"Saya dua kali dibawa ke Rumoh Geudong. (Sekali) ditahan selama 4 bulan oleh tentara Kopassus, saya dipukul dan ditendang, dikontak dengan listrik dan disuntik air raksa dalam badan. Saat itu kondisi saya ditelanjangkan. Saya diambil karena anak saya dituduh GAM"
AMP - Demikian pengakuan salah seorang wanita berusia enam puluh tahunan yang pernah ditahan di Rumah Geudong ( Amnesty International Agustus 2013)
Satu dekade lebih berlalu sejak perjanjian damai disepakati, namun jejak-jejak kelam itu masih membekas di setapak ingatan dan hati masyarakat Aceh, terutama bagi mereka yang mengalami secara langsung tindak kejahatan kemanusiaan tersebut.
“Hadiah-hadiah istimewa” berupa trauma psikis, gangguan seksual, hingga cacat fisik sudah terlanjur memborgol otak mereka, sehingga nyaris tidak mungkin dienyahkan dari alam pikiran. Barangkali hanya maut yang mampu menguburkan ingatan tentangnya.
Saat itu, tiga puluh tahun lamanya masyarakat dipasung oleh serangkaian pelanggaran HAM yang (diduga) dilakukan oleh aparat hukum yang semestinya melindungi mereka. Pasukan keamanan dan tenaga pembantu mereka entah ribuan kali melakukan penangkapan dan penahanan paksa, penghilangan, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap warga Aceh yang sebagian besar merupakan masyarakat sipil biasa.
Maka, maklum saja apabila hari ini para penyintas menderita “sakit tuli” berkepanjangan, sebab dahulu dentuman senjata menyumpal gendang telinga mereka saban hari. Potongan tubuh manusia menjejali sepasang mata, dan bau busuknya mencekoki lubang hidung.
Naasnya, kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut kebanyakan berlangsung tanpa payungan hukum. Pemerintah seperti setengah hati membongkar catatan kelam kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus ini, apalagi sampai memberikan hukuman yang setimpal kepada mereka. Lebih dari itu, tuntutan pertanggungjawaban secara ekonomi, sosial dan politik juga belum terpenuhi seluruhnya. Sebagian bahkan tak menemui kepastian.
Keadilan yang selama ini diidam-idamkan menyisakan puing-puing angan belaka. Pemerintah seperti lupa (atau sengaja melupakan) konflik Aceh sebagai bentuk protes warga atas ketidakadilan yang menimpa kehidupan mereka. Kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang semestinya dikelola pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat justru dikeruk dan dinikmati oleh segelintir elit penguasa dan pihak asing.
Sementara itu, masyarakat Aceh hanya menjadi penonton bayaran yang menikmati beberapa perak saja darinya. Ia serupa anak kandung yang dianaktirikan oleh keluarganya sendiri, sedangkan anak tetangga yang notabene orang lain justru diperlakukan selayaknya anak kandung.
Padahal pengorbanan Aceh sudah sedemikian besar untuk kemerdekaan Indonesia, tetapi pemerintah seolah tutup mata terhadap perjuangan penuh darah tersebut. Memaksa mereka untuk membanding-bandingkannya dengan era kejayaan Kesultanan Aceh yang kala itu mampu memberikan kesejahteraan bagi mereka.
Ketidakadilan inilah yang kemudian memicu gagasan Aceh Merdeka oleh Muhammad Hasan di Tiro, yang kemudian mendeklarasikannya di Gunung Halimun, Pidie pada 04 Desember 1976.
Pada mulanya, GAM baru beranggotakan 200 orang saja, namun Presiden Soeharto terlalu cepat mengendus angin tak biasa tersebut dan terburu-buru memberangusnya. Maka dalam kurun waktu yang tak terlalu lama, Pemerintah Indonesia berhasil membunuh tiga elite GAM, tiga orang dikembalikan ke masyarakat, dua orang dipenjara, dan dua lainnya melarikan diri ke Swedia untuk meminta suaka politik, yaitu Hasan di Tiro dan Zaini Abdullah.
Meski sempat meredam konflik, namun perekonomian Aceh yang tak kunjung membaik memaksa Hasan di Tiro kembali menunjukkan taringnya. Jika sebelumnya ia menyerang pemerintahan Indonesia melalui pemikiran dan tulisan-tulisannya, ia lantas mengubah strategi perlawanannya melalui jalur militer. Saat itu, secara diam-diam, ia mengirimkan banyak pemuda ke Libya untuk berlatih militer. Hal tersebut dilakukan secara bertahap hingga suatu ketika ia mengumumkan bahwa anggota GAM sudah mencapai 2000 orang.
Pemerintah pun menanggapi sinis protes keadilan ini dan melabelinya dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Lebih agresif lagi, Soeharto yang kala itu menjabat presiden RI mulai memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dengan sandi Operasi Jaring Merah.
Namun, alih-alih mendapat jaminan keamanan, masyarakat Aceh justru semakin terancam oleh pertikaian “ibu” dan “anak” ini. Dalam kurun waktu 1989-1998 tercatat sebanyak 8.344 masyarakat sipil tewas, 4.670 anak-anak menjadi yatim, 1.465 wanita menjadi janda, 875 orang dinyatakan hilang, 298 orang cacat, 809 rumah dibakar, dan beberapa kasus pemerkosaan. Kedok pelanggaran HAM tersebut terendus setelah kuburan-kuburan massal ditemukan paska lengsernya pemerintahan Soeharto. Sebuah fakta yang kian mengobarkan api kemarahan di hati masyarakat Aceh.
Para pemuda yang pernah mengikuti latihan militer di Libya pulang ke kampung halaman untuk merekrut pemuda-pemuda lainnya demi melebarkan sayap militer GAM. Para mahasiswa membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) guna menuntut referendum di Aceh dengan dua opsi, bergabung atau merdeka dari Indonesia.
GAM pun kian menunjukkan taringnya dengan menguasai sebagian besar kampung di Aceh. Dukungan masyarakat juga semakin deras mengalir dalam tubuh GAM, terbukti dengan keberhasilannya mengumpulkan dua juta rakyat Aceh dalam rapat akbar yang diselenggarakan di Masjid Raya Baiturrahman.
Namun rasa percaya diri yang berlebihan justru membuat GAM melambung dan tak terkendali. Mereka mengancam siapa pun yang dianggap tak mendukung kemerdekaan, termasuk membunuh keluarga TNI dan polisi serta warga yang dicurigai sebagai informan TNI. Mereka juga melakukan pengusiran dan kekerasan terhadap orang Jawa, pemerasan terhadap orang non-Aceh yang kaya, dan perusakan terhadap properti negara serta rumah-rumah karyawan pemerintah.
Pemerintah pun tak kalah garang. Dalam waktu bersamaan, aparat keamanan dikirim untuk menodongkan senjata ke “hidung” GAM. Konflik pun semakin memanas dan kasus pelanggaran HAM kian menjadi-jadi. Korban bergelimpangan bak meteor. Sebagian mati, sebagian lainnya kehilangan anggota tubuh. Yang masih memiliki nafas bergegas kabur ke luar Aceh demi menghindari maut.
Sebagian dipaksa merobohkan rumah dan meninggalkan kampung. Namun sebagian lagi memilih berdiam diri lantaran tak memiliki daya. Hingga TNI membakar rumah mereka agar tak menjadi “sarang” GAM. Aktivis HAM pun kian menjerit, menentang kekejaman pemerintah dengan menggelar beragam aksi demonstrasi, mogok massal, dan pemboikotan pemilu.
Pemerintah pun mengupayakan negosiasi melalui kesepakatan “Jeda Kemanusiaan”. Namun kesepakatan gagal lantaran aparat keamanan dan GAM masih terlibat baku senjata. Maka pada Juli 2001, Gus Dur memberlakukan operasi militer dengan sandi “Operasi Pemulihan Keamanan dan Penegakan Hukum” yang melibatkan seluruh tingkat satuan kepolisian dan organik militer Aceh.
Sasaran utama dalam operasi ini adalah para pendukung GAM. Namun kesukaran dalam mengidentifikasi anggota GAM dan warga sipil membuat warga tak berdosa kerapkali menjadi korban. Data dari Human Rights Watch menyebutkan selama kurun waktu 1 Mei hingga 5 Juni 2001 sebanyak 144 orang dinyatakan tewas, 102 di antaranya merupakan warga sipil biasa. Maka dapat dibayangkan berapa banyak jiwa tak berdosa yang terbunuh setelah operasi berlangsung di bulan Juli.
Operasi ini masih terus berlanjut hingga Presiden Megawati memberlakukan Darurat Militer pada 19 Mei 2003. Dengan jumlah pasukan mencapai 30.000 serdadu dan 12.000 polisi, TNI masih belum mampu melumpuhkan GAM. Namun korban jiwa kian bergelimpangan hingga tercatat sebanyak 2000 orang tewas dalam pertempuran selama Mei 2003-2004.
Meski TNI mengklaim bahwa semua korban meninggal adalah gerilyawan GAM, namun beberapa LSM dan Komnas HAM justru membantah klaim tersebut dan menyatakan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil biasa.
Walau akhirnya status Darurat Militer diturunkan menjadi Darurat Sipil, namun pelanggaran HAM masih terus berlanjut. Hingga pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,2 skala richter disertai tsunami meluluhlantakkan tanah rencong dengan jumlah korban mencapai 200.000 jiwa. Jumlah yang berkali lipat dibandingkan jumlah korban perang selama tiga dasawarsa sebelumnya. Musibah yang sekaligus meluluhkan keegoisan di antara pihak-pihak yang berkonflik hingga perjanjian damai pun disepakati.
Kini, meskipun dentuman senjata nyaris tidak terdengar lagi, namun kebenaran, keadilan, reparasi dan kesejahteraan yang diidam-idamkan masih menggantung di lemari impian belaka. Upaya pihak berwenang dan Komnas HAM untuk mengidentifikasi pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik berlangsung belum menyediakan rekaman yang komprehensif. Pun semua laporan akhir investigasi belum dipublikasikan secara resmi kepada masyarakat.
Hal ini membuat korban atau keluarga korban kesulitan menuntut keadilan lantaran kelemahan dalam kerangka hukum. Selain itu, upaya reparasi terhadap korban dan keluarga korban juga belum dilakukan secara komprehensif. Program bantuan keuangan dan materi lainnya melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA) juga belum memasukkan korban penyintas kekerasan seksual, sehingga banyak perempuan tidak mendapatkan bantuan medis dan keuangan yang dibutuhkan.
Lebih dari itu, perekonomian Aceh juga tak kunjung membaik meski sejak 2008 Aceh menerima kucuran dana otonomi khusus sebesar Rp42,2 triliun dari pemerintah pusat. Lantas ke manakah uang itu mengalir?
Tanpa perlu memfitnah, fakta menyebutkan bahwa Aceh menjadi provinsi terkorup kedua setelah Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan adanya “cacat” dalam ideologi GAM. Mengapa? Sebab bangku kekuasaan Aceh telah lama diduduki oleh para mantan elite GAM.
Lantas mengapa keadilan dan kesejahteraan masyarakat belum tercapai?
Inilah yang perlu kita renungi bersama-sama, bahwa pelanggaran HAM di Aceh adalah permasalahan yang bersifat multidimensi. Maka untuk mengatasinya diperlukan pendekatan yang bersifat komprehensif.
Pemerintah dan GAM harus mengakui adanya pelanggaran HAM saat konflik berlangsung, memastikan semua kebenarannya melalui investigasi/penyelidikan, mempublikasikan hasil temuannya, memprosesnya secara hukum melalui pengadilan, lantas melakukan reparasi secara menyeluruh kepada korban.
Pemerintah juga harus membentuk komisi kebenaran yang netral sehingga menjamin korban, keluarga, dan orang-orang yang menjadi saksi dalam konflik memberikan keterangan secara penuh dan jujur tanpa disudutkan oleh pihak mana pun.
Dari segi ekonomi, pemerintah pusat dan pihak-pihak yang berwenang juga harus melakukan pembersihan terhadap pemerintahan Aceh agar terbebas dari korupsi. Juga memastikan agar tidak terjadi lagi baku senjata antara TNI dan GAM. Sebab tanpa jaminan keamanan dan stabilitas politik, nyaris tidak mungkin mengundang investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Rencong. Padahal investor-investor inilah yang memungkinkan percepatan pertumbuhan ekonomi di Aceh.
Apabila semua telah dilakukan dengan baik, muaranya harus terletak pada kesejahteraan masyarakat. Jika tidak, maka perdamaian hanya omong kosong belaka!
#LombaEsaiKemanusiaan
Satu dekade lebih berlalu sejak perjanjian damai disepakati, namun jejak-jejak kelam itu masih membekas di setapak ingatan dan hati masyarakat Aceh, terutama bagi mereka yang mengalami secara langsung tindak kejahatan kemanusiaan tersebut.
“Hadiah-hadiah istimewa” berupa trauma psikis, gangguan seksual, hingga cacat fisik sudah terlanjur memborgol otak mereka, sehingga nyaris tidak mungkin dienyahkan dari alam pikiran. Barangkali hanya maut yang mampu menguburkan ingatan tentangnya.
Saat itu, tiga puluh tahun lamanya masyarakat dipasung oleh serangkaian pelanggaran HAM yang (diduga) dilakukan oleh aparat hukum yang semestinya melindungi mereka. Pasukan keamanan dan tenaga pembantu mereka entah ribuan kali melakukan penangkapan dan penahanan paksa, penghilangan, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap warga Aceh yang sebagian besar merupakan masyarakat sipil biasa.
Maka, maklum saja apabila hari ini para penyintas menderita “sakit tuli” berkepanjangan, sebab dahulu dentuman senjata menyumpal gendang telinga mereka saban hari. Potongan tubuh manusia menjejali sepasang mata, dan bau busuknya mencekoki lubang hidung.
Naasnya, kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut kebanyakan berlangsung tanpa payungan hukum. Pemerintah seperti setengah hati membongkar catatan kelam kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus ini, apalagi sampai memberikan hukuman yang setimpal kepada mereka. Lebih dari itu, tuntutan pertanggungjawaban secara ekonomi, sosial dan politik juga belum terpenuhi seluruhnya. Sebagian bahkan tak menemui kepastian.
Keadilan yang selama ini diidam-idamkan menyisakan puing-puing angan belaka. Pemerintah seperti lupa (atau sengaja melupakan) konflik Aceh sebagai bentuk protes warga atas ketidakadilan yang menimpa kehidupan mereka. Kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang semestinya dikelola pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat justru dikeruk dan dinikmati oleh segelintir elit penguasa dan pihak asing.
Sementara itu, masyarakat Aceh hanya menjadi penonton bayaran yang menikmati beberapa perak saja darinya. Ia serupa anak kandung yang dianaktirikan oleh keluarganya sendiri, sedangkan anak tetangga yang notabene orang lain justru diperlakukan selayaknya anak kandung.
Padahal pengorbanan Aceh sudah sedemikian besar untuk kemerdekaan Indonesia, tetapi pemerintah seolah tutup mata terhadap perjuangan penuh darah tersebut. Memaksa mereka untuk membanding-bandingkannya dengan era kejayaan Kesultanan Aceh yang kala itu mampu memberikan kesejahteraan bagi mereka.
Ketidakadilan inilah yang kemudian memicu gagasan Aceh Merdeka oleh Muhammad Hasan di Tiro, yang kemudian mendeklarasikannya di Gunung Halimun, Pidie pada 04 Desember 1976.
Pada mulanya, GAM baru beranggotakan 200 orang saja, namun Presiden Soeharto terlalu cepat mengendus angin tak biasa tersebut dan terburu-buru memberangusnya. Maka dalam kurun waktu yang tak terlalu lama, Pemerintah Indonesia berhasil membunuh tiga elite GAM, tiga orang dikembalikan ke masyarakat, dua orang dipenjara, dan dua lainnya melarikan diri ke Swedia untuk meminta suaka politik, yaitu Hasan di Tiro dan Zaini Abdullah.
Meski sempat meredam konflik, namun perekonomian Aceh yang tak kunjung membaik memaksa Hasan di Tiro kembali menunjukkan taringnya. Jika sebelumnya ia menyerang pemerintahan Indonesia melalui pemikiran dan tulisan-tulisannya, ia lantas mengubah strategi perlawanannya melalui jalur militer. Saat itu, secara diam-diam, ia mengirimkan banyak pemuda ke Libya untuk berlatih militer. Hal tersebut dilakukan secara bertahap hingga suatu ketika ia mengumumkan bahwa anggota GAM sudah mencapai 2000 orang.
Pemerintah pun menanggapi sinis protes keadilan ini dan melabelinya dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Lebih agresif lagi, Soeharto yang kala itu menjabat presiden RI mulai memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dengan sandi Operasi Jaring Merah.
Namun, alih-alih mendapat jaminan keamanan, masyarakat Aceh justru semakin terancam oleh pertikaian “ibu” dan “anak” ini. Dalam kurun waktu 1989-1998 tercatat sebanyak 8.344 masyarakat sipil tewas, 4.670 anak-anak menjadi yatim, 1.465 wanita menjadi janda, 875 orang dinyatakan hilang, 298 orang cacat, 809 rumah dibakar, dan beberapa kasus pemerkosaan. Kedok pelanggaran HAM tersebut terendus setelah kuburan-kuburan massal ditemukan paska lengsernya pemerintahan Soeharto. Sebuah fakta yang kian mengobarkan api kemarahan di hati masyarakat Aceh.
Para pemuda yang pernah mengikuti latihan militer di Libya pulang ke kampung halaman untuk merekrut pemuda-pemuda lainnya demi melebarkan sayap militer GAM. Para mahasiswa membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) guna menuntut referendum di Aceh dengan dua opsi, bergabung atau merdeka dari Indonesia.
GAM pun kian menunjukkan taringnya dengan menguasai sebagian besar kampung di Aceh. Dukungan masyarakat juga semakin deras mengalir dalam tubuh GAM, terbukti dengan keberhasilannya mengumpulkan dua juta rakyat Aceh dalam rapat akbar yang diselenggarakan di Masjid Raya Baiturrahman.
Namun rasa percaya diri yang berlebihan justru membuat GAM melambung dan tak terkendali. Mereka mengancam siapa pun yang dianggap tak mendukung kemerdekaan, termasuk membunuh keluarga TNI dan polisi serta warga yang dicurigai sebagai informan TNI. Mereka juga melakukan pengusiran dan kekerasan terhadap orang Jawa, pemerasan terhadap orang non-Aceh yang kaya, dan perusakan terhadap properti negara serta rumah-rumah karyawan pemerintah.
Pemerintah pun tak kalah garang. Dalam waktu bersamaan, aparat keamanan dikirim untuk menodongkan senjata ke “hidung” GAM. Konflik pun semakin memanas dan kasus pelanggaran HAM kian menjadi-jadi. Korban bergelimpangan bak meteor. Sebagian mati, sebagian lainnya kehilangan anggota tubuh. Yang masih memiliki nafas bergegas kabur ke luar Aceh demi menghindari maut.
Sebagian dipaksa merobohkan rumah dan meninggalkan kampung. Namun sebagian lagi memilih berdiam diri lantaran tak memiliki daya. Hingga TNI membakar rumah mereka agar tak menjadi “sarang” GAM. Aktivis HAM pun kian menjerit, menentang kekejaman pemerintah dengan menggelar beragam aksi demonstrasi, mogok massal, dan pemboikotan pemilu.
Pemerintah pun mengupayakan negosiasi melalui kesepakatan “Jeda Kemanusiaan”. Namun kesepakatan gagal lantaran aparat keamanan dan GAM masih terlibat baku senjata. Maka pada Juli 2001, Gus Dur memberlakukan operasi militer dengan sandi “Operasi Pemulihan Keamanan dan Penegakan Hukum” yang melibatkan seluruh tingkat satuan kepolisian dan organik militer Aceh.
Sasaran utama dalam operasi ini adalah para pendukung GAM. Namun kesukaran dalam mengidentifikasi anggota GAM dan warga sipil membuat warga tak berdosa kerapkali menjadi korban. Data dari Human Rights Watch menyebutkan selama kurun waktu 1 Mei hingga 5 Juni 2001 sebanyak 144 orang dinyatakan tewas, 102 di antaranya merupakan warga sipil biasa. Maka dapat dibayangkan berapa banyak jiwa tak berdosa yang terbunuh setelah operasi berlangsung di bulan Juli.
Operasi ini masih terus berlanjut hingga Presiden Megawati memberlakukan Darurat Militer pada 19 Mei 2003. Dengan jumlah pasukan mencapai 30.000 serdadu dan 12.000 polisi, TNI masih belum mampu melumpuhkan GAM. Namun korban jiwa kian bergelimpangan hingga tercatat sebanyak 2000 orang tewas dalam pertempuran selama Mei 2003-2004.
Meski TNI mengklaim bahwa semua korban meninggal adalah gerilyawan GAM, namun beberapa LSM dan Komnas HAM justru membantah klaim tersebut dan menyatakan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil biasa.
Walau akhirnya status Darurat Militer diturunkan menjadi Darurat Sipil, namun pelanggaran HAM masih terus berlanjut. Hingga pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,2 skala richter disertai tsunami meluluhlantakkan tanah rencong dengan jumlah korban mencapai 200.000 jiwa. Jumlah yang berkali lipat dibandingkan jumlah korban perang selama tiga dasawarsa sebelumnya. Musibah yang sekaligus meluluhkan keegoisan di antara pihak-pihak yang berkonflik hingga perjanjian damai pun disepakati.
Kini, meskipun dentuman senjata nyaris tidak terdengar lagi, namun kebenaran, keadilan, reparasi dan kesejahteraan yang diidam-idamkan masih menggantung di lemari impian belaka. Upaya pihak berwenang dan Komnas HAM untuk mengidentifikasi pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik berlangsung belum menyediakan rekaman yang komprehensif. Pun semua laporan akhir investigasi belum dipublikasikan secara resmi kepada masyarakat.
Hal ini membuat korban atau keluarga korban kesulitan menuntut keadilan lantaran kelemahan dalam kerangka hukum. Selain itu, upaya reparasi terhadap korban dan keluarga korban juga belum dilakukan secara komprehensif. Program bantuan keuangan dan materi lainnya melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA) juga belum memasukkan korban penyintas kekerasan seksual, sehingga banyak perempuan tidak mendapatkan bantuan medis dan keuangan yang dibutuhkan.
Lebih dari itu, perekonomian Aceh juga tak kunjung membaik meski sejak 2008 Aceh menerima kucuran dana otonomi khusus sebesar Rp42,2 triliun dari pemerintah pusat. Lantas ke manakah uang itu mengalir?
Tanpa perlu memfitnah, fakta menyebutkan bahwa Aceh menjadi provinsi terkorup kedua setelah Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan adanya “cacat” dalam ideologi GAM. Mengapa? Sebab bangku kekuasaan Aceh telah lama diduduki oleh para mantan elite GAM.
Lantas mengapa keadilan dan kesejahteraan masyarakat belum tercapai?
Inilah yang perlu kita renungi bersama-sama, bahwa pelanggaran HAM di Aceh adalah permasalahan yang bersifat multidimensi. Maka untuk mengatasinya diperlukan pendekatan yang bersifat komprehensif.
Pemerintah dan GAM harus mengakui adanya pelanggaran HAM saat konflik berlangsung, memastikan semua kebenarannya melalui investigasi/penyelidikan, mempublikasikan hasil temuannya, memprosesnya secara hukum melalui pengadilan, lantas melakukan reparasi secara menyeluruh kepada korban.
Pemerintah juga harus membentuk komisi kebenaran yang netral sehingga menjamin korban, keluarga, dan orang-orang yang menjadi saksi dalam konflik memberikan keterangan secara penuh dan jujur tanpa disudutkan oleh pihak mana pun.
Dari segi ekonomi, pemerintah pusat dan pihak-pihak yang berwenang juga harus melakukan pembersihan terhadap pemerintahan Aceh agar terbebas dari korupsi. Juga memastikan agar tidak terjadi lagi baku senjata antara TNI dan GAM. Sebab tanpa jaminan keamanan dan stabilitas politik, nyaris tidak mungkin mengundang investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Rencong. Padahal investor-investor inilah yang memungkinkan percepatan pertumbuhan ekonomi di Aceh.
Apabila semua telah dilakukan dengan baik, muaranya harus terletak pada kesejahteraan masyarakat. Jika tidak, maka perdamaian hanya omong kosong belaka!
#LombaEsaiKemanusiaan
loading...
Post a Comment