbent, Abu Doto jelas menjadi perhitungan. Modal itu sangat berharga. Dia bisa menghadiri acara atau menciptakan acara agar bisa selalu bertemu dengan warga. Abu Doto juga sudah dikenal luas masyarakat Aceh jauh sebelum dia menjabat sebagai gubernur negeri bersyariat Islam ini.
Sebagai politisi, dia diketahui memiliki basis pendukung yang terkonsentrasi di kawasan Kabupaten Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya. Tapi, beberapa variabel itu jelas tak menjamin seorang incumbent bisa mempertahankan kekuasaan.
Militansi kader dan kapasistas organisasi partai politik (semua yang tak dimiliki dr. Zaini Abdulah) tetap menjadi kunci utama kemenangan dalam pemilihan umum, di samping faktor kualitas calon yang juga sangat menentukan.
Publik sadar, kemajuan daerah membutuhkan kepala daerah yang kuat dan berkualitas serta mempunyai kemampuan, energik, inovatif maupun kreatif. Beberapa penantang Abu Doto memiliki hampir semua sumber daya ini.
Tak salah jika dia akan menjalani proses kompetisi yang berat di saat usianya yang sudah sepuh dan senja. Pertarungan wacana, ideologi, opini publik, strategi media dan kampanye, serta citra diri kandidat jauh menempatkan para penantang berada di atas dr. Zaini Abdullah. Setidaknya sejumlah survei baru-baru ini telah menunjukkan itu.
Soal basis suara, misal, Abu Doto juga masih harus berbagi dengan bakal kandidat lainnya seperti Zakaria Saman (Apa Karia) yang juga maju melalui jalur perseorangan (independen). Termasuk Teuku Muhammad Nurlif, Ketua DPD I Partai Golkar Aceh. Ketiganya berasal dari satu trah: Pidie. Selain itu, upayanya untuk meraup dukungan dari berbagai kabupaten/kota juga dikabarkan minim responden, meski setiap kunjungannya ke daerah Abu Doto kerap dihadiahi ribuan salinan (fotokopi) kartu tanda penduduk (KTP)—terlepas sahih tidaknya dukungan itu.
Tensi aparatur di internal Pemerintah Aceh juga makin panas-dingin. Sayed Mustafa Usab, Ketua Tim Sukses dr. Zaini Abdullah menyadari benar bahwa sebagian besar pegawai negeri sipil (PNS) hanya bermanis muka, dan cenderung diam-diam memihak pada bakal kandidat yang punya modalitas dan tingkat elektibilitas yang besar. Ini, boleh jadi, semakin menyulitkan Zaini Abdullah untuk mempertahankan kekuasaannya.
Itulah sebabnya, keikutsertaan Abu Doto Zaini sebagai bakal calon–yang mungkin dalam waktu dekat akan menjadi calon gubernur–harus disikapi dengan objektif. Apalagi, sas-sus berkembang bahwa keinginan itu datang bukan murni dari lubuk hati seorang Zaini Abdullah, tapi dari bisikan dan dorongan orang-orang yang belum rela melepaskan nikmatnya kekuasaan.
Indikasi ini memang cukup terlihat. Jauh-jauh hari, publik sering mendengar jika “kontrak” dr. Zaini Abdullah sebagai gubernur hanya untuk satu periode, dan salah satu yang menjadi alasannya adalah faktor usia. Bagaimana kisah berikutnya? Wartawan MODUS ACEH, Dadang Heryanto, menulis untuk Laporan Utama pekan ini.**
Baca ulasan Selanjutnya di ModusAceh.com
loading...
Post a Comment