AMP - Nurdin alias Din Minimi, pimpinan gerombolan bersenjata yang beberapa waktu lalu sempat meresahkan Aceh, bukan anggota GAM. Demikian kesimpulan dari beberapa orang yang mengaku punya talian dengan perjuangan. Tuntutan Din Minimi pun sudah basi, serta terkesan ada udang dibalik bakwan, demikian pendapat para pengamat.
Itu masa lalu. Apapun cerita Din Minimi dan kisahnya telah menumpahkan banyak darah di Aceh. Nyaris saja ia dan gerakannya sukses membuat kondisi Aceh kembali tidak menentu. Beberapa begundal lain pun –saat itu—mulai menggunakan “nama besar” Din Minimi untuk mencari nafkah bagi istri dan anaknya di rumah.
Din Minimi bukan siapa-siapa. Andaikan saja dia dan pengikutnya tidak memegang senjata api, sungguh semua teriakannya akan dianggap angin lalu. Bahkan kelicinan dirinya dalam menghindari sergapan polisi mengundang curiga. Hingga akhirnya dia turun gunung setelah “terbujuk” oleh ajakan Sutiyoso yang ketua BIN itu.
Gerakan Din Minimi pun sebelumnya di dalam rimba bukanlah aksi spontanitas. Gerakan bersenjata yang berdiam cukup lama di dalam rimba butuh logistic yang tiada terkira. Apalagi dia dan kelompoknya aktif bergerak dan bertempur dengan aparat negara. Lalu siapa toke dibelakang dirinya? Tidak ada—setidaknya tidak ada yang bisa menerka. Ada yang mengatakan dia peliharaan BIN, ada pula dia dianggap sempalan yang dibentuk untuk membuat riuh suasana. Semua duga tersebut mengambang dan kemudian hilang seiring dengan turun gunungnya sang “jenderal kecil”.
Presiden turun tangan. Kepada Din Minimi diberikan amnesti. BIN adalah penjamin. Kasusnya selesai tanpa sidang pengadilan. Hanya dengan komitmen tak lagi mengangkat senjata, telah membuat semua lara sebelumnya dilupakan begitu saja. Penggiat HAM dan pengamat hukum dan politik sempat bicara agar Din, sebelum diampuni, dihadirkan ke muka sidang, namun itu tak bermuara.
Usai turun gunung rumahnya menjadi ramai. Pentolan-pentolan eks GAM membezuk. BIN memberikan sumbangan. Din tiba-tiba menjadi dermawan. Padahal tak satupun dari tuntutannya yang sudah dipenuhi oleh Pemerintah Aceh. Dia pun berubah –demikian dicitrakan—menjadi pahlawan yang telah berjasa besar bagi daerah. Entahlah, apakah para korban yang telah kehilangan saudaranya dalam kasus Din juga beranggapan demikian?
Din pun bermetamorfosis. Kini dia bergabung dengan ormas Pemuda Pancasila. Banyak kalangan protes. Pihak yang kadung menganggap Din pahlawan tercekat dan berurai air mata. “Din Minimi telah mengkhianati burak singa!,” teriak mereka di wall facebook.
“Din Minimi telah berkhianat!,” teriak lainnya.
Benarkah demikian? Mari kita lihat awal prosesnya. Kata beberapa kalangannya, Din bukan eks GAM. Gerakan yang dia bangun dengan “perlawanan” bersenjata terjadi menjelang 10 tahun perdamaian. Jauh setelah 3000 TNA dileburkan ke dalam masyarakat sipil. Pola senjata api, jangan tanya dari mana asal-usulnya. Karena sebagai bekas daerah konflik, Aceh adalah gudang senjata.
Beberapa pihak lain mengatakan bahwa Din adalah GAM. Dia berada di wilayah Komando Peureulak. Hasil tracking saya pun mendapatkan informasi demikian. Lantas apanya yang salah?
Gerakan Din bukan bagian dari buraq singa.—karena perjuangan bersenjata GAM sudah berakhir pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Tidak ada kata lain yang lebih tepat selain menyebut gerakan bersenjata yang dia bangun pasca damai “kriminal” biasa yang mencoba menggertak Gubernur Aceh. Dia meminta Doto zaini dan Muzakir Manaf memperhatikan eks kombatan, anak yatim dan janda konflik. Itu saja, Din tidak melawan NKRI.
Jadi kemudian dia bergabung dengan Pemuda Pancasila, itu hal lumrah. Sebagai seseorang yang dianggp “penting” Din butuh panggung. Walaulah pikiran-pikirannya belum mampu menyentuh substansi persoalan –anggap saja demikian– minimal dia harus punya kendaraan untuk bisa terus eksis.
Ini zaman gila, brother! Kehilangan panggung bermakna tergerus zaman. Mungkin Din sadar tentang ini. Bila orang lain menggunakan isu Syariat Islam untuk mencitrakan diri bersih dari dosa, serta sebagian lagi menjual perjuangan GAM untuk menumpuk harta dan menyelamatkan periuk nasi, Din hanya menjadikan Pemuda Pancasila sebagai sandaran agar terus bisa berada dalam lingkar kehidupan sosial “elitis” kelas menengah bawah. Salahkah Din? Tidak!.
Saya kira, siapapun yang memaki Din karena dia bergabung dengan Pemuda Pancasila, harus move on. Bangun dari tidur dan cuci muka agar mengerti duduk persoalan dan kondisi. Orang sekaliber Zaini, Malik, Muzakir Manaf saja sudah jadi pejabat Indonesia, kok Din Minimi yang hanya eks kombatan biasa, kemudian angkat senjata ketika dalam sudah 10 tahun terajut, tidak bisa bergabung dengan PP? Yang benar saja? []
Itu masa lalu. Apapun cerita Din Minimi dan kisahnya telah menumpahkan banyak darah di Aceh. Nyaris saja ia dan gerakannya sukses membuat kondisi Aceh kembali tidak menentu. Beberapa begundal lain pun –saat itu—mulai menggunakan “nama besar” Din Minimi untuk mencari nafkah bagi istri dan anaknya di rumah.
Din Minimi bukan siapa-siapa. Andaikan saja dia dan pengikutnya tidak memegang senjata api, sungguh semua teriakannya akan dianggap angin lalu. Bahkan kelicinan dirinya dalam menghindari sergapan polisi mengundang curiga. Hingga akhirnya dia turun gunung setelah “terbujuk” oleh ajakan Sutiyoso yang ketua BIN itu.
Gerakan Din Minimi pun sebelumnya di dalam rimba bukanlah aksi spontanitas. Gerakan bersenjata yang berdiam cukup lama di dalam rimba butuh logistic yang tiada terkira. Apalagi dia dan kelompoknya aktif bergerak dan bertempur dengan aparat negara. Lalu siapa toke dibelakang dirinya? Tidak ada—setidaknya tidak ada yang bisa menerka. Ada yang mengatakan dia peliharaan BIN, ada pula dia dianggap sempalan yang dibentuk untuk membuat riuh suasana. Semua duga tersebut mengambang dan kemudian hilang seiring dengan turun gunungnya sang “jenderal kecil”.
Presiden turun tangan. Kepada Din Minimi diberikan amnesti. BIN adalah penjamin. Kasusnya selesai tanpa sidang pengadilan. Hanya dengan komitmen tak lagi mengangkat senjata, telah membuat semua lara sebelumnya dilupakan begitu saja. Penggiat HAM dan pengamat hukum dan politik sempat bicara agar Din, sebelum diampuni, dihadirkan ke muka sidang, namun itu tak bermuara.
Usai turun gunung rumahnya menjadi ramai. Pentolan-pentolan eks GAM membezuk. BIN memberikan sumbangan. Din tiba-tiba menjadi dermawan. Padahal tak satupun dari tuntutannya yang sudah dipenuhi oleh Pemerintah Aceh. Dia pun berubah –demikian dicitrakan—menjadi pahlawan yang telah berjasa besar bagi daerah. Entahlah, apakah para korban yang telah kehilangan saudaranya dalam kasus Din juga beranggapan demikian?
Din pun bermetamorfosis. Kini dia bergabung dengan ormas Pemuda Pancasila. Banyak kalangan protes. Pihak yang kadung menganggap Din pahlawan tercekat dan berurai air mata. “Din Minimi telah mengkhianati burak singa!,” teriak mereka di wall facebook.
“Din Minimi telah berkhianat!,” teriak lainnya.
Benarkah demikian? Mari kita lihat awal prosesnya. Kata beberapa kalangannya, Din bukan eks GAM. Gerakan yang dia bangun dengan “perlawanan” bersenjata terjadi menjelang 10 tahun perdamaian. Jauh setelah 3000 TNA dileburkan ke dalam masyarakat sipil. Pola senjata api, jangan tanya dari mana asal-usulnya. Karena sebagai bekas daerah konflik, Aceh adalah gudang senjata.
Beberapa pihak lain mengatakan bahwa Din adalah GAM. Dia berada di wilayah Komando Peureulak. Hasil tracking saya pun mendapatkan informasi demikian. Lantas apanya yang salah?
Gerakan Din bukan bagian dari buraq singa.—karena perjuangan bersenjata GAM sudah berakhir pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Tidak ada kata lain yang lebih tepat selain menyebut gerakan bersenjata yang dia bangun pasca damai “kriminal” biasa yang mencoba menggertak Gubernur Aceh. Dia meminta Doto zaini dan Muzakir Manaf memperhatikan eks kombatan, anak yatim dan janda konflik. Itu saja, Din tidak melawan NKRI.
Jadi kemudian dia bergabung dengan Pemuda Pancasila, itu hal lumrah. Sebagai seseorang yang dianggp “penting” Din butuh panggung. Walaulah pikiran-pikirannya belum mampu menyentuh substansi persoalan –anggap saja demikian– minimal dia harus punya kendaraan untuk bisa terus eksis.
Ini zaman gila, brother! Kehilangan panggung bermakna tergerus zaman. Mungkin Din sadar tentang ini. Bila orang lain menggunakan isu Syariat Islam untuk mencitrakan diri bersih dari dosa, serta sebagian lagi menjual perjuangan GAM untuk menumpuk harta dan menyelamatkan periuk nasi, Din hanya menjadikan Pemuda Pancasila sebagai sandaran agar terus bisa berada dalam lingkar kehidupan sosial “elitis” kelas menengah bawah. Salahkah Din? Tidak!.
Saya kira, siapapun yang memaki Din karena dia bergabung dengan Pemuda Pancasila, harus move on. Bangun dari tidur dan cuci muka agar mengerti duduk persoalan dan kondisi. Orang sekaliber Zaini, Malik, Muzakir Manaf saja sudah jadi pejabat Indonesia, kok Din Minimi yang hanya eks kombatan biasa, kemudian angkat senjata ketika dalam sudah 10 tahun terajut, tidak bisa bergabung dengan PP? Yang benar saja? []
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment