AMP - Negara Republik Indonesia merupakan salah satu Negara besar yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ia wujud lewat perlawanan jangka panjang para pejuang muslim melawan penjajah Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang.
Pada dasarnya tidak ada yang mengenal apa itu Indonesia, atau Republik Indonesia (RI), lebih-lebih lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun selepas keberangkatan para penjajah dari wilayah yang hari ini bernama Indonesia terutama sekali pasca penjajahan Belanda, Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang pertama mengklaim semua bekas jajahan Belanda adalah Republik Indonesia.
Karena penghuni wilayah tersebut masih sangat lelah akibat perang yang berkepanjangan, maka hampir semua mereka menerimanya dan tidak ada yang menolak atau mandirikan negara selain Indonesia.
Khusus untuk para pejuang-pejuang Aceh, waktu itu tidak terpikirkan kalau Indonesia dahulu menjadi Indonesai hari ini yang bringas terhadap Aceh. Karenanya bergabung dengan Indonesia dengan target memperluas wilayah Islam dan menjadikan Indonesia yang Islami menjadi impian mereka tatkala itu. Namun apa hendak dikata, dunia semakin majemuk, pengaruh globalisasi merambas kemana-mana, termasuklah ke Indonesia. Maka Indonesia yang diimpikan dahulu menjadi jauh panggang dari api dan jauh dari kenyataan yang diidamkan. Akibatnya, Indonesia yang tidak berdasar seperti Aceh kini eksis sebagai salah satu negara di permukaan bumi. Sementara para mujahidin Aceh yang membebaskan Indonesia dari penjajah Belanda tertelan masa dan nama-nama mereka hilang dalam peredaran sejarah Indonesia. Malah orisinal sejarah disembunyikan penguasa Indonesia dari masa ke masa sehingga anak-anak sekolah tidak mengenal sejarah Aceh, negeri Aceh dan pejuang Aceh yang sebenarnya.
NKRI yang diagung-agungkan selama ini sama sekali tidak berakar seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Ngurah Rai, Kerajaan Kutai dan sebagainya. Baik secara resmi atau tidak ia merupakan kumpulan wilayah-wilayah kerajaan tersebut kemudian diberi nama Indonesia oleh penguasa di awal kemerdekaannya. Karena sifatnya tidak berakar maka ia akan mudah tumbang, cuma masanya saja yang sulit diprediksikan. Tambah lagi dengan operasional dan servis penguasa Indonesia terhadap rakyatnya tercatat sangat amat buruk dan jelek dari masa ke masa sehingga hari ini.
Para pejuang muslim Aceh berperang melawan penjajah dari zaman kezaman lebih disebabkan oleh faktor aqidah dan ideologi Islam. Jadi bukan semata mata hendak mewujudkan Republik Indonesia yang nakal dan jahat ini. Buktinya, ketika para pemimpin Indonesia berbuat dhalim terhadap muslim dan Islam, bangsa Aceh tidak segan-segan melawannya seperti dalam kasus DI/TII, kasus GAM dan sebagainya. Jadi perjuangan kaum mujahidin Aceh dahulu sama sekali tidak terpengaruh dengan sistem hidup nasionalisme, sekularisme dan liberalisme sebagaimana yang menimpa kebanyakan muslim Indonesia hari ini.
Karenanya, wujud NKRI sulit dipisahkan dengan perjuangan mujahidin Aceh, ia tidak bakal ada sama sekali kalau Aceh dan bangsanya tidak mempertahankan perang Medan Area, membeli pesawat terbang pertama untuk Indonesia, menyiarkan berita-berita akurat melalui Radio Rimba Raya di Krueng Simpo Kabupaten Bener Meriah sehingga penjajah Belanda gagal menguasai Aceh dan sekaligus eksistensi NKRI wujud serta diakui oleh dunia luar.
Mujahidin Aceh sebagai Penegak NKRI
Tidak dapat disangkal lagi bahwa wujudnya NKRI lebih didominasi oleh perjuangan dan perlawanan para mujahidin Aceh yang mempertahankan invasi Belanda kedua tahun 1948. Pada masa tersebut seluruh wilayah RI sudah dikuasai kembali oleh penjajah Belanda kecuali Aceh. Ketika itu Soekarno dan Muhammad Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden sudah ditangkap penjajah, Syafruddin Prawiranegara selaku Presiden Darurat Republik Indoonesia (PDRI) sudah hijrah ke Kutaraja (Banda Aceh) dan dibiayai oleh masyarakat Aceh sepenuhnya.
Dalam suasana seumpama itu Aceh juga membiayai para pejuang di kawasan Sumatera Barat dan Sumatera Timur dengan mengirim ber ton-ton beras, kerupuk mulieng, lembu kerbau dan sebagainya sebagai bekal mempertahankan wilayah RI sehingga ia wujud seperti hari ini. Di luar negeri, biaya duta keliling Haji Agussalim, Dr. Sudarsono di India, biaya Konferensi Asia di New Delhi dan biaya hidup L.N.Palar selaku duta Indonesia di PBB New York juga ditanggung oleh masyarakat Aceh sehinga NKRI wujud di permukaan bumi ini. bahkan biaya untuk perwakilan R.I. di Pulau Pinang dan Singapura juga ditanggung oleh orang Aceh.[1] Dengan demikian tidak salah kalau kesimpulan sedikit kental diambil bahwa NKRI sebetulnya ditegakkan dan diwujudkan oleh para mujahidin Aceh yang menginginkan Islam dan hukumnya berlaku penuh di dalamnya.
Ketika wilayah RI dahulu dijajah Belanda, pejuang-pejuang Aceh dengan gigih dan giat berupaya membebaskannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang cukup signifikan adalah membeli pesawat terbang yang menjadi pesawat terbang pertama buat Indonesia. Bangsa Aceh mengumpulkan dana, emas dan benda-benda lain untuk keperluan tersebut yang berjumlah banyak. 20 kilogram emas murni beserta sejumlah dana yang berkumpul di tangan Ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) Muhammad Joened Joesoef pada tanggal 1 bulan Agustus 1948 segera diberangkatkan ke Singapura untuk diserahkan kepada ketua komisi pembelian pesawat terbang opsir udara II Wiweko, menjelang tiga bulan kemudian sebuah pesawat Dakota berjaya diterbangkan ke Indonesia akhir bulan Oktober 1948.[2]
Yang tidak kalah penting dan lebih signifikan lagi adalah peran Radio Rimba Raya yang bermarkas di Krueng Simpo Kabupaten Bener Meriah. Radio ini telah berhasil menyiarkan berita keluar negeri bahwa Aceh masih tetap eksis dan para pejuang tetap melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dengan demikian dunia luar tidak mengakui klaim Belanda bahwa Indonesia telah dikuasai mereka. Karena Aceh masih eksis dan berjuang untuk kemerdekaan RI maka RI wujud atas perjuangan para mujahidin Aceh, dan penjajah Belanda kemudian kewalahan dan gagal menaklukkan Aceh yang sekaligus gagal menaklukkan RI.
Satu hal yang harus diingat dalam masa perlawanan tersebut adalah; perlawanan dan perjuangan bangsa Aceh terhadap penjajah Belanda dilatarbelakangi oleh faktor keimanan, ketauhidan dan aqidah yang kuat. Muslim Aceh menginginkan apabila penjajah kalah dan negara wujud maka mereka ingin hidup dalam nuansa �aqidah Islamiyah, Syariah Allah dan Akhlak mulya dalam negara yang sudah sangat capek diperjuangkan tersebut. Perang yang mereka lakukan adalah perang suci di jalan Allah (Jihad fi sabilillah). Mereka mau berperang karena ingin menegakkan agama Allah bukan ingin menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati dan sebagainya. Target utama yang ingin mereka capai adalah menang dengan dapat menegakkan Hukum Allah (Syari�ah) atau meninggal dengan memperoleh gelar Syuhada (mati syahid).
Asal muasal NKRI
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbatas dari Sabang sampai Marouke secara historis memang sama sekali tidak berakar dan tidak berazas. Dalam wilayah NKRI hari ini yang pernah berakar dan berazas adalah Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Samudera Pase di Aceh, Kerajaan Siak di Sumatera Utara, Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Kerajaan Majapahit di Jawa, Kerajaan Ngurah Rai di Bali, Kerajaan Kutai di Kalimantan, dan sejumlah kerajaan lain di kawasan timur dan barat Indonesia.
Nama Indonesia berasal dari klaim penjajah Belanda terhadap kawasan-kawasan jajahannya yang diberi nama wilayah Hindia Belanda. Hindia Belanda tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Indos Nesos, dari kata Indos Nesos tersebutlah kemudian muncul kata Indonesia.[3] Dengan demikian negara yang diberi nama Republik Indonesia hari ini merupakan kumpulan wilayah-wilayah bekas jajahan Belanda yang disahkan menjadi sebuah negara pasca berakhirnya penjajahan di muka bumi dengan menggunakan Pancasila sebagai dasar negara dan Pulau Jawa sebagai pusat administrasinya.
Karena ia sudah tercatat dalam peta dunia dan tercantum dalam buku besar Perserikatan Bagsa-bangsa (PBB) sebagai organisasi dunia, maka resmi dan sahlah Republik Indonesia sebagai sebuah negara dalam pandangan dunia internasional. Walaupun ia tidak berakar dan tidak berazas tetapi dunia sudah terlanjur mengakui bahwa Republik Indonesia meruakan sebuah negara sah di permukaan bumi ini. Kalau ada pihak-pihak yang mau membatalkan pengakuan tersebut maka ia harus menghancurkan RI di permukaan bumi atau menggantikannya dengan nama lain beserta dengan format yang lain pula. Dan ini merupakan tugas berat bagi siapa saja yang menginginkannya.
Dari sudut pandang historis, NKRI sama sekali tidak punya dasar sejarah sebagaimana dasar sejarah bagi Keraaan-kerajaan lain di kepulauan Melayu. Dari segi sosiologis, ia sama sekali tidak mampu mengelola dan menyejahterakan rakyatnya yang berjumlah sangat banyak. Dari segi politis, NKRI selalu goyah, pecah dalam komunitas, terancam ambruk, diobok-obok pihak luar dan kacau balau dalam lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam usia yang sudah melebihi setengah abad hari ini, NKRI sama sekali tidak bermarwah di luar negeri, warga negara RI yang bekerja di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Australia dan di negara-negara Arab dipandang sebelah mata oleh mereka. Hal ini terjadi belum tentu karena mereka sombong dan arrogan, tetapi lebih disebabkan oleh ketololan dan kedunguan serta kejahatan yang dilakukan warga negara RI sendiri sehingga mereka dipandang hina.
Untuk melambangkan kehinaan warga negara RI yang bekerja di luar negeri, di Malaysia dan Singapura mereka dipanggil Indon, di Arab Saudi di sebut Siti Rahmah, dan sudah barang tentu di tempat-tempat lain tentu ada nama lain pula sebagai ciri khas buat bangsa Indonesia yang tidak punya azas utama buat negara mereka. Mata uang rupiah sebagai mata uang resmi RI teramat sangat sulit digunakan di luar negeri. Untuk menukarkan rupiah dengan mata uang asing di Singapura dan Australia, tidak semua authorised money changers mau menerimanya. Jadi warga negara RI yang berkunjung ke sana harus siap-siap dengan mata uang asing sebelum berangkat kesana.
Begitulah sekilas potret NKRI yang hari ini sudah berusia lebih setengah abad namun kemampuan untuk menjalankan tugas wajibnya sama sekali belum terpatri. Diramalkan sampai kapanpun NKRI tidak mampu menyejahterakan kehidupan rakyat, menstabilkan kehidupan politik, memajukan kehidupan teknologi dan mengamankan kehidupan beragama sebelum ia lepas dari kungkungan luar yang mendektekan eksistensi NKRI dalam berbagai dimensi kehidupan. Atau ia baru lurus berjalan mulus apabila NKRI yang berazaskan Pancasila berganti dengan nama lain yang wujud berlainan dengan pentadbiran yang lain pula.
Kenapa harus Indonesia dan mengapa tidak boleh Aceh?
Pertanyaan di atas sangat mengusik lubuk hati mereka yang tengah berkuasa dan menikmati kekuasaannya di ibukota Jakarta. Mereka sangat sensitif dengan pertanyaan-pertanyaan seumpama itu karena dalam benak mereka NKRI itu dijadikan harga mati, kalau mati NKRI harus sama-sama mati dengan mereka. Sebetulnya, ditinjau dari sudut manapun juga tidak ada ketentuan yang memberi harga mati kepada NKRI dalam konteks kenegaraan. Di antara tujuan mendirikan sesuatu negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, untuk memberi keamanan kepada rakyatnya, untuk memastikan semua hukum dan perundang-undangan berjalan lancar di sana dan untuk memajukan Islam serta meningkatkan iman dan amal shalih bangsanya (khusus buat muslim).
Lalu kalau semakin lama NKRI wujud semakin compang camping dan meutng pan�ng rakyatnya, maka kenapa harus Indonesia? Kalau semakin lama wujudnya NKRI semakin tidak punya keamanan terhadap rakyatnya, maka mengapa mesti Indonesia? Kalau semakin lama wujud NKRI semua hukum dan perundang-undangannya tidak berjalan semestinya maka kenapa harus Indonesia? Khusus buat muslim dan muslimah, kalau semakin lama bertahannya NKRI semakin hancur Islam dan Hukum Islam di dalamnya, maka kenapa pula harus NKRI?
Sebaliknya; kalau sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Aceh telah berjaya mendirikan sebuah negara dan dapat mensejahterakan rakyatnya, maka kenapa tidak boleh Aceh? Kalau sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Aceh Darussalam yang berusia berabad-abad lamanya telah mampu dan sukses memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada rakyatnya, maka kenapa pula tidak boleh Aceh? Kalau bangsa Aceh telah berjaya mewujudkan dan mengamalkan Hukum Islam dalam Negara Aceh dahulu kala, maka kenapa mesti bersama Indonesia? Kalau sejarah telah mencatat bahwa bangsa Aceh mampu menyaingi bangsa-bangsa lain di permukaan bumi ini dalam wadah Ke-Aceh-an, maka kenapa harus bersama NKRI?
Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang berhak menghambat, melarang atau menyuruh orang Aceh harus begini atau begitu dalam konteks kenegaraan hari ini kalau Indonesia dan prilaku penguasanya masih tetap jahil dan biadab. Hanya ketentuan Allah sajalah yang punya wewenang tinggi untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan Bangsa Aceh harus selaras dengannya. Kalau Bangsa Aceh sudah tercemar dengan gaya hidup mayoritas rakyat Indonesia yang ragu-ragu dengan Hukum Islam, maka Aceh lama kelamaan akan menyatu dan identik dengan Indonesia yang tidak berakar dan tidak berazas yang identitasnya perlu dipertanyakan.
Akibat lama bersama Indonesia wilayah Aceh tidak lagi mencirikan khas Aceh seperti dalam bidang Islam, dalam bidang pendidikan, dalam bidang adat-budaya, dalam bidang sosial kemasyarakatan, politik dan peradaban. Untuk kembali kepada identitas dan digniti Aceh yang orisinal, bangsa ini perlu waktu yang lumayan panjang untuk mengikis susupan-susupan peradaban luar yang kini menyatu dengan kehidupan sebahagian masyarakat kita. Pengembalian digniti dan identitas tersebut akan cepat prosesnya kalau dilakukan dengan power atau kekuasaan Aceh sendiri. Untuk mewujudkan power tersebut bangsa Aceh harus memiliki pakar dalam berbagai bidang dan harus saling membantu, saling menghargai dan saling memajukan negeri sendiri. Tidak boleh ada orang Aceh yang menyalahkan orang Aceh lainnya karena persoalan khilafiah dan furu�iyah dalam beribadah. Tidak boleh ada orang Aceh yang dengki dan benci kepada orang Aceh lainnya karena tidak mengikuti cara dan amalan hidupnya.
Saling membantu sesama Aceh untuk membolehkan Aceh dalam berbagai sisi kehidupan menjadikan modal penting pengembalian identitas dan digniti Ke-Aceh-an. Sekarang peluang untuk itu sudah terbuka lebar dan menganga dengan ambruknya dua rezim diktator Indonesia (Orde Lama dan Orde Baru). Ditambah lagi dengan terbukanya Aceh kedunia luar sehingga komunikasi luar-dalam Aceh tidak lagi menjadi kendala. Banyaknya pemuda Aceh yang mencicipi pendidikan peringkat master dan doktor di luar negeri menjadi fasilitas tersendiri untuk membolehkan Aceh dan membiarkan Indonesia.
Khatimah
Melihat dari sisi pandang historis Indonesia memang tidak punya dasar sebuah negara yang berdaulat. Namun kajian politis ia telah diwacanakan dan diformatkan oleh para penjajah di periode akhir (Belanda) untuk menjadi sebuah negara yang segala atributnya telah dipasang kaum pejajah biadab.[4] Hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Belanda (Verkelij Wetbook), pendidikan yang wujud di Indonesia adalah sisa-sisa pendidikan Belanda, sistem politik yang ada di Indonesia hingga hari ini adalah sistem politik warisan Belanda dan konsep hidup kebangsaan juga peninggalan Belanda yang semuanya jauh dari konsep Islam yang menyatu dengan Aceh dan Bangsanya.
Ketulusan jiwa-raga para mujahidin Aceh untuk mempertahankan negara ini dengan penuh harapan menjadi negara yang berjalan Hukum Islam telah dipreteli dan dipermainkan penguasa Indonesia semenjak ia merdeka sampai hari ini. Akhirnya, para mujahidin Aceh di periode awal dapat mengawal keutuhan �aqidah dan kemantapan syari�ah, namun generasi Aceh hari ini telah gagal mempertahankan keutuhan �aqidah dan kesempurnaan syrai�ahnya. Semua itu disebabkan semua anak bangsa Aceh harus tunduk, ikut dan patuh kepada ketentuan NKRI peninggalan dan setting Belanda. Lalu apa yang harus dilakukan sekarang untuk menebus semua kekeliruan ituuuuuuu…..? jawablah wahai bangsaku.
Catatan Kaki:
[1] M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Dawud Beureu-�h, Jakarta: Gunung Agung, 1986, hal., 44. Lihat juga A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peran Teuku Hamid Azwar sebagai Pejuang, Jakarta: Gramedia & Seulawah RI 001 1998, hal., 276-278.
[2] Ibid.
[3] S.S. Djuangga Batubara, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureu-�h Mujahid Teragung di Nusantara, Medan: Gerakan Perjuangan dan Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, 1987, hal., 128.
[4] Untuk kejelasan informasi ini silahkan lihat S.S. Djuangga Batubara, Ibid, hal., 120-125.
Pada dasarnya tidak ada yang mengenal apa itu Indonesia, atau Republik Indonesia (RI), lebih-lebih lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun selepas keberangkatan para penjajah dari wilayah yang hari ini bernama Indonesia terutama sekali pasca penjajahan Belanda, Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang pertama mengklaim semua bekas jajahan Belanda adalah Republik Indonesia.
Karena penghuni wilayah tersebut masih sangat lelah akibat perang yang berkepanjangan, maka hampir semua mereka menerimanya dan tidak ada yang menolak atau mandirikan negara selain Indonesia.
Khusus untuk para pejuang-pejuang Aceh, waktu itu tidak terpikirkan kalau Indonesia dahulu menjadi Indonesai hari ini yang bringas terhadap Aceh. Karenanya bergabung dengan Indonesia dengan target memperluas wilayah Islam dan menjadikan Indonesia yang Islami menjadi impian mereka tatkala itu. Namun apa hendak dikata, dunia semakin majemuk, pengaruh globalisasi merambas kemana-mana, termasuklah ke Indonesia. Maka Indonesia yang diimpikan dahulu menjadi jauh panggang dari api dan jauh dari kenyataan yang diidamkan. Akibatnya, Indonesia yang tidak berdasar seperti Aceh kini eksis sebagai salah satu negara di permukaan bumi. Sementara para mujahidin Aceh yang membebaskan Indonesia dari penjajah Belanda tertelan masa dan nama-nama mereka hilang dalam peredaran sejarah Indonesia. Malah orisinal sejarah disembunyikan penguasa Indonesia dari masa ke masa sehingga anak-anak sekolah tidak mengenal sejarah Aceh, negeri Aceh dan pejuang Aceh yang sebenarnya.
NKRI yang diagung-agungkan selama ini sama sekali tidak berakar seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Ngurah Rai, Kerajaan Kutai dan sebagainya. Baik secara resmi atau tidak ia merupakan kumpulan wilayah-wilayah kerajaan tersebut kemudian diberi nama Indonesia oleh penguasa di awal kemerdekaannya. Karena sifatnya tidak berakar maka ia akan mudah tumbang, cuma masanya saja yang sulit diprediksikan. Tambah lagi dengan operasional dan servis penguasa Indonesia terhadap rakyatnya tercatat sangat amat buruk dan jelek dari masa ke masa sehingga hari ini.
Para pejuang muslim Aceh berperang melawan penjajah dari zaman kezaman lebih disebabkan oleh faktor aqidah dan ideologi Islam. Jadi bukan semata mata hendak mewujudkan Republik Indonesia yang nakal dan jahat ini. Buktinya, ketika para pemimpin Indonesia berbuat dhalim terhadap muslim dan Islam, bangsa Aceh tidak segan-segan melawannya seperti dalam kasus DI/TII, kasus GAM dan sebagainya. Jadi perjuangan kaum mujahidin Aceh dahulu sama sekali tidak terpengaruh dengan sistem hidup nasionalisme, sekularisme dan liberalisme sebagaimana yang menimpa kebanyakan muslim Indonesia hari ini.
Karenanya, wujud NKRI sulit dipisahkan dengan perjuangan mujahidin Aceh, ia tidak bakal ada sama sekali kalau Aceh dan bangsanya tidak mempertahankan perang Medan Area, membeli pesawat terbang pertama untuk Indonesia, menyiarkan berita-berita akurat melalui Radio Rimba Raya di Krueng Simpo Kabupaten Bener Meriah sehingga penjajah Belanda gagal menguasai Aceh dan sekaligus eksistensi NKRI wujud serta diakui oleh dunia luar.
Mujahidin Aceh sebagai Penegak NKRI
Tidak dapat disangkal lagi bahwa wujudnya NKRI lebih didominasi oleh perjuangan dan perlawanan para mujahidin Aceh yang mempertahankan invasi Belanda kedua tahun 1948. Pada masa tersebut seluruh wilayah RI sudah dikuasai kembali oleh penjajah Belanda kecuali Aceh. Ketika itu Soekarno dan Muhammad Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden sudah ditangkap penjajah, Syafruddin Prawiranegara selaku Presiden Darurat Republik Indoonesia (PDRI) sudah hijrah ke Kutaraja (Banda Aceh) dan dibiayai oleh masyarakat Aceh sepenuhnya.
Dalam suasana seumpama itu Aceh juga membiayai para pejuang di kawasan Sumatera Barat dan Sumatera Timur dengan mengirim ber ton-ton beras, kerupuk mulieng, lembu kerbau dan sebagainya sebagai bekal mempertahankan wilayah RI sehingga ia wujud seperti hari ini. Di luar negeri, biaya duta keliling Haji Agussalim, Dr. Sudarsono di India, biaya Konferensi Asia di New Delhi dan biaya hidup L.N.Palar selaku duta Indonesia di PBB New York juga ditanggung oleh masyarakat Aceh sehinga NKRI wujud di permukaan bumi ini. bahkan biaya untuk perwakilan R.I. di Pulau Pinang dan Singapura juga ditanggung oleh orang Aceh.[1] Dengan demikian tidak salah kalau kesimpulan sedikit kental diambil bahwa NKRI sebetulnya ditegakkan dan diwujudkan oleh para mujahidin Aceh yang menginginkan Islam dan hukumnya berlaku penuh di dalamnya.
Ketika wilayah RI dahulu dijajah Belanda, pejuang-pejuang Aceh dengan gigih dan giat berupaya membebaskannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang cukup signifikan adalah membeli pesawat terbang yang menjadi pesawat terbang pertama buat Indonesia. Bangsa Aceh mengumpulkan dana, emas dan benda-benda lain untuk keperluan tersebut yang berjumlah banyak. 20 kilogram emas murni beserta sejumlah dana yang berkumpul di tangan Ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) Muhammad Joened Joesoef pada tanggal 1 bulan Agustus 1948 segera diberangkatkan ke Singapura untuk diserahkan kepada ketua komisi pembelian pesawat terbang opsir udara II Wiweko, menjelang tiga bulan kemudian sebuah pesawat Dakota berjaya diterbangkan ke Indonesia akhir bulan Oktober 1948.[2]
Yang tidak kalah penting dan lebih signifikan lagi adalah peran Radio Rimba Raya yang bermarkas di Krueng Simpo Kabupaten Bener Meriah. Radio ini telah berhasil menyiarkan berita keluar negeri bahwa Aceh masih tetap eksis dan para pejuang tetap melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dengan demikian dunia luar tidak mengakui klaim Belanda bahwa Indonesia telah dikuasai mereka. Karena Aceh masih eksis dan berjuang untuk kemerdekaan RI maka RI wujud atas perjuangan para mujahidin Aceh, dan penjajah Belanda kemudian kewalahan dan gagal menaklukkan Aceh yang sekaligus gagal menaklukkan RI.
Satu hal yang harus diingat dalam masa perlawanan tersebut adalah; perlawanan dan perjuangan bangsa Aceh terhadap penjajah Belanda dilatarbelakangi oleh faktor keimanan, ketauhidan dan aqidah yang kuat. Muslim Aceh menginginkan apabila penjajah kalah dan negara wujud maka mereka ingin hidup dalam nuansa �aqidah Islamiyah, Syariah Allah dan Akhlak mulya dalam negara yang sudah sangat capek diperjuangkan tersebut. Perang yang mereka lakukan adalah perang suci di jalan Allah (Jihad fi sabilillah). Mereka mau berperang karena ingin menegakkan agama Allah bukan ingin menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati dan sebagainya. Target utama yang ingin mereka capai adalah menang dengan dapat menegakkan Hukum Allah (Syari�ah) atau meninggal dengan memperoleh gelar Syuhada (mati syahid).
Asal muasal NKRI
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbatas dari Sabang sampai Marouke secara historis memang sama sekali tidak berakar dan tidak berazas. Dalam wilayah NKRI hari ini yang pernah berakar dan berazas adalah Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Samudera Pase di Aceh, Kerajaan Siak di Sumatera Utara, Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Kerajaan Majapahit di Jawa, Kerajaan Ngurah Rai di Bali, Kerajaan Kutai di Kalimantan, dan sejumlah kerajaan lain di kawasan timur dan barat Indonesia.
Nama Indonesia berasal dari klaim penjajah Belanda terhadap kawasan-kawasan jajahannya yang diberi nama wilayah Hindia Belanda. Hindia Belanda tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Indos Nesos, dari kata Indos Nesos tersebutlah kemudian muncul kata Indonesia.[3] Dengan demikian negara yang diberi nama Republik Indonesia hari ini merupakan kumpulan wilayah-wilayah bekas jajahan Belanda yang disahkan menjadi sebuah negara pasca berakhirnya penjajahan di muka bumi dengan menggunakan Pancasila sebagai dasar negara dan Pulau Jawa sebagai pusat administrasinya.
Karena ia sudah tercatat dalam peta dunia dan tercantum dalam buku besar Perserikatan Bagsa-bangsa (PBB) sebagai organisasi dunia, maka resmi dan sahlah Republik Indonesia sebagai sebuah negara dalam pandangan dunia internasional. Walaupun ia tidak berakar dan tidak berazas tetapi dunia sudah terlanjur mengakui bahwa Republik Indonesia meruakan sebuah negara sah di permukaan bumi ini. Kalau ada pihak-pihak yang mau membatalkan pengakuan tersebut maka ia harus menghancurkan RI di permukaan bumi atau menggantikannya dengan nama lain beserta dengan format yang lain pula. Dan ini merupakan tugas berat bagi siapa saja yang menginginkannya.
Dari sudut pandang historis, NKRI sama sekali tidak punya dasar sejarah sebagaimana dasar sejarah bagi Keraaan-kerajaan lain di kepulauan Melayu. Dari segi sosiologis, ia sama sekali tidak mampu mengelola dan menyejahterakan rakyatnya yang berjumlah sangat banyak. Dari segi politis, NKRI selalu goyah, pecah dalam komunitas, terancam ambruk, diobok-obok pihak luar dan kacau balau dalam lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam usia yang sudah melebihi setengah abad hari ini, NKRI sama sekali tidak bermarwah di luar negeri, warga negara RI yang bekerja di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Australia dan di negara-negara Arab dipandang sebelah mata oleh mereka. Hal ini terjadi belum tentu karena mereka sombong dan arrogan, tetapi lebih disebabkan oleh ketololan dan kedunguan serta kejahatan yang dilakukan warga negara RI sendiri sehingga mereka dipandang hina.
Untuk melambangkan kehinaan warga negara RI yang bekerja di luar negeri, di Malaysia dan Singapura mereka dipanggil Indon, di Arab Saudi di sebut Siti Rahmah, dan sudah barang tentu di tempat-tempat lain tentu ada nama lain pula sebagai ciri khas buat bangsa Indonesia yang tidak punya azas utama buat negara mereka. Mata uang rupiah sebagai mata uang resmi RI teramat sangat sulit digunakan di luar negeri. Untuk menukarkan rupiah dengan mata uang asing di Singapura dan Australia, tidak semua authorised money changers mau menerimanya. Jadi warga negara RI yang berkunjung ke sana harus siap-siap dengan mata uang asing sebelum berangkat kesana.
Begitulah sekilas potret NKRI yang hari ini sudah berusia lebih setengah abad namun kemampuan untuk menjalankan tugas wajibnya sama sekali belum terpatri. Diramalkan sampai kapanpun NKRI tidak mampu menyejahterakan kehidupan rakyat, menstabilkan kehidupan politik, memajukan kehidupan teknologi dan mengamankan kehidupan beragama sebelum ia lepas dari kungkungan luar yang mendektekan eksistensi NKRI dalam berbagai dimensi kehidupan. Atau ia baru lurus berjalan mulus apabila NKRI yang berazaskan Pancasila berganti dengan nama lain yang wujud berlainan dengan pentadbiran yang lain pula.
Kenapa harus Indonesia dan mengapa tidak boleh Aceh?
Pertanyaan di atas sangat mengusik lubuk hati mereka yang tengah berkuasa dan menikmati kekuasaannya di ibukota Jakarta. Mereka sangat sensitif dengan pertanyaan-pertanyaan seumpama itu karena dalam benak mereka NKRI itu dijadikan harga mati, kalau mati NKRI harus sama-sama mati dengan mereka. Sebetulnya, ditinjau dari sudut manapun juga tidak ada ketentuan yang memberi harga mati kepada NKRI dalam konteks kenegaraan. Di antara tujuan mendirikan sesuatu negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, untuk memberi keamanan kepada rakyatnya, untuk memastikan semua hukum dan perundang-undangan berjalan lancar di sana dan untuk memajukan Islam serta meningkatkan iman dan amal shalih bangsanya (khusus buat muslim).
Lalu kalau semakin lama NKRI wujud semakin compang camping dan meutng pan�ng rakyatnya, maka kenapa harus Indonesia? Kalau semakin lama wujudnya NKRI semakin tidak punya keamanan terhadap rakyatnya, maka mengapa mesti Indonesia? Kalau semakin lama wujud NKRI semua hukum dan perundang-undangannya tidak berjalan semestinya maka kenapa harus Indonesia? Khusus buat muslim dan muslimah, kalau semakin lama bertahannya NKRI semakin hancur Islam dan Hukum Islam di dalamnya, maka kenapa pula harus NKRI?
Sebaliknya; kalau sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Aceh telah berjaya mendirikan sebuah negara dan dapat mensejahterakan rakyatnya, maka kenapa tidak boleh Aceh? Kalau sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Aceh Darussalam yang berusia berabad-abad lamanya telah mampu dan sukses memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada rakyatnya, maka kenapa pula tidak boleh Aceh? Kalau bangsa Aceh telah berjaya mewujudkan dan mengamalkan Hukum Islam dalam Negara Aceh dahulu kala, maka kenapa mesti bersama Indonesia? Kalau sejarah telah mencatat bahwa bangsa Aceh mampu menyaingi bangsa-bangsa lain di permukaan bumi ini dalam wadah Ke-Aceh-an, maka kenapa harus bersama NKRI?
Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang berhak menghambat, melarang atau menyuruh orang Aceh harus begini atau begitu dalam konteks kenegaraan hari ini kalau Indonesia dan prilaku penguasanya masih tetap jahil dan biadab. Hanya ketentuan Allah sajalah yang punya wewenang tinggi untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan Bangsa Aceh harus selaras dengannya. Kalau Bangsa Aceh sudah tercemar dengan gaya hidup mayoritas rakyat Indonesia yang ragu-ragu dengan Hukum Islam, maka Aceh lama kelamaan akan menyatu dan identik dengan Indonesia yang tidak berakar dan tidak berazas yang identitasnya perlu dipertanyakan.
Akibat lama bersama Indonesia wilayah Aceh tidak lagi mencirikan khas Aceh seperti dalam bidang Islam, dalam bidang pendidikan, dalam bidang adat-budaya, dalam bidang sosial kemasyarakatan, politik dan peradaban. Untuk kembali kepada identitas dan digniti Aceh yang orisinal, bangsa ini perlu waktu yang lumayan panjang untuk mengikis susupan-susupan peradaban luar yang kini menyatu dengan kehidupan sebahagian masyarakat kita. Pengembalian digniti dan identitas tersebut akan cepat prosesnya kalau dilakukan dengan power atau kekuasaan Aceh sendiri. Untuk mewujudkan power tersebut bangsa Aceh harus memiliki pakar dalam berbagai bidang dan harus saling membantu, saling menghargai dan saling memajukan negeri sendiri. Tidak boleh ada orang Aceh yang menyalahkan orang Aceh lainnya karena persoalan khilafiah dan furu�iyah dalam beribadah. Tidak boleh ada orang Aceh yang dengki dan benci kepada orang Aceh lainnya karena tidak mengikuti cara dan amalan hidupnya.
Saling membantu sesama Aceh untuk membolehkan Aceh dalam berbagai sisi kehidupan menjadikan modal penting pengembalian identitas dan digniti Ke-Aceh-an. Sekarang peluang untuk itu sudah terbuka lebar dan menganga dengan ambruknya dua rezim diktator Indonesia (Orde Lama dan Orde Baru). Ditambah lagi dengan terbukanya Aceh kedunia luar sehingga komunikasi luar-dalam Aceh tidak lagi menjadi kendala. Banyaknya pemuda Aceh yang mencicipi pendidikan peringkat master dan doktor di luar negeri menjadi fasilitas tersendiri untuk membolehkan Aceh dan membiarkan Indonesia.
Khatimah
Melihat dari sisi pandang historis Indonesia memang tidak punya dasar sebuah negara yang berdaulat. Namun kajian politis ia telah diwacanakan dan diformatkan oleh para penjajah di periode akhir (Belanda) untuk menjadi sebuah negara yang segala atributnya telah dipasang kaum pejajah biadab.[4] Hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Belanda (Verkelij Wetbook), pendidikan yang wujud di Indonesia adalah sisa-sisa pendidikan Belanda, sistem politik yang ada di Indonesia hingga hari ini adalah sistem politik warisan Belanda dan konsep hidup kebangsaan juga peninggalan Belanda yang semuanya jauh dari konsep Islam yang menyatu dengan Aceh dan Bangsanya.
Ketulusan jiwa-raga para mujahidin Aceh untuk mempertahankan negara ini dengan penuh harapan menjadi negara yang berjalan Hukum Islam telah dipreteli dan dipermainkan penguasa Indonesia semenjak ia merdeka sampai hari ini. Akhirnya, para mujahidin Aceh di periode awal dapat mengawal keutuhan �aqidah dan kemantapan syari�ah, namun generasi Aceh hari ini telah gagal mempertahankan keutuhan �aqidah dan kesempurnaan syrai�ahnya. Semua itu disebabkan semua anak bangsa Aceh harus tunduk, ikut dan patuh kepada ketentuan NKRI peninggalan dan setting Belanda. Lalu apa yang harus dilakukan sekarang untuk menebus semua kekeliruan ituuuuuuu…..? jawablah wahai bangsaku.
Catatan Kaki:
[1] M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Dawud Beureu-�h, Jakarta: Gunung Agung, 1986, hal., 44. Lihat juga A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peran Teuku Hamid Azwar sebagai Pejuang, Jakarta: Gramedia & Seulawah RI 001 1998, hal., 276-278.
[2] Ibid.
[3] S.S. Djuangga Batubara, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureu-�h Mujahid Teragung di Nusantara, Medan: Gerakan Perjuangan dan Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, 1987, hal., 128.
[4] Untuk kejelasan informasi ini silahkan lihat S.S. Djuangga Batubara, Ibid, hal., 120-125.
loading...
Post a Comment