AMP - Tiga teror terjadi di Aceh Timur dan Pidie. Polisi melihatnya tak ada hubungan dengan Pilkada.
Yatinem, 45 tahun, sedang terlelap di dalam rumahnya, Ahad dinihari, 5 Maret 2017. Sekitar pukul 02.30 WIB, ia melihat benda terbakar di teras rumahnya. Sontak, ia membangunkan suaminya Juman, 50 tahun. Juman bergegas ke teras. Naas, setelah ia membuka pintu depan, rentetan peluru menerjang. Dari sebelas tembakan, satunya nyasar ke leher Juman. Sementara peluru yang lain mengenai pintu depan, jendela, tembok dan kusen.
Melihat korbannya terkapar, pelaku melarikan diri ke arah perkebunan sawit di sisi timur. Namun, aksi penembak tak dikenal itu rupanyabelum berakhir. Tak jauh dari situ, dari balik jendela rumahnya, tetangga Juman, Misno, 35 tahun, sedari tadi mengintip aksi brutal tersebut. Tanpa ampun, ia pun kena imbas. Sembari kabur, pelaku menembak rumah Misno. Sebutir peluru pun bersarang di perut pria tersebut.
Insiden dinihari itu terjadi di Dusun Simpang Tiga, Gampong Peunaron Baru. Desa ini jaraknya sekitar dua jam perjalanan dari Idi, ibu kota Aceh Timur.
Menurut polisi, benda yang dibakar pelaku adalah kain. Tujuannya, memancing korban keluar rumah. Setelah pintu dibuka, barulah eksekusi dilakukan.
Pelaku penembakan empat orang. Ini menurut keterangan Misno kepada polisi. Mereka menggunakan sepeda motor bebek.
Di tempat kejadian, polisi menemukan 10 selongsong peluru dan dua butir amunisi yang belum meledak, diduga untuk senjata M16. Selain itu, empat butir proyektil. Ada sebelas lubang bersisa akibat pemberondongan tersebut. “Tiga lubang di kaca jendela, di pintu empat lubang, di dinding dua lubang, dan di bagian kusen juga terdapat dua lubang,” ujar Kepala Polres Aceh Timur AKBP Rudi Purwiyanto.
Setelah kejadian itu, Julianto, anak sulung Juman, tiba di rumah. Julianto saat itu sedang piket jaga sebagai perawat di Puskesmas Peunaron. “Saya langsung ambil ambulans dan pulang ke rumah,” ujar Julianto kepada wartawan di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Tiba di rumah, ia melihat ayahnya tergeletak dengan leher berdarah. Secarik kain membalut leher Juman agar darah tak keluar. Dibantu warga, Julianto membawa ayahnya ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Zubir Mahmud. Namun, karena kondisi Juman kian kritis, ia pun harus dirujuk ke Banda Aceh. Beberapa hari kemudian Misno juga ikut dirawat ke RSUDZA.
Kini, kondisi keduanya mulai membaik setelah menjalani operasi. Dari leher Juman, tim dokter RSUDZA menemukan proyektil peluru. Sementara di perut Misno tidak ditemukan pecahan peluru. Hingga pekan lalu, keduanya masih dirawat di ruang ICU.
Julianto tak tahu penyebab kekerasan yang menimpa ayahnya. Saban hari, kata dia, Juman bekerja sebagai penjual dan pembeli sawit. “Kalau masalah ada diteror atau tidak saya tidak tahu, karena saya pun jarang di rumah. Ayah juga jarang menceritakan hal seperti itu,” ujarnya saat berada di RSUDZA.
Namun, selain penjual sawit, Juman merupakan aktivis Partai Nasional Aceh atau PNA. Ia Ketua Badan Pemenangan Pemilu PNA di Kecamatan Peunaron. PNA merupakan partai pengusung Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah sebagai gubernur-wakil gubernur. Pasangan ini sekarang memenangkan Pilkada, mengalahkan Muzakir Manaf-TA Khalid yang diusung Partai Aceh.
Sebagai kader partai, Juman juga terkenal militan di lapangan. Di mata rekan-rekannya, Juman merupakan orang yang tidak takut dengan ancaman apa pun. Selain di badan pemenangan Pemilu PNA, Juman juga tim sukses calon Bupati Aceh Timur Ridwan Abubakar alias Nektu.
Insiden tersebut mendapat reaksi dari Gubernur Aceh terpilih Irwandi Yusuf. “Kenapa kau tega tembak temanku?” tulis Irwandi Yusuf lewat akun Facebook.
Ia mengingatkan pelaku kalau membunuh itu dosa dan tidak ada ampunannya kecuali qishas (secara harfiah berarti memotong atau membalas) atau dimaafkan. “Tanpa salah satu dari dua hal itu kau akan abadi selama-lamanya dalam neraka,” tulis Irwandi.
Namun, polisi sendiri melihat kejadian itu tidak ada hubungannya dengan Pilkada. Hal ini ditegaskan Kepala Kepolisian Daerah Aceh Irjen Pol Rio S Djambak saat meninjau tempat kejadian, Senin, 6 Maret 2017. “Ini kasus kriminal,” ujar Rio.
Secara umum, kata dia, situasi di Aceh kondusif sejak Pilkada serentak digelar tapi tercoreng oleh insiden tersebut. Ia melihat itu sebagai tanda masih ada oknum yang tidak menginginkan Aceh dalam kondisi damai. “Mereka-mereka ini adalah pengacau keamanan di Aceh. Tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab tidak akan kita tolerir,” ujar Rio.
Ia juga menyebutkan dua korban penembakan akan dikawal secara tertutup. “Kami masih mengumpulkan keterangan-keterangan dari beberapa saksi.”
Penembakan Posko Abusyik
Sehari usai insiden Peunaron, sebelas tembakan juga menyasar posko pemenangan pasangan calon bupati dan Wakil Bupati Pidie Roni Ahmad atau Abusyik-Fadlullah TM Daud. Pasangan ini memenangkan Pilkada Pidie.
Sekitar pukul 00.45 WIB pada Senin dinihari, posko yang terletak di Gampong Ulee Cot Seupeng, Kecamatan Peukan Baro itu ditembak orang tak dikenal.
Saat kejadian, ketua posko, Saiful Bahri alias Raja Ubiet sedang bermain catur bersama kawan-kawannya di teras. Ketika mendengar berondongan senapan, mereka tiarap dan merayap masuk ke dalam posko untuk berlindung.
Tembakan itu diduga Ubiet datang dari arah samping posko. Dari belasan tembakan itu, tidak ada satu pun yang mengakibatkan jatuhnya korban. “Perkiraan kami, pelakunya lebih dari satu orang. Mereka menggunakan sepeda motor dan memakai sebo,” ujarnya. Usai beraksi, tambah Ubiet, pelaku melarikan diri ke jalan gampong, melintasi perumahan warga.
Polisi menduga pelaku menggunakan senjata laras panjang jenis AK. Di lokasi kejadian, polisi menemukan selongsong peluru untuk senjata AK yang digunakan pelaku. Menurut Kepala Polres Pidie AKBP M Ali Kadhafi total tembakan dari pelaku sekitar sebelas. Jumlah tembakan ini sama seperti insiden yang menimpa Juman di Peunaron.
Teror Berlanjut
Tak disangka, setelah kejadian penembakan posko teror bukannnya berhenti. Beberapa jam kemudian, mobil Carry milik Yunus Ismail, 56 tahun, dibakar oknum di depan rumahnya di Gampong Mee Tanjong Usi, Kecamatan Mutiara Timur.
Kejadian itu sekitar pukul 04.00 WIB. Saat itu, Yunus dan seorang rekannya baru saja pulang melihat situasi di posko Seupeng. Yunus merupakan anggota Barisan Relawan Rakyat yang juga tim sukses Abusyik.
Mobil bernomor polisi BL 775 PV itu diparkir di depan rumah Yunus yang berada di Jalan Medan-Banda Aceh. “Korban sempat mendengar suara sepeda motor berhenti di depan rumahnya dan tidak lama kemudian mobilnya terbakar,” ujar Ali Kadhafi.
Mengetahui mobilnya terbakar, Yunus lalu meminta tolong kepada warga sekitar untuk memadamkan api. “Akibat kejadian tersebut mobil korban mengalami kerusakan di bagian belakang dan interior dalam,” ujar Ali Kadhafi.
Polisi menemukan barang bukti di bawah mobil berupa sisa kantong plastik yang terbakar. “Kuat dugaan plastik tersebut berisi bensin yang digunakan oleh pelaku untuk membakar mobil korban,” jelas Ali.
Hinggi kini, polisi masih memperdalam penyidikan untuk mengetahui motif di balik peristiwa tersebut. Pengejaran pelaku juga terus dilakukan dengan meningkatkan patroli bersama tim khusus gabungan TNI dan Brimob. Sementara, untuk mengusut kasus penembakan posko Polres Pidie melibatkan Tim Unit Identifikasi dan Pusat Laboratorium Forensik (Inafis) Polda Aceh.
Ali Kadhafi mengimbau masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi atas insiden penembakan tersebut. “Kita meminta kepada masyarakat untuk bersabar sekaligus mempercayakan kepada kepolisian untuk menangani kasus tersebut sampai tuntas,” ujarnya.
Budaya Konflik Tak Lekang
Anggota DPR RI asal Aceh, Muslim Ayub berpendapat teror-teror tersebut tak serta-merta dikaitkan langsung dengan Pilkada. “Kita harus tahu dulu yang meneror siapa. Ini negara hukum, tak bisa seenaknya meneror orang. Jika tahu siapa penerornya, harus segera dilaporkan kepada aparat keamanan,” ujar Muslim, Sabtu pekan lalu.
Ia berharap kepolisian dan TNI menertibkan senjata-senjata ilegal yang masih beredar. “Apalagi kan bisa kita lacak jika itu senjata yang ada pada masa konflik dulu yang belum diserahkan semuanya. Saya yakin masih ada ratusan pucuk senjata ada di luar,” ujar Muslim.
Kasus Aceh Timur dan Pidie, kata Muslim, harus dituntaskan secara maksimal. “Kerja polisi telah maksimal untuk mengamankan Pilkada. Saya sangat percaya polisi akan mampu manangani persoalan-persoalan di Aceh,” ujarnya.
Ia berharap hasil Pilkada harus diterima secara lapang dada. “Yang menang jangan menyombongkan diri, rangkullah yang kalah. Pilkada ini kan satu ajang demokrasi. Harus saling merangkul demi kebersamaan semua pihak. Inilah demokrasi,” ujar Muslim.
Ia mencontohkan Pilkada di Aceh Tenggara. Sebelum pemilihan dimulai, kata Muslim, sempat terjadi keributan-keributan kecil di sana. Namun, setelah hasil Pilkada keluar, semua pihak rukun kembali. “Inilah yang disebut jiwa ksatria. Jika ada persoalan tentang proses Pilkada, silakan tempuh mekanisme hukum yang telah disediakan.”
Terkait teror tersebut, pengamat keamanan Al Chaidar menilai budaya konflik belum lekang dari Aceh dan terbawa hingga ke masa damai seperti sekarang. Hal ini, kata dia, terlihat dari ancaman oleh kelompok tertentu untuk memilih calon tertentu dalam Pilkada. “Kalau ada yang tidak patuh maka mereka akan diteror. Intimidasi seperti ini sangat efektif karena dengan cara itulah mampu mempengaruhi untuk memlih calon tertentu,” ujar Al Chaidar, Sabtu pekan lalu.
Penembakan di Aceh Timur dinilai Al Chaidar terjadi karena masih banyaknya senjata ilegal. “Sebelum Undang Undang Pemerintah Aceh dijalankan salah satu kesepakatannya adalah pemotongan senjata. Tapi setelah pemotongan, masih ada senjata yang belum diserahkan. Diperkirakan jumlahnya dua kali lipat dari yang telah diserahkan,” ujar Al Chaidar.
Ia menambahkan, perlu dilakukan semacam kesepakatan hukum untuk mengambil kembali senjata-senjata ilegal tersebut. “Pemerintah seakan tidak berani memprosesnya apalagi yang berasal dari mantan kombatan, karena itu dianggap dapat merusak perdamaian nantinya. Padahal, pembiaran itu yang justru lebih merusak perdamaian. Justru jika tidak dipross nanti makin merajalela,” ungkap Al Chaidar.
Tanpa penegakan hukum secara efektif, kata Al Chaidar, mustahil perdamaian dapat dijaga. “Saya melihat, pemerintah Indonesia sendiri punya pikiran yang salah karena menganggap politik sebagai panglima. Mereka tidak percaya dengan negara hukum, tapi lebih percaya dengan siasat-siasat politik. Ini cara berpikir yang sangat salah dan berbahaya.”
Menurutnya, teror seperti itu akan terus terjadi. “Karena mereka berusaha mewujudkan apa yang pernah mereka lontarkan dulu bahwa jka tidak menang, posisi Aceh ini akan ribut lagi. Saya kira ancaman ini akan diwujudkan. Karena mereka juga melihat pemerintah pusat dan daerah masih percaya dengan logika lama, tidak mau mengusut.”[pikiranmerdeka.co]
Yatinem, 45 tahun, sedang terlelap di dalam rumahnya, Ahad dinihari, 5 Maret 2017. Sekitar pukul 02.30 WIB, ia melihat benda terbakar di teras rumahnya. Sontak, ia membangunkan suaminya Juman, 50 tahun. Juman bergegas ke teras. Naas, setelah ia membuka pintu depan, rentetan peluru menerjang. Dari sebelas tembakan, satunya nyasar ke leher Juman. Sementara peluru yang lain mengenai pintu depan, jendela, tembok dan kusen.
Melihat korbannya terkapar, pelaku melarikan diri ke arah perkebunan sawit di sisi timur. Namun, aksi penembak tak dikenal itu rupanyabelum berakhir. Tak jauh dari situ, dari balik jendela rumahnya, tetangga Juman, Misno, 35 tahun, sedari tadi mengintip aksi brutal tersebut. Tanpa ampun, ia pun kena imbas. Sembari kabur, pelaku menembak rumah Misno. Sebutir peluru pun bersarang di perut pria tersebut.
Insiden dinihari itu terjadi di Dusun Simpang Tiga, Gampong Peunaron Baru. Desa ini jaraknya sekitar dua jam perjalanan dari Idi, ibu kota Aceh Timur.
Menurut polisi, benda yang dibakar pelaku adalah kain. Tujuannya, memancing korban keluar rumah. Setelah pintu dibuka, barulah eksekusi dilakukan.
Pelaku penembakan empat orang. Ini menurut keterangan Misno kepada polisi. Mereka menggunakan sepeda motor bebek.
Di tempat kejadian, polisi menemukan 10 selongsong peluru dan dua butir amunisi yang belum meledak, diduga untuk senjata M16. Selain itu, empat butir proyektil. Ada sebelas lubang bersisa akibat pemberondongan tersebut. “Tiga lubang di kaca jendela, di pintu empat lubang, di dinding dua lubang, dan di bagian kusen juga terdapat dua lubang,” ujar Kepala Polres Aceh Timur AKBP Rudi Purwiyanto.
Setelah kejadian itu, Julianto, anak sulung Juman, tiba di rumah. Julianto saat itu sedang piket jaga sebagai perawat di Puskesmas Peunaron. “Saya langsung ambil ambulans dan pulang ke rumah,” ujar Julianto kepada wartawan di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Tiba di rumah, ia melihat ayahnya tergeletak dengan leher berdarah. Secarik kain membalut leher Juman agar darah tak keluar. Dibantu warga, Julianto membawa ayahnya ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Zubir Mahmud. Namun, karena kondisi Juman kian kritis, ia pun harus dirujuk ke Banda Aceh. Beberapa hari kemudian Misno juga ikut dirawat ke RSUDZA.
Kini, kondisi keduanya mulai membaik setelah menjalani operasi. Dari leher Juman, tim dokter RSUDZA menemukan proyektil peluru. Sementara di perut Misno tidak ditemukan pecahan peluru. Hingga pekan lalu, keduanya masih dirawat di ruang ICU.
Julianto tak tahu penyebab kekerasan yang menimpa ayahnya. Saban hari, kata dia, Juman bekerja sebagai penjual dan pembeli sawit. “Kalau masalah ada diteror atau tidak saya tidak tahu, karena saya pun jarang di rumah. Ayah juga jarang menceritakan hal seperti itu,” ujarnya saat berada di RSUDZA.
Namun, selain penjual sawit, Juman merupakan aktivis Partai Nasional Aceh atau PNA. Ia Ketua Badan Pemenangan Pemilu PNA di Kecamatan Peunaron. PNA merupakan partai pengusung Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah sebagai gubernur-wakil gubernur. Pasangan ini sekarang memenangkan Pilkada, mengalahkan Muzakir Manaf-TA Khalid yang diusung Partai Aceh.
Sebagai kader partai, Juman juga terkenal militan di lapangan. Di mata rekan-rekannya, Juman merupakan orang yang tidak takut dengan ancaman apa pun. Selain di badan pemenangan Pemilu PNA, Juman juga tim sukses calon Bupati Aceh Timur Ridwan Abubakar alias Nektu.
Insiden tersebut mendapat reaksi dari Gubernur Aceh terpilih Irwandi Yusuf. “Kenapa kau tega tembak temanku?” tulis Irwandi Yusuf lewat akun Facebook.
Ia mengingatkan pelaku kalau membunuh itu dosa dan tidak ada ampunannya kecuali qishas (secara harfiah berarti memotong atau membalas) atau dimaafkan. “Tanpa salah satu dari dua hal itu kau akan abadi selama-lamanya dalam neraka,” tulis Irwandi.
Namun, polisi sendiri melihat kejadian itu tidak ada hubungannya dengan Pilkada. Hal ini ditegaskan Kepala Kepolisian Daerah Aceh Irjen Pol Rio S Djambak saat meninjau tempat kejadian, Senin, 6 Maret 2017. “Ini kasus kriminal,” ujar Rio.
Secara umum, kata dia, situasi di Aceh kondusif sejak Pilkada serentak digelar tapi tercoreng oleh insiden tersebut. Ia melihat itu sebagai tanda masih ada oknum yang tidak menginginkan Aceh dalam kondisi damai. “Mereka-mereka ini adalah pengacau keamanan di Aceh. Tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab tidak akan kita tolerir,” ujar Rio.
Ia juga menyebutkan dua korban penembakan akan dikawal secara tertutup. “Kami masih mengumpulkan keterangan-keterangan dari beberapa saksi.”
Penembakan Posko Abusyik
Sehari usai insiden Peunaron, sebelas tembakan juga menyasar posko pemenangan pasangan calon bupati dan Wakil Bupati Pidie Roni Ahmad atau Abusyik-Fadlullah TM Daud. Pasangan ini memenangkan Pilkada Pidie.
Sekitar pukul 00.45 WIB pada Senin dinihari, posko yang terletak di Gampong Ulee Cot Seupeng, Kecamatan Peukan Baro itu ditembak orang tak dikenal.
Saat kejadian, ketua posko, Saiful Bahri alias Raja Ubiet sedang bermain catur bersama kawan-kawannya di teras. Ketika mendengar berondongan senapan, mereka tiarap dan merayap masuk ke dalam posko untuk berlindung.
Tembakan itu diduga Ubiet datang dari arah samping posko. Dari belasan tembakan itu, tidak ada satu pun yang mengakibatkan jatuhnya korban. “Perkiraan kami, pelakunya lebih dari satu orang. Mereka menggunakan sepeda motor dan memakai sebo,” ujarnya. Usai beraksi, tambah Ubiet, pelaku melarikan diri ke jalan gampong, melintasi perumahan warga.
Polisi menduga pelaku menggunakan senjata laras panjang jenis AK. Di lokasi kejadian, polisi menemukan selongsong peluru untuk senjata AK yang digunakan pelaku. Menurut Kepala Polres Pidie AKBP M Ali Kadhafi total tembakan dari pelaku sekitar sebelas. Jumlah tembakan ini sama seperti insiden yang menimpa Juman di Peunaron.
Teror Berlanjut
Tak disangka, setelah kejadian penembakan posko teror bukannnya berhenti. Beberapa jam kemudian, mobil Carry milik Yunus Ismail, 56 tahun, dibakar oknum di depan rumahnya di Gampong Mee Tanjong Usi, Kecamatan Mutiara Timur.
Kejadian itu sekitar pukul 04.00 WIB. Saat itu, Yunus dan seorang rekannya baru saja pulang melihat situasi di posko Seupeng. Yunus merupakan anggota Barisan Relawan Rakyat yang juga tim sukses Abusyik.
Mobil bernomor polisi BL 775 PV itu diparkir di depan rumah Yunus yang berada di Jalan Medan-Banda Aceh. “Korban sempat mendengar suara sepeda motor berhenti di depan rumahnya dan tidak lama kemudian mobilnya terbakar,” ujar Ali Kadhafi.
Mengetahui mobilnya terbakar, Yunus lalu meminta tolong kepada warga sekitar untuk memadamkan api. “Akibat kejadian tersebut mobil korban mengalami kerusakan di bagian belakang dan interior dalam,” ujar Ali Kadhafi.
Polisi menemukan barang bukti di bawah mobil berupa sisa kantong plastik yang terbakar. “Kuat dugaan plastik tersebut berisi bensin yang digunakan oleh pelaku untuk membakar mobil korban,” jelas Ali.
Hinggi kini, polisi masih memperdalam penyidikan untuk mengetahui motif di balik peristiwa tersebut. Pengejaran pelaku juga terus dilakukan dengan meningkatkan patroli bersama tim khusus gabungan TNI dan Brimob. Sementara, untuk mengusut kasus penembakan posko Polres Pidie melibatkan Tim Unit Identifikasi dan Pusat Laboratorium Forensik (Inafis) Polda Aceh.
Ali Kadhafi mengimbau masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi atas insiden penembakan tersebut. “Kita meminta kepada masyarakat untuk bersabar sekaligus mempercayakan kepada kepolisian untuk menangani kasus tersebut sampai tuntas,” ujarnya.
Budaya Konflik Tak Lekang
Anggota DPR RI asal Aceh, Muslim Ayub berpendapat teror-teror tersebut tak serta-merta dikaitkan langsung dengan Pilkada. “Kita harus tahu dulu yang meneror siapa. Ini negara hukum, tak bisa seenaknya meneror orang. Jika tahu siapa penerornya, harus segera dilaporkan kepada aparat keamanan,” ujar Muslim, Sabtu pekan lalu.
Ia berharap kepolisian dan TNI menertibkan senjata-senjata ilegal yang masih beredar. “Apalagi kan bisa kita lacak jika itu senjata yang ada pada masa konflik dulu yang belum diserahkan semuanya. Saya yakin masih ada ratusan pucuk senjata ada di luar,” ujar Muslim.
Kasus Aceh Timur dan Pidie, kata Muslim, harus dituntaskan secara maksimal. “Kerja polisi telah maksimal untuk mengamankan Pilkada. Saya sangat percaya polisi akan mampu manangani persoalan-persoalan di Aceh,” ujarnya.
Ia berharap hasil Pilkada harus diterima secara lapang dada. “Yang menang jangan menyombongkan diri, rangkullah yang kalah. Pilkada ini kan satu ajang demokrasi. Harus saling merangkul demi kebersamaan semua pihak. Inilah demokrasi,” ujar Muslim.
Ia mencontohkan Pilkada di Aceh Tenggara. Sebelum pemilihan dimulai, kata Muslim, sempat terjadi keributan-keributan kecil di sana. Namun, setelah hasil Pilkada keluar, semua pihak rukun kembali. “Inilah yang disebut jiwa ksatria. Jika ada persoalan tentang proses Pilkada, silakan tempuh mekanisme hukum yang telah disediakan.”
Terkait teror tersebut, pengamat keamanan Al Chaidar menilai budaya konflik belum lekang dari Aceh dan terbawa hingga ke masa damai seperti sekarang. Hal ini, kata dia, terlihat dari ancaman oleh kelompok tertentu untuk memilih calon tertentu dalam Pilkada. “Kalau ada yang tidak patuh maka mereka akan diteror. Intimidasi seperti ini sangat efektif karena dengan cara itulah mampu mempengaruhi untuk memlih calon tertentu,” ujar Al Chaidar, Sabtu pekan lalu.
Penembakan di Aceh Timur dinilai Al Chaidar terjadi karena masih banyaknya senjata ilegal. “Sebelum Undang Undang Pemerintah Aceh dijalankan salah satu kesepakatannya adalah pemotongan senjata. Tapi setelah pemotongan, masih ada senjata yang belum diserahkan. Diperkirakan jumlahnya dua kali lipat dari yang telah diserahkan,” ujar Al Chaidar.
Ia menambahkan, perlu dilakukan semacam kesepakatan hukum untuk mengambil kembali senjata-senjata ilegal tersebut. “Pemerintah seakan tidak berani memprosesnya apalagi yang berasal dari mantan kombatan, karena itu dianggap dapat merusak perdamaian nantinya. Padahal, pembiaran itu yang justru lebih merusak perdamaian. Justru jika tidak dipross nanti makin merajalela,” ungkap Al Chaidar.
Tanpa penegakan hukum secara efektif, kata Al Chaidar, mustahil perdamaian dapat dijaga. “Saya melihat, pemerintah Indonesia sendiri punya pikiran yang salah karena menganggap politik sebagai panglima. Mereka tidak percaya dengan negara hukum, tapi lebih percaya dengan siasat-siasat politik. Ini cara berpikir yang sangat salah dan berbahaya.”
Menurutnya, teror seperti itu akan terus terjadi. “Karena mereka berusaha mewujudkan apa yang pernah mereka lontarkan dulu bahwa jka tidak menang, posisi Aceh ini akan ribut lagi. Saya kira ancaman ini akan diwujudkan. Karena mereka juga melihat pemerintah pusat dan daerah masih percaya dengan logika lama, tidak mau mengusut.”[pikiranmerdeka.co]
loading...
Post a Comment