Halloween Costume ideas 2015
March 2017

Oleh Ramli Cibro

BELUM lagi selesai dilema soal destinasi wisata syariah, kini kita kembali dikejutkan oleh penempatan Barus yang penduduknya sebagian besar non-muslim sebagai “Titik Nol Islam Nusantara”. Kali ini kita bertanya, bukankah sejarah Islam di Nusantara dimulai dari Aceh dengan kerajaan-kerajaan pertama Pasai, Perlak dan Lamuri? Mengapa justru tugu Islam Nusantara diletakkan di tempat lain?

Untuk menjawab persoalan tersebut tentu kita harus kembali kepada akar masalah apa itu Islam Nusantara? Karena sejatinya perkara “Islam Nusantara” bukanlah sekedar perkara sejarah dimana pertama sekali Islam menginjakkan kakinya di Nusantara? Islam Nusantara adalah perkara epistimologi-teologi tentang bagaimana dan dimana konstruksi keislaman dan kebudayaan dimulai secara utuh. Siapa yang dengan gamblang menjelaskan konsep dialog keislaman dan kebudayaan dalam bingkai ketasawufan berbasis wujud? (Mulyadi, 2016:81).

Sejarah kemudian mencatat nama besar Hamzah Fansuri sebagai konseptor pertama yang menjelaskan dialog keislaman dan kebudayaan. Namun sayangnya nama besar tersebut mengalami tragedi di Aceh ketika pemikiran dan karya-karyanya dimusuhi. Puncak dari semua itu adalah pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri, di depan Masjid Raya Baiturrahaman (Hadi, 2005:13).

Peradaban Islam Nusantara berangkat dari spirit wujud dalam bentuk sistem nilai, sistem berpikir dan sistem berbudaya sebagai hasil dari perkawinan antara Islam dan kebudayaan. Ini terlihat dari warisan-warisan kearifan lokal yang berdimensi Islam, warisan-warisan intelektual dalam bentuk karya-karya teologi-sufisme, dan kebudayaan-kebudayaan yang sejalan dengan ruh keislaman dan ketauhidan (Al-Attas, 1990:39; KBA, 2017:11; dan Mulyadi, 2016: 81).

Konsep teo-sufi
Peradaban Islam Nusantara erat kaitannya dengan model keislaman yang dipakai oleh para mubaligh tempo doeloe dalam menyebarkan agama Islam. Dan lagi-lagi konsep teo-sufi berbasis wujud milik Hamzah Fansuri dipercayai menjadi basis penyebaran Islam di Nusantara. Konsep wujud yang konon diambil dari ajaran wahdatul wujud tersebut, kemudian berkembang di seantero Nusantara dibuktikan dengan menyebarnya karya-karya Hamzah Fansuri seperti di Buton-Sulawesi (M. Solihin, 2005:33).

Dan konon ajaran wujud Hamzah Fansuri memberi pengaruh bagi transformasi keislaman berbasis mistik di Pulau Jawa. Naskah Wirid Hidayat Jati, misalnya, dipengaruhi oleh Hamzah Fansuri melalui muridnya Syamsuddin Al-Sumatra’i (Simuh, 1988:286).

Jika kita melihat dari perspektif ini, penepatan tugu Islam Nusantara di Barus memiliki setitik argumentasi. Setidaknya, walaupun ajaran wujud yang menjadi epistimologi atau ruh Islam Nusantara pernah berkembang di Aceh, namun fakta terakhir menunjukkan bahwa ajaran ini telah terusir keluar dari wilayah Aceh.

Persoalan lain mengapa bukan Aceh adalah gejala keagamaan di Aceh akhir-akhir ini tidak mencerminkan semangat Islam Nusantara yang toleran terhadap perbedaan dan harmonis terhadap persamaan (KBA, 2016: 120-138). Akhir-akhir ini kita mendengar kekerasan dan pemaksaan atas nama agama merebak dan banyak. Dan hal ini “bagi orang-orang Jakarta” sangat mencederai nilai-nilai Islam Nusantara.

Persoalan selanjutnya adalah mengenai kepantasan Barus untuk dijadikan titik nol bagi konsepsi peradaban Islam Nusantara. Perlu diketahui bahwa Barus bukanlah kota tanpa Sejarah. Barus pernah besar dan bahkan konon telah menjadi kota perdagangan sebelum kedatangan Islam. Berita-berita dari Prapanca (Majapahit), Tome Pires (Portugis), Sulaiman Al-Muhri (Arab), dan Sidi Ali Syalabi (Turki) mencatat bahwa Barus adalah kerajaan kecil yang merdeka dan makmur, yang diramaikan oleh perdagangan (Hadi, 1995:11).

Hingga saat ini, di Barus masih ditemukan artefak-artefak sejarah kejayaan Islam sama lalu dan makam-makam besar para ulama dan wali (seperti Makam Syekh Mahligai dan Makam Tangga Seribu). Penemuan makam-makan besar tersebut mengindikasikan bahwa Barus memiliki banyak ulama-ulama besar. Hawash misalnya mengajukan nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Abdul Murad dan Burhanpuri sebagai Ulama yang lahir dari Barus (Hawash, 1930:35).

Menyelamatkan sejarah
Selain itu, penepatan Barus sebagai titik Nol Peradaban Islam Nusantara akan menyelamatkan sejarah kota tua, sekaligus mengembalikan ruh Islam yang telah mati di kota tersebut. Karena seperti kita ketahui, bekas-bekas keislaman telah telah tergerus karena penduduk mayoritas di wilayah Barus yang nonmuslim. Jika melihat dari argumentasi ini, penepatan Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara akan menyelamatkan sejarah, identitas dan khazanah keislaman di wilayah tersebut. Dan boleh jadi, penepatan Barus sebagai Titik Nol Peradaban Islam Nusantara akan menyemarakkan kembali penyebaran Islam di wilayah itu.

Jika merujuk kepada beberapa argumentasi tersebut, penepatan Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara seyogyanya masih dapat diterima. Sejatinya sejarah tidak akan menafikan peran Aceh bagi perkembangan peradaban Islam di Nusantara. Akan tetapi narasi Nusantara bukanlah semata-mata narasi historis tentang di mana pertama kali Islam menginjakkan kaki dan berkembang. Namun, Islam Nusantara adalah narasi intelektualitas dan peradaban, dari mana dan dari siapa konsep-konsep Islam berbasis kebudayaan Nusantara ini mulai bermula. Tidak dapat kita pungkiri bahwa basis tersebut pernah ada di Aceh, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa ajaran wahdatul wujud yang menjadi basis Islam di Nusantara juga pernah diusir keluar dari Aceh.

Lagi pula, kebijakan apapun yang dibuat oleh pemerintah pasti menimbulkan pro dan kontra. Namun sebaik-baik respons adalah yang dilakukan setelah melalui proses tabayyun (uji data) dan tafakkur (uji argumentasi). Tabayyun artinya mencari kejelasan sejelas-jelasnya, data dan validitas sejarah. Adapun tafakkur artinya merenung dan menimbang bagaimana harus bersikap terhadap data-data yang telah diperoleh. Karena tabbayyun tanpa tafakkur akan menghasilkan keputusan yang akurat namun “tidak bijak” dan tafakkur tanpa tabayyun akan menghasilkan keputusan yang “terlihat bijak”, namun tidak akurat. Sekian!

* Ramli Cibro, mantan Santri Dayah Darul Hasanah Syekh Abdurauf Singkil, sekarang sebagai mahasiswa pascasarjana UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: ramliano_decibro@yahoo.co.id. (Dikutip dari laman serambinews.com)

Aceh, Islam, Pancasila, dan RI: Supaya Penguasa Negeri Tahu Diri

Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM (Guru Besar Universitas Paramadina)

Sejarah bagaimana propinsi Nanggroe Aceh Darussalam mau bergabung dengan negara RI dan siapa atau golongan apa yang saja yang memainkan peranan penting, pada saat sekarang ini harus dijelaskan secara jujur dan obyektif oleh ahli-ahli sejarah yang kompeten.

Dulu ketika sejarawan Aceh kelahiran Langsa Prof Ibrahim Alfian masih hidup, saya sering bertemu dan berbincang dengan beliau tentang hal ini. Ketika beliau menjadi dosen tamu di Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 1973-75, beliau juga menceritakan banyak hal tentang ini.

Kalau tak salah dengar, beliau mengatakan bahwa peranan organisasi Islam seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan lain-lain memainkan peranan penting dalam menanamkan kesadaran bahwa rakyat Aceh perlu bersatu dengan rakyat Indonesia dari suku serumpun Melayu yang sama-sama beragama Islam.

Alasannya Aceh memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam dan peradaban Islam di Nusantara, rakyat Aceh harus berpisah dengan saudara-saudaranya yang ada di Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan lain-lain.

Kecintaan orang Aceh kepada Indonesia tidak diragukan lagi. Ketika RI memerlukan pesawat terbang, maka orang kaya Aceh bergotong royong membelikan RI pesawat terbang Seulawah untuk kepentingan tentara TNI Angkatan Udara.


Abdul Rauf Singkil, Daud Beureuh, Janji Sukarno Kepada Rakyat Aceh

Pada tahun 1948 Sukarno datang ke Aceh dan menjanjikan kepada Aceh status Daerah Istimewa.

Tetapi setelah pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1950, wilayah propinsi Aceh dikurangi oleh pemerintah pusat. Sebagian wilayah propinsi Aceh dimasukkan ke dalam wilayah propinsi Sumatra Utara. Konon termasuk wilayah yang sekarang termasuk Kabupaten Singkil, tempat lahir ulama atau wali sufi terkenal Syekh Abdul Rauf Singkil.

Karena ketidak puasan terhadap pemerintah pusat inilah Daud Beureuh, pemimpin Aceh 1950an, kemudian bergabung dengan DI/TII sebagai protes.

Nah, ahli sejarah bisa meneruskan memberi paparan bagaimana Aceh selanjutnya setelah Daud Beureuh kembali ke pangkuan RI pada akhir tahun 1950-an.

Rakyat Indonesia Harus Tahu Diri Aceh itu Hadiah dari Islam..!

Kita potong langsung ke zaman Orde Baru. Entah apa sebab musababnya DOM (Daerah Operasi Militer) diberlakukan di Aceh menjelang tahun 1950-an.

Aceh pun bergolak menjadi daerah yang membara sampai akhirnya muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro.

Nah, y
ang ingin saya tekankan di sini ialah: Masuk atau bergabungnya Aceh kepada RI bukan hadiah dari pemerintah kolonial Belanda, juga bukan hadiah pemerintah pendudukan Jepang atau pasukan sekutu.

Pemerintah RI dan rakyat Indonesia di daerah lain seperti di Jawa, hendaknya tahu diri. Jangan mentang-mentang Aceh adalah bagian dari RI, maka Aceh dan agama yang dianut penduduknya diperlakukan semena-mena dan hanya dicap sebagai sarang pelatihan terorisme dan kaum radikal.

Kita orang di luar Aceh juga harus tahu diri, sebagaimana harus tahu diri menyikapi orang Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan lain sebagainya.

Aceh bukan hadiah dari Pancasila. Aceh adalah hadiah dari Islam dan sejarah Islam!

SALAM….


AMP - Banyak desa di Aceh belum menyelesaikan laporan pertanggungjawaban dana desa pada tahun anggaran 2016. Penyalurannya juga dinilai rentan penyalahgunaan.

Mashuri tampak sibuk mencermati deretan angka-angka dalam laporan yang bertumpuk di hadapannya. Sesekali ia menoleh ke tumpukan dokumen yang berada di sisi kirinya. Kemudian beralih pada laporan yang berada persis di depannya sembari menuliskan sesuatu.

Saat ditemui di kantor Geuchik Gampong Peurada, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Gampong Peurada itu sedang merevisi laporan pertanggungjawaban dana desa tersebut untuk tahun anggaran 2016. “Masih banyak yang salah. Ini dicek lagi, karena berbeda datanya kemarin yang di sistem sama yang di rekening bank. Jadi harus sama,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis siang pekan lalu.

Laporan pertanggungjawaban dana tersebut, kata Mashuri, disampaikan melalui Sistem Keuangan Desa atau Siskeudes kepada Camat Syiah Kuala, Badan Pemberdayaan Masyarakat, dan Pusat Pelaporan dan Analisis dan Traksaksi Keuangan.

Namun karena laporan mesti diperbaiki, ia belum bisa mengirimnya meski telah melewati tenggat. Akibatnya, kata Mashuri, dana untuk tahun ini belum diberikan. “Kemarin itu juga Sekdes (Sekretaris Desa) sibuk sebagai PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), jadi laporannya belum lengkap,” tuturnya.

Terkait publikasi informasi laporan dana tersebut, ia mengaku hal tersebut sudah dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman agar diketahui masyarakat. Informasi itu hanya memuat laporan dana per proyek, bukan laporan keseluruhan.

“Misalnya ada kegiatan pembuatan got. Itu dipublikasikan melalui papan pengumuman di lokasi pembuatannya,” ujarnya.

Geuchik Gampong Peurada Hasanuddin juga mengakui keterlambatan laporan dana desa pada 2016 itu. Tahun lalu, kata dia, anggaran dana untuk Gampong Peurada mencapai Rp1,068 miliar.

Rinciannya, Dana Desa yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara senilai Rp622.278.851, penerimaan bagi hasil pajak dan retribusi daerah Rp33.766.077, serta Alokasi Dana Gampong dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh senilai Rp404.166.462. Selain itu, ada juga dari pendapatan gampong lainnya yang sah senilai Rp8.583.742. “Kalau ADG (Alokasi Dana Gampong) sudah habis terserap penggunaannya, tapi ADD (Alokasi Dana Desa) tidak bisa digarap dan digunakan karena waktunya kepepet. Jadi lebih baik dana itu dialokasikan untuk tahun anggaran 2017,” ujar Hasanuddin.

Laporan Belum Siap

Peurada hanyalah salah satu gampong di Kota Banda Aceh yang belum menyiapkan laporan pertanggungjawaban dana desa tahun anggaran 2016. Masih banyak desa lain di Aceh yang terancam tak mendapatkan dana tahun ini karena belum menyiapkan laporan pertanggungjawaban.

Di Bireuen misalnya. Hampir seluruh desa di kabupaten tersebut  belum membuat laporan pertanggungjawaban. Seperti dilansir Serambi Indonesia, hingga 19 Januari, hanya satu desa telah menyerahkan laporan pertanggungjawaban yakni Keude Lapang di Kecamatan Gandapura. Sementara 608 gampong lain belum mengirimkan laporan.

Karenanya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo telah mengimbau para kepala desa segera mempublikasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa itu kepada masyarakat dan diterakan pada semacam baliho yang dipampang di depan kantor desa. “Masih banyak desa yang belum membuatnya. Maksudnya agar masyarakat juga bisa melihat serta melakukan fungsi pengawasan,” ujarnya saat melakukan pertemuan dengan kepala desa dan kelompok tani se-Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, seperti dikutip Antara, Sabtu, 18 Februari 2017.

Besarnya dana yang diperoleh setiap desa juga memiliki kecenderungan besar disalahgunakan. Sebagaimana temuan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang menyatakan adanya dugaan pemotongan dana desa sebesar lima persen oleh pihak Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, pada 8 Oktober 2016.

Begitu pula hasil audit Inspektorat Kabupaten Aceh Barat Daya yang menyebutkan setidaknya ada tujuh desa diduga bermasalah dalam penggunaan dana tersebut. “Ada desa tidak bisa membuat pertanggungjawaban. Niat mereka untuk membuat kesalahan tidak ada, tapi karena tak paham mereka jadi salah. Seperti setiap kegiatan itu ada pajak dan sebagainya, dan mereka ini akan kita bina,” ujar Kepala Inspektorat Aceh Barat Daya Jufridani kepada Serambi Indonesia, Jumat, 27 Mei 2016.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Dana Desa, pada pasal 72 disebutkan pendapatan desa berasal dari beberapa sumber. Sumber itu antara lain pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten kota, Alokasi Dana Desa, bantuan keuangan dari APBD dan APBK, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, serta lain-lain pendapatan desa yang sah.

Berdasarkan paparan Kementerian Keuangan tentang kebijakan pengalokasian dan penyaluran dana desa tahun 2017, pada tahun anggaran 2016, Provinsi Aceh mendapatkan anggaran dana desa total senilai Rp5,282 triliun. Rinciannya, Alokasi Dana Desa dari APBN Rp3,829 triliun, Alokasi Dana Gampong dari APBA Rp1,835 triliun, serta dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah senilai Rp66,991 miliar. Rata-rata, setiap desa di Aceh mendapatkan Rp815,945 miliar.

Disarikan dari data realisasi dana desa tahun anggaran 2016 di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh, Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBN untuk 6.474 gampong di 23 kabupaten dan kota diberikan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, dana Rp2,298 triliun atau 60 persen ditranser dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) 23 kabupaten dan kota di Aceh.

Sedangkan pada tahap kedua, II, RKUN mentransfer dana Rp1,471 triliun atau 38,40 persen ke RKUD. Kemudian, Rekening Kas Umum Daerah mengirim dana tersebut ke Rekening Kas Desa di kabupaten. Pada tahap pertama, ditransfer Rp2,294 triliun atau 99,84 persen dari total Rp2,298 triliun dana RKUN yang dikirimkan ke RKUD. Dana Rp1,264 triliun atau 85,92 persen dari total Rp1,471 triliun dana RKUN ke RKUD kemudian disalurkan lagi ke RKD kabupaten dan kota pada tahap kedua.

Sementara, total penggunaan dana desa di Aceh yang bersumber dari APBN pada 2016 senilai Rp2,512 triliun atau 65,58 persen dan tersisa Rp1,318 triliun atau 34,42 persen.

Keseluruhan dana tersebut diperiksa oleh inspektorat secara berjenjang. Inspektur Pembantu I Inspektorat Aceh, Abu Bakar mengatakan yang bertugas mengaudit dana desa itu adalah inspektorat di kabupaten dan kota. “Dari penyusunan APBDes-nya dan apakah pelaksanaannya sesuai dengan APBDes itu, itu semuanya diperiksa oleh inspektorat kabupaten kota,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.

Ia menambahkan, sesuai Pedoman Pengawasan Dana Desa dari Kementerian Dalam Negeri, inspektorat provinsi hanya bertugas mengawasi pengalokasian dana desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten dan Kota, atau dari RKUD ke RKD. “Setelah dialokasikan ke RKUD, apakah penyaluran ke RKD itu tepat waktu nggak. Itu tugas inspektorat provinsi. Setelah tersalurkan ke RKD, nah, itu baru jadi tugas inspektorat kabupaten kota masing-masing,” tambah Abu Bakar.

Jika timbul persoalan terkait pengelolaan dana di desa, kata Abu Bakar, menjadi tanggung jawab inspektorat kabupaten. Inspektorat kabupaten juga tidak berkewajiban melaporkan hasil audit mereka kepada inspektorat provinsi.

Sementara audit yang dilakukan inspektorat provinsi terhadap kabupaten dan kota dilakukan saban tahun melalui Program Kerja Pemeriksaan Tahunan.

“Kan nggak mungkin diaudit pengalokasian dana desa semua kabupaten dan kota di Aceh. Jadi kita tentukan sampling audit tahun 2016 di 12 kabupaten dan kota. Nanti kita akan kita laporkan ke Pak Gubernur, lalu akan disampaikan ke Mendagri,” ujar Abu Bakar. Keduabelas kabupaten dan kota yang menjadi sampling audit adalah Aceh Barat Daya, Pidie, Singkil, Subulussalam, Langsa, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Tenggara, Bireuen, Aceh Utara, dan Pidie Jaya. Sementara satu kabupaten lagi gagal dilakukan, yaitu Gayo Lues.

Selain audit tahunan, Abu Bakar menjelaskan Inspektorat Aceh bisa juga mengaudit langsung kabupaten dan kota yang mengalami persoalan dengan pengelolaan dana desa. “Boleh saja kami lakukan sepanjang kasus yang terjadi itu ada laporannya. Misalnya, ada masyarakat atau desa melaporkan secara tertulis ke gubernur. Nanti Pak Gubernur yang memerintah Inspektur Aceh agar melakukan audit,” tuturnya.

Koordinator MaTA, Alfian menyebutkan ada dua masalah utama dalam pengelolaan dana desa. Pertama, masih terbatasnya partisipasi dan keterlibatan warga mulai dari perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban di tingkat desa. “Hal ini perlu diperkuat kembali. Artinya, perangkat gampong yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana desa itu harus memaksimalkan keterlibatan warganya dari perencanaan, penganggaran hingga pengawasan,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.

Kedua, kata Alfian, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa masih rendah. Masyarakat masih susah mengakses laporan pertanggungjawaban dana dari pemerintah desa. “Kalau dalam tatakelola keuangan ini masih tertutup atau tidak transparan, peluang terjadi tindak pidana korupsi sangat besar,” ungkapnya.

Alfian berharap adanya keterlibatan warga secara menyeluruh di desa dalam perencanaan anggaran. Selain itu, laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana desa dipublikasikan kepada warga. “Harusnya ada perkembangan dalam tatakelola yang lebih baik. Apalagi ini sudah masuk tahun ketiga kan, 2017.”

Hal itu sebagaimana diamanatkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 27 yang menyebutkan bahwa kepala daerah wajib memberikan dan menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat desa setiap akhir tahun anggaran. Lalu, pasal 68 ayat 1 menyatakan masyarakat berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa, mengawasi serta menyampaikan aspirasi terkait kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Karena itu, Alfian menekankan berbagai kelemahan dalam pengelolaan dana ini harus segera dievaluasi. Ia menuding Badan Pemberdayaan Masyarakat di daerah masih abai terhadap persoalan ini. “Mereka bertanggung jawab penuh untuk mendorong dan mengawasi transparansi pengelolaan dana desa ini mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban,” ujarnya.

MaTA sendiri, tambahnya, pernah terlibat mendampingi warga untuk melaporkan kasus tindak pidana korupsi terhadap pengelolaan dana desa di Aceh Utara beberapa waktu lalu dan berharap hal itu menjadi pilot project bagi desa lainnya.
Peran Pendamping Gampong

Alfian juga menyoroti kinerja pendamping desa yang menurutnya masih dipertanyakan perannya. Terutama, kata dia, terkait kapasitas mereka mendampingi aparatur desa dalam membuat laporan pertanggungjawaban. “Peran mereka kan memastikan bahwa proses perencanaan partisipatif dan transparansi pengelolaan dana serta pembuatan laporan pertanggungjawaban,” kata Alfian.

Temuan MaTA di salah satu desa di Aceh Utara, ada kepala desa yang mengaku tidak tahu adanya pendamping desa. Sebagaimana diberitakan Analisa, MaTA meminta pemerintah untuk mengevaluasi keberadaan pendamping desa terkait adanya pengaduan yang diterima dari masyarakat yang menilai banyak pendamping desa kurang aktif di Aceh Utara.

Permintaan itu disampaikan anggota MaTA, Baihaqi, dalam diskusi bersama perangkat Gampong Keude Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, pada Sabtu, 28 Januari 2017. “Artinya ini tanggung jawab BPM (Badan Pemberdayaan Masyarakat) kabupaten dan kota untuk mengevaluasi kembali peran pendamping desa,” ujar Alfian.

Seharusnya, kata Alfian, ketika ada desa yang hingga kini belum selesai membuat laporan pertanggungjawaban dana desa, pendamping desa yang harus mendampingi proses penulisan laporan tersebut. Pasal 4 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 menyebutkan pendampingan desa dilaksanakan oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, atau pihak ketiga.

Tenaga pendamping profesional terdiri dari pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan, pendamping teknis di kabupaten, dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat di tingkat provinsi. Sementara kader pemberdayaan masyarakat desa berkedudukan di desa. Pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan inilah yang bertugas mendampingi beberapa desa dalam kecamatan tersebut terkait penyelenggaraan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG, sebelumnya BPM) Aceh, Anzuhar mengatakan ia tak bisa berkomentar banyak terkait soal itu. Dinas, kata dia, hanya menunggu jika memang ada laporan terkait permasalahan pendamping desa di BPM kabupaten dan kota. “Kita minta konfirmasi dulu dari sana, lewat BPM kabupaten dan kota setempat ke tenaga ahli. Kalau itu tidak disampaikan kepada kami soal ini, kami juga kan susah menjangkau seluruh Aceh,” pungkasnya, Jumat pekan lalu. [pikiranmerdeka.co]

AMP - Perilaku menyimpang di kalangan anak baru gede (ABG) hingga mahasiswa di Aceh kian mengkhawatirkan. Sebagian di antara mereka kini terjebak dalam pusaran pergaulan bebas, termasuk s3ks bebas dan p0rn0gr4fi.

 Seperti apakah sisi gelap kehidupan ABG dan mahasiswa di Aceh kini? Perilaku menyimpang di kalangan remaja Aceh berdasarkan hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengungkap, dari 40 siswa yang disurvei, ditemukan bahwa 90 persen di antaranya pernah mengakses film dan foto p0rn0.

Sebanyak 40 persen lainnya mengaku pernah menyentuh organ intim pasangannya. Fakta lebih mengagetkan, sebanyak lima dari 40 siswa mengaku pernah melakukan hubungan s3ks pranikah bersama pacar.

Penelitian ini dilakukan di satu pesantren dan tiga SMU di Banda Aceh dan Aceh Besar. "Setiap sekolah kita ambil 10 siswa diacak dari kelas satu, dua, dan tiga, masing-masing responden punya perbedaan karakter," kata Agus Agandi, staf PKBI, beberapa waktu lalu.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan perilaku remaja di Aceh yang kian mengkhawatirkan, baik pola pergaulan maupun pergeseran moral.

Menurut pengakuan siswa, akses film p0rn0 mereka peroleh dari perangkat teknologi komunikasi seperti handpone dengan media internet maupun bertukar flashdisk sesama teman sebaya.
Agus menyebutkan, kondisi yang lebih menyedihkan justru terjadi terhadap siswa yang sudah memiliki pengalaman berhubungan s3ks di usia sekolah. Korban sebagian besarnya wanita.

Beberapa sekolah melaporkan ada siswi yang dropout menjelang Ujian Nasional (UN) karena kedapatan hamil. "Setiap akan menjelang Ujian Nasional, banyak siswi yang keluar dari sekolah karena ketahuan hamil. Ini terjadi di Banda Aceh dan Aceh Besar," ujarnya.

S3ks bebas
Penelusuran di sebuah hotel berkelas di Banda Aceh menunjukkan, banyak remaja usia ABG dengan mudah mendapat akses masuk ke tempat-tempat khusus orang dewasa, seperti bar dan diskotik, yang dekat dengan narkoba dan kehidupan s3ks bebas.

Agus menyebutkan, meski ada fakta demikian, bukan sebuah tindakan bijak menyalahkan perilaku menyimpang remaja tersebut kepada mereka. Keluarga, lingkungan, dan institusi pendidikan menjadi faktor paling dominan membentuk perilaku mereka.

"Siapa yang bisa menjamin kalau mereka tidak mengakses konten p0rn0 saat sendiri di kamar," ujar Agus.

Menurutnya, usia remaja merupakan masa transisi menuju kedewasaan. Pada masa ini, remaja tengah mencari jati dirinya. Pada masa ini pula, remaja mengalami apa yang disebut pubertas dan munculnya rasa ingin tahu, termasuk dalam hal mengeksploitasi dirinya secara s3ksu4l.

Bagi wanita yang dalam masa transisi menuju dewasa, persoalannya semakin kompleks. Hal ini terkait dengan mulai berkembangnya bagian-bagian tubuh yang sensitif hingga terjadi perubahan pada sistem reproduksi.

"Pada masa transisi ini, mereka perlu didampingi agar mendapat informasi yang benar, seperti halnya mengenalkan mereka fungsi alat-alat reproduksi agar mereka tidak salah memahaminya," ujar dia.

"Kasus hamil di luar nikah juga kerap menimpa wanita remaja di kampung-kampung. Sebagian besar mereka tertutup akses informasi, sementara mereka yang di kota sudah mengetahui cara yang aman berhubungan s3ks karena terbukanya akses informasi," ujarnya. 

Sumber : Serambi Indonesia

AMP - Ular Piton yang panjangnya diduga mencapai 7,1 meter memangsa Muhammad Akbar, seorang petani kebun kelapa sawit, di Karossa, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat pada Senin (27/3) silam.

Satu hari sebelumnya, Akbar pergi ke kebun sawit untuk bekerja memanen sawit seperti hari-hari biasa. Tapi ia tak kunjung pulang sehingga keluarga dan warga sekitar mencarinya di kebun sawit. Ketika melihat ular dengan benda berbentuk sepatu di perutnya, mereka pun curiga. Benar saja, tubuh Akbar ditemukan tewas di dalam perut ular piton tersebut.

Dikutip dari Detik, berat ular yang memangsa Akbar diperkirakan mencapai 158 kilo gram dan berjenis ular sanca kembang, atau sanca batik.

Ular jenis ini adalah salah satu yang paling besar di dunia yang panjangnya bisa mencapai 10 meter. Namun, panjang rata-rata piton dewasa hanya mencapai 3-6 meter.

Populasi piton berjenis sanca kembang banyak ditemukan di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan Filipina. Pada 1912 silam, piton sepanjang 10 meter pernah ditemukan juga di Sulawesi. 

Dikutip dari Live Science, Piton menyenangi daerah tropis karena mereka berhabitat di daerah yang hangat tapi juga di iklim basah. Banyak di antaranya hidup di hutan tadah hujan. Ketika habitat mereka diganggu, sebagaimana yang terjadi pada kasus gajah atau harimau menyerang perkampungan manusia, barulah mereka mendekati area lain untuk mencari makanan.

Kasus Akbar di Mamuju merupakan pertama kalinya Piton memangsa manusia di area tersebut.

"Yang saya tahu sih belum pernah (terjadi orang dimakan ular). Hanya memang ular sering ditangkap berkeliaran (di wilayah itu)," kata Pejabat Humas Polda Sulbar AKBP Mashura, seperti dikutip dari Detikcom.

"Sebelumnya pernah juga ditangkap (ular) sepanjang tujuh meter lebih, sekitar bulan November 2016."

Guiness World Records mencatatkan, Piton terpanjang yang pernah tertangkap manusia adalah ular bernama Medusa, ular yang dimiliki Full Moon Productions Inc di Kansas City, Amerika Serikat. Ketika diukur pada 12 Oktober 2011, Piton tersebut memiliki panjang 7,67 meter dan berat 158,8 kilo gram.

Ketika diukur, Medusa harus digendong oleh 15 pria dewasa. Ia mengonsumsi kelinci dan rusa setiap dua minggu. Dikutip dari laman resmi Guiness World Records, Medusa pernah memakan rusa seberat 18 kilogram dalam sekali 'telan'.

Tapi Medusa tak berbahaya. Ia justru menjadi tontonan di The Edge of Hell Haunted House dan bahkan sudah paham kode untuk berdiam diri jika ada pengunjung yang ingin berpose dengannya.


Bagaimana Piton Membunuh Mangsa?

Piton kerap disebut-sebut membunuh mangsanya terlebih dahulu dengan melilitkan badan pada korban untuk meremukkan tulang dan membuat mangsa sesak napas.

Akan tetapi penelitian pada 2015 lalu menemukan bahwa ular-ular berukuran besar lain seperti anaconda, piton, dan boas, membunuh mangsa dengan memotong aliran darah sehingga prosesnya lebih cepat.

Dikutip dari National Geographic, peneliti ekologis bernama Scott Boback di Pennsylvania, AS, menjelaskan cara-cara piton memangsa manusia.

"Jantung mangsa tidak punya kekuatan untuk mendorong dan melawan tekanan," kata Boback. "Kekuatan piton ketika mencekik cukup untuk menghentikan aliran darah menuju jantung selama beberapa detik."

Setelah mangsa ditangkap, barulah mereka menelan utuh. Binatang yang biasa dimangsa oleh piton adalah mamalia berukuran kecil seperti anjing hutan atau babi hutan. Kasus piton menelan manusia juga sebenarnya peristiwa jarang terjadi.

BBC menjelaskan, piton sebenarnya sangat sensitif pada getaran, cahaya, dan juga panas lampu sehingga mereka menghindari habitat manusia. Di kasus-kasus tertentu, mereka akan beraksi sebagai bentuk pertahanan. 

Biasanya piton memperkirakan ukuran tubuh mangsa sebelum menelan. Akan tetapi, mereka juga terkadang bisa salah melakukan perhitungan.

Pada 2005, piton di Florida mati karena coba menelan seekor buaya. (CNN)

AMP - Proses sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) telah memasuki tahap pengucapan keputusan dismissal.

Para hakim panel akan mengucapkan keputusannya sejak hari ini hingga 5 April 2017 mendatang. Total ada 49 putusan yang akan dibacakan.

Keputusan ini nantinya akan menentukan nasib dari setiap gugatan. Dalam putusan ini, perkara-perkara yang tidak terbukti memenuhi syarat akan diputus.

Dengan demikian, akan diketahui perkara-perkara mana saja yang akan masuk ke tahap pemeriksaan persidangan selanjutnya hingga 19 Mei.

Informasi yang dihimpun BERITAKINI.CO, pengucapan putusan atas gugatan Pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf-TA Khalid dijadwalkan pada 4 April 201 mendatang.

Nah, akankah hakim menerima gugatan tersebut, atau sebaliknya?[beritakini.co]

AMP - Pasangan non muhrim diamankan warga saat sedang berduaan di dalam rumah kost di kawasan Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh, Rabu (29/3) sekira pukul 22.00 WIB.

"Memang benar semalam ada pasangan non muhrim diamankan warga dan saat ini sudah diserahkan ke Satpo PP dan WH Banda Aceh," kata Kasat Pol PP dan WH Banda Aceh Yusnardi, Kamis (30/3).

Kedua pasangan non muhrim itu yakni MZ (20) asal Aceh Selatan dan CN (20) mahasiswi Banda Aceh asal Nagan Raya.

Dikatakannya, penangkapan kedua pasangan non muhrim itu saat warga melihat yang bersangkutan berada di dalam rumah kost CN dengan pintu tertutup.

"Karena merasa curiga, warga mengerebek pasangan tersebut," jelas Yusnardi.

Saat digerebek, kata dia keduanya masih dalam keadaan utuh dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar syariat.

"Jika melihat kronologis penangkapan tersebut, keduanya dikenakan pasal khalwat. Kalau memang tidak perlu kita naikkan ke pengadilan akan kita serahkan ke pihak orang tua atau desa karena pelanggaran ringan," ujarnya.

Ia juga menyebutkan saat ini kedua pasangan itu masih dimintai keterangan oleh penyidik dan memintai keterangan saksi-saksi apakah kedua pasangan ini memenuhi unsur khalwat atau tidak.

"Kita liat dari keterangan saksi dulu, kalo memang tidak memenuhi unsur khalwat yang bersangkutan akan dilakukan pembinaan," ujar Yusnardi.(AJNN)

Barang bukti yang disita dari kediaman husni tahun 2017

BANDA ACEH- Bobroknya Pemasyarakatan Aceh bukanlah hal yang harus ditutupi namun telah menjadi rahasia umum,dalam kasus tewasnya dua bandar narkoba jaringan Malaysia-Indonesia di Medan pekan lalu,adalah pihak yang paling bertanggungjawab adalah lapas banda aceh.

Salahsatu bandar narkoba yang tewas adalah Husni Azhari yang merupakan narapidana lapas banda aceh,keberadaannya diluar lapas merupakan melibatkan oknum petugas lapas banda aceh.

Mari kita simak sepenggal kisah perjalanan kehidupan seorang mantan polisi Aceh Utara Husni Azhari alias Fadil Husni alias Husni yang juga bandar narkoba jaringan Indonesia – Malaysia berakhir dengan sebutir timah panah bersarang di dadanya pekan lalu yang berhasil dihimpun redaksi.

Munkin hanya sedikit orang yang tahu jika husni tewas dalam status masih seorang narapidana lapas banda aceh yang dikeluarkan oleh petugas tanpa memenuhi prosedural yang ada.

Berikut rekam jejak husni sang napi lapas banda aceh yang dapat menjalani masa pidananya denga  tetap menjalankan kegiatan maupun bisnis haramnya tanpa harus bersusah payah berada dibalik tembok lapas.
Barang bukti pada tahun 2012

Fadil Husni alias Husni Azhari alias Husni sebelum tersandung kasus narkoba merupakan anggota Polres Aceh utara, karirnya di Kepolisian sempat menjabat sebagai kanit opsnal.

Pria kelahiran Kutablang, Bireun ini ditangkap  Rabu 19 September 2012 di vonis oleh pengadilan negeri medan atas kepemilikan narkoba dan senjata api selama 4 tahun 7 bulan subsider satu bulan denda 1 Milyar.

Usai di vonis husni menjalani masa pidananya di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Medan,dalam kurun setahun menghuni rutan tanjung gusta pada Sabtu 16 November 2013 husni di pindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Banda Aceh setelah permohonan pindahnya dikabulkan oleh Ditjen PAS serta Kantor Wilayah Hukum dan HAM Aceh.(14/10/2014).

Husni tercatat sebagai napi penghuni lapas banda aceh,sejak kalapas banda aceh di pimpin oleh Ibnu Syukur, husni kerap berada diluar lapas berhari-hari bahkan berminggu-minggu.

Demikian juga saat Kalapas Ibnu Syukur di copot digantikan oleh Marasutan, husni senantiasa berada di luar lapas tanpa pengawalan petugas.

Namun napi bandar narkoba ini tetap kembali ke lapas banda aceh kala ada pemberitahuan adanya pemeriksaan oleh pejabat Kanwilkumham Aceh.

Tidak selang berapa lama,akibat kerapnya pengeluaran napi narkoba di lapas banda aceh kalapas marasutan dimutasikan menjadi kalapas Lhokseumawe digantikan oleh Ahmad Faedhoni mantan kalapas anak palembang.

Ahmad Faedhoni mulai membenahi lapas banda aceh dengan prosedural yang berlaku,tak satu pun napi yang dapat keluar masuk lapas,demikian juga husni yang telah jauh-jauh hari kembali berada didalam lapas banda aceh.

Hingga malam kerusuhan meletus di lapas banda aceh,Jum’at (6/3/2015) dimana para penghuni lapas melakukan unjuk rasa yang berujung dengan digantinya ahmad faedhoni sebagai kalapas banda aceh.
Lapas Banda Aceh
Dalam catatan Redaksi napi husni masih berada didalam lapas banda aceh hingga rombongan Kakanwikumham Aceh Suwandi yang didampingi Kadiv PAS Mujiraharjo datang meninjau lapas tersebut.

Sepeninggalan rombongan kakanwilkumham aceh napi husni dengan dibantu oleh oknum petugas lapas mengeluarkannya seperti biasanya.

Hingga keesokan harinya saat serahterima kalapas banda aceh yang lama ahmad faedhoni kepada Joko Budi Setianto sebagai Plt Kalapas Banda Aceh sebanyak 3 napi menghilang yang salahsatunya adalah husni.

Hal ini dibenarkan oleh Plt Kalapas Banda Aceh yang dihubungi oleh Redaksi Sabtu (7/11/2015), “ Benar ada tiga napi yang kurang saat dilakukan penghitungan saat serah terima jabatan kemarin pada saya,salahsatunya adalah napi bernama husni “,ungkap Joko budi yang juga Kalapas Kuala Simpangm Aceh Tamiang. 

Menghilangnya 3 napi narkoba dari lapas banda aceh beberapa jam usai kerusuhan,dimana salahsatunya adalah husni juga diketahui oleh Pihak Kanwilkumham Aceh.

Namun hingga terjadinya pergantian Kalapas Joko budi setianto kepada Kalapas yang baru M. Drais Siddiq kasus pengeluaran ketiga napi bos narkoba ini tidak pernah dilaporkan pada aparat Kepolisian.

Ironisnya pelanggaran yang dilakukan oleh oknum petugas lapas banda hingga kini tidak dilakukan proses maupun tindakan apapun seolah pengeluaran napi bos narkoba tersebut merupakan hal lumrah dilapas banda aceh.

Pekan lalu halaman depan media lokal dan nasional memberitakan dua bandar narkoba tewas ditembak polisi di medan setelah berupaya melawan petugas.

Salahsatunya bandar tersebut tidak lain adalah Fadil Husni yang juga merupakan napi lapas banda aceh yang dikeluarkan oleh oknum,petugas lapas yang kemudian tetap aktif menjalankan bisnis narkoba antar negara.

Demikian mudahnya seorang napi bandar narkoba mendapatkan izin pemindahan ke lapas aceh hanya untuk memperoleh kebebasan menjalankan bisnis narkobanya.

Dan begitu mudahnya proses mendapatkan kebebasan di lapas aceh walau masa pidananya belum selesai dijalaninya.

Konsekwensi atas perbuatan pengeluaran ilegal yang dilakukan oleh oknum petugas lapas banda aceh yang tak pernah ada menjadikan para petugas lapas banda aceh seolah-olah merupakan Power Man yang sulit tersentuh hukum.(tim bapanasnews)

Foto: Kedua Pasangan Mesum Warga Gampong Pulo Sejahtera Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie diamankan di Mapolsek Tangse, Senin (28/03).
AMP - Pasangan Mesum inisial NR, 50 Thn, Warga Gampong Layan Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie dan AS, 50 thn, Warga Gampong Peunalom I Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie Warga ditangkap oleh Warga Gampong Pulo Sejahtera Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie dan diamankan oleh Personil Polsek Tangse, pada Senin 28 Maret 2016 sekira pukul 22.00 Wib di Mapolsek Tangse.

Kedua Pasangan mesum tersebut ditangkap diGampong Pulo Sejahtera Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie pada saat sedang asyik berada di Rumah Sdra. Hasbi, 50 thn, Gampong Pulo Sejahtera Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie sekira pukul 22.00 Wib.

Kedua pasangan ini berada di rumah Hasbi tanpa melapor kepada Kepala Desa ataupun Ketua Pemuda setempat, curiga dengan gerak-gerik keduanyanya, HM, warga sekitar melaporkan perilaku keduanya ke Kepala Desa dan Ketua Pemuda setempat, lalu Kepala Desa bersama Ketua Pemuda dan Massa Masyarakat Gampong Pulo Sejahtera menangkap dan membawa keduanya ke Meunasah untuk dimandikan dan diselesaikan secara adat gampong, lalu tak lama kemudian tiba anggota Sat Res / Intel Polsek Tangse ke meunasah dan membawa kedua pasangan mesum ke Mapolsek Tangse.

Kapolres Pidie AKBP Muhajir, SIK, MH melalui Kapolsek Tangse mengatakan kedua pasangan mesum telah kita amankan di Mapolsek Tangse untuk menghindari amukan warga setempat.(LN)

AMP - Myanmar dihantam badai hebat pada sepanjang akhir pekan ini. Rintik hujan dilaporkan seukuran bola golf di beberapa provinsi. Imbasnya delapan biksu tewas, ribuan rumah hancur, serta ribuan pagoda ambruk.

Channel News Asia melaporkan, Minggu (26/3), kerusakan paling parah terjadi di Provinsi Mandalay. Di Desa Yay Tha Yauk, enam warga tewas karena longsor dan banjir.

"Laporan yang kami terima sedikitnya 7.500 rumah hancur akibat terjangan badai," kata Phyu Lei Tun, Dirjen Kesejahteraan Sosial,

Tanggap Bencana, serta Relokasi Myanmar.
Di kawasan Mandalay, badai bercampur hujan kerikil dan butiran es batu. "Saya melihat balok es jatuh dari langit," kata Yin Myo, warga yang rumahnya beruntung tidak rusak.

Dari laporan televisi pemerintah Myanmar, jumlah pagoda yang rubuh atau rusak mencapai 1.700 tersebar di kawasan selatan negara itu.

Badai besar ini terjadi setelah kemarau panjang melanda Myanmar. Pada Jumat (22/4), cuaca sempat panas hingga mencapai 40 derajat celcius, lalu beralih jadi hujan deras.

Pada 2008, Myanmar pernah dihajar Siklon Nargis, salah satu badai terparah sepanjang sejarah peradaban. Bencana alam parah itu memicu tewasnya 22.980 jiwa ditambah 42 ribu orang masih hilang sampai sekarang. [xinhua]

Pembantai Itu...
AMP - Saudah (21) tak mampu buka suara. Mulutnya kaku dan gemetaran menatap gundukan tanah dari salah satu kuburan massal tanpa nisan yang dibongkar Kamis (29/7) lalu. Jenasah-jenasah di dua kuburan massal itu digali untuk dikuburkan kembali secara islami. Ia menanti dengan harap-harap cemas kalau suami, ayah serta iparnya berada di sana. Air bening tak kuasa
dibendung dan terus membasahi kelopak matanya. Ait matanya kian deras membaur dengan guyuran hujan. Putri bungsunya, Zubaidah yang hari itu datang bersama saudara tertuanya, Karmila terus merengek minta pulang untuk bertemu ayah tercinta.

Zubaidah, (1,5) menangis minta bertemu ayahnya. Putri ketiga Saudah ini tak henti-hentinya menanyakan ke mana sang ayah pergi. Bocah seusia Zubaidah tak tahu apa yang sedang menimpa orang tuanya. Ia meronta dalam gendongan ibunya seraya terus menuntut bertemu ayahnya. Sementara Karmila (6,5) yang baru saja didaftarkan di sebuah SD kawasan itu terpaku tanpa mampu membaca suasana. Karmila mungkin sangat terpukul, karena seminggu lalu ia baru saja dipapah ayahnya masuk sekolah.

Setiap berangkat dan pulang sekolah, Karmila senantiasa dijemput sang ayah. Sekarang entah siapa yang akan menemaninya. Sejak peristiwa itu, Karmila bukan saja tanpa teman, tapi juga kehilangan kesempatan bersekolah. Ia belum diizinkan ibunya sekolah sebelum hari kemalangan berlalu.

Zubaidah dan Karmila adalah dua dari tiga bersaudara pasangan Saudah-Samsuar. Kedua anak ini tidak saja kehilangan ayah, tapi juga ditinggal pergi kakek dan paman tercinta. Bersama Samsuar (27), Abdul Manaf (45), dan M. Ali (25), jadi korban pembantaian Tragedi Bantaqiyah. Sementara korban lain yang tewas M. Harun (18), Zubir (25), Usman bin Bantaqiyah (29), M. Din (45), Tarmizi (32), M. Husen (42), Samin (28), Jamaluddin (29), Suhaimi (35), M Amin M (32), Jamalulhadi (27). Diantara 32 korban, 17 orang warga Blang Beurandeh. Sisanya masih penduduk pemukiman Beutong Ateuh.

Keluarga dekat Bantaqiyah bersama masyarakat menata kembali kuburan massal itu. Peristiwa ini mengingatkan kembali kebrutalan TNI pada masa pemberlakuan DOM. Ketika itu masyarakat mendapatkan mayat-mayat ditindih begitu saja dalam beberapa liang yang sangat sempit. Bantaqiyah dikubur bersama anak dan 23 korban lainnya yang ditanam dalam sebuah liang persis di belakang rumahnya. Sisanya 7 mayat ditanam di kaki bukit sekitar 50 meter dari bangunan utama dayah Bantaqiyah.

Membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menggali kuburan massal pertama. Para penggali harus hati-hati, karena posisi mayat tidak beraturan dan kedalamannya hanya 50 cm. Sosok mayat itu sebagian besar sudah mengelupas serta mengeluarkan bau tak sedap. Rencana mengangkat mayat-mayat itu diurungkan, karena kondisi sudah sangat mustahil dilaksanakan. Kedua kuburan massal yang berada di belakang deretan bangunan darurat dayah Tgk Bantaqiyah hanya diberi siraman air ritual sekaligus ditutup dengan kaian kafan sebagai simbol tajhiz (memandikan, mengafani, mensalatkan, dan menguburkan).

Semula, dokter Puskesmas Babussalam merencanakan melakukan otopsi dengan seizin keluarga korban. Namun rencana otopsi akhirnya dibatalkan atas permintaan keluarga pula. "Untuk apa lagi kita otopsi. Kami sudah rela, biarlah arwah mereka istirahat dengan tenang," pinta Jamaluddin, Kepala Desa Blang Beurandeh yang juga kehilangan seorang putranya. Selain itu masyarakat juga menemukan 20 sosok mayat berserakan di jurang-jurang sekitar kilometer 7 lintas arah Takengon, Aceh Tengah. Namun masyarakat setempat hanya bisa menguburkan 10 dari 20 korban. Sisanya masih berada di jurang. Karena kondisinya sudah sangat membusuk, masyarakat tak mampu melakukan penguburan. Kesepuluh mayat itu masih berserakan di lintas Takengon-Beutong Ateuh.

Sementara itu 4 warga Blang Beurandeh dan 1 warga Blang Puuk hingga saat ini belum ditemukan. Mereka adalah Tgk M. Din, 41, M Janata, 28, M. Ali B, (35) Abdul Wahid (26) dan Saidi (38).

Misteri antara kematian Tgk Bantaqiyah, ganja dan GAM belum terkuak juga. Tuduhan aparat keamanan terhadap suaminya menanam ganja sama sekali tak beralasan. Menurut isteri keduanya Aman Farisah, 32, suaminya baru kembali ke Beutong 28 Mei 1999 lalu. Sedianya ayah 10 anak ini tak ingin lagi menyelenggarakan pengajian. Namun atas permintaan masyarakat setempat, Tgk Banta akhirnya bersedia juga mengajar kembali warga setempat. Setiap Jumat, penduduk setempat belajar Al Quran dan kitab di sebuah balai utama hingga pecahnya peristiwa berdarah itu.

Menurut Aman Farizah, kira-kira pukul 11.00 siang ratusan personil TNI datang secara tiba-tiba seraya berteriak meminta peserta pengajian berkumpul. Di sela perintah itu, aparat melempari rumah penduduk dengan batu dan kayu sehingga membuat mereka berlarian keluar. Peserta pengajian pun turun menuruti perintah petugas. Aparat berteriak menanyakan Bantaqiyah hingga pimpinan dayah itu keluar dari rumahnya.

Antara aparat dan Bantaqiyah sempat terjadi dialog, namun tak ada yang tahu apa yang dibicarakan. Sementara pasukan lain melepaskan tembakan membabi buta tanpa memberi aba-aba. Bantaqiyah berteriak menyuruh warga tiarap. Rentetan peluru memecahkan keheningan desa. Korban bergelimpangan, darah muncrat dari tubuh korban. Satu-persatu mereka rubuh diterjang peluru tajam jahanam. Mereka tewas bersimbah darah di dalam pekarangan pesantren Bantaqiyah.

Beberapa saksi mata menuturkan, penembak Bantaqiyah bukan pasukan pembantai 51 warga lain. Ia hanya sempat dikurung pasukan dari Aceh Tengah itu, namun ada tembakan dari arah
lain yang berhasil menewaskan Bantaqiyah. "Saya sangat terpukul dengan Tragedi Bantaqiyah," ujar Camat Beutong, Drs. Teuku Bantasyam Puteh.

Masyarakat memungut sosok mayat yang sudah tak utuh lagi pada Senin dan Selasa berikutnya atau sehari setelah pembantaian ini terbongkar. Korban seluruhnya rakyat sipil tak berdosa. Tgk Bantaqiyah yang menjadi incaran mereka turut menjadi korban bersama jemaahnya lainnnya. Bantaqiyah tewas setelah tembakan ketiga. Sebelumnya, Tgk Banta -begitu panggilan akrabnya- sempat dihantam dengan peluru jenis PSD 83 tetapi tak mempan. Akhirnya ia dihantam dengan senjata anti personil.

Deretan daftar kuburan massal di Aceh bertambah panjang. Setelah pembantaian pada masa DOM, Simpang KKA, kini lembah Beutong Ateuh, 340 km barat Banda Aceh jadi cerita.

Pemukiman Itu
Pemukiman Beutong Atueh yang dihuni kurang lebih 800 kepala keluarga itu terletak persis di antara himpitan pegunungan Bukit Barisan. Daerahnya subur, cuma sayang sangat terisolir dan terbelakang. Pekerjaan mereka selain bertani, mencari kayu bakar di hutan. Pemukiman yang dibelah sungai penuh bebatuan itu tercemar darah sudah. Tragedi pada hari Jumat (23/7) lalu telah meremukkan jiwa rakyat di sana. Puluhan perempuan kehilangan suami, tak kurang 25 orang yatim kehilangan ayah, dan puluhan ayah kehilangan anak. Pembantaian ini baru terungkap Minggu (26/7) setelah dilaporkan salah seorang warga Beutong yang lolos ke kota kecamatan.

Beutong memang kerap jadi berita. Setelah kasus Tgk Bantaqiyah dengan jubah putihnya akhir 1987, giliran kebun ganja heboh di sana. Nah, setelah Bantaqiyah dibebaskan, lagi-lagi Beutong
menggores kisah. Apakah karena Bantaqiyah? Tidak juga. Yang pasti lembah itu telah tertumpahi darah putera-putera pemilik sah bumi Aceh.

Menurut warga setempat, Tgk Banta bukan mafia ganja yang dituduhkan ABRI selama ini. Kalangan masyarakat menyebut Bantaqiyah seorang guru mengaji di Blang Beurandeh, tempat ia mendirikan dayah (tempat kegiatan keagamaan). Di atas tanah seluas 3,000 meter, Tgk Banta mendirikan sebuah masjid sederhana. Di samping masjid ini dibangun sebuah balai besar tempat pengajian berlangsung.

Bantaqiyah bersifat terbuka. Ia menerima siapa pun yang ingin menuntut ilmu. Para tamu berdatangan dari hampir seluruh Aceh. Mereka hanya beberapa hari menuntut ilmu yang kemudian kembali
ke tempat asal masing-masing.

Bantaqiyah menyelenggarakan tradisi puasa 7, 14, 40 dan 44 hari sebagai persyaratan menuntut ilmunya. Berbagai lapisan masyarakat datang menimba ilmu dari Bantaqiyah. Bahkan menurut
kalangan dekat Bantaqiyah, salah seorang perwira Kopassus pernah berlajar ilmu dari Bantaqiyah. Namun tidak selesai karena keburu dipulangkan ke markasnya.

Kasus Jubah Putih sempat menghebohkan Aceh pada tahun 1987 lalu. Saat itu Bantaqiyah nyaris ditangkap karena dianggap menyebarkan aliran sesat. Namun kegiatan pengajian berlangsung terus. Hanya saja jubah putih tak lagi memasuki kota. Pada akhir 1993, Bantaqiyah ditangkap dengan dalih memiliki kebun ganja dan memperalat muridnya menanam ganja. Bantaqiyah dituduh memasok ganja untuk membantu perjuangan GPK Aceh. Bantaqiyah dijebloskan ke penjara hingga akhirnya divonis 20
tahun lewat UU Anti Subversi.

Kompleks dayah Bantaqiyah diapit perbukitan dan aliran sungai jernih. Ia mendiami kompleks itu bersama dua isteri dan satu menantunya. Istri pertama Nursiah, dikawini sejak 30 tahun lalu. Dari isterinya ini Bantaqiyah dikarunia 8 anak. Isteri keduanya Aman Farisah, berasal dari Bireun, Aceh Utara. Dari isteri kedua, Bantaqiyah dianugerahi dua putra yang masih bocah.

Perkampungan Beutong Ateuh berada di lembah layaknya setting film The Killing Field yang tenar tenar itu. Daerah ini sulit dijangkau masyarakat asing. Selain tanpa transportasi reguler, untuk mencapai Beutong Atueh harus menempuh perjalanan panjang selama 5-7 jam dari Meulaboh, ibukota Aceh Barat. Itu pun jika menggunakan kenderaan jenis jeep seperti Toyota Land Cruiser, misalnya.

Jalan menuju ke Beutong Ateuh baru saja dibuka pemerintah sekitar 10 tahun lalu. Medan lumpur, tanjakan tajam serta ancaman jurang serta bebatuan cadas acap membahayakan perjalanan. Masyarakat Beutong Ateuh jika ingin turun gunung harus menunggu jadwal angkutan spesial dua hari sekali dengan ongkos Rp 25.000 per orang untuk jarak tempuh 90 km.

Suhu dingin dan balutan kabut kadang kala membuat pengguna jalan berpikir seribu kali kalau ingin ke Beutong. Belum lagi ancaman binatang buas yang kerap mengintai manusia. Tapi, anehnya bagi sebagian masyarakat Beutong, dalam suasana alam yang menyeramkan itu, mereka berani jalan kaki hingga tiga kali 24 jam untuk mencapai kota kecamatan.

Lintas jalan Beutong Ateuh-Meulaboh relatif lembab. Curah hujannya sangat tinggi. Sewaktu-waktu bisa turun hujan yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan. Wartawan Nanggroe bersama rombongan LSM dan pers dari Banda Aceh harus mandi lumpur untuk menjinakkan medan dataran tinggi Bumi Teuku Umar itu.

Puncak gunung Singgahmata dengan ketinggian 4,000 kaki dari permukaan laut terkenal dengan medannya yang berat. Singgahmata selalu dibungkus kabut dingin, jalan-jalan penuh batu cadas serta jurang terjal. Di sisi lain perbukitan yang rawan longsor akibat perambahan hutan besar-besaran pada
waktu-waktu sebelumnya.

Pada posisi 70 km dari Meulaboh itu, kami terpaksa istirahat sambil menyantap makanan siang yang molor hingga pukul 16.00 WIB. Dengan kondisi gemetaran menahan dingin, satu persatu bulir nasi disantap guna menaikkan suhu badan. Kopi panas atau teh hangat sama sekali tak bisa dinikmati karena dikalahkan oleh suhu yang bisa anjlok hingga 10 derajat celsius. Beberapa kali mobil yang kami tumpangi kandas, dan nyaris tak mampu melanjutkan perjalanan. Kehandalan mobil tak bisa diharapkan
jika tak ada mobil lain yang bisa membantu. Tikungan tajam ditemui hampir di sepanjang jalan. Setiap 500 meter terdapat tikungan patah. Sepanjang perjanan, beberapa warga Beutong Ateuh yang terlanjur mengungsi ke kota kecamatan ketakutan dan lari ke hutan ketika mendengar deru mesin mobil.

Setelah menempuh perjalanan panjang, rombongan tiba di Blang Beurandeh menjelang maghrib. Disambut isak tangis dan ratapan, rombongan dipandu menuju desa-desa sekitar. Seluruh
penduduk berebutan memberi kesaksian kepada tamu semalam itu. "Kamoe hantem lee tinggai di sino, eunteuh jitimbak lom," (Kami tak mau lagi tinggal di sini, nanti ditembak lagi) begitu lapor mereka sambil meraung.

Selesai meninjau, rencana pembongkaran kuburan diurungkan hingga esok hari, Kamis (29/7). Rombongan disambut hangat dengan secangkir kopi gunung beserta makan malam secara meriah. Wajah-wajah sedih sedikit berubah mengguratkan harapan ketika mereka tahu telah dikunjungi rombongan wartawan. Kami sempat was-was bila para pembantai datang lagi dan aksinya tak akan diketahui hingga tiga hari.

Kawasan Beutong hari itu telah dihuni aparat baru dari Gegana Polri, Kelapa Dua Jakarta. Mereka mengawasi dengan curiga setiap gerak-gerik masyarakat yang bisa-bisa ada kelompok GAMnya. Jumlah mereka tidak kurang dari satu kompi. Mereka didrop dari Jakarta melalui Aceh Tengah.

"Sebenarnya kami ingin cepat-cepat pulang, buat apa lama-lama, kan kita rindu juga dengan keluarga," ujar salah seorang prajurit.

Daerah ini kaya sumber daya alam. Masyarakat, di samping berkebun, ada juga yang bertani meskipun tidak semeriah daerah pesisir. Masyarakat Beutong Ateuh umumnya buta huruf. Di antara ratusan KK hanya satu SD yang bercokol di kawasan ini. Itu pun proses belajar mengajarnya berlangsung seadanya. Namun kondisi ini tidak menyurutkan minat masyarakat setempat menyekolahkan anaknya atau menuntut ilmu agama.

Selama ini satu-satunya pesantren yang ada hanya dayah Bantaqiyah. Dayah ini dibangun dengan dana sekitar Rp 105 juta dari anggaran Rp 400 juta sejak 1987 lalu. Dua tahun kemudian Bantaqiyah turun ke kota menuntut status Aceh sebagai daerah istimewa segera direalisasikan. Pasukan Jubah Putih -
begitulah rombongannya dikenal - mengarak bendera merah berlambang bintang bulan ke ibukota Aceh Barat.

Pesantren Bantaqiyah terletak di desa Blang Beurandeh. Desa ini satu-satunya desa yang berada di seberang sungai. Penduduk Blang Beurandeh lebih sedikit dibanding desa tetangganya.
Namun, Blang Beurandeh telah melahirkan seorang politisi sekaligus pengacara handal Abdullah Saleh, SH yang sekarang menjabat Wakil Ketua DPW PPP Aceh.

Bangunan rumah penduduk terlihat sangat bersahaja. Umumnya berkonstruksi kayu tanpa sentuhan ketam. Luas rumahnya pun hanya mampu menampung dua hingga tiga kamar berukuran 3x3 meter. Sumber air terjun yang ada di kawasan Beutong Ateuh bisa dimanfaatkan untuk pembangkit litsrik tenaga air (PLTA). Peralatan itu sebenarnya sudah didatangkan, namun hingga saat ini masyarakat hanya memiliki lampu petromaks. Itu pun dinyalakan hingga pukul 21.00 WIB. Jangan heran bila kawasan ini masih gelap gulita.

Lembah Beutong sebenarnya strategis bagi daerah latihan militer. Sumber air yang memadai dan jalur distribusi logistik bisa didrop dari udara. Sekitar pemukiman terdapat dataran tinggi yang subur, mampu menghidupkan mahluk apa saja. Tanaman ganja pun bisa hidup sendiri tanpa perlu disemai. "Ganja tumbuh sendiri di hutan, masa dituduh masyarakat yang tanam, seperti yang dituduhkan kepada Tgk Bantaqiyah," bela T. Cut Ali, tokoh masyarakat setempat.

Danrem 012/TU Kolonel Syarifuddin Tippe belum bisa memberi keterangan lebih lanjut. Kepada Nanggroe, Tippe menyatakan laporan yang ditulis di media massa berdasarkan laporan Kasie Intel Korem 011/LW Letkol. Inf. Sujono. Pihaknya sudah mengirimkan tim melakukan recheck bersama Danramil Beutong. "Tapi saya belum terima laporannya," ujar Tippe. ***

Oleh: Laporan Mukhtaruddin Yakub (Wartawan Buletin NANGGROE, WALHI Aceh)

Muka Maha Patih Gajah Mada menurut Muhammad Yamin
AMP - Pada 1334, para menteri berkumpul di panangkilan menghadap sang Rani Majapahit, Tribhuana Tunggadewi. Di hadapan sang rani dan para menteri, Gajah Mada yang baru diangkat menjadi mahapatih, bersumpah yang kemudian dikenal dengan Sumpah Palapa.

“Jika telah berhasil menundukkan Nusantara; Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan memakan palapa (istirahat),” kata Gajah Mada.

Menurut sejarawan Slamet Muljana, sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan merespons dengan negatif. Ra Kembar mengejek Gajah Mada sambil mencaci maki. Ra Banyak turut mengejak dan tidak mempercayainya. Jabung Tarewes dan Lembu Peteng tertawa terbahak-bahak. “Sumpahnya diucapkan dengan kesungguhan hati. Oleh karena itu, dia sangat marah ketika ditertawakan,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama.

Muhammad Yamin, pengagum dan penemu wajah Gajah Mada, juga mengakui bahwa musuh politik Gajah Mada mengejek dan menertawakannya. “Ra Kembar dan Ra Banyak dengan terus terang mengatakan tak mau percaya kepada kemenangan Gajah Mada dan terus memaki-maki dengan perkataan yang kasar. Jabung-terewes dan Lembupeteng tertawa-tawa mengejek Gajah Mada yang dianggapnya sombong dan tinggi hati,” tulis Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara.

Gajah Mada pun, kata Yamin, meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap batara Kahuripan dan Tribhuana Tunggadewi. Dia sangat berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar, walaupun Arya Tadah membantu sekuat tenaga.

Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan dalam segala kesulitan kepada Gajah Mada. Namun, menurut Slamet, Arya Tadah juga ikut menertawakan program politik Gajah Mada itu. “Pada hakikatnya, Arya Tadah alias Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada menjadi patih amangkubumi sebagai penggantinya. Gajah Mada merasa dihina, lalu turun dari paseban, memeluk kaki Sang Rani sambil berkata, bahwa hatinya sangat sedih karena hinaan Arya Tadah,” tulis Slamet.

Gajah Mada kemudian membuat perhitungan dengan mereka yang mengejeknya. “Akibat tindakan itu sangat hebat sekali,” tulis Yamin. “…pada suatu hari tersiar kabar bahwa Ra Kembar dan Ra Banyak ditewaskan dengan hukuman mati.”

Menurut Slamet, Gajah Mada memusnahkan Kembar dan Banyak. “Itulah kesempatan baik untuk melampiaskan dendamnya kepada Kembar yang mendahului pengepungan Sadeng. Hal tersebut dianggap sebagai suatu dosa terhadap Gajah Mada,” tulis Slamet.

Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun 1331. Ketika itu yang menjadi mahapatih adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan kepada Gajah Mada, sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi patih, bukan mahapatih. Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar mendahuluinya mengepung Sadeng. Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi datang sendiri ke Sadeng membawa tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat atas nama Sang Rani sendiri. Semua perserta penaklukkan Sadeng dinaikkan pangkatnya. Gajah Mada mendapat gelar angabehi, dan Kembar dinaikkan sebagai bekel araraman. Saat itu, Gajah Mada sendiri telah menjadi patih Daha.

“Kemenangan atas Keta dan Sadeng memberikan ilham untuk menjalankan politik Nusantara,” tulis Slamet.

Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.

“Demikianlah dapat dipastikan bahwa program politik Nusantara itu benar-benar dilaksanakan oleh patih amangkubumi Gajah Mada selama masa jabatan 21 tahun. Setelah itu, dia amukti palapa atau istirahat,” pungkas Slamet.(historia.id)

Letnan Jenderal JB Van Heutsz, komandan pasukan Belanda dalam Perang Aceh, 3 Februari 1901.
Foto
AMP - Aceh menolak mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Perang Aceh pecah sebagai perang terlama, terkuat, dan terbesar dalam jumlah korban.

Empat kapal Belanda membuang sauh di Pantai Bandar Aceh. Tak lama kemudian juru bahasa Belanda, Said Tahir menghadap Sultan Alaudin Mahmud Syah, untuk menyampaikan surat dari Komisaris FN Nieuewenhuysen. Isi surat sangat mengejutkan karena Sultan Aceh diminta mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Tentu saja, Sultan menolaknya. Surat-surat berikutnya juga dijawab dengan tegas bahwa Aceh menolak mengakui kedaulatan Hindia Belanda.

Empat hari kemudian, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Dengan demikian, Belanda telah melanggar perjanjian dengan Inggris dalam Traktat London yang menyebutkan bahwa Belanda dilarang mengganggu kemerdekaan Aceh.

Pada serangan pertama, Belanda mengerahkan 3.000 tentara yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Dalam serangan ini, Kohler berhasil ditembak mati.

Pada 1874, serangan kedua Belanda mengerahkan 8.000 tentara. Letjen J. van Swieten mengumumkan telah menguasai Banda Aceh. Namun, kenyataannya, rakyat Aceh terus melancarkan perlawanan hingga tahun 1904.

Perang Aceh (1873-1904) menjadi perang terlama, terkuat, dan terbesar yang dihadapi Belanda, karena rakyat Aceh didorong oleh motivasi keagamaan melawan kaphee (kafir) yang dikenal sebagai Perang Sabil.

Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Vol I, Perang Aceh menelan banyak sekali biaya dan nyawa. Di pihak Aceh, empat persen penduduknya atau 70.000 orang tewas. Di pihak Belanda 35.000 serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) tewas. Mereka yang menderita luka-luka seluruhnya satu juta orang.[Sumber: historia.id]

AMP - Postingan Abdullah Saleh di media sosial dinilai mencemarkan nama baik Askhalani dan GeRAK Aceh. Politisi PA ini pun disomasi.

Status facebook Abdullah Saleh pada 21 Maret 2017 berbuntut panjang. Merasa mencemari nama baiknya, Askhalani mengirim surat somasi (peringatan) kepada Abdullah Saleh pada 23 Maret 2017. Tak tanggung-tangung, dalam surat somasi yang dikirim melalui pengacarnya, ia mencantumkan tujuh poin penting yang dipercaya dapat menyeret legislaor Aceh itu ke meja hijau.

Dalam poin pertama, Askhalani menyatakan status yang berbunyi ‘Gerak Aceh Askhalani bersama Akhiruddin Mahjuddin tim sukses Zaini Abdullah yang sedang bekerja meraup keuntungan diakhir masa kerja Zaini Abdullah. Selama menjadi tim sukses Akhiruddin merasa manis lalu melibatkan anak buahnya Askhalani di GeRAK untuk menyerang DPRA untuk bela2. Beubrang Cit Sigam nyoe’ telah merendahkan harkat dan martabatnya.

Alasannya, postingan yang juga menyertakan fotonya itu telah disampaikan secara luas oleh Abdullah Saleh di laman medsos. Sehingga, lanjutnya, telah dijadikan pesan berantai para netizen yang menyambangi grup tersebut. Karena itu, Abdullah Saleh dinilai menyalahi hukum berlaku.

Poin kedua, frasa ‘beubrang cit sigam nyou’ dinilai sebagai ujaraan hinaan terhadapnya. Dalam penilaian Asqhalani, ‘beubrang’ merupakan sebangsa binatang mamalia yang tidak pantas diibaratkan kepada manusia. Sehingga, penulisan tersebut dianggap telah mencemarkan nama baiknya.

Poin lainnya, karena telah mencemarkan nama baik, postingan tersebut dinilai sebagai bentuk perbuatan melawan hukum berdasarkan Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Selanjutnya, ia merincikan undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum untuk menindak pelaku pencemaran nama baik. Pelaku ternacam pasal 27 ayat (3) junto dan pasal 45 ayat (1) dengan ancaman enam tahun penjara dan/atau akan dikenakan denda paling banyak Rp1 miliar.

Dalam poin lima surat somasi, Abdullah Saleh juga dinilai telah melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 10 ayat (1). “Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,” tulis Asqhalani mengutip undang-undang tersebut.

Perbuatan Abdullah Saleh tersebut dinilainya telah memenuhi criteria tindak pidana yang dirincinya di poin tiga dan empat surat peringatan tersebut.

Pun demikian, Askhalani memberikan kesempatan kepada Abdullah Saleh agar segera mencabut status tersebut secepatnyaa. Selain itu, Ketua Komisi A DPRA itu juga diminta untuk meminta maaf di media lokal selama tiga hari berturut-turut.

Di penutup surat itu, Askhalani menyatakan akan menempuh jalur hukum jika Abdullah Saleh mengabaikan isi somasi lebih dari empat hari sejak surat itu dikirimkan.
DASAR POSTINGAN

Menerima somasi tersebut, Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh angkat bicara. Menurut dia, postingan itu sebenarnya bukan tanpa alasan. Antara lain sebagai bentuk kekesalannya atas kritikan pedas GeRAK terkait beberapa keputusan DPRA. Apalagi protes tersebut telah dilakukan secara memtubi-tubi.

“Mereka sudah terlalu sering menyudutkan DPRA menggunakan media Akhiruddin. Apalagi terkait keputusan kami saat menolak pelantikan pejabat baru oleh Abu Doto (Gubernur Aceh) beberapa waktu lalu,” ujar Abdullah Saleh saat dihubungi Pikiran Merdeka, Sabtu (25/3/2017).

Dia menilai, kritikan pedas yang datang secara terus-menerus cendrung memojokkan pihak DPRA, baik dari segi keputusan maupun tindakan. “Apalagi saat DPRA menolak pejabat baru itu, dia (Askhalani) malah menuduh kami ingin mengamankan kepentingan terkait dana aspirasi. Seolah-olah keputusan yang kami lakukan semuanya salah,” tambahnya.

Selain itu, menurutnya, kritikan pedas GeRAK—yang belum tentu teruji kebenarannya—tersebut berdampak pada tersebarnya isu-isu yang tidak valid. Dalam hal ini, ia kembali mencontohkan persoalan pergantian SKPA.

“Dalam hal pergantian kepala SKPA tersebut, kami di DPRA hanya melakukan tugas kami dari sisi pengawasan. Ini pun dengan tujuan agar kebijakan pergantian SKPA berjalan sesuai hukum berlaku,” jelasnya.

Sementra terkait somasi GeRAK terhadap postingan dirinya, Abdullah Saleh menyatakan pihaknya juga dapat menuntut balik jika lembaga tersebut bakal menempuh jalur hukum. “Tapi saya rasa tidak perlu sampai ke tahap tersebu,t karena tulisan saya di Grup Abdullah Saleh itu tidak bermaksud memancing keributan baru yang berkepanangan,” pungkasnya.
MENANTI PROSES

Postingan facebook Abdullah Saleh tidak hanya menyentil nama Askhalani. Dalam postingan itu, nama Akhiruddin juga dimunculkan. Karena itu, pendiri GeRAK Aceh itu juga merasa dilecehkan.

Berbeda dengan respon Askhlani, Akhiruddin memilih menunggu proses somasi yang telah dilayangkan GeRAK pada 23 Maret 2017. “Masalah (Abdullah Saleh) dengan Askhalani kan belum selesai. Kalau itu sudah selesai, maka ia harus berurusan dengan saya lagi,” ujar Akhiruddin kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (25/3/2017).

Dalam permasalahan tersebut, Akhiruddin mengaku tidak ingin menyelesaikannya secara gegabah. Ia masih menunggu perkembangan dan kelanjutan dari surat peringatan yang dilayangkan kubu Askhalani. “Kita punya strategi dan masih menunggu momen penyelesaian yang tepat,” tuturnya.

Akhiruddin sangat menyanyangkan tudingan yang menimpa dirinya bersama Askhalani. Postingan Abdullah Saleh dinilai telah menyerang dirinya secara pribadi dan lembaga GeRAK di jejaringan sosial tanpa bukti yang kuat.

“Tulisan itu mengaitkan statemen Askhalani dari GeRAK dengan saya secara pribadi. Apalagi dikatakan ingin meraup keuntungan di akhir-akhir masa jabatan Abdullah Zaini. Ini pencemaran nama baik,” tandasnya.[Sumber: pikiranmerdeka.co]

Tahanan hakim yang kabur. [Ist]
AMP - Tahanan hakim dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara yang berhasil kabur pada Selasa (26/7/2016) lalu, kini ditangkap kembali. 

Tersangkanya, Muktaruddin, ditangkap di rumahnya di Gampong Meunasah Pante, Kecamatan Syamtalira Aron, sekitar pukul 20.00 WIB, Senin (27/3/2017) kemarin.Namun, dalam penangkapan tersebut, polisi turut menemukan narkotika jenis sabu sebanyak 100 gram atau setara 1 ons. Tersangka ditangkap berdasarkan adanya informasi dari masyarakat.

"Sementara barang bukti sabu 1 ons itu kita temukan saat rumahnya kita geledah," kata Kapolres Aceh Utara AKBP Ahmad Untung Surianata melalui Kasat Reskrim, AKP Sofyan, Selasa (28/3/2017).

Sofyan mengatakan, kasus tersebut masih dalam tahap pengembangan lebih lanjut. Saat ini, tersangka bersama barang bukti sudah diamankan di Mapolres itu.

Seperti diberitakan GoAceh sebelumnya, tahanan hakim Pengadilan Negeri (PN) Lhoksukon yang terlibat kasus narkoba itu melarikan diri saat diantar petugas untuk berobat.

Saat itu, tersangka meminta izin pada petugas Rutan Lhoksukon agar diberi kesempatan untuk berobat. Karena menunjukkan surat keterangan dokter, tersangka diizinkan berobat dan dikawal aparat keamanan. Namun, tersangka berhasil melarikan diri saat turun di rumahnya dengan alasan untuk mengambil uang.

Seperti diketahui, kasus Muktaruddin dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) ke PN Lhoksukon pada Jumat (22/7/2016) lalu.[goaceh.co]

Ilustrasi
AMP - Jumlah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) di Provinsi Aceh meningkat dari 16.892 kasus di 2012 menjadi 22.033 kasus pada tahun 2016. Khusus gangguan jiwa berat atau gila beneran, Aceh sama persis dengan Yogjakarta di peringkat pertama Indonesia.

Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr Hanif mengatakan dari 22.033 kasus ODMK se-Aceh di tahun 2016, Pidie merupakan penyumbang terbanyak, mencapai 2.820 kasus. Sedangkan Kabupaten Bireuen berada di urutan dua, dengan jumlah ODMK mencapai 2.586 kasus.

Dikutip Serambi Indonesia, Senin (27/3/2017), khusus gangguan jiwa berat atau ‘gila benaran’ , Hanif mengatakan bahwa prevalensi di Aceh 2,7 per mil, sama persis dengan Provinsi Yogyakarta.

Kondisi ini menempatkan Yogyakarta dan Aceh berada di peringkat pertama se-Indonesia jumlah orang gila untuk setiap 1.000 penduduk. Namun, data ini berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. “Tapi, kami tak mau pakai istilah gila, ya,” tutur Hanif.

Penyebab jumlah ODMK meningkat kata Hanif, lantaran perawatnya lebih aktif melakukan pendataan untuk mengobati. Pidie menjadi penyumbang terbesar jumlah ODMK juga lantaran perawatnya bergerak door to door.

“Pidie mendominasi jumlah orang yang mengalami masalah kejiwaan, karena perawat di sejumlah puskesmas di Pidie sangat aktif. Mereka door to door. Kalau dulu tak terdata, sekarang tercatat, sehingga seakan-akan lebih tinggi dibanding daerah lain,” kata Hanif.

Menurut Hanif, setidaknya ada tiga penyebab banyaknya warga yang mengalami masalah kejiwaan di Aceh. Pertama, Aceh sebagai daerah bekas konflik puluhan tahun mewariskan dampak sosial yang luas, termasuk tingginya angka gangguan jiwa.

“Sebab lainnya adalah tsunami dan Napza. Yang paling parah adalah Napza,” kata Hanif. Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, dan Tamiang, merupakan kawasan yang banyak penderita gangguan jiwa akibat konsumsi narkoba.

Petugas kesehatan mengalami kesulitan memulihkan penderita gangguan jiwa dari pecandu narkoba, karena mereka cenderung kembali menjadi pemakai sesudah diobati. [Serambinews]

AMP - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Partai Aceh (PA) yang juga Ketua Komisi I DPRA, Abdullah Saleh mengaku. Pasca Pilkada dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), antara tim Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf atau akrap dipanggil Mualem, perlu dilakukan pemulihan hubungan atau perbedaan politik (rekonsiliasi).

Pernyataan itu disampaikan Abdullah Saleh, di sela-sela pelaksanaan reses, di Kabupaten Aceh Barat, Minggu malam (26/03/2017). Menurut Abdullah Saleh, perlunya rekonsiliasi demi kepentingan Aceh ke depan yang lebih besar.

Sebab, jika saling menyandra bahwa ini kelompok Irwandi dan itu kelompok Mualem, maka tidak bisa bergerak dalam memikirkan Aceh yang lebih besar ke depan.

“Pentingnya rekonsiliasi, kita sama-sama berpikir jauh ke depan, untuk kepentingan Aceh yang lebih besar, bukan lagi kelompok. Kalau kepentingan kelompok, ada kelompok Mualem dan kelompok Irwandi, maka tidak bisa bergerak,” ujar Abdullah Saleh, di Meulaboh, Minggu malam (26/03).

Abdullah Saleh menjelaskan, jika tidak ada rekonsiliasi maka jumlah kursi PA di DPRA yang kini berjumlah 29 kursi, kemudian ditambah kabupaten-kota, maka bisa tersandra dan akan macet.

“Berat juga, maka kedepan perlu kebersamaan dan rekonsiliasi. Kalau tidak, saling menyandra satu sama lain, maka akan macet,” kata Abdullah Saleh.

Mantan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu melanjutkan. Pengalaman Pilkada 2012 silam munculnya kelompok Irwandi dan kelompok Mualem-dr. Zaini Abdullah, lalu dalam perjalanan Pemerintahan dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, muncul lagi kelompok dr. Zaini Abdullah dan Mualem.

Pengalaman itu, menurut Abdullah Saleh untuk kepentingan Aceh yang lebih besar, maka perlu dileburkan.

“Idealnya pengalaman Pilkada 2012, terjadi konflik, antar  kubu akhirnya menyandra Zaini dan Mualem tidak bisa bergerak, Mualem mati langkah, Irwandi apalagi. Kedepan jangan diulang lagi, jangan buang-buang waktu,” kata Abdullah Saleh.

Abdullah Saleh juga menegaskan, dalam mewujudkan rekonsiliasi itu, ia siap turun ke dearah-daerah. “Saya juga akan turun ke daerah-daerah,” ujarnya.

Namun, rekonsiliasi yang dimaksud Abdullah Saleh itu, pasca pelaksanaan Pilkada dan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan proses di MK, itu proses legitimasi politik lewat proses hukum yang tidak bisa dihindari. “Proses di MK itu proses legitimasi politik lewat proses hukumnya, itu tidak bisa dihindari. Tetapi rekonsiliasi yang saya maksud pasca Pilkada dan pasca putusan MK.  Ini perlu dilakukan,” kata Abdullah Saleh.(modusaceh)

Satu unit lagi pesawat militer Amerika Serikat mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar, Minggu (26/3). Kedatangan pesawat US Air Force itu untuk mengangkut penumpang dari pesawat militer AS yang dua hari sebelumnya mendarat darurat di Bandara SIM. SERAMBI/BUDI FATRIA
Enam Lagi Tinggal di Aceh

AMP - Sebanyak 14 dari 20 awak pesawat militer Amerika Serikat yang pada Jumat (24/3) lalu mendarat darurat di Aceh, sudah kembali ke Pulau Diego Garcia di Samudera Hindia. Mereka dijemput dengan pesawat tanker milik US Air Force di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar, Minggu (26/3) pukul 12.50 WIB.

Amatan Serambi di Bandara kemarin, sejak pukul 11.00 WIB sejumlah awak pesawat yang akan dijemput sudah bersiap-siap dengan barang bawaannya di apron Bandara. Beberapa saat kemudian pesawat berwarna abu-abu gelap dengan kode 23498 bertulis US Air Force mendarat di landasan dan langsung menuju apron.

Sebanyak 14 awak pesawat yang merupakan prajurit militer AS itu langsung naik ke pesawat membawa serta barang bawaannya. Selama proses transfer penumpang, mesin pesawat dibiarkan dalam keadaan hidup. Pesawat kembali lepas landas pukul 13.37 WIB.

Proses penjemputan itu mendapat pengawalan dari Danlanud SIM, Angkasa Pura, dan Airnav.

Komandan Lanud SIM, Kolonel Pnb Suliono kemarin mengatakan, pesawat yang menjemput itu merupakan jenis pesawat tanker (pengisi bahan bakar di udara), tipe KC 135. Pesawat itu tiba dan akan kembali ke Diego Garcia, setelah menjemput awaknya di Aceh.

Berdasarkan informasi Airnav, waktu tempuh Banda Aceh ke Diego Garcia sekitar tiga jam penerbangan. “Orang yang akan naik ke pesawat itu sudah kita cek. Orang per orang juga dicek oleh imigrasi, sedangkan orang dari pesawat lama (pesawat penjemput) yang tidak turun juga tidak masalah, karena mereka sudah ada izin terbang dan izin landing,” ujar Suliono.

Ketika ditanya mengenai kebenaran pesawat yang mendarat darurat merupakan jenis pesawat pendeteksi nuklir, Danlanud mengatakan secara pasti tidak mengetahuinya. “Tapi kalau rekan-rekan membuka di internet taulah dia dari skuadron apa, serta apa tugas-tugasnya,” ujarnya.

Sedangkan enam awak yang tersisa yaitu pilot, co-pilot, navigator, dan teknisi akan tetap berada di Aceh sambil menunggu otoritas Amerika Serikat mengirim mesin baru, sparepart dan teknisnya ke Banda Aceh. Namun, selama di Aceh mereka diperbolehkan menginap ke hotel di dalam kota.

Sementara Penjabat General Manager (Pj GM) Angkasa Pura Banda Aceh, Surkani mengatakan saat ini proses perbaikan pesawat itu diserahkan ke Gapura, sedangkan Angkasa Pura hanya menyediakan apron. Proses perbaikan nanti akan berlangsung di Bandara SIM.

Sebelumnya diberitakan, pada Jumat (24/3) satu pesawat militer AS yang mengangkut 20 awak mendarat darurat di Bandara SIM karena kerusakan mesin saat di udara. Pesawat itu dari Diego Garcia menuju Bandara Kadena di Pulau Okinawa, Jepang. Hingga saat ini pesawat itu masih berada di apron Bandara SIM.

Untuk diketahui, Diego Garcia merupakan sebuah atol (pulau karang) milik Inggris yang berada di Samudera Hindia, sebelah barat daya Aceh. Saat ini pulau itu menjadi pangkalan militer Amerika Serikat dan Inggris. (serambinews.com)
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget