AMP - Banyak desa di Aceh belum menyelesaikan laporan pertanggungjawaban dana desa pada tahun anggaran 2016. Penyalurannya juga dinilai rentan penyalahgunaan.
Mashuri tampak sibuk mencermati deretan angka-angka dalam laporan yang bertumpuk di hadapannya. Sesekali ia menoleh ke tumpukan dokumen yang berada di sisi kirinya. Kemudian beralih pada laporan yang berada persis di depannya sembari menuliskan sesuatu.
Saat ditemui di kantor Geuchik Gampong Peurada, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Gampong Peurada itu sedang merevisi laporan pertanggungjawaban dana desa tersebut untuk tahun anggaran 2016. “Masih banyak yang salah. Ini dicek lagi, karena berbeda datanya kemarin yang di sistem sama yang di rekening bank. Jadi harus sama,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis siang pekan lalu.
Laporan pertanggungjawaban dana tersebut, kata Mashuri, disampaikan melalui Sistem Keuangan Desa atau Siskeudes kepada Camat Syiah Kuala, Badan Pemberdayaan Masyarakat, dan Pusat Pelaporan dan Analisis dan Traksaksi Keuangan.
Namun karena laporan mesti diperbaiki, ia belum bisa mengirimnya meski telah melewati tenggat. Akibatnya, kata Mashuri, dana untuk tahun ini belum diberikan. “Kemarin itu juga Sekdes (Sekretaris Desa) sibuk sebagai PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), jadi laporannya belum lengkap,” tuturnya.
Terkait publikasi informasi laporan dana tersebut, ia mengaku hal tersebut sudah dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman agar diketahui masyarakat. Informasi itu hanya memuat laporan dana per proyek, bukan laporan keseluruhan.
“Misalnya ada kegiatan pembuatan got. Itu dipublikasikan melalui papan pengumuman di lokasi pembuatannya,” ujarnya.
Geuchik Gampong Peurada Hasanuddin juga mengakui keterlambatan laporan dana desa pada 2016 itu. Tahun lalu, kata dia, anggaran dana untuk Gampong Peurada mencapai Rp1,068 miliar.
Rinciannya, Dana Desa yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara senilai Rp622.278.851, penerimaan bagi hasil pajak dan retribusi daerah Rp33.766.077, serta Alokasi Dana Gampong dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh senilai Rp404.166.462. Selain itu, ada juga dari pendapatan gampong lainnya yang sah senilai Rp8.583.742. “Kalau ADG (Alokasi Dana Gampong) sudah habis terserap penggunaannya, tapi ADD (Alokasi Dana Desa) tidak bisa digarap dan digunakan karena waktunya kepepet. Jadi lebih baik dana itu dialokasikan untuk tahun anggaran 2017,” ujar Hasanuddin.
Laporan Belum Siap
Peurada hanyalah salah satu gampong di Kota Banda Aceh yang belum menyiapkan laporan pertanggungjawaban dana desa tahun anggaran 2016. Masih banyak desa lain di Aceh yang terancam tak mendapatkan dana tahun ini karena belum menyiapkan laporan pertanggungjawaban.
Di Bireuen misalnya. Hampir seluruh desa di kabupaten tersebut belum membuat laporan pertanggungjawaban. Seperti dilansir Serambi Indonesia, hingga 19 Januari, hanya satu desa telah menyerahkan laporan pertanggungjawaban yakni Keude Lapang di Kecamatan Gandapura. Sementara 608 gampong lain belum mengirimkan laporan.
Karenanya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo telah mengimbau para kepala desa segera mempublikasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa itu kepada masyarakat dan diterakan pada semacam baliho yang dipampang di depan kantor desa. “Masih banyak desa yang belum membuatnya. Maksudnya agar masyarakat juga bisa melihat serta melakukan fungsi pengawasan,” ujarnya saat melakukan pertemuan dengan kepala desa dan kelompok tani se-Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, seperti dikutip Antara, Sabtu, 18 Februari 2017.
Besarnya dana yang diperoleh setiap desa juga memiliki kecenderungan besar disalahgunakan. Sebagaimana temuan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang menyatakan adanya dugaan pemotongan dana desa sebesar lima persen oleh pihak Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, pada 8 Oktober 2016.
Begitu pula hasil audit Inspektorat Kabupaten Aceh Barat Daya yang menyebutkan setidaknya ada tujuh desa diduga bermasalah dalam penggunaan dana tersebut. “Ada desa tidak bisa membuat pertanggungjawaban. Niat mereka untuk membuat kesalahan tidak ada, tapi karena tak paham mereka jadi salah. Seperti setiap kegiatan itu ada pajak dan sebagainya, dan mereka ini akan kita bina,” ujar Kepala Inspektorat Aceh Barat Daya Jufridani kepada Serambi Indonesia, Jumat, 27 Mei 2016.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Dana Desa, pada pasal 72 disebutkan pendapatan desa berasal dari beberapa sumber. Sumber itu antara lain pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten kota, Alokasi Dana Desa, bantuan keuangan dari APBD dan APBK, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, serta lain-lain pendapatan desa yang sah.
Berdasarkan paparan Kementerian Keuangan tentang kebijakan pengalokasian dan penyaluran dana desa tahun 2017, pada tahun anggaran 2016, Provinsi Aceh mendapatkan anggaran dana desa total senilai Rp5,282 triliun. Rinciannya, Alokasi Dana Desa dari APBN Rp3,829 triliun, Alokasi Dana Gampong dari APBA Rp1,835 triliun, serta dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah senilai Rp66,991 miliar. Rata-rata, setiap desa di Aceh mendapatkan Rp815,945 miliar.
Disarikan dari data realisasi dana desa tahun anggaran 2016 di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh, Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBN untuk 6.474 gampong di 23 kabupaten dan kota diberikan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, dana Rp2,298 triliun atau 60 persen ditranser dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) 23 kabupaten dan kota di Aceh.
Sedangkan pada tahap kedua, II, RKUN mentransfer dana Rp1,471 triliun atau 38,40 persen ke RKUD. Kemudian, Rekening Kas Umum Daerah mengirim dana tersebut ke Rekening Kas Desa di kabupaten. Pada tahap pertama, ditransfer Rp2,294 triliun atau 99,84 persen dari total Rp2,298 triliun dana RKUN yang dikirimkan ke RKUD. Dana Rp1,264 triliun atau 85,92 persen dari total Rp1,471 triliun dana RKUN ke RKUD kemudian disalurkan lagi ke RKD kabupaten dan kota pada tahap kedua.
Sementara, total penggunaan dana desa di Aceh yang bersumber dari APBN pada 2016 senilai Rp2,512 triliun atau 65,58 persen dan tersisa Rp1,318 triliun atau 34,42 persen.
Keseluruhan dana tersebut diperiksa oleh inspektorat secara berjenjang. Inspektur Pembantu I Inspektorat Aceh, Abu Bakar mengatakan yang bertugas mengaudit dana desa itu adalah inspektorat di kabupaten dan kota. “Dari penyusunan APBDes-nya dan apakah pelaksanaannya sesuai dengan APBDes itu, itu semuanya diperiksa oleh inspektorat kabupaten kota,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Ia menambahkan, sesuai Pedoman Pengawasan Dana Desa dari Kementerian Dalam Negeri, inspektorat provinsi hanya bertugas mengawasi pengalokasian dana desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten dan Kota, atau dari RKUD ke RKD. “Setelah dialokasikan ke RKUD, apakah penyaluran ke RKD itu tepat waktu nggak. Itu tugas inspektorat provinsi. Setelah tersalurkan ke RKD, nah, itu baru jadi tugas inspektorat kabupaten kota masing-masing,” tambah Abu Bakar.
Jika timbul persoalan terkait pengelolaan dana di desa, kata Abu Bakar, menjadi tanggung jawab inspektorat kabupaten. Inspektorat kabupaten juga tidak berkewajiban melaporkan hasil audit mereka kepada inspektorat provinsi.
Sementara audit yang dilakukan inspektorat provinsi terhadap kabupaten dan kota dilakukan saban tahun melalui Program Kerja Pemeriksaan Tahunan.
“Kan nggak mungkin diaudit pengalokasian dana desa semua kabupaten dan kota di Aceh. Jadi kita tentukan sampling audit tahun 2016 di 12 kabupaten dan kota. Nanti kita akan kita laporkan ke Pak Gubernur, lalu akan disampaikan ke Mendagri,” ujar Abu Bakar. Keduabelas kabupaten dan kota yang menjadi sampling audit adalah Aceh Barat Daya, Pidie, Singkil, Subulussalam, Langsa, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Tenggara, Bireuen, Aceh Utara, dan Pidie Jaya. Sementara satu kabupaten lagi gagal dilakukan, yaitu Gayo Lues.
Selain audit tahunan, Abu Bakar menjelaskan Inspektorat Aceh bisa juga mengaudit langsung kabupaten dan kota yang mengalami persoalan dengan pengelolaan dana desa. “Boleh saja kami lakukan sepanjang kasus yang terjadi itu ada laporannya. Misalnya, ada masyarakat atau desa melaporkan secara tertulis ke gubernur. Nanti Pak Gubernur yang memerintah Inspektur Aceh agar melakukan audit,” tuturnya.
Koordinator MaTA, Alfian menyebutkan ada dua masalah utama dalam pengelolaan dana desa. Pertama, masih terbatasnya partisipasi dan keterlibatan warga mulai dari perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban di tingkat desa. “Hal ini perlu diperkuat kembali. Artinya, perangkat gampong yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana desa itu harus memaksimalkan keterlibatan warganya dari perencanaan, penganggaran hingga pengawasan,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Kedua, kata Alfian, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa masih rendah. Masyarakat masih susah mengakses laporan pertanggungjawaban dana dari pemerintah desa. “Kalau dalam tatakelola keuangan ini masih tertutup atau tidak transparan, peluang terjadi tindak pidana korupsi sangat besar,” ungkapnya.
Alfian berharap adanya keterlibatan warga secara menyeluruh di desa dalam perencanaan anggaran. Selain itu, laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana desa dipublikasikan kepada warga. “Harusnya ada perkembangan dalam tatakelola yang lebih baik. Apalagi ini sudah masuk tahun ketiga kan, 2017.”
Hal itu sebagaimana diamanatkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 27 yang menyebutkan bahwa kepala daerah wajib memberikan dan menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat desa setiap akhir tahun anggaran. Lalu, pasal 68 ayat 1 menyatakan masyarakat berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa, mengawasi serta menyampaikan aspirasi terkait kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Karena itu, Alfian menekankan berbagai kelemahan dalam pengelolaan dana ini harus segera dievaluasi. Ia menuding Badan Pemberdayaan Masyarakat di daerah masih abai terhadap persoalan ini. “Mereka bertanggung jawab penuh untuk mendorong dan mengawasi transparansi pengelolaan dana desa ini mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban,” ujarnya.
MaTA sendiri, tambahnya, pernah terlibat mendampingi warga untuk melaporkan kasus tindak pidana korupsi terhadap pengelolaan dana desa di Aceh Utara beberapa waktu lalu dan berharap hal itu menjadi pilot project bagi desa lainnya.
Peran Pendamping Gampong
Alfian juga menyoroti kinerja pendamping desa yang menurutnya masih dipertanyakan perannya. Terutama, kata dia, terkait kapasitas mereka mendampingi aparatur desa dalam membuat laporan pertanggungjawaban. “Peran mereka kan memastikan bahwa proses perencanaan partisipatif dan transparansi pengelolaan dana serta pembuatan laporan pertanggungjawaban,” kata Alfian.
Temuan MaTA di salah satu desa di Aceh Utara, ada kepala desa yang mengaku tidak tahu adanya pendamping desa. Sebagaimana diberitakan Analisa, MaTA meminta pemerintah untuk mengevaluasi keberadaan pendamping desa terkait adanya pengaduan yang diterima dari masyarakat yang menilai banyak pendamping desa kurang aktif di Aceh Utara.
Permintaan itu disampaikan anggota MaTA, Baihaqi, dalam diskusi bersama perangkat Gampong Keude Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, pada Sabtu, 28 Januari 2017. “Artinya ini tanggung jawab BPM (Badan Pemberdayaan Masyarakat) kabupaten dan kota untuk mengevaluasi kembali peran pendamping desa,” ujar Alfian.
Seharusnya, kata Alfian, ketika ada desa yang hingga kini belum selesai membuat laporan pertanggungjawaban dana desa, pendamping desa yang harus mendampingi proses penulisan laporan tersebut. Pasal 4 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 menyebutkan pendampingan desa dilaksanakan oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, atau pihak ketiga.
Tenaga pendamping profesional terdiri dari pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan, pendamping teknis di kabupaten, dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat di tingkat provinsi. Sementara kader pemberdayaan masyarakat desa berkedudukan di desa. Pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan inilah yang bertugas mendampingi beberapa desa dalam kecamatan tersebut terkait penyelenggaraan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG, sebelumnya BPM) Aceh, Anzuhar mengatakan ia tak bisa berkomentar banyak terkait soal itu. Dinas, kata dia, hanya menunggu jika memang ada laporan terkait permasalahan pendamping desa di BPM kabupaten dan kota. “Kita minta konfirmasi dulu dari sana, lewat BPM kabupaten dan kota setempat ke tenaga ahli. Kalau itu tidak disampaikan kepada kami soal ini, kami juga kan susah menjangkau seluruh Aceh,” pungkasnya, Jumat pekan lalu. [pikiranmerdeka.co]
Mashuri tampak sibuk mencermati deretan angka-angka dalam laporan yang bertumpuk di hadapannya. Sesekali ia menoleh ke tumpukan dokumen yang berada di sisi kirinya. Kemudian beralih pada laporan yang berada persis di depannya sembari menuliskan sesuatu.
Saat ditemui di kantor Geuchik Gampong Peurada, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Gampong Peurada itu sedang merevisi laporan pertanggungjawaban dana desa tersebut untuk tahun anggaran 2016. “Masih banyak yang salah. Ini dicek lagi, karena berbeda datanya kemarin yang di sistem sama yang di rekening bank. Jadi harus sama,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis siang pekan lalu.
Laporan pertanggungjawaban dana tersebut, kata Mashuri, disampaikan melalui Sistem Keuangan Desa atau Siskeudes kepada Camat Syiah Kuala, Badan Pemberdayaan Masyarakat, dan Pusat Pelaporan dan Analisis dan Traksaksi Keuangan.
Namun karena laporan mesti diperbaiki, ia belum bisa mengirimnya meski telah melewati tenggat. Akibatnya, kata Mashuri, dana untuk tahun ini belum diberikan. “Kemarin itu juga Sekdes (Sekretaris Desa) sibuk sebagai PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), jadi laporannya belum lengkap,” tuturnya.
Terkait publikasi informasi laporan dana tersebut, ia mengaku hal tersebut sudah dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman agar diketahui masyarakat. Informasi itu hanya memuat laporan dana per proyek, bukan laporan keseluruhan.
“Misalnya ada kegiatan pembuatan got. Itu dipublikasikan melalui papan pengumuman di lokasi pembuatannya,” ujarnya.
Geuchik Gampong Peurada Hasanuddin juga mengakui keterlambatan laporan dana desa pada 2016 itu. Tahun lalu, kata dia, anggaran dana untuk Gampong Peurada mencapai Rp1,068 miliar.
Rinciannya, Dana Desa yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara senilai Rp622.278.851, penerimaan bagi hasil pajak dan retribusi daerah Rp33.766.077, serta Alokasi Dana Gampong dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh senilai Rp404.166.462. Selain itu, ada juga dari pendapatan gampong lainnya yang sah senilai Rp8.583.742. “Kalau ADG (Alokasi Dana Gampong) sudah habis terserap penggunaannya, tapi ADD (Alokasi Dana Desa) tidak bisa digarap dan digunakan karena waktunya kepepet. Jadi lebih baik dana itu dialokasikan untuk tahun anggaran 2017,” ujar Hasanuddin.
Laporan Belum Siap
Peurada hanyalah salah satu gampong di Kota Banda Aceh yang belum menyiapkan laporan pertanggungjawaban dana desa tahun anggaran 2016. Masih banyak desa lain di Aceh yang terancam tak mendapatkan dana tahun ini karena belum menyiapkan laporan pertanggungjawaban.
Di Bireuen misalnya. Hampir seluruh desa di kabupaten tersebut belum membuat laporan pertanggungjawaban. Seperti dilansir Serambi Indonesia, hingga 19 Januari, hanya satu desa telah menyerahkan laporan pertanggungjawaban yakni Keude Lapang di Kecamatan Gandapura. Sementara 608 gampong lain belum mengirimkan laporan.
Karenanya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo telah mengimbau para kepala desa segera mempublikasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa itu kepada masyarakat dan diterakan pada semacam baliho yang dipampang di depan kantor desa. “Masih banyak desa yang belum membuatnya. Maksudnya agar masyarakat juga bisa melihat serta melakukan fungsi pengawasan,” ujarnya saat melakukan pertemuan dengan kepala desa dan kelompok tani se-Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, seperti dikutip Antara, Sabtu, 18 Februari 2017.
Besarnya dana yang diperoleh setiap desa juga memiliki kecenderungan besar disalahgunakan. Sebagaimana temuan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang menyatakan adanya dugaan pemotongan dana desa sebesar lima persen oleh pihak Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, pada 8 Oktober 2016.
Begitu pula hasil audit Inspektorat Kabupaten Aceh Barat Daya yang menyebutkan setidaknya ada tujuh desa diduga bermasalah dalam penggunaan dana tersebut. “Ada desa tidak bisa membuat pertanggungjawaban. Niat mereka untuk membuat kesalahan tidak ada, tapi karena tak paham mereka jadi salah. Seperti setiap kegiatan itu ada pajak dan sebagainya, dan mereka ini akan kita bina,” ujar Kepala Inspektorat Aceh Barat Daya Jufridani kepada Serambi Indonesia, Jumat, 27 Mei 2016.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Dana Desa, pada pasal 72 disebutkan pendapatan desa berasal dari beberapa sumber. Sumber itu antara lain pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten kota, Alokasi Dana Desa, bantuan keuangan dari APBD dan APBK, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, serta lain-lain pendapatan desa yang sah.
Berdasarkan paparan Kementerian Keuangan tentang kebijakan pengalokasian dan penyaluran dana desa tahun 2017, pada tahun anggaran 2016, Provinsi Aceh mendapatkan anggaran dana desa total senilai Rp5,282 triliun. Rinciannya, Alokasi Dana Desa dari APBN Rp3,829 triliun, Alokasi Dana Gampong dari APBA Rp1,835 triliun, serta dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah senilai Rp66,991 miliar. Rata-rata, setiap desa di Aceh mendapatkan Rp815,945 miliar.
Disarikan dari data realisasi dana desa tahun anggaran 2016 di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh, Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBN untuk 6.474 gampong di 23 kabupaten dan kota diberikan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, dana Rp2,298 triliun atau 60 persen ditranser dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) 23 kabupaten dan kota di Aceh.
Sedangkan pada tahap kedua, II, RKUN mentransfer dana Rp1,471 triliun atau 38,40 persen ke RKUD. Kemudian, Rekening Kas Umum Daerah mengirim dana tersebut ke Rekening Kas Desa di kabupaten. Pada tahap pertama, ditransfer Rp2,294 triliun atau 99,84 persen dari total Rp2,298 triliun dana RKUN yang dikirimkan ke RKUD. Dana Rp1,264 triliun atau 85,92 persen dari total Rp1,471 triliun dana RKUN ke RKUD kemudian disalurkan lagi ke RKD kabupaten dan kota pada tahap kedua.
Sementara, total penggunaan dana desa di Aceh yang bersumber dari APBN pada 2016 senilai Rp2,512 triliun atau 65,58 persen dan tersisa Rp1,318 triliun atau 34,42 persen.
Keseluruhan dana tersebut diperiksa oleh inspektorat secara berjenjang. Inspektur Pembantu I Inspektorat Aceh, Abu Bakar mengatakan yang bertugas mengaudit dana desa itu adalah inspektorat di kabupaten dan kota. “Dari penyusunan APBDes-nya dan apakah pelaksanaannya sesuai dengan APBDes itu, itu semuanya diperiksa oleh inspektorat kabupaten kota,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Ia menambahkan, sesuai Pedoman Pengawasan Dana Desa dari Kementerian Dalam Negeri, inspektorat provinsi hanya bertugas mengawasi pengalokasian dana desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten dan Kota, atau dari RKUD ke RKD. “Setelah dialokasikan ke RKUD, apakah penyaluran ke RKD itu tepat waktu nggak. Itu tugas inspektorat provinsi. Setelah tersalurkan ke RKD, nah, itu baru jadi tugas inspektorat kabupaten kota masing-masing,” tambah Abu Bakar.
Jika timbul persoalan terkait pengelolaan dana di desa, kata Abu Bakar, menjadi tanggung jawab inspektorat kabupaten. Inspektorat kabupaten juga tidak berkewajiban melaporkan hasil audit mereka kepada inspektorat provinsi.
Sementara audit yang dilakukan inspektorat provinsi terhadap kabupaten dan kota dilakukan saban tahun melalui Program Kerja Pemeriksaan Tahunan.
“Kan nggak mungkin diaudit pengalokasian dana desa semua kabupaten dan kota di Aceh. Jadi kita tentukan sampling audit tahun 2016 di 12 kabupaten dan kota. Nanti kita akan kita laporkan ke Pak Gubernur, lalu akan disampaikan ke Mendagri,” ujar Abu Bakar. Keduabelas kabupaten dan kota yang menjadi sampling audit adalah Aceh Barat Daya, Pidie, Singkil, Subulussalam, Langsa, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Tenggara, Bireuen, Aceh Utara, dan Pidie Jaya. Sementara satu kabupaten lagi gagal dilakukan, yaitu Gayo Lues.
Selain audit tahunan, Abu Bakar menjelaskan Inspektorat Aceh bisa juga mengaudit langsung kabupaten dan kota yang mengalami persoalan dengan pengelolaan dana desa. “Boleh saja kami lakukan sepanjang kasus yang terjadi itu ada laporannya. Misalnya, ada masyarakat atau desa melaporkan secara tertulis ke gubernur. Nanti Pak Gubernur yang memerintah Inspektur Aceh agar melakukan audit,” tuturnya.
Koordinator MaTA, Alfian menyebutkan ada dua masalah utama dalam pengelolaan dana desa. Pertama, masih terbatasnya partisipasi dan keterlibatan warga mulai dari perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban di tingkat desa. “Hal ini perlu diperkuat kembali. Artinya, perangkat gampong yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana desa itu harus memaksimalkan keterlibatan warganya dari perencanaan, penganggaran hingga pengawasan,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Kedua, kata Alfian, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa masih rendah. Masyarakat masih susah mengakses laporan pertanggungjawaban dana dari pemerintah desa. “Kalau dalam tatakelola keuangan ini masih tertutup atau tidak transparan, peluang terjadi tindak pidana korupsi sangat besar,” ungkapnya.
Alfian berharap adanya keterlibatan warga secara menyeluruh di desa dalam perencanaan anggaran. Selain itu, laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana desa dipublikasikan kepada warga. “Harusnya ada perkembangan dalam tatakelola yang lebih baik. Apalagi ini sudah masuk tahun ketiga kan, 2017.”
Hal itu sebagaimana diamanatkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 27 yang menyebutkan bahwa kepala daerah wajib memberikan dan menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat desa setiap akhir tahun anggaran. Lalu, pasal 68 ayat 1 menyatakan masyarakat berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa, mengawasi serta menyampaikan aspirasi terkait kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Karena itu, Alfian menekankan berbagai kelemahan dalam pengelolaan dana ini harus segera dievaluasi. Ia menuding Badan Pemberdayaan Masyarakat di daerah masih abai terhadap persoalan ini. “Mereka bertanggung jawab penuh untuk mendorong dan mengawasi transparansi pengelolaan dana desa ini mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban,” ujarnya.
MaTA sendiri, tambahnya, pernah terlibat mendampingi warga untuk melaporkan kasus tindak pidana korupsi terhadap pengelolaan dana desa di Aceh Utara beberapa waktu lalu dan berharap hal itu menjadi pilot project bagi desa lainnya.
Peran Pendamping Gampong
Alfian juga menyoroti kinerja pendamping desa yang menurutnya masih dipertanyakan perannya. Terutama, kata dia, terkait kapasitas mereka mendampingi aparatur desa dalam membuat laporan pertanggungjawaban. “Peran mereka kan memastikan bahwa proses perencanaan partisipatif dan transparansi pengelolaan dana serta pembuatan laporan pertanggungjawaban,” kata Alfian.
Temuan MaTA di salah satu desa di Aceh Utara, ada kepala desa yang mengaku tidak tahu adanya pendamping desa. Sebagaimana diberitakan Analisa, MaTA meminta pemerintah untuk mengevaluasi keberadaan pendamping desa terkait adanya pengaduan yang diterima dari masyarakat yang menilai banyak pendamping desa kurang aktif di Aceh Utara.
Permintaan itu disampaikan anggota MaTA, Baihaqi, dalam diskusi bersama perangkat Gampong Keude Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, pada Sabtu, 28 Januari 2017. “Artinya ini tanggung jawab BPM (Badan Pemberdayaan Masyarakat) kabupaten dan kota untuk mengevaluasi kembali peran pendamping desa,” ujar Alfian.
Seharusnya, kata Alfian, ketika ada desa yang hingga kini belum selesai membuat laporan pertanggungjawaban dana desa, pendamping desa yang harus mendampingi proses penulisan laporan tersebut. Pasal 4 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 menyebutkan pendampingan desa dilaksanakan oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, atau pihak ketiga.
Tenaga pendamping profesional terdiri dari pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan, pendamping teknis di kabupaten, dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat di tingkat provinsi. Sementara kader pemberdayaan masyarakat desa berkedudukan di desa. Pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan inilah yang bertugas mendampingi beberapa desa dalam kecamatan tersebut terkait penyelenggaraan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG, sebelumnya BPM) Aceh, Anzuhar mengatakan ia tak bisa berkomentar banyak terkait soal itu. Dinas, kata dia, hanya menunggu jika memang ada laporan terkait permasalahan pendamping desa di BPM kabupaten dan kota. “Kita minta konfirmasi dulu dari sana, lewat BPM kabupaten dan kota setempat ke tenaga ahli. Kalau itu tidak disampaikan kepada kami soal ini, kami juga kan susah menjangkau seluruh Aceh,” pungkasnya, Jumat pekan lalu. [pikiranmerdeka.co]
loading...
Post a Comment