Halloween Costume ideas 2015
loading...

MENGENANG ISHAK DAUD | Perang Penghabisan di Alue Nireh

UMAR KINI BERUSIA 25 TAHUN. Tiga tahun telah lewat. Tak ada lagi perang yang membuncah. Hanya saja, sembilan butir peluru masih bersarang di tubuhnya: di punggung, dada, ketiak hingga ujung jarinya. ”Kena saraf, gak bisa di operasi. Kalau di operasi bisa lumpuh,” kata Umar. Sesekali, rasa nyeri muncul tiba-tiba.

Di kampungnya, Idi Rayeuk, Aceh Timur, ia tak lagi menenteng senjata. Kini, ia sibuk memelihara seratusan bebek di halaman depan rumahnya yang berdinding papan. Umar berbadan tegap, berambuk cepak ala tentara. Nada suaranya tegas. Umar adalah satu-satunya saksi hidup –dari kalangan GAM– yang terlibat langsung dalam pertempuran dua jam di Alue Nireh, Aceh Timur, 8 September 2004. Ya, pertempuran penghabisan yang menewaskan Komandan GAM Wilayah Aceh Timur, Ishak Daud.

Selama tiga tahun, kematian Ishak Daud meninggalkan misteri. Tak ada yang tahu persis detail kejadiannya. Pihak GAM sendiri baru mengeluarkan keterangan pers pada 12 September 2004, empat hari setelah kejadian. Itupun, GAM hanya menyebut Ishak Daud tewas bersama delapan personel GAM lainnya. Selebihnya adalah misteri. Tiga tahun peristiwa itu tetap menyimpan teka-teki.

“Dengan kesedihan yang sangat mendalam kami umumkan syahidnya Teungku Ishak Daud, anggota staf Operasi Komando Pusat Di Tiro, Tentara Negara Acheh (TNA), dalam pertempuran di Aluë Ôn, Aluë Ië Niréh, Peureulak, Acheh Timur pada siang hari Rabu sekitar pukul 12.20, 8 September 2004.” Begitulah keterangan itu dibuka.

“Saya sebagai orang GAM pun tak pernah tahu bagaimana kejadian sebenarnya,” ujar seorang anggota GAM yang kini bekerja di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh- Nias. Sebelumnya, Umar sendiri lebih memilih diam. Tapi, saat ditemui ACEHKINI, ia buka suara.

Inilah untuk pertama kalinya Umar bersedia buka mulut tentang kisah di balik meninggalnya Ishak Daud. Ayah satu anak ini tak mampu membendung haru. “Kalau ada yang tanya saya gak mau cerita. Ini pertama kali saya cerita tentang kejadian ini. Saya cerita begini sedih,” ujarnya dengan suara tersendat-sendat.

Umar tak pernah melupakan kejadian itu: detik-detik ketika nyawanya dipertaruhkan. Ia sering mengenang pertempuran penghabisan itu dengan hati teriris. Pertempuran itu bermula saat lima orang rombongan Ishak Daud sedang menempuh perjalanan menuju Tualang. Mereka adalah Ishak Daud, istrinya Cut Rostina, Umar, Raider, dan Abu Bakar. Hari itu, rencananya, mereka mau naik ke Tapaktuan karena Ishak Daud dipindahtugaskan ke sana.

”Kami mau jalan lewat laut menuju Jeunieb, lalu menyeberang ke Tapaktuan,” kenang Umar.

Hari naas itu, 8 September 2004, Ishak Daud bersama istri dan tiga pengawalnya sedang berwudhuk untuk sembahyang dhuhur di pinggir kali tak jauh dari kamp darurat mereka. Saat itu, ia hanya mengenakan baju kaos dan celana jeans.

Sungai itu letaknya di lembah, dikelilingi perbukitan. Tiba-tiba, dari atas bukit terdengar salak senjata. Ishak Daud yang ber ada di bibir sungai terperanjat. Ternyata, keberadaannya sudah terendus pasukan TNI.

Umar yang tidak jauh dari Ishak Daud segera tiarap sembari melepas tembakan balasan. “Abu Chik, kita harus mundur,” seru Umar. Abu Chik adalah panggilan kehormatan pasukan GAM kepada Ishak Daud.

“Tidak, ini saatnya kita bertempur habis-habisan. Ini penentuan hidup dan mati,” sergah Ishak di antara peluru yang berdesing seraya mengambil posisi menyerang.

Cut Rostina sang istri yang sedang hamil, juga tak mau lari. “Hidup dan mati saya bersama suami,” ujarnya kepada Umar. Hari itu adalah hari kelima Cut Rostina berkumpul bersama suaminya.

Tret…tret….. rentetan tembakan terus berdesing. Mereka mencari benteng perlindungan. Untungnya, tak jauh dari mereka ada pohon sawit. Di sanalah, mereka berlindung sambil melepas tembakan balasan.

Umar berusaha menarik Cut Rostina untuk berlindung di balik pohon sawit menyusul Ishak. Saat itulah, sebutir peluru merobek lengannya. Ia terlempar ke belakang sejauh dua meter.

”Saya kena,” teriak Umar spontan.

Ia sempat melihat sang penembak tak jauh darinya. Sambil melepas tembakan balasan, ia sempat mengajak Ishak Daud mundur. Tapi, lagi-lagi ajakan itu ditampik.

”Jangan, hari ini kita perang,” kata Ishak.

Ibarat adegan di film laga, mereka bertempur dengan posisi saling melindungi: satu di depan, satu belakang. Umar mengambil posisi di depan. Sementara Ishak dan istrinya di belakang. Dengan tubuh berlumur darah, Umar berdiri di tempat terbuka, seraya memberondong tembakan ke arah tentara.

Umar berseru, ”Neupleung droe neuh, bah lon dong (lari saja dulu, biar saya yang hadapi).”

Umar terus merangsek ke depan sambil memberondong tembakan. Naas, sebutir peluru kembali terpacak di belakang tubuhnya.

”Abu Chik…., saya kena,” teriak Umar.

Mendengar teriakan itu, Ishak Daud melongok dari balik pohon kelapa sawit. Saat itulah, sebutir peluru menembus dahinya.


Ishak terjatuh dengan posisi telungkup. Darah segar keluar dari hidungnya. Saat itu juga, malaikat maut menjemput. Umar lalu membuka baju dan celana Ishak. Yang tersisa hanya celana dalam. Sebelum menjauh, ia sempat menyelimutinya dengan kain hitam. Ia juga membawa lari senjata dan buku catatan Ishak. ”Saya membuka bajunya agar tentara tak mengenali beliau,” kenang Umar.

Pukul 14.30 perang mereda. Cut Rostina menyuruh Umar menyelamatkan diri, sementara ia tetap di sana, meratapi jasad sang suami. Umar sempat tak tahu nasib istri Ishak Daud, sampai akhirnya koran memberitakan Rostina juga tewas dalam pertempuran itu. ”Saat kami berpisah Bunda (Rostina) masih hidup. Kemungkinan beliau disiksa,” tutur Umar.

Dalam kondisi sembilan peluru bersarang di tubuhnya, Umar merangkak mencari perlindungan. Ia sempat pingsan. Ketika tersadar, ternyata ia berada di kandang babi, 50 meter dari lokasi pertempuran. Sadar suasana sudah sepi dan tentara sudah menjauh, dengan luka tembak di sekujur tubuh, ia merangkak ke desa terdekat. Nyawanya terselamatkan.

Tiga hari kemudian Aceh geger setelah berita kematian Ishak muncul di media lokal. Ternyata, tentara mengenalinya. Hanya saja, tubuhnya sudah dipenuhi luka tembak. ”Sepertinya beliau ditembak lagi setelah meninggal,” duga Umar. Raider dan Abu Bakar, dua pengawal Ishak yang lain, juga ikut tewas.
***
LAHIR DI IDE RAYEUK, ACEH TIMUR, 1960, Ishak pernah ditangkap TNI karena menyerang pos ABRI Masuk Desa (AMD) dan merampas 21 pucuk senjata milik TNI pada Maret 1990 di Buloh Blang Ara, Aceh Utara. Ketika itu dua tentara Indonesia dan dua bocah yang berada di dekat pos tewas.

Tak lama ditahan, Ishak kabur ke Malaysia. Pada Maret 1996 ia ditangkap dalam sebuah operasi intelijen bersama Indonesia-Malaysia. Ishak lalu diserahkan polisi Malaysia ke Polisi Resor Bengkalis, Riau. Dari Riau dibawa ke Polda Aceh.

Setelah ditahan lebih dari dua tahun, sidang Ishak baru digelar. Lelaki yang tak lulus sekolah dasar itu lalu dituntut hukuman seumur hidup—meski akhirnya pada Desember 1998 ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.

Setahun di penjara, Ishak Daud bersama 30 tahanan politik asal Aceh mendapat amnesti dari Presiden B.J. Habibie. Ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Siborongborong, Tapanuli Utara, Ishak lalu bebas. Ia kembali ke asalnya, mengangkat senjata melawan Jakarta
***
BAGI UMAR, ISHAK ADALAH PANUTAN. Ia sempat dua tahun menjadi pengawal Ishak Daud. Di mana ada Ishak, di sana ada Umar. Pria yang mengaku hanya sekolah sampai kelas dua SD ini, bergabung dengan GAM pada 1999. Saat itu usianya masih 17 tahun.

Umar menyimpan kenangan khusus terhadap Ishak Daud. Baginya, Ishak ibarat orang tua sendiri. Satu petuah Ishak yang selalu diingatnya: ”Si droe tanyoe, beuna manfaat keu ureung ramee.”

Hingga kini, Umar masih sulit menerima kematian Ishak. Tak jarang, ia berkunjung ke kuburan Ishak Daud hanya sekadar mengenang kebersamaan mereka. ”Masak saya tidak bisa menjaga orang yang selama ini membimbing saya,” tutur Umar dengan nada sedih.

Ia sendiri tak pernah menyangka masih bisa hidup. Apalagi dengan kondisi sembilan peluru bersarang di tubuhnya. ”Ini masih bisa diraba pelurunya,” ujarnya seraya memperlihatkan bekas luka tembak di badan, punggung dan ujung jarinya. Di balik kulitnya, peluru memang masih bersarang.

Usai pertempuran itu, Umar sempat dua bulan melarikan diri ke Medan. Dari sana, ia melanjutkan pelarian ke Riau. Enam bulan di sana, ia sempat berobat. Tapi, biayanya na’udzubillah, mencapai Rp 2 juta sekali berobat. Dalam kondisi tak menentu, lewat seorang penghubung, Umar bertolak ke Malaysia. Di sana, lewat bantuan UNHCR, badan PBB yang menangani urusan pengungsi, ia menjalani perawatan intensif.

Beruntung, meski peluru masih bersarang di tubuhnya, nyawa Umar terselamatkan. Lima bulan setelah damai, ia balik ke Aceh. Saat perjanjian damai diteken, ia masih tergolek di rumah sakit. Awalnya ia sempat tak percaya pemerintah dan GAM sepakat berdamai. ”Tapi ini rahmat dari Tuhan. Pat ujeuen yang han pirang, pat prang yang han reuda,” ujarnya.

Ikhlaskah Umar menerima damai? ”Saya waktu itu berpikir untuk kesembuhan sendiri dulu. Jangan sampai negara aman, tapi kita di tempat tidur,” kata Umar. Itu sebabnya, ia berharap perdamaian membawa kesejahteraan dan masa depan lebih baik untuk Aceh. Sebab, detik-detik menegangkan di Alue Nireh terlalu pahit untuk dikenang. Di sana, kebersamaannya dengan Ishak Daud bubar dalam perang penghabisan: perang terakhir buat Ishak, juga bagi Umar. [a]

YUSWARDI A. SUUD | FAKHRURRADZIE GADE (ACEHKINI #2, OKTOBER 2007)

Dikutip dari Acehkita.com
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget