AMP - Apakah Papua akan lepas dari bagian negara kesatuan republik Indonesia (NKRI)? Berbagai gerakan dan lobi-lobi internasional berlangsung sangat kuat, dan tujuannya hanya satu, yaitu Papua Merdeka.
Herman Dogopia, anggota Kaukus Papua, mengatakan, perbincangan tentang "Papua" sekarang ini, dipicu oleh adanya perkembangan politik terbaru yang kental dengan keinginan memisahkan Papua dari NKRI. Aksi kekerasan yang terus berlangsung di tanah Papua ini, mengakibatkan semakin kuatnya usaha-usaha memisahkan diri dari NKRI.
OPM (Organisasi Papua Merdeka) pertengahan April lalu mendapat izin dari pemerintah kota Oxford di Inggris untuk memiliki perwakilannya di kota itu. Pembukaan kantor perwakilan itu secara de facto merupakan pengakuan Inggris atas OPM. Demikian pula di New York, di mana terdapat Markas PBB, kelompok OPM juga mendirikan perwakilan, dan sangat aktif melakukan lobi-lobi dengan berbagai perwakilan lembaga multilateral itu.
Menghadapi situasi ini Kaukus Papua, menurut Herman, langsung mersepons dan mengundang pejabat terkait untuk membahas masa depan Papua dalam bingkai NKRI. Tetapi hasil pembicaraan atau diskusi dengan Kaukus Papua, tidak sama dengan penerapannya di lapangan .
Herman, ataupun para anggota Kaukus, yakin sekalipun secara diplomatis Inggris selalu menyatakan tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua. Tetapi, menurut dia Inggris bahkan negara manapun yang memahami perlakuan Indonesia atas rakyat Papua akan selalu berpihak kepada gerakan anti Indonesia.
Herman yang sehari-hari bekerja di Jakarta, mengatakan, dia tanpa ragu menegaskan dengan agresifitas OPM, kemerdekaan Papua, terpisah dari NKRI tinggal soal waktu. Kemerdekaan itu sudah ditunggu. Sebab pada hakekatnya seluruh rakyat Papua saat ini sudah menjadi pendukung OPM.
Herman Dogopio, mengatakan, gerakan apapun yang dilakukan oleh pentolan OPM saat ini dan ke depan akan selalu didukung secara de facto oleh semua rakyat Papua. Banyak yang diam-diam, tetapi seperti pepatah tua, diam itu emas (silent is golden). Begitulah sejatinya sikap masyarakat Papua dewasa ini.
"Saya berani bertaruh, sekalipun dia pejabat, mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah Jakarta, tetapi darah dan jantung mereka sudah berubah menjadi anggota atau pendukung OPM", katanya.
Alasannya sangat sederhana. Pemerintah Indonesia yang mengendalikan Papua secara remote dari Jakarta, tidak pernah mau melakukan dialog, sehingga tidak paham atas keadaan sebenarnya. Ia selalu terkenang dengan mendiang Gus Dur. Presiden ke-4 RI itu, bersedia membuka dialog dengan pemimpin OPM, termasuk merubah nama daerah itu dari Irian Jaya menjadi Papua.
Pertanyaan yang membayangi masyarakat Papua, mengapa dengan GAM (di Aceh) pemerintah bersedia membuka dialog, tapi dengan OPM, tidak bersedia?
Di Markas PBB, New York, terus berlangsung lobi-lobi, dan para aktivis dan tokoh Papua yang ada di Amerika, menginginkan agar masalah Papua menjadi agenda Sidang Umum PBB, dan dibahas, kemudian memutuskan jajak pendapat bagi Papua. Skenario ini seperti yang pernah terjadi atas Timor Timur alias Timor Leste, dan akhirnya berpisah dengan Indonesia di masa pemerintahan Presiden BJ.Habibi.
Di New York, London, Canberra, dan Amsterdam kelompok-kelompok penggiat Gerakan Papua Merdeka, mereka melakukan lobi dan aksi-aksi penggalangan dukungan internasional, dan mereka menjadi pressure politik yang kuat. Mereka tetap berpendirian Papua harus merdeka, tidak lagi dibawah penjajahan Indonesia. Kalangan penggiat aksi Gerakan Papua Merdeka, tetap berpendirian bahwa Papua dibawah penjajahan Indonesia.
Menurut seorang tokoh Papua, Herman, bahwa ia mengakui eskalasi atas keinginan untuk merdeka sempat meredup. Tapi kemudian membara lagi setelah pemimpin OPM, Theys Eluay dibunuh atau terbunuh. Pada 11 Nopember 2001, dia ditemukan tewas di dalam mobilnya yang berada di luar kota Jayapura.
Keinginan menjadi merdeka, semakin membara terutama dipicu oleh pernyataan Presiden SBY tahun lalu.
Menurut Herman, sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Papua bahwa Presiden SBY tidak mau berdialog lagi dengan rakyat Papua. Meskipun, SBY sudah pernah bertemu dengan sejumlah tokoh Papua. Tetapi, menurut Herman, entah apa alasannya SBY menolak dialog dengan sejumlah tokoh Papua, tapi yang pasti menurut Herman, Presiden SBY sendiri sudah menyatakan setuju Papua merdeka.
Syaratnya: “Nanti setelah SBY tidak lagi menjadi Presiden RI”. Pernyataan Herman ini persis seperti yang disampaikan oleh seorang tokoh reformasi, bahwa Presiden SBY setuju Papua merdeka, asal jangan pada periode pemerintahannya. Ungkapan yang bersifart inside ini, sungguh menggelisahkan banyak kalangan, dan ini menjadi peristiwa politik yang besar.
"Kalian boleh merdeka, asalkan jangan di era pemerintahan saya", kata Herman mengutip pernyataan Presiden SBY ketika bertemu dengan para pemimpin agama dari Papua, 11 Desember 2011.
Pernyataan yang tidak disampaikan kepada media itu, kemudian secara berantai diceritakan oleh para pemimpin gereja Papua yang menemui SBY di Cikeas di ujung tahun 2011 tersebut.
Pernyataan Presiden SBY cukup mengejutkan sekalipun ada di antara tokoh Papua masih bertanya-tanya, apakah SBY tidak sedang salah ucap.
Herman juga termasuk yang mempertanyakan kebijakan Presiden SBY yang membentuk UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) yang dipimpin pensiunan Jenderal Bambang Darmono.
"Apa tugas dan tujuannya kalau UP4B tidak diberikan dana operasi dan personel yang memadai?" bertanya Herman. Herman juga heran, mengapa pemimpin UP4B tetap diam seribu bahasa? Apakah unit kerja itu memang dibentuk hanya untuk menampung sahabat Presiden SBY agar punya status dan kegiatan?
Dengan fakta di atas - sebagai anggota Kaukus Papua, Herman berkesimpulan bahwa persoalan Papua dalam NKRI saat ini memang sengaja dibiarkan oleh rezim Yudhoyono. Ia masih bisa tersenyum sekalipun dengan senyum kecut, sebab berbagai masalah yang dibiarkan oleh rezim saat ini, ternyata bukan hanya persoalan Papua. Memang, berbagai masalah mengelilingi SBY, termasuk skandal korupsi Demokrat, dan nasibnya berada di ujung tanduk. (Voaislam)
Herman Dogopia, anggota Kaukus Papua, mengatakan, perbincangan tentang "Papua" sekarang ini, dipicu oleh adanya perkembangan politik terbaru yang kental dengan keinginan memisahkan Papua dari NKRI. Aksi kekerasan yang terus berlangsung di tanah Papua ini, mengakibatkan semakin kuatnya usaha-usaha memisahkan diri dari NKRI.
OPM (Organisasi Papua Merdeka) pertengahan April lalu mendapat izin dari pemerintah kota Oxford di Inggris untuk memiliki perwakilannya di kota itu. Pembukaan kantor perwakilan itu secara de facto merupakan pengakuan Inggris atas OPM. Demikian pula di New York, di mana terdapat Markas PBB, kelompok OPM juga mendirikan perwakilan, dan sangat aktif melakukan lobi-lobi dengan berbagai perwakilan lembaga multilateral itu.
Menghadapi situasi ini Kaukus Papua, menurut Herman, langsung mersepons dan mengundang pejabat terkait untuk membahas masa depan Papua dalam bingkai NKRI. Tetapi hasil pembicaraan atau diskusi dengan Kaukus Papua, tidak sama dengan penerapannya di lapangan .
Herman, ataupun para anggota Kaukus, yakin sekalipun secara diplomatis Inggris selalu menyatakan tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua. Tetapi, menurut dia Inggris bahkan negara manapun yang memahami perlakuan Indonesia atas rakyat Papua akan selalu berpihak kepada gerakan anti Indonesia.
Herman yang sehari-hari bekerja di Jakarta, mengatakan, dia tanpa ragu menegaskan dengan agresifitas OPM, kemerdekaan Papua, terpisah dari NKRI tinggal soal waktu. Kemerdekaan itu sudah ditunggu. Sebab pada hakekatnya seluruh rakyat Papua saat ini sudah menjadi pendukung OPM.
Herman Dogopio, mengatakan, gerakan apapun yang dilakukan oleh pentolan OPM saat ini dan ke depan akan selalu didukung secara de facto oleh semua rakyat Papua. Banyak yang diam-diam, tetapi seperti pepatah tua, diam itu emas (silent is golden). Begitulah sejatinya sikap masyarakat Papua dewasa ini.
"Saya berani bertaruh, sekalipun dia pejabat, mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah Jakarta, tetapi darah dan jantung mereka sudah berubah menjadi anggota atau pendukung OPM", katanya.
Alasannya sangat sederhana. Pemerintah Indonesia yang mengendalikan Papua secara remote dari Jakarta, tidak pernah mau melakukan dialog, sehingga tidak paham atas keadaan sebenarnya. Ia selalu terkenang dengan mendiang Gus Dur. Presiden ke-4 RI itu, bersedia membuka dialog dengan pemimpin OPM, termasuk merubah nama daerah itu dari Irian Jaya menjadi Papua.
Pertanyaan yang membayangi masyarakat Papua, mengapa dengan GAM (di Aceh) pemerintah bersedia membuka dialog, tapi dengan OPM, tidak bersedia?
Di Markas PBB, New York, terus berlangsung lobi-lobi, dan para aktivis dan tokoh Papua yang ada di Amerika, menginginkan agar masalah Papua menjadi agenda Sidang Umum PBB, dan dibahas, kemudian memutuskan jajak pendapat bagi Papua. Skenario ini seperti yang pernah terjadi atas Timor Timur alias Timor Leste, dan akhirnya berpisah dengan Indonesia di masa pemerintahan Presiden BJ.Habibi.
Di New York, London, Canberra, dan Amsterdam kelompok-kelompok penggiat Gerakan Papua Merdeka, mereka melakukan lobi dan aksi-aksi penggalangan dukungan internasional, dan mereka menjadi pressure politik yang kuat. Mereka tetap berpendirian Papua harus merdeka, tidak lagi dibawah penjajahan Indonesia. Kalangan penggiat aksi Gerakan Papua Merdeka, tetap berpendirian bahwa Papua dibawah penjajahan Indonesia.
Menurut seorang tokoh Papua, Herman, bahwa ia mengakui eskalasi atas keinginan untuk merdeka sempat meredup. Tapi kemudian membara lagi setelah pemimpin OPM, Theys Eluay dibunuh atau terbunuh. Pada 11 Nopember 2001, dia ditemukan tewas di dalam mobilnya yang berada di luar kota Jayapura.
Keinginan menjadi merdeka, semakin membara terutama dipicu oleh pernyataan Presiden SBY tahun lalu.
Menurut Herman, sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Papua bahwa Presiden SBY tidak mau berdialog lagi dengan rakyat Papua. Meskipun, SBY sudah pernah bertemu dengan sejumlah tokoh Papua. Tetapi, menurut Herman, entah apa alasannya SBY menolak dialog dengan sejumlah tokoh Papua, tapi yang pasti menurut Herman, Presiden SBY sendiri sudah menyatakan setuju Papua merdeka.
Syaratnya: “Nanti setelah SBY tidak lagi menjadi Presiden RI”. Pernyataan Herman ini persis seperti yang disampaikan oleh seorang tokoh reformasi, bahwa Presiden SBY setuju Papua merdeka, asal jangan pada periode pemerintahannya. Ungkapan yang bersifart inside ini, sungguh menggelisahkan banyak kalangan, dan ini menjadi peristiwa politik yang besar.
"Kalian boleh merdeka, asalkan jangan di era pemerintahan saya", kata Herman mengutip pernyataan Presiden SBY ketika bertemu dengan para pemimpin agama dari Papua, 11 Desember 2011.
Pernyataan yang tidak disampaikan kepada media itu, kemudian secara berantai diceritakan oleh para pemimpin gereja Papua yang menemui SBY di Cikeas di ujung tahun 2011 tersebut.
Pernyataan Presiden SBY cukup mengejutkan sekalipun ada di antara tokoh Papua masih bertanya-tanya, apakah SBY tidak sedang salah ucap.
Herman juga termasuk yang mempertanyakan kebijakan Presiden SBY yang membentuk UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) yang dipimpin pensiunan Jenderal Bambang Darmono.
"Apa tugas dan tujuannya kalau UP4B tidak diberikan dana operasi dan personel yang memadai?" bertanya Herman. Herman juga heran, mengapa pemimpin UP4B tetap diam seribu bahasa? Apakah unit kerja itu memang dibentuk hanya untuk menampung sahabat Presiden SBY agar punya status dan kegiatan?
Dengan fakta di atas - sebagai anggota Kaukus Papua, Herman berkesimpulan bahwa persoalan Papua dalam NKRI saat ini memang sengaja dibiarkan oleh rezim Yudhoyono. Ia masih bisa tersenyum sekalipun dengan senyum kecut, sebab berbagai masalah yang dibiarkan oleh rezim saat ini, ternyata bukan hanya persoalan Papua. Memang, berbagai masalah mengelilingi SBY, termasuk skandal korupsi Demokrat, dan nasibnya berada di ujung tanduk. (Voaislam)
loading...
Post a Comment