Bayu Oktaviyanto sujud di depan rumah orangtuanya di Dukuh Miliran, Desa Medak, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, Selasa (3/5/2016). (Metrotvnews.com/Pythag Kurniati) |
AMP - Bayu Oktaviyanto, 22, tidak menyangka peristiwa dini hari itu akan menorehkan kisah luar biasa dalam hidupnya. Tidur di hutan beralaskan daun pisang, sementara siang berjalan dengan mata tertawan.
Jumat 25 Maret 2016. Jarum jam menunjukkan pukul 03.30 ketika beberapa orang mendekati KM Brahma 12. Di sekitar perairan Filipina, orang-orang tak dikenal itu meminta air minum. “Mereka seperti menggunakan seragam tentara," pria kelahiran 16 Oktober 1993 itu, mengisahkan saat ditemui di rumahnya, Selasa (3/5/2016).
Ketika meminta air minum, kawanan "tentara" itu tidak membawa senjata. Dalam ingatan Bayu, mereka berjumlah tujuh hingga belasan orang.
Merupakan kelaziman tolong menolong bagi sesama pelaut. Prinsip itu yang juga dilakoni Anak buah kapal (ABK) KM Brahma 12. Namun, uluran segalon air itu justru merupakan awal petaka.
Setelah menurunkan galon, kawanan kembali naik ke KM Brahma. Kali ini membawa senjata. “Peristiwa begitu cepat. Dalam hitungan menit kami langsung dalam keadaan terikat dan dibawa entah ke mana,” imbuh Bayu. Seluruh barang-barang bawaan dirampas.
Bayu bersama sembilan ABK lainnya digiring ke sebuah tempat. Kelak, dia tahu bahwa kelompok Abu Sayyaf yang memperlakukan mereka demikian.
Kehidupan Bayu berputar 360 derajat semenjak peristiwa itu. Setiap hari mereka tidur beralaskan dedaunan, beratapkan langit. Bayu mengaku sering berpindah tempat. “Sehari minimal satu kali perpindahan. Berjalan tiga hingga lima jam kemudian istirahat," katanya.
Mereka melangkah beriringan dengan kawalan. Bayu memastikan, tak ada sandera yang tahu arah jalan. "Kalau siang dalam keadaan mata tertutup dan jika malam mata kami diizinkan melihat,” terangnya.
Dalam satu hari, Bayu diberi makan satu hingga dua kali. Menunya, nasi yang dibungkus daun pisang dan ikan. “Kalau mereka makan kami juga makan, kalau mereka tak makan, kami juga tidak,” imbuhnya.
Minum dan mandi, para sandera mengandalkan air hujan. Kelompok Abu Sayaf, papar Bayu, tidak menyakiti para sandera.
“Kami diajak salat setiap waktunya,” tutur Bayu.
Bahkan, Kelompok Abu Sayyaf sempat ingin mengajari para tawanan cara memegang senjata. Mereka juga menunjukkan video-video pemenggalan kepala para sandera sebelumnya. Percakapan itu berlangsung melalui bahasa isyarat. Juga soal informasi uang tebusan yang diminta para penyandera.
Cerita keluarga
“Takut. Tapi kami pasrah," kata Bayu.
Hari-hari Bayu dijalani dengan mencekam. Rasa takut yang kerap melanda coba ditepis dengan kenangan manis keluarga di rumah.
“Setiap malam, kami tiduran menghitung bintang. Sambil menceritakan keluarga masing-masing. Itu yang membuat kami kuat,” jelas putra sulung empat bersaudara dari pasangan Sutomo dan Rahayu itu.
Setelah kurang lebih lima pekan, beberapa orang kelompok menggiring mereka ke sebuah truk. Mereka diangkut menuju sebuah bangunan. Hanya sampai di jalan, penyandera menunjuk sebuah rumah. Orang-orang itu lalu balik arah, menghilang.
“Ternyata itu rumah Gubernur Sulu, Abdulsakur Tan II. Kami masuk dan disambut hangat, dikasih makan dan baju,” kata Bayu yang sudah tiga tahun jadi ABK.
Selanjutnya, kesepuluh ABK diterbangkan ke Zamboanga dengan dua helikopter. Pada 1 Mei 2015, dengan pesawat khusus tim kemanusiaan Surya Paloh di bawah pimpinan Victor Laiskodat, mereka diterbangkan ke Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Tiba di Jakarta, Bayu bertemu ayahnya, Sutomo, untuk kemudian pulang ke Dukuh Miliran, Desa Medak, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Keluarga mengaku Bayu terlihat lebih kurus.
“Hitam, rambutnya gondrong dan berkumis,” ungkap Santi Puspita Sari, tunangan Bayu.
Meski telah mengalami liku-liku saat penyanderaan, Bayu mengaku tidak jera untuk melaut. “Saya akan tetap bekerja sebagai ABK. Keluarga juga mendukung karena itu sudah keputusan saya,” tutup Bayu seusai menceburkan diri ke Kali Pusur dan tasyakuran di rumah orangtuanya.[metrotv]
Jumat 25 Maret 2016. Jarum jam menunjukkan pukul 03.30 ketika beberapa orang mendekati KM Brahma 12. Di sekitar perairan Filipina, orang-orang tak dikenal itu meminta air minum. “Mereka seperti menggunakan seragam tentara," pria kelahiran 16 Oktober 1993 itu, mengisahkan saat ditemui di rumahnya, Selasa (3/5/2016).
Ketika meminta air minum, kawanan "tentara" itu tidak membawa senjata. Dalam ingatan Bayu, mereka berjumlah tujuh hingga belasan orang.
Merupakan kelaziman tolong menolong bagi sesama pelaut. Prinsip itu yang juga dilakoni Anak buah kapal (ABK) KM Brahma 12. Namun, uluran segalon air itu justru merupakan awal petaka.
Setelah menurunkan galon, kawanan kembali naik ke KM Brahma. Kali ini membawa senjata. “Peristiwa begitu cepat. Dalam hitungan menit kami langsung dalam keadaan terikat dan dibawa entah ke mana,” imbuh Bayu. Seluruh barang-barang bawaan dirampas.
Bayu bersama sembilan ABK lainnya digiring ke sebuah tempat. Kelak, dia tahu bahwa kelompok Abu Sayyaf yang memperlakukan mereka demikian.
Kehidupan Bayu berputar 360 derajat semenjak peristiwa itu. Setiap hari mereka tidur beralaskan dedaunan, beratapkan langit. Bayu mengaku sering berpindah tempat. “Sehari minimal satu kali perpindahan. Berjalan tiga hingga lima jam kemudian istirahat," katanya.
Mereka melangkah beriringan dengan kawalan. Bayu memastikan, tak ada sandera yang tahu arah jalan. "Kalau siang dalam keadaan mata tertutup dan jika malam mata kami diizinkan melihat,” terangnya.
Dalam satu hari, Bayu diberi makan satu hingga dua kali. Menunya, nasi yang dibungkus daun pisang dan ikan. “Kalau mereka makan kami juga makan, kalau mereka tak makan, kami juga tidak,” imbuhnya.
Minum dan mandi, para sandera mengandalkan air hujan. Kelompok Abu Sayaf, papar Bayu, tidak menyakiti para sandera.
“Kami diajak salat setiap waktunya,” tutur Bayu.
Bahkan, Kelompok Abu Sayyaf sempat ingin mengajari para tawanan cara memegang senjata. Mereka juga menunjukkan video-video pemenggalan kepala para sandera sebelumnya. Percakapan itu berlangsung melalui bahasa isyarat. Juga soal informasi uang tebusan yang diminta para penyandera.
Cerita keluarga
“Takut. Tapi kami pasrah," kata Bayu.
Hari-hari Bayu dijalani dengan mencekam. Rasa takut yang kerap melanda coba ditepis dengan kenangan manis keluarga di rumah.
“Setiap malam, kami tiduran menghitung bintang. Sambil menceritakan keluarga masing-masing. Itu yang membuat kami kuat,” jelas putra sulung empat bersaudara dari pasangan Sutomo dan Rahayu itu.
Setelah kurang lebih lima pekan, beberapa orang kelompok menggiring mereka ke sebuah truk. Mereka diangkut menuju sebuah bangunan. Hanya sampai di jalan, penyandera menunjuk sebuah rumah. Orang-orang itu lalu balik arah, menghilang.
“Ternyata itu rumah Gubernur Sulu, Abdulsakur Tan II. Kami masuk dan disambut hangat, dikasih makan dan baju,” kata Bayu yang sudah tiga tahun jadi ABK.
Selanjutnya, kesepuluh ABK diterbangkan ke Zamboanga dengan dua helikopter. Pada 1 Mei 2015, dengan pesawat khusus tim kemanusiaan Surya Paloh di bawah pimpinan Victor Laiskodat, mereka diterbangkan ke Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Tiba di Jakarta, Bayu bertemu ayahnya, Sutomo, untuk kemudian pulang ke Dukuh Miliran, Desa Medak, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Keluarga mengaku Bayu terlihat lebih kurus.
“Hitam, rambutnya gondrong dan berkumis,” ungkap Santi Puspita Sari, tunangan Bayu.
Meski telah mengalami liku-liku saat penyanderaan, Bayu mengaku tidak jera untuk melaut. “Saya akan tetap bekerja sebagai ABK. Keluarga juga mendukung karena itu sudah keputusan saya,” tutup Bayu seusai menceburkan diri ke Kali Pusur dan tasyakuran di rumah orangtuanya.[metrotv]
loading...
Post a Comment