Oleh Abu Shol
Perang dan damai telah menghiasi panggung sejarah umat manusia. Banyak orang beranggapan bahwa damai merupakan masa jeda antara perang dan perang. Dalam sejarah dunia, cukup sukar menghitung berapa jumlah peperangan yang telah menggemparkan jagat raya. Setidaknya ada beberapa perang yang cukup dahsyat, diantaranya adalah perang Napoleon, perang Dunia Pertama, perang Dunia Kedua, perang Salib, perang Ekspansi Mongol, dan lainnya. Dan, sampai saat ini, yang masih berkecamuk adalah perang antara Israil dan Palestina.
Perang dan damai telah menghiasi panggung sejarah umat manusia. Banyak orang beranggapan bahwa damai merupakan masa jeda antara perang dan perang. Dalam sejarah dunia, cukup sukar menghitung berapa jumlah peperangan yang telah menggemparkan jagat raya. Setidaknya ada beberapa perang yang cukup dahsyat, diantaranya adalah perang Napoleon, perang Dunia Pertama, perang Dunia Kedua, perang Salib, perang Ekspansi Mongol, dan lainnya. Dan, sampai saat ini, yang masih berkecamuk adalah perang antara Israil dan Palestina.
Jika ditinjau dari rekam sejarah, beberapa perang tersebut kebanyakan disebabkan oleh perebutan kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi, ataupun agama. Perebutan kekuasaan terkadang dipahami sebagai pengukuhan harga diri. Sebuah kelompok atau negara akan merasa dijatuhkan harga dirinya ketika ada sejumlah kelompok yang mencoba mengusik daerah kekuasaannya, sehingga hal ini memunculkan ketegangan antara keduanya, hingga pada puncaknya ditempuh dengan jalan perang.
Pada masa penjajahan, perang hampir menjadi sajian keseharian. Bahkan, perang dianggap sebagai langkah yang positif sebagai bentuk perlawanan terhadap perampasan hak dan kebebasan warga. Ketika sebuah bangsa diinjak-injak martabatnya, perang adalah pendobrak lahirnya kemerdekaan. Kenyataan ini telah banyak terekam dalam catatan sejarah perlawanan bangsa jajahan.
Dalam perkembangannya, muncul kesadaran bersama bahwa penjajahan harus dihapuskan, dan setiap bangsa berhak mendapatkan kedaulatannya. Oleh karenanya, dibentuklah beberapa forum internasional yang membahas perjanjian dan konstitusi internasional untuk mengatur hubungan antar negara. Dengan konstitusi ini, hubungan antar penjajah dan yang dijajah tidak boleh terjadi lagi dan digantikan dengan hubungan fungsional yang saling menguntungkan.
Dalam konstitusi modern, penjajahan atau perang fisik antar negara diminimalisir sedini mungkin dengan seperangkat aturan-aturan yang ketat. Perang antar negara pada perkembangan kekinian cenderung mengarah pada persaingan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Namun, perang (persaingan) non-fisik ini tampaknya di beberapa negara tidak jarang melahirkan ketegangan, yang tidak menutup kemungkinan melahirkan perang, meski intensitasnya tidak seperti ketika zaman penjajahan dan penaklukkan.
Di tengah perlunya perjanjian dan konstitusi internasional yang mengatur hubungan antar negara, lalu kenapa masih terjadi perang besar-besaran seperti yang kini terjadi antara Israil dengan Palestina, Thailand dengan Patani, Filipina dengan Mindanao dll. Inilah yang menimbulkan paradoks hubungan internasional. Disatu sisi, aturan-aturan internasional mengandaikan jalinan keharmonisan antar negarayang dalam bentuknya yang lebih kecil sebagai keharmonisan antar manusia dalam koridor kemanusiaan justru masih menyimpan celah bagi tindakan dehumanisasi besar-besaran.
Bolehlah kita melihat sekilas sejarah perang Israel-Palestina yang keduanya memang masih belum menerima kedaulatan masing-masing. Padahal, pada 13 September 1993 melalui kesepakatan Oslo, Palestina dan Israel sama-sama mengakui kedaulatan masing-masing. Namun, fraksi Hamas tidak menyetujui keputusan tersebut sehingga terus mendapatkan tekanan dari Israel hingga saat ini.
Perang terkadang dimaknai sebagai titik awal lahirnya perubahan. Ketika terjadi kejumudan lantaran dominasi kekuasaan yang telah memasung kebebasan bangsa tertentu, perang sebagai bentuk perlawanan tidak jarang melahirkan perubahan yang mendasar. Taruhlah kasus di Indonesia ketika menghadapi tentara Jepang dan Belanda dalam banyak pertempuran. Dalam maknanya yang positif, perang ternyata terbukti menjadi tonggak awal pembentukan sejarah baru bagi peradaban suatu bangsa.
Namun, yang perlu diletakkan secara proporsional adalah bahwa perang yang didasarkan pada hasrat untuk menguasai orang atau bangsa lain tidak lain adalah kejahatan kemanusiaan yang hakiki. Hubungan kemanusiaan yang dihancurkan oleh hasrat kekuasaan harus dikembalikan kepada akar persoalan yang sebenarnya. Jika ketegangan hubungan antar negara diselesaikan berdasarkan hasrat kekuasaan hanya akan melahirkan perang yang berkepanjangan.
Satu-satunya jalan untuk menengahi perang adalah meletakkan persoalan secara kemanusiaan. Saling berebut untuk menjadi bangsa terkuat hanya akan melahirkan ketegangan yang terus menerus berlanjut. Konflik Thailand dan Patanitidak lain didasarkan hasrat kekuasaan Thailand untuk menguasai bangsa Patani. Dan, tampaknya dua kubu ini tidak memilih jalan dalam jalur kemanusiaan.
Dalam perspektif politik kekuasaan, pola hubungan antar negara akan selalu mengalami ketegangan jika tidak dibalut dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa semangat kemanusiaan dalam hubungan ini, maka perebutan akan selalu melahirkan konflik dan perang berkepanjangan. Jalan damai adalah jalan perang. Ketika sudah banyak korban jiwa, hingga pada puncaknya terjadi kehancuran, damai muncul sejenak "mengisi lelah" di antara perang dan perang.
Dalam konteks perang antara Thailand-Patani Israil-Palestina, kita perlu memahami siapa yang berhasrat untuk menguasai dan siapa yang menjadi objek kekuasaan. Pihak yang hendak menguasai dengan jalan perang, dialah yang mulai menjajah kemanusiaan. Mungkin bagi pihak yang dikuasai, perang merupakan alternatif untuk mengangkat derajat kemanusiaan mereka. Jika tidak ada jalan penengah dengan menempatkan batas kemanusiaan, perdamaian di tengah peperangan hanya bisa ditempuh melalui dan oleh kekuatan perang. Dalam posisi ini, yang dimenangkan adalah perang itu sendiri. Jika demikian, dimanakah letak perdamaian hakiki? Barangkali memposisikan manusia (bangsa) dalam ke-manusiaannya, satu-satunya cara menghentikan perang.
Konsep damai membawa konotasi yang positif hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian; Perdamaian dunia merupakan tujuan utama dari kemanusiaan. Beberapa kelompok, berpandangan berbeda tentang apakah damai itu, bagaimana mencapai kedamaian, dan apakah perdamaian benar-benar mungkin terjadi.
Damai memiliki banyak arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengizinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atasnya.
Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu. Makanya untuk gambaran umumcitra perdamaian di masa mendatang bagi Patani atau ThailandSelatan bahwa akan terlihat didefinisikan oleh berbagai konteks antara pertarungan kedua-dua tipe tersebut. Karena masing-masing membangun bangsa (nation) lalu nasionalisme merupakan fenomena yang kompleks, dipengarui oleh faktor budaya, politik dan psikologis, secara budaya bangsa merupakan sekompok orang yang diikat oleh kesamaan bahasa, agama, sejarah dan tradisi. Namun begitu mereka masih mentolerir heterogenitas pada level tertentu. secara politik, bangsa merupakan kelompok orang mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah komunitas politik. dicirikan dengan keinginan untuk membentuk negara atau sekurangnya memiliki kesadaran sebagai Civic Society. Secara psikologis, merupakan seklompok orang yang memberikan loyalitasnya terhadap komunitas dalam bentuk patriotism.
Realitas Ideologi Thaisme
Thaisme atau Siamisasi,Thailand telah mendefinisikan perdamain dengan sifat dan bentuk rupanya perdamain yang menggambar atau diidentifikasi oleh pemerintah Thailand, gambaran tersebut adalah gambaran yang tidak berubahan apa-apa dengan secara struktural pemerintah dibawah konstitusional Thailand yang akan berlaku sekiranya self-governance (desentralisasi, pemerintahan khusus, daerah istimewa) atau bahkan Patani mendapat kemerdekaan sekalipun, salah satu penyebabnya pelukis gambar diimejinasikan telah mengideologis berpolitik dan nasionalistik diperluaskan kekuasaan (expansionist nationalism) dan ideologi politik nasionalisme konservatif (conservative nationalism) karena masing-masing membangun sesadaran nasionalis semangat patriot(patriot spirit).
Dengan peperangan kerajaan Siam dengan kerjaan Patani di tahun 1785 dan dapat kemenangan di tahun 1786 sehingga digabung menjadi sebagian kuasa territorial kerajaan Siam berhasil 1909 dengan kemuncak ditandatangani Anglo-Siamese Treaty diangkap langkah pertama kali dalam menerapkan ideologi politik nasionalisme ekspansionis.
Nasionalisme Ekspansionis (expansionist nationalism) ditandai dengan karakternya yang agresif (aggressive), militeristik (militaristic) dan ekspansionis.Merupakan antithesis terhadap prinsip kesetaraan dan penentuan nasib sendiri dalam nasionalisme liberal. Nasionalisme ini memanfaatkan antusiasme massa sebagai bangsa unggul. Pada abad 19, pandangan ini banyak mempengaruhi negara-negara Eropa yang mengaggap mereka sebagai bangsa pilihan yang berhak untuk menguasai Asia dan Afrika adapun yang sebut (imperialism).
Pandangan mengenai bangsa unggul pertama kali diperkenalkan oleh Nicolas Chauvin, prajurit Prancis pada masa Napoleon. Chauvin mengajarkan pandangan irasional mengenai superioritas atau dominasi bangsa tertentu atau yang lebih dikenal dengan chauvinism. Chauvinism ini dikembangkan oleh Adolf Hitler untuk membentuk teori tentang keunggulan ras Arya. Sehingga Jerman kemudian muncul sebagai negara ekspansionis pada masa Perang Dunia II.
Ekspansionis memiliki pandangan yang bersifat ultranasionalis, dimana bangsa merupakan segalanya. Individu tidak memiliki arti apa-apa kecuali jika memberikan loyalitas bagi kejayaan bangsa. Sifat ultranasionalis ini muncul sebagai akibat keterasingan, isolasi dan ketidak berdayaan. Kondisi ini memaksa mereka untuk berbangga diri dalam artian sempit serta berusaha menjadi lebih unggul disbanding yang lain.
Namun nasionalisme konervatif (conservative nationalism) berkembang belakangan setelah nasionalisme liberal, meskipun lebih dulu muncul dibanding liberal. Nasionalisme liberal bangsa sebagai subversive dan ancaman. Kecendurngan dari konservatif adalah membentuk imperium yang bersifat monarki dan militeristik. Menginginkan sebuah bangsa yang integral atau lebih dikenal dengan pan-nasionalisme.
Karena nasionalisme pada awal abad ke-19 nasionalisme adalah sebuah konsep yang datang bebas bersama dengan Revolusi Prancis, merupakan sebuah ancaman bagi peran rezim lama seketika itu. Karena bangsa dianggap sebagai sebuah ancaman, kelompok konservatif lebih mendukung terbentuknya sebuah negara-bangsa terlebih dahulu dari pada pembentukan bangsa (nation-building). Hal ini bertujuan agar loyalitas bisa diberikan kepada institusi politik sehingga menghindari terbentuknya loyalitas terhadap bangsa.
Kebelakangi ini nasionalisme dengan konervatisme telah mempunyai titik temu bersama kedua-dua ideologi tersebut memberi kepentingan yang disebut tradisionalisme (traditionalism) yang di gabungan dari ideologi pokok gagasan utama antara konervatisme dengan nasionalisme budaya (cultural nationalism) maka terdapatlah nasionalisme konservatif (conservative nationalism).
Abstraksi Ideologi Patanisme
Nasionalisme ke-Patani-an yang diagung-agungkan itu ternyata masih dalam bentuknya yang paling abstrak. Kalau mau lebih jujur, secara ideologi dan konsep tidak ada sesuatu yang baru dan unik dari konsep self-governance. Sifat dan bentuk bagi rupa perdamain yang telah dilukis oleh gerakan nasionalis (nationalis mevoment) maupun gerakan pembebasan (liberal mevoment) untuk kemerdekaan Patani dengan image masa mendatang sebuah kecitraan merdeka dari rakyat bangsa Patani (Patani nation) yang melawan peperangan dengan imperialisme Siam atau pemerintah Thailand selama berabad-abad.Karena pelukis image diimejinasikantelah mengideologis nasionalisme liberal (liberal nationalism) dan nasionalisme anti-kolonial (anticolonial nationalism).
Nasionalisme liberal berakar dari pemikiran liberal klasik Eropa yang muncul sejak Revolusi Prancis. Revolusi tersebut menumbuhkan kesadaran tentang perlunya perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan nasional serta proses unifikasi yang mensyarakan konstitusi untuk membatasi pemerintah. Ini mempengaruhi terbentuknya negara-negara baru di Eropa yang didasari oleh kesamaan etnis. Seperti Unifikasi Italia oleh Guesepp Mazzini (1805-1872) serta terbebasnya negara Amerika Latin dari Spanyol.
Nasionalisme liberal memiliki asumsi bahwa umat manusia secara alamiah terbagi dalam banyak bangsa yang memiliki identitas berbeda. Bangsa merupakan komunitas organik yang memiliki kesetaraan dengan bangsa lain. Tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa bangsa tertentu sebagai kelas penguasa semetara yang lain tidak. Dalam pandangan liberal setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) untuk membentuk komunitas politik (nation-state).
Prinsip penentuan nasib sendiri (self-determination) dan keseteraan ini diterapkan oleh Wodrow Wilson, Presiden AS, dalam perjanjian Versailles 1919. Dalam pidatonya yang dikenal dengan “14 pilar”, Wilson menata ulang wilayah politik di Eropa. Wilson berusaha memecah imperium Eropa (Austria, Jerman, dan Turki) menjadi negara-negara yang lebih kecil. Dia memandang bahwa bangsa Yugoslavia, Polandia dan Chezh merupakan bangsa tersendiri yang mempunyai hak untuk mendirikan negara.
Sedangkan nasionalisme anti-kolonial muncul sebagai reaksi terhadap kolonialisme Eropa di Asia Afrika. Benih-benihnya muncl pada awal abad 20 dan baru mendapatkan momentumnya setelah Perang Dunia II. China merdeka (1949) setelah delapan tahun berjuang melawan pendudukan Jepang. Indonesia mendapat pengakuan pada 1949 setelah tiga tahun perlawanan menolak kehadiran kembali Belanda. Prancis terpaksa hengkang dari Vietnam pada 1954 setelah timbul perlawanan bersenjata. Perlawanan bersenjata yang muncul di Asia Tenggara menginspirasi negara-negara Afrika sehingga di sana juga muncul gerakan pembebasan. Gerakan ini dipelopori oleh Nkrumah di Ghana, Azikiwe di Nigeria, Julius Nyere di Tanzania dan Hasting Banda di Malawi. Gerakan ini semakin kuat di akhir 1950an dan mulai membuahkan hasi pada dekade 1960an.
Sebenarnya nasionalisme anti-kolonial meniru nasinalisme liberal dimana mereka mengadopsi konsen kesetaraan dan penentuan nasib sendiri. Namun kebanyakan gerakan pembebasan ini justru lebih banyak mengambil ideologi sosialis terutama Marxism-Leninisme. Karena yang menjadi konsen perjuangan mereka adalah memutus mata rantai sub-ordinatif dengan negara industri Eropa. Mereka ingin membentuk solidaritas kelas negara tertindas untuk menghadapi negara kapitalis.
Namun sejak dekade 1970an, Islam mulai mengambil alih ideologi sosialis. Revolusi Iran 1979 merupakan bukti pertama keberhasilan Islam mengambil alih politik. proses Islamisasi politik juga berlangsung di Pakistan dan Sudan. Sementara di negara Mesir dan Algeria, kelompok Islamis lebih bergerak sebagai gerakan moral.
Walau bagaimanapun apabila rakyat berpikir dan akan melakukan suatu hal untuk berhentikan perang terusdeklarasi damai (peace declaration) mengikut keinginan pada diri sendiri atau yang sedang melakukan, maka jangan dilupakandengan bersedian jawaban yang jelas bahwah “Bagaimana perdamain bagi rakyat atau bangsa Patani inginkan?”
Definisi Patani
Secara definisi oleh pemerintah Thailand bagi “Patani” adalah provinsi “Pattani” salah satu provinsi bagian Southern Thailand (Thailand Selatan ataupun Selatan Thai)salah satu provinsi berbatasan sempadan (Southern Border Provinces) dengan Federasi Malaysia. Manakala gerakan pembebasan mengdefinisi Patani adalah “Patani Merdeka”.
Mengikut dasar-dasar demokratis dan hak asasi manusia, variable penting tergangung pada rakyat (people) yang harus memilih salah satu diantaranya karena pilihan ketiga adalah memerintah sendiri (self-government), mayoritas kebanyakan berhasil dari negosiasi menghentikan perang(negotiation stopping the war) antara pelaku perangnya ataupun hasil dari rakyat yang mengunai hak dalam referendum bukan kriteria yang ditetapkan menjadi merdeka (independence).
Seandainya rakyat (peoples) bangsa Patani (nations Patani) tidak sedia jawaban tentang perdamain (peace) yang diinginkan maka sangat khawathirnya paling tidak damai paska perang akanberupa sifat dipaksa secara kekerasan (violence) oleh kedua pihak bagi pemerintah (government) maupun gerakan pembebasan (liberation movements).
Kesimpulan secara singkat perdamai di Patani atau Thailand Selatan,damai yang hakiki akanmuncul secepat atau terlambat semua hanya tergantung pada peranan hak politik(political rights) dari rakyat yaitu warga penduduk(citizen) atas partisipasi dalam membangun perdamain yang dicintai.
Referensi:
John T. Ishiyama, Marijke Breuning, editor. “Ilmu Politik; Dalam Paradigma Abad Ke-21”, Jilid II, (Jakarta: Pranada Media Group, 2013), hlm. 1026. Diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S, dari buku aslinya “21st Century Political Scince: A Reference Handbook”.
Tuan Danial Tuan Meange, “Patani Medeka Dijalan Raya”, (Awan Book : Patani, 2013), hlm. 126-127
Tuan Danial Tuan Meange, “Patani Medeka Dijalan Raya”, (Awan Book : Patani, 2013), hlm. 126-127
loading...
Post a Comment