GeRAK mencatat ada beberapa kasus lama yang sampai saat ini masih belum
jelas upaya yang dilakukan oleh penegak hukum seperti dugaan korupsi
pajak Bireun
AMP - Seditnya 27 kasus yang berpotensi korupsi terjadi di Aceh berdasarkan hasil monitoring media dan laporan Gerakan Anti-Korupsi (GeRAK Aceh) pada tahun 2015. Sementara dugaan penyimpangan keuangan negara pada 2015 mencapai Rp885.8 miliar.
“Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2014 lebih kurang Rp500 miliar. Adapun beberapa kasus tersebut saat ini masih dalam penanganan penegak hukum baik di kejaksaan, kepolisian, KPK serta pengadilan,” ujar Kadiv Advokasi Korupsi, Hayatuddin Tanjung, melalui siaran persnya kepada portalsatu.com, Minggu, 3 Januari 2015.
Menurutnya model korupsi tahun 2015 di Aceh sangat spesifik, artinya sangat terencana dan terstruktur. Berdasarkan hasil monitoring serta catatan GeRAK Aceh menunjukan dana Hibah dan Bansos masih menjadi penyumbang utama kasus dugaan yang berpotensi korupsi.
“Modus operandi kasus yang dilakukan mulai sejak perencanaan hingga perubahan spek dan lainnya,” katanya. Salah satu contoh dugaan korupsi adalah pengadaan traktor sedang 4 WD pada Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh dengan pagu anggaran mencapai Rp39 miliar.
“Berdasarkan dokumen yang GeRAK miliki bahwa kasus ini terjadi beberapa kali perubahan spek dan lainnya dan kasus ini sudah kami supervisi ke KPK, Kejagung dan Kapolri,” katanya.
Kemudian dugaan korupsi Dermaga Lhok Weeng Sabang sebesar Rp11,7 miliar. Proses anggaran yang diplotkan untuk dermaga tersebut tidak sesuai dengan kondisi proyek di lapangan. Sebagaimana pembangunan yang dilakukan dengan panjang lebih kurang 30 meter dan lebar lebih kurang 3 meter serta ke dalam sekitar 3 meter, kemudian material yang digunakan yaitu batu gajah di sekitar proyek, sehingga proyek tersebut telah merusak hutan dan kawasan wisata Sabang.
“Proyek tersebut tidak ubah seperti tanggul penahan ombak. Kasus ini sudah GeRAK laporkan ke KPK,” katanya.
Di sisi lain GeRAK juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi pada anggaran Aspirasi Anggota DPRA dalam bentuk bantuan kelompok tani tambak dan lainnya, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh tahun 2015. Bantuan tersebut diciptakan berbagai model kelompok masyarakat di 18 Kabupaten/ Kota di Aceh dengan total anggaran yang diplotkan sebesar Rp40 miliar.
“Program tersebut sengaja diciptakan untuk memperoleh keuntungan yang sangat mudah dengan cara memecahkan anggaran untuk bisa penunjukan langsung (PL) di akhir masa anggaran. Rata-rata paket PL tersebut dari Rp30–Rp200 juta. Program kelompok ciptaan aspirasi DPRA tersebut untuk berbagai jenis pembibitan yaitu, pembibitan ikan bandeng, ikan nila, rehab tambak dan lainnya,” katanya.
Dia mengatakan berdasarkan investigasi GeRAK pada 2014, modus bantuan seperti ini jarang menjadi temuan oleh pihak penegak hukum karena sifatnya hibah. Habis beli bibit mati lalu selesai.
“Kemudian temuan GeRAK di tahun 2013 terkait dana aspirasi DPRA diperuntukan untuk merehab lapangan bola sebesar Rp130 juta, akan tetapi ketika kami mengecek ke lapangan hanya Rp25 juta yang terealisasi,” ujarnya.
Sehingga bentuk program aspirasi dewan sangat rawan terhadap dugaan tindak pidana korupsi, karena setiap yang mendapatkan Paket Leumak (PL) tersebut jarang menjadi temuan penegak hokum. “Karena dianggap jumlah potensi korupsinya sedikit,” ujarnya.
Kemudian di sisi penegakan hukum, GeRAK mencatat masih lemahnya penegakan hukum terkait penindakan kasus-kasus korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat maupun temuan BPK-RI. Sehingga, kata dia, para pelaku korupsi di Aceh tidak mendapatkan efek jera yang dapat menjadikan pembelajaran bagi yang lainnya.
Kelemahan penegakan hukum dalam hal menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi di Aceh membuat para pelaku korupsi untuk menyusun rencana baru untuk meraup keuangan negara dengan berbagai modus, mulai dari perencanaan hingga proses eksekusi suatu kerjaan atau program kegiatan.
Berdasarkan hasil monitoring media, GeRAK mencatat ada beberapa kasus lama yang sampai saat ini masih belum jelas upaya yang dilakukan oleh penegak hukum seperti dugaan korupsi pajak Bireun. Kasus ini mulai ditindaklanjuti tahun 2008 oleh Polda Aceh hingga akhir tahun 2015 masih dalam penanganan.
Selanjutnya dugaan korupsi pembangunan masjid di Kabupaten Aceh Tamiang. Dari tahun 2009 hingga akhir 2015, kasus ini baru ditetapkan tersangka dan dilimpahkan ke Pengadialn Tipikor Banda Aceh oleh Kejari Kuala Simpang.
“Padahal dugaan korupsi pembangunan masjid ini jelas terlihat hanya tiang pondasi saja dengan anggaran lebih kurang Rp4 miliar,” ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut GeRAK juga menilai fungsi kontrol atau pengawasan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/ Kota serta DPRA/ DPRK di Aceh sangat lemah. Dimana anggaran yang diperuntukan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan. GeRAK berharap publik di Aceh dan media massa dapat memantau kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum dan mengawasi setiap pekerjaan yang dianggarkan oleh negara.
Untuk itu, GeRAK mendesak Pemerintah Aceh dan DPRA untuk mendorong penegak hukum baik Polda dan Kejati Aceh agar dapat menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi. Mereka juga diminta untuk mengevaluasi Dinas SKPA terkait program kerja yang dilakukan sehingga tolak ukur kinerja, realisasi anggaran dan realisasi fisik tidak mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi, “sehingga anggaran yang diperuntukan bermanfaat bagi masyarakat.”
GeRAK Aceh juga mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Aceh dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk menyusun strategi penanganan dan menyelesaikan kasus-kasus dugaan korupsi di Provinsi Aceh. Mereka juga diminta membuka secara transparan ke publik berapa jumlah kasus yang ditangani di setiap jajarannya.
“Hal ini sangat penting dilakukan oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan mengingat tingkat kepercayaan publik terhadap penindakan sejumlah kasus korupsi di Aceh terkesan lamban dan tidak transparan. Untuk itu Kapolda dan Kejati Aceh wajib mengevaluasi setiap jajarannya masing-masing, baik Polres dan Kejari di kabupaten/kota di Aceh,” katanya.
GeRAK Aceh juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-RI untuk dapat menindaklanjuti sejumlah kasus dugaan korupsi yang dilaporkan oleh GeRAK dan publik di Aceh ke KPK. Untuk itu, kata Hayatuddin, KPK perlu mempercepat tindaklanjut laporan dugaan korupsi yang terjadi di Aceh secara profesional dan transparan.
“Sehingga tidak terkesan kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum di pensiunkan. Agar anggapan terhadap institusi penegak hukum di negara ini tidak dilihat sebelah mata. Maka dari hal tersebut perlu langkah dan strategi bagi penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi di Tanoh Aceh nyoe,” kata Hayatuddin. [portalsatu.com]
“Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2014 lebih kurang Rp500 miliar. Adapun beberapa kasus tersebut saat ini masih dalam penanganan penegak hukum baik di kejaksaan, kepolisian, KPK serta pengadilan,” ujar Kadiv Advokasi Korupsi, Hayatuddin Tanjung, melalui siaran persnya kepada portalsatu.com, Minggu, 3 Januari 2015.
Menurutnya model korupsi tahun 2015 di Aceh sangat spesifik, artinya sangat terencana dan terstruktur. Berdasarkan hasil monitoring serta catatan GeRAK Aceh menunjukan dana Hibah dan Bansos masih menjadi penyumbang utama kasus dugaan yang berpotensi korupsi.
“Modus operandi kasus yang dilakukan mulai sejak perencanaan hingga perubahan spek dan lainnya,” katanya. Salah satu contoh dugaan korupsi adalah pengadaan traktor sedang 4 WD pada Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh dengan pagu anggaran mencapai Rp39 miliar.
“Berdasarkan dokumen yang GeRAK miliki bahwa kasus ini terjadi beberapa kali perubahan spek dan lainnya dan kasus ini sudah kami supervisi ke KPK, Kejagung dan Kapolri,” katanya.
Kemudian dugaan korupsi Dermaga Lhok Weeng Sabang sebesar Rp11,7 miliar. Proses anggaran yang diplotkan untuk dermaga tersebut tidak sesuai dengan kondisi proyek di lapangan. Sebagaimana pembangunan yang dilakukan dengan panjang lebih kurang 30 meter dan lebar lebih kurang 3 meter serta ke dalam sekitar 3 meter, kemudian material yang digunakan yaitu batu gajah di sekitar proyek, sehingga proyek tersebut telah merusak hutan dan kawasan wisata Sabang.
“Proyek tersebut tidak ubah seperti tanggul penahan ombak. Kasus ini sudah GeRAK laporkan ke KPK,” katanya.
Di sisi lain GeRAK juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi pada anggaran Aspirasi Anggota DPRA dalam bentuk bantuan kelompok tani tambak dan lainnya, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh tahun 2015. Bantuan tersebut diciptakan berbagai model kelompok masyarakat di 18 Kabupaten/ Kota di Aceh dengan total anggaran yang diplotkan sebesar Rp40 miliar.
“Program tersebut sengaja diciptakan untuk memperoleh keuntungan yang sangat mudah dengan cara memecahkan anggaran untuk bisa penunjukan langsung (PL) di akhir masa anggaran. Rata-rata paket PL tersebut dari Rp30–Rp200 juta. Program kelompok ciptaan aspirasi DPRA tersebut untuk berbagai jenis pembibitan yaitu, pembibitan ikan bandeng, ikan nila, rehab tambak dan lainnya,” katanya.
Dia mengatakan berdasarkan investigasi GeRAK pada 2014, modus bantuan seperti ini jarang menjadi temuan oleh pihak penegak hukum karena sifatnya hibah. Habis beli bibit mati lalu selesai.
“Kemudian temuan GeRAK di tahun 2013 terkait dana aspirasi DPRA diperuntukan untuk merehab lapangan bola sebesar Rp130 juta, akan tetapi ketika kami mengecek ke lapangan hanya Rp25 juta yang terealisasi,” ujarnya.
Sehingga bentuk program aspirasi dewan sangat rawan terhadap dugaan tindak pidana korupsi, karena setiap yang mendapatkan Paket Leumak (PL) tersebut jarang menjadi temuan penegak hokum. “Karena dianggap jumlah potensi korupsinya sedikit,” ujarnya.
Kemudian di sisi penegakan hukum, GeRAK mencatat masih lemahnya penegakan hukum terkait penindakan kasus-kasus korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat maupun temuan BPK-RI. Sehingga, kata dia, para pelaku korupsi di Aceh tidak mendapatkan efek jera yang dapat menjadikan pembelajaran bagi yang lainnya.
Kelemahan penegakan hukum dalam hal menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi di Aceh membuat para pelaku korupsi untuk menyusun rencana baru untuk meraup keuangan negara dengan berbagai modus, mulai dari perencanaan hingga proses eksekusi suatu kerjaan atau program kegiatan.
Berdasarkan hasil monitoring media, GeRAK mencatat ada beberapa kasus lama yang sampai saat ini masih belum jelas upaya yang dilakukan oleh penegak hukum seperti dugaan korupsi pajak Bireun. Kasus ini mulai ditindaklanjuti tahun 2008 oleh Polda Aceh hingga akhir tahun 2015 masih dalam penanganan.
Selanjutnya dugaan korupsi pembangunan masjid di Kabupaten Aceh Tamiang. Dari tahun 2009 hingga akhir 2015, kasus ini baru ditetapkan tersangka dan dilimpahkan ke Pengadialn Tipikor Banda Aceh oleh Kejari Kuala Simpang.
“Padahal dugaan korupsi pembangunan masjid ini jelas terlihat hanya tiang pondasi saja dengan anggaran lebih kurang Rp4 miliar,” ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut GeRAK juga menilai fungsi kontrol atau pengawasan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/ Kota serta DPRA/ DPRK di Aceh sangat lemah. Dimana anggaran yang diperuntukan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan. GeRAK berharap publik di Aceh dan media massa dapat memantau kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum dan mengawasi setiap pekerjaan yang dianggarkan oleh negara.
Untuk itu, GeRAK mendesak Pemerintah Aceh dan DPRA untuk mendorong penegak hukum baik Polda dan Kejati Aceh agar dapat menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi. Mereka juga diminta untuk mengevaluasi Dinas SKPA terkait program kerja yang dilakukan sehingga tolak ukur kinerja, realisasi anggaran dan realisasi fisik tidak mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi, “sehingga anggaran yang diperuntukan bermanfaat bagi masyarakat.”
GeRAK Aceh juga mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Aceh dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk menyusun strategi penanganan dan menyelesaikan kasus-kasus dugaan korupsi di Provinsi Aceh. Mereka juga diminta membuka secara transparan ke publik berapa jumlah kasus yang ditangani di setiap jajarannya.
“Hal ini sangat penting dilakukan oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan mengingat tingkat kepercayaan publik terhadap penindakan sejumlah kasus korupsi di Aceh terkesan lamban dan tidak transparan. Untuk itu Kapolda dan Kejati Aceh wajib mengevaluasi setiap jajarannya masing-masing, baik Polres dan Kejari di kabupaten/kota di Aceh,” katanya.
GeRAK Aceh juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-RI untuk dapat menindaklanjuti sejumlah kasus dugaan korupsi yang dilaporkan oleh GeRAK dan publik di Aceh ke KPK. Untuk itu, kata Hayatuddin, KPK perlu mempercepat tindaklanjut laporan dugaan korupsi yang terjadi di Aceh secara profesional dan transparan.
“Sehingga tidak terkesan kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum di pensiunkan. Agar anggapan terhadap institusi penegak hukum di negara ini tidak dilihat sebelah mata. Maka dari hal tersebut perlu langkah dan strategi bagi penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi di Tanoh Aceh nyoe,” kata Hayatuddin. [portalsatu.com]
loading...
Post a Comment