Padahal Ratu Inggris, Elizabeth II baru-baru ini menganugerahkan gelar kebangsawanan kepada Presiden Susilo Yudhoyono. Juga Indonesia masih lah dianggap bisa berbicara di gelanggang bulu tangkis internasional, olahraga terkenal dan berasal dari Inggris.
Warga dunia –terutama awam– lebih mengenal nama Bali ketimbang nama Indonesia; sulit mereka bayangkan bahwa Bali adalah bagian dari Indonesia yang sangat besar dan luas ini.
Thayeb mengatakan itu pada pertemuan bulanan dan sekaligus rapat tahunan Perhimpunan Indonesia-Inggeris (The Anglo-Indonesian Society) yang dihadiri lebih dari 100 anggota berlangsung di gedung KBRI di London, Selasa malam.
Dia berharap seluruh anggota PII yang diketuai mantan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Charles Humfrey, bisa membantu memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Inggris.
Laiknya seorang duta besar, Thayeb berbicara dari sisi hubungan diplomasi formal antara kedua negara. Berbagai kesepakatan telah dihasilkan Indonesia dan Inggris, baik saat Perdana Menteri Inggris, David Cameron ke Indonesia, ataupun Yudhoyono ke Inggris.
Saat Yudhoyono ke London pada 30 Oktober-3 November lalu itu, tercapai sejumlah kesepakatan, di antaranya di bidang pendidikan, pertahanan, ekonomi kreatif dan energi serta perubahan iklim.
“Peran serta friend of Indonesia laiknya Anglo Indonesian Society sangat diperlukan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang dicapai,” katanya.
Berbagai upaya diplomasi antar petugas pemerintahan tidak akan berarti apapun jika tidak dirasakan langsung oleh masyarakat bangsanya masing-masing.
Humfrey secara terpisah, mengatakan, perhimpunan ini terdiri didirikan pada 1956, dan hingga saat ini memiliki sekitar 300 anggota, umumnya adalah orang Inggris, baik mantan diplomat dan orang yang pernah bertugas di Indonesia, maupun pelajar, akademik dan turis yang saling berminat terhadap Indonesia.
Perhimpunan Indonesia-Inggris, sekitar sepertiga di antaranya adalah orang Indonesia dan diplomat Indonesia, merupakan suatu forum budaya, sosial dan non-politik yang pertemuan diadakan delapan kali pertahun di KBRI London, dengan disertai ceramah.
Dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, sebelum Iskandar Muda berkuasa, telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh). Sultan Aceh Darussalam menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan.
Berikut ini cuplikan surat Sultan Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.
Kesultanan Aceh Darussalam adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan Belanda yang saat itu dijajah oleh Spanyol, setelahnya baru negara-negara lain di Eropa mengakuinya. Alangkah tidak beradab, Belanda membalasnya dengan menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873.(peradabandunia.com)
loading...
Post a Comment