Halloween Costume ideas 2015
loading...

Abu Doto Bergerak Mualem Disandera

AMP - Jelang Pilkada Aceh 2017, sejumlah pejabat Pemerintah Aceh mulai rajin mendampingi dr. H. Zaini Abdullah. Ironi, membatasi untuk bertemu dan mendampingi Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf.

Memakai baju putih dipadu celana hitam, Kepala Biro Umum Setda Aceh, T. Aznal Azhari, duduk satu kursi dengan Kepala Dinas Keuangan (DKA) Jamaluddin dan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Hasanuddin Darjo, saat menghadiri temu relawan dr. H. Zaini Abdullah sebagai bakal calon Gubernur Aceh Periode 2017-2022 di Kutacane, Aceh Tenggara, Minggu 27 Maret 2016 lalu. Entah karena badannya agak tambun, T. Aznal Azhari tampak menutupi badan Kepala Dinas Keuangan Aceh Jamaluddin, sehingga hanya terlihat wajahnya.

Itu sebabnya, kehadiran Aznal, Jamaluddin, Hasanuddin Darjo serta sepuluh kepada dinas lainnya, menuai protes dari anggota DPR Aceh, khususnya Komisi I. Protes wakil rakyat tadi tentu bukan tanpa sebab. Lihat saja pada baliho besar yang terpajang di belakang panggung. Jelas tertulis dr. H. Zaini Abdullah calon Gubernur Aceh 2017-2022. Saat itu, dr. H. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto tampak sedang berdiri–berorasi menyampaikan hajatan kedua kalinya untuk duduk di kursi Aceh-1.

“Tempat duduk tidak ada. Kami duduk bertiga, makanya Pak Jamal tidak nampak,” kata Kepala Biro Umum Setda Aceh, T. Aznal Azhari pada Komisi I DPR Aceh, sambil melirik foto yang ditancapkan oleh proyektor pada layar lebar, ruang Badan Anggaran (Banggar), Lantai II, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh, Senin, 4 April 2016 lalu.

Pengakuan itu disampaikan T. Aznal Azhari yang disebut-sebut punya hubungan keluarga dengan Abu Doto, terkait kunjungan “bermuhibah” bersama Abu Doto ke Aceh Tenggara, pekan lalu. Itu sebabnya, Aznal mengklarifikasi kehadirannya pada acara politik tersebut.

Memang, sejak awal tahun, Abu Doto kian gemar melakukan kunjungan kerja ke kabupaten dan kota. Ini terkait dengan rencananya untuk naik kedua kali sebagai calon Gubernur Aceh pada Pilkada Aceh 2017 mendatang.

Untuk memuluskan aktivitas tadi, para Kepala Satuan Kerja Perangkat (SKPA) membungkusnya dengan peresmian, kunjungan serta evaluasi sejumlah proyek di daerah. Termasuk kegiatan keagamaan lainnya seperti maulid akbar. Begitupun, ibarat sambil menyelam minum air, Abu Doto menggunakan kesempatan tadi untuk menggalang pengaruh dan kekuatan, guna memenuhi hajat politiknya tersebut. Misal, menerima salinan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat dirinya maju dari jalur independen.

Segendang sepenarian, agenda Abu Doto tadi diamini sejumlah SKPA Aceh. Selain  rajin dan setia menemani Abu Doto turun ke lapangan atau kabupaten/kota, mereka juga membawa buah tangan.

“Biasanya, sebelum Abu Doto datang, para kepala dinas (kadis) mempersiapkan sejumlah dana untuk biaya pengumpulan fotokopi KTP. Jadi, seolah-olah salinan KTP tadi benar-benar murni datang dari rakyat dan mendukung Abu Doto untuk maju kembali,” ungkap sumber media ini dari kalangan Partai Aceh pekan lalu.

“Misal di Aceh Tengah, pemainnya adalah Kadis Sosial Alhudri, sementara di Aceh Tenggara, Kadis Pendidikan Hasanuddin Darjo, sedangkan di kawasan pantai barat-selatan, dikawal oleh Nurcholis, Kepala Biro Pembangunan Setda Aceh,” papar sumber tadi.

Menariknya, agar tak tergeser dari posisi kadis dan pejabat eselon III dan IV, ada kepala dinas yang tak ada hubungan kerja dengan kegiatan Abu Doto ke daerah, tapi tetap ikut mendampingi Abo Doto. “Biar kelihatan setia,” kritik sumber tersebut, senyum.

Memang, sejak tuntasnya penyelesaian koreksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2016, sejumlah Kepala SKPA tampak loyal mendampingi Abu Doto. Motifnya beragam, ada yang betul-betul serius tapi tak sedikit bertujuan lain. Misal, ya itu tadi, menyelamatkan kursi yang sedang mereka pegang.

Sebaliknya, ada juga yang menjaga jarak supaya tidak terjebak dalam agenda politik praktis tadi. Ini sejalan dengan aturan yang melarang pegawai negeri sipil (PNS) untuk berperan aktif dalam acara politik dimaksud. “Saya profesional saja. Mau dipakai atau tidak, itu hak Abu Doto, yang pasti saya tidak mau membebek,” kata seorang kepala SKPA pada media ini.

Alasannya, walau pun dia loyal penuh, tak ada juga jaminan akan terus bertahan pada posisi atau jabatan yang saat ini dia pegang. “Siapa bisa jamin? Begitu ada bisikan pada Abu Doto, besok atau lusa akan dicopot. Lebih baik saya netral saja,” tegas kepala SKPA tadi.

Nah, entah itu sebabnya, dari 50-an SKPA, hanya belasan yang ikut mendampingi Gubernur Aceh saat “pelesiran” ke Aceh Tenggara atau kabupaten dan kota lainnya di Aceh. Dan, karena alasan perjalanan dinas berbau politis itulah, mereka dipanggil Komisi I DPRA untuk diminta klarifikasi.

Kabar lain yang beredar adalah para kepala SKPA mulai dibebani lima unit mobil untuk kegiatan sosialisasi rencana Abu Doto untuk maju kembali sebagai calon Gubernur Aceh pada Pilkada 2017 mendatang, termasuk mengumpulkan minimal lima ribu fotokopi KTP. “Kami harus sangat hati-hati dan rapi. Sebab, jika terbuka luas, maka akan jadi korban,” ungkap seorang pejabat eselon III pada media ini.

Tapi, Sayef Mustafa Usab, Ketua Pemenangan Abu Doto, membantah. “Hingga sekarang kami belum ada mobil. Jadi, tidak benar isu tersebut,” kata mantan kombatan GAM eks Libya ini, Kamis pekan lalu.

Begitupun, walau Sayed Mustafa Usab membantahnya, gelagat dugaan memanfaatkan fasilitas negara itu, mulai tercium anggota Komisi I DPR Aceh. Termasuk sikap dr. H. Zaini Abdullah menerima salinan (foto copy) Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Pendopo Gubernur. Padahal, tahapan pelaksanaan pilkada mulai dimulai.

Wakil rakyat di DPR Aceh, khususnya dari Partai Aceh (PA) menilai, fasilitas negara dilarang untuk dimanfaatkan incumbent (sedang menjabat) terhadap kepentingan pribadi. Karena itu milik rakyat dan merugikan bakal calon lain. “Apa beda dengan Zakaria Saman atau Apa Karia yang disebut-sebut maju sebagai calon Gubernur Aceh dari calon independen?” sebut seorang anggota DPR Aceh dari partai nasional pada media ini pekan lalu.

Itu sebabnya, pemanfaatan Pendopo Gubernur Aceh untuk kegiatan politik jelas dilarang. Tapi, dr. H. Zaini Abdullah telah melakukannya berulang-ulang, termasuk kegiatan pertemuan politik dengan kepala desa (geuchik) dari wilayah barat, beberapa waktu lalu.

“Irwandi Yusuf saja saat menjadi Gubernur Aceh dan maju kembali melalui jalur independen pada Pilkada 2012 silam, tidak tinggal dan menggunakan pendopo untuk kegiatan politik praktisnya. Dia memilih rumah pribadi,” ungkap politisi nasional tersebut.

Karena itu, Komisi I DPRA meminta Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah untuk menjaga batasan pemanfaatan fasilitas negara. Andai mau berpolitik, maka gunakan posko atau mobil lain untuk kegiatan politiknya.

“Kok, calon gubernur incumbent yang relatif banyak dana dan sponsor ndak membuka posko di luar pendopo, sementara kandidat lain sudah memulai. Ini benar-benar keterlaluan,” nilai seorang akademisi dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Karena alasan tak enak dengan Rektor Unsyiah, Prof Dr. Samsul Rizal, akademisi ini minta namanya tak ditulis.

Sebaliknya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh, Wiratmadinata SH M.Hum, menilai, jika benar praktik penggunaan fasilitas negara digunakan untuk kepentingan politik praktis calon incumbent, ini sama artinya dengan abuse of power. Sebab, penyalahgunaan kekuasaan bisa ditafsir bergerak lurus dengan korupsi. “Arti korupsi itu luas. Jika ditafsir, pemanfaatan fasilitas negara bisa saja disebut korupsi,” kata Wiratmadinata, melalui sambungan telepon, Kamis pekan lalu.

Selain itu, kegiatan politik yang melibatkan pegawai negeri sipil, jelas-jelas pula melanggar etika. Karena, sebut Wira, begitu dia akrab disapa, PNS dilarang keras berpolitik atau berpihak pada calon tertentu. “Soal pelanggaran etik itu sudah jelas, kalau melibatkan PNS dan gunakan fasilitas negara,” ujar Wira.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia, Yuddy Chisnandi, dalam surat edarannya dengan tegas menyatakan bahwa Aparatus Sipil Negara (ASN) harus netral pada pilkada, trmasuk larangan penggunaan aset dan fasilitas pemerintah. Pada poin dua huruf B, misalnya disebutkan, dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye.

Salinan surat Menteri Yuddy Chrisnandi itu telah ditembuskan pada gubernur serta bupati dan walikota se-Indonesia. Artinya, surat edaran itu sudah diketahui Abu Doto sebagai Gubernur Aceh. Sebab, surat edaran itu berlangsung hampir satu tahun.

Sayangnya, soal keterlibatan PNS dalam acara politik dr. H. Zaini Abdullah hingga pekan belum mendapatkan penjelasan yang konkrit. Saat dihubungi media ini pekan lalu, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Aceh, Dermawan, tak menjawab. Pesan singkat yang dikirim Kamis malam pekan lalu, juga tak dibalas.

Tapi, Ketua Tim Sukses (Timses) dr. H. Zaini Abdullah, Sayed Mustafa Usab, mengatakan, pertemuan di Aceh Tenggara tidak sebanyak yang disebutkan Komisi I DPRA. “Tidak ramai, seperti yang ada di panggung dalam foto telah beredar,” katanya, Kamis malam pekan lalu.

Sayed Mustafa mengaku, temu relawan di Aceh Tenggara itu dilakukan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Hasanuddin Darjo. Dan, itu lebih pada kegiatan manuver Hasanuddin Darjo pribadi. Sebab, ada kabar berembus, kegiatan itu sengaja disponsori Hasanuddin Darjo, karena ingin dipinang Abu Doto sebagai calon Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2017 mendatang. “Acara itu sebagai manuver Darjo saja,” ungkap Sayed Mustafa Usab.

Inikah yang disebut ambisi “membabi buta” dari Hasanuddin Darjo? Entah. Hingga Sabtu pekan lalu, media ini belum berhasil mengonfirmasi pengakuan yang disampaikan Sayed Mustafa Usab.***

Sumber: modusaceh.com
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget