Ketua DPA Partai Aceh Muzakir Manaf sempat mengeluarkan pernyataan mengejutkan: jika Jokowi-Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, maka Aceh bakal jahanam. Dia juga memprediksi akan “naik gunung”.
SYAHDAN, di kalangan masyarakat Aceh, istilah “naik gunung” dianalogikan sebagai perlawanan dengan memanggul senjata seperti era konfik dulu. Nah, benarkah Muzakir Manaf akan kembali memimpin gerliya?
Pertanyaan sekaligus pernyataan mengejutkan itu persis disampaikan Muzakir Manaf usai melakukan pencoblosan pada 9 Juli 2014 lalu. Ketua Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh sekaligus Ketua Tim Pemenangan Capres-Cawapres Nomor Urut 1 Prabowo-Hatta itu mengatakan, Aceh bakal jahanam (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Jahanam” berarti celaka atau binasa-red) jika pasangan Nomor Urut 2 Jokowi-Jusuf Kalla memenangi kontestasi Pilpres, 9 Juli 2014 lalu.
“Jika Jokowi-JK menang, Aceh bakal jahanam. Begitulah lebih kurang terjadi bila mereka menang,” kata Muzakir Manaf yang juga Wakil Gubernur Aceh ini pada wartawan usai mencoblos di TPS 1 Desa Lam Geulumpang, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh. “Mungken eik u gle lom (mungkin naik gunung lagi).”
Faktanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pilres, walaupun pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mengaku tidak puas dan membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi.
Muzakir Manaf merasa Aceh akan mengalami bencana bila pasangan yang diusung PDIP dan didukung Partai Nasdem, PKPI, PKB serta Hanura tersebut menjadi presiden-wapres mendatang. Tapi, Mualem begitu Muzakir Manaf akrab disapa, tak menjelaskan detil rencana seperti apa yang dimaksud. Begitu pula dengan pernyataannya soal kemungkinan kembali “naik gunung”. Ini juga tak jelas.
Tapi warga Aceh mengerti, bila yang dimaksud “naik gunung” tak lain memanggul senjata dan melakukan perlawanan gerliya seperti era konfik dulu. Boleh jadi, ini pula yang dimaksud Muzakir Manaf dengan jahanam. Dengan adanya pergerakan bersenjata, maka Aceh akan kembali bersimbah darah alias jahanam.
Yang jadi soal, sejauh apa kebenaran dari apa yang disampaikan Muzakir Manaf itu? Sayang, pria asal Seuneudon, Aceh Utara ini tak bisa dikonfirmasi mengenai pernyataannya tadi. Upaya MODUS ACEH untuk meminta tanggapan langsung dari Muzakir Manaf selalu membentur tembok. Kantor DPA Partai Aceh di kawasan Lamteumen, Banda Aceh juga sering dalam keadaan sepi.
Upaya melakukan konfirmasi lewat jalur Pemerintahan Aceh, selalu mentok di Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh Murthalamuddin. Murthala selalu ogah setiap upaya konfirmasi yang dilakukan media ini. Baik kepada Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah maupun Mualem. “Untuk MODUS ACEH, tidak dan jangan harap,” kata Murthalamuddin yang juga pernah menghidupi keluarga dari hasil jerih payahnya sebagai wartawan MODUS ACEH di Lhokseumawe beberapa waktu lalu.
***
BOLEH jadi, bagi Muzakir Manaf pernyataan mengejutkan yang dia keluarkan itu hanya kalimat biasa. Tapi tidak bagi Nuraini, 45. Pedagang Mie Caluk, di kawasan Lampineung, Banda Aceh ini menerjemahkan kalimat itu dengan penuh keresahan. “Saya ada mendengar pernyataan itu dari kawan-kawan yang mengaku membacanya di media. Maunya, janganlah konflik lagi. Kami rakyat kecil ini yang akan merana,” kata Nuraini.
Bila ada yang resah, ada pula yang merasa pernyataan Muzakir Manaf tak rasional, bahkan kekanak-kanakkan. Di Aceh Barat Daya, sejumlah warga yang dimintai pendapatnya menilai, pernyataan Muzakir Manaf tersebut tak lebih dari upaya intimidasi psikologi untuk memuluskan kepentingan politiknya mensukseskan Prabowo-Hatta menang telak di Aceh, tapi sayang terlalu kekanak-kanakkan.
“Silahkan saja naik gunung lagi. Tidak ada yang larang. Tapi pernyataan yang dilontarkan itu jelas kepentingan yang bersangkutan. Dan ucapan yang disampaikan tersebut, mencerminkan sikap kekanak-kanakan. Sepertinya memang perlu diberi pelatihan komunikasi publik (public speaking),” kata Nasruddin warga Gampong Pineng, Kecamatan Susoh, Kabupatean Aceh Barat Daya (Abdya), saat bincang-bincang dengan MODUS ACEH, Rabu dua pekan lalu.
Nilai kekanak-kanakan memang tercermin dari komunikasi publik yang kerap disampaikan Muzakir Manaf. Menurut Nasruddin, sudah bukan satu dua kali Muzakir Manaf menyampaikan pernyataan dengan bahasa yang kotor dan bernada menghakimi. Muzakir Manaf, misalnya, sempat membuat jagat maya heboh dengan pernyataannya yang menerjemahkan akronim Partai Nasional Aceh alias PNA sebagai Partai Nasrani Aceh. Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini mengatakan itu disela-sela sambutan saat mengukuhan Komite Pemenangan Partai Aceh (KPPA), Sabtu 22 Februari 2014 lalu di Paya Bakong, Aceh Utara.
Buntut dari pernyataan itu, Muzakir Manaf akhirnya dipolisikan. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Aceh (PNA) Irwansyah alias Mukhsalmina melapor ke Polda Aceh, Senin 24 Februari 2014 lalu. Sayang, prosesnya hukum itu tak jelas hingga kini.
Sebelum itu, Muzakir Manaf juga membuat heboh dengan pernyataannya saat menanggapi kasus penganiayaan hingga tewasnya Ketua Partai Nasional Aceh (PNA), Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, Juwaini beberapa waktu lalu. Pembunuhan itu diduga dilakukan kader Partai Aceh bernama Abu Don.
“Kalau dia (Juwaini) mampus bukan urusan kita. Itu kehendak Tuhan, dia yang telah mencabut nyawanya,” ujar Muzakir Manaf menanggapi. Kontan, pernyataan Muzakir Manaf tadi mendapat reaksi negatif dari masyarakat.
Muzakir Manaf sepertinya keasyikan. Bukannya melakukan evaluasi, dia malah semakin sering menebar peryataan kontroversial. Pada 19 April 2014 lalu, Muzakir Manaf bahkan mengharamkan untuk memilih capres PDI-P Joko Widodo.
“Kita dukung Prabowo. Haram dukung PDI, ya. Karena kita Aceh,” ucapnya kepada wartawan di Krueng Geukeuh, Aceh Utara, Sabtu siang (19/4), di sela-sela kunjungannya memenuhi undangan Bupati Aceh Utara, H Muhammad Thaib, yang sedang melaksanakan kenduri pesta perkawinan anaknya. Lebih tegas lagi, Muzakir Manaf mengingatkan agar seluruh rakyat Aceh tidak ragu-ragu mendukung Prabowo.
Lagi-lagi, ucapannya itu berbuntut panjang. Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Aceh, H Karimun Usman mengadukan pernyataan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang mengharamkan memilih PDIP dan Jokowi sebagai Presiden RI, kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat H Amidhan.
Sebelumnya, Karimun Usman mengatakan sudah mendapatkan mandat dari DPP PDIP untuk meminta pandangan MUI Pusat, soal istilah “haram pilih PDIP dan Jokowi” yang disampaikan Wagub Aceh. “Haram adalah istilah agama, apakah bisa seorang pemimpin mengeluarkan pernyataan haram dalam Pilpres. Kita mau meminta pandangan MUI soal itu,” kata Karimun Usman seusai mengikuti Rapat Kerja Nasional PDIP di Jakarta, Jumat, 25 Mei 2014 lalu.
Karimun menyatakan, pernyataan Wagub Aceh tersebut merupakan hal yang sangat serius, mengingat yang digunakan adalah istilah agama. “Itu pasti memberi pengaruh kepada rakyat Aceh yang mayoritas muslim,” kata Karimun Usman.
Karimun mengaku sudah melapor dalam Rakernas PDI P dan kepada calon Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Salah satu yang direkomendasikan kepada saya agar segera menanyakan hal itu kepada MUI, karena terkait istilah haram,” sebut Karimun Usman.
Lagi-lagi, bukan evaluasi, Muzakir Manaf kembali menebar pernyataan keras yang mengatakan Aceh bakal jahanam bisa Jokowi-JK menang sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Celakanya, pasangan yang diyakini akan menjahanamkan Aceh itu menang dalam kontestasi Pilpres tahun ini. KPU bahkan telah menetapkan pasangan nomor urut dua sebagai pemenang dengan perolehan suara 53 persen lebih. Saat ini, keduanya hanya menanti pelantikan yang dijadwalkan akan berlangsung Oktober 2014 mendatang.
Lantas, akankah Muzakir Manaf “naik gunung”? “Karena dia pemimpin sekarang saat ini, maka kita kembalikan saja pada ucapannya itu. Apa mau dijalankan atau tidak,” tantang Zaini Djalil, Ketua DPW Partai NasDem Aceh saat dimintai tanggapannya, pekan lalu. “Kalau tidak dilaksanakan, maka masyarakat akan menilai sendiri karena pernyataan itu dimuat di media dan dibacakan oleh masyarakat”. Ya, kita tunggu saja.***
Pertanyaan sekaligus pernyataan mengejutkan itu persis disampaikan Muzakir Manaf usai melakukan pencoblosan pada 9 Juli 2014 lalu. Ketua Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh sekaligus Ketua Tim Pemenangan Capres-Cawapres Nomor Urut 1 Prabowo-Hatta itu mengatakan, Aceh bakal jahanam (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Jahanam” berarti celaka atau binasa-red) jika pasangan Nomor Urut 2 Jokowi-Jusuf Kalla memenangi kontestasi Pilpres, 9 Juli 2014 lalu.
“Jika Jokowi-JK menang, Aceh bakal jahanam. Begitulah lebih kurang terjadi bila mereka menang,” kata Muzakir Manaf yang juga Wakil Gubernur Aceh ini pada wartawan usai mencoblos di TPS 1 Desa Lam Geulumpang, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh. “Mungken eik u gle lom (mungkin naik gunung lagi).”
Faktanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pilres, walaupun pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mengaku tidak puas dan membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi.
Muzakir Manaf merasa Aceh akan mengalami bencana bila pasangan yang diusung PDIP dan didukung Partai Nasdem, PKPI, PKB serta Hanura tersebut menjadi presiden-wapres mendatang. Tapi, Mualem begitu Muzakir Manaf akrab disapa, tak menjelaskan detil rencana seperti apa yang dimaksud. Begitu pula dengan pernyataannya soal kemungkinan kembali “naik gunung”. Ini juga tak jelas.
Tapi warga Aceh mengerti, bila yang dimaksud “naik gunung” tak lain memanggul senjata dan melakukan perlawanan gerliya seperti era konfik dulu. Boleh jadi, ini pula yang dimaksud Muzakir Manaf dengan jahanam. Dengan adanya pergerakan bersenjata, maka Aceh akan kembali bersimbah darah alias jahanam.
Yang jadi soal, sejauh apa kebenaran dari apa yang disampaikan Muzakir Manaf itu? Sayang, pria asal Seuneudon, Aceh Utara ini tak bisa dikonfirmasi mengenai pernyataannya tadi. Upaya MODUS ACEH untuk meminta tanggapan langsung dari Muzakir Manaf selalu membentur tembok. Kantor DPA Partai Aceh di kawasan Lamteumen, Banda Aceh juga sering dalam keadaan sepi.
Upaya melakukan konfirmasi lewat jalur Pemerintahan Aceh, selalu mentok di Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh Murthalamuddin. Murthala selalu ogah setiap upaya konfirmasi yang dilakukan media ini. Baik kepada Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah maupun Mualem. “Untuk MODUS ACEH, tidak dan jangan harap,” kata Murthalamuddin yang juga pernah menghidupi keluarga dari hasil jerih payahnya sebagai wartawan MODUS ACEH di Lhokseumawe beberapa waktu lalu.
***
BOLEH jadi, bagi Muzakir Manaf pernyataan mengejutkan yang dia keluarkan itu hanya kalimat biasa. Tapi tidak bagi Nuraini, 45. Pedagang Mie Caluk, di kawasan Lampineung, Banda Aceh ini menerjemahkan kalimat itu dengan penuh keresahan. “Saya ada mendengar pernyataan itu dari kawan-kawan yang mengaku membacanya di media. Maunya, janganlah konflik lagi. Kami rakyat kecil ini yang akan merana,” kata Nuraini.
Bila ada yang resah, ada pula yang merasa pernyataan Muzakir Manaf tak rasional, bahkan kekanak-kanakkan. Di Aceh Barat Daya, sejumlah warga yang dimintai pendapatnya menilai, pernyataan Muzakir Manaf tersebut tak lebih dari upaya intimidasi psikologi untuk memuluskan kepentingan politiknya mensukseskan Prabowo-Hatta menang telak di Aceh, tapi sayang terlalu kekanak-kanakkan.
“Silahkan saja naik gunung lagi. Tidak ada yang larang. Tapi pernyataan yang dilontarkan itu jelas kepentingan yang bersangkutan. Dan ucapan yang disampaikan tersebut, mencerminkan sikap kekanak-kanakan. Sepertinya memang perlu diberi pelatihan komunikasi publik (public speaking),” kata Nasruddin warga Gampong Pineng, Kecamatan Susoh, Kabupatean Aceh Barat Daya (Abdya), saat bincang-bincang dengan MODUS ACEH, Rabu dua pekan lalu.
Nilai kekanak-kanakan memang tercermin dari komunikasi publik yang kerap disampaikan Muzakir Manaf. Menurut Nasruddin, sudah bukan satu dua kali Muzakir Manaf menyampaikan pernyataan dengan bahasa yang kotor dan bernada menghakimi. Muzakir Manaf, misalnya, sempat membuat jagat maya heboh dengan pernyataannya yang menerjemahkan akronim Partai Nasional Aceh alias PNA sebagai Partai Nasrani Aceh. Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini mengatakan itu disela-sela sambutan saat mengukuhan Komite Pemenangan Partai Aceh (KPPA), Sabtu 22 Februari 2014 lalu di Paya Bakong, Aceh Utara.
Buntut dari pernyataan itu, Muzakir Manaf akhirnya dipolisikan. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Aceh (PNA) Irwansyah alias Mukhsalmina melapor ke Polda Aceh, Senin 24 Februari 2014 lalu. Sayang, prosesnya hukum itu tak jelas hingga kini.
Sebelum itu, Muzakir Manaf juga membuat heboh dengan pernyataannya saat menanggapi kasus penganiayaan hingga tewasnya Ketua Partai Nasional Aceh (PNA), Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, Juwaini beberapa waktu lalu. Pembunuhan itu diduga dilakukan kader Partai Aceh bernama Abu Don.
“Kalau dia (Juwaini) mampus bukan urusan kita. Itu kehendak Tuhan, dia yang telah mencabut nyawanya,” ujar Muzakir Manaf menanggapi. Kontan, pernyataan Muzakir Manaf tadi mendapat reaksi negatif dari masyarakat.
Muzakir Manaf sepertinya keasyikan. Bukannya melakukan evaluasi, dia malah semakin sering menebar peryataan kontroversial. Pada 19 April 2014 lalu, Muzakir Manaf bahkan mengharamkan untuk memilih capres PDI-P Joko Widodo.
“Kita dukung Prabowo. Haram dukung PDI, ya. Karena kita Aceh,” ucapnya kepada wartawan di Krueng Geukeuh, Aceh Utara, Sabtu siang (19/4), di sela-sela kunjungannya memenuhi undangan Bupati Aceh Utara, H Muhammad Thaib, yang sedang melaksanakan kenduri pesta perkawinan anaknya. Lebih tegas lagi, Muzakir Manaf mengingatkan agar seluruh rakyat Aceh tidak ragu-ragu mendukung Prabowo.
Lagi-lagi, ucapannya itu berbuntut panjang. Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Aceh, H Karimun Usman mengadukan pernyataan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang mengharamkan memilih PDIP dan Jokowi sebagai Presiden RI, kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat H Amidhan.
Sebelumnya, Karimun Usman mengatakan sudah mendapatkan mandat dari DPP PDIP untuk meminta pandangan MUI Pusat, soal istilah “haram pilih PDIP dan Jokowi” yang disampaikan Wagub Aceh. “Haram adalah istilah agama, apakah bisa seorang pemimpin mengeluarkan pernyataan haram dalam Pilpres. Kita mau meminta pandangan MUI soal itu,” kata Karimun Usman seusai mengikuti Rapat Kerja Nasional PDIP di Jakarta, Jumat, 25 Mei 2014 lalu.
Karimun menyatakan, pernyataan Wagub Aceh tersebut merupakan hal yang sangat serius, mengingat yang digunakan adalah istilah agama. “Itu pasti memberi pengaruh kepada rakyat Aceh yang mayoritas muslim,” kata Karimun Usman.
Karimun mengaku sudah melapor dalam Rakernas PDI P dan kepada calon Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Salah satu yang direkomendasikan kepada saya agar segera menanyakan hal itu kepada MUI, karena terkait istilah haram,” sebut Karimun Usman.
Lagi-lagi, bukan evaluasi, Muzakir Manaf kembali menebar pernyataan keras yang mengatakan Aceh bakal jahanam bisa Jokowi-JK menang sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Celakanya, pasangan yang diyakini akan menjahanamkan Aceh itu menang dalam kontestasi Pilpres tahun ini. KPU bahkan telah menetapkan pasangan nomor urut dua sebagai pemenang dengan perolehan suara 53 persen lebih. Saat ini, keduanya hanya menanti pelantikan yang dijadwalkan akan berlangsung Oktober 2014 mendatang.
Lantas, akankah Muzakir Manaf “naik gunung”? “Karena dia pemimpin sekarang saat ini, maka kita kembalikan saja pada ucapannya itu. Apa mau dijalankan atau tidak,” tantang Zaini Djalil, Ketua DPW Partai NasDem Aceh saat dimintai tanggapannya, pekan lalu. “Kalau tidak dilaksanakan, maka masyarakat akan menilai sendiri karena pernyataan itu dimuat di media dan dibacakan oleh masyarakat”. Ya, kita tunggu saja.***
Penulis : Dadang Heryanto | Juli Saidi | Julida Fisma
Sumber: modusaceh.com
loading...
Post a Comment