AMP - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar pertemuan di ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRA, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh, Senin 4 April 2016.
Rapat yang berlangsung sekitar pukul 10.30 WIB itu, mengundang orang nomor satu Aceh, dr. H. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto. Bahkan, posisi kursi mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, persis di sebelah kiri Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh. Politisi Partai Aceh tersebut, berasal pantai barat-selatan.
Hari itu, Gubernur Aceh diundang ke DPRA untuk menjelaskan adanya keikutsertaan sejumlah pejabat eselon II, dalam agenda politik temu relawan pemenangan dr. H. Zaini Abdullah menuju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 mendatang di Kutacane, Aceh Tenggara, Minggu 27 Maret 2016 lalu.
Itu sebabnya, selain dr. H. Zaini Abdullah yang juga Tuha Peut Partai Aceh, Komisi I Bidang Pemerintahan juga mengundang Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) untuk mendapatkan mengklarifikasi atas kehadiran mereka pada acara politik dr. H. Zaini Abdullah di Aceh Tenggara.
Sedikitnya, ada 13 abdi negara yang diundang yaitu Kepala Inspektorat Aceh Drs. Abdul Karim M.Si, Kepala Dinas Keuangan Aceh Jamaluddin SE M.Si, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Mobilitas Penduduk Kamaruddin Andalah S.Sos, Kepala Dinas Cipta Karya Aceh Ir. Zulkifli MM, Kepala Dinas Bina Marga Aceh Ir. Rizal Aswandi. Ada juga nama Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika Aceh Ir. Hasanuddin, Kepala Dinas Syariat Islam Prof. Dr. Syahrizal Abbas, Kepala Dinas Sosial Drs. Al Khudri, Kepala Dinas Pendidikan Drs. Hasanuddin Darjo, Kepala Biro Umum Setda Aceh T. Aznal Zahri, Kepala Biro Humas Setda Aceh Frans Dellian, Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh Drs. H. Mohd Ali Alfatah, Kepala Dinas Kesehatan Aceh M. Yani.
Dari 13 pegawai negeri sipil (PNS) yang diundang, hanya tiga orang yang hadir. Mereka adalah Karo Humas Setda Aceh Frans Dellian, Kepala Biro Umum T. Aznal Zahri dan Kepala Dinas Kesehatan Aceh M. Yani. Ketiganya memberi penjelasan pada DPRA. M Yani misalnya, menyampaikan keterangan bahwa ia tidak ikut dalam acara temu relawan Abu Doto. M. Yani mengaku, hanya mengikuti peresmian rumah sakit swasta Nurul Hasanah, setelah itu ia menuju Puskesmas Lawe Sigala-Gala dan Medan, Sumatera Utara. “Saya kebetulan tidak ikut dalam pertemuan tim relawan,” ujar M Yani, Senin pekan lalu.
Sedangkan T. Aznal Azhari mengaku tidak tahu-menahu ihwal kegiatan temu relawan. Semula ia hanya mengetahui adanya perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan silaturahmi. Namun, kata T Aznal, selaku Kepala Biro Umum, dia hanya menjalankan tugas kegiatan Gubernur Aceh. “Tugas saya melekat pada Gubernur,” ujarnya berkilah. T Aznal juga menjelaskan sohibnya saat duduk di kursi temu relawan. Sebab, dalam foto yang ditampilkan Komisi I DPRA Aceh, wajah T. Aznal jelas terpampang. Tapi, kata Aznal, sosok yang wajahnya tak terlihat kamera adalah Jamaluddin. Sementara, wajah yang jelas adalah Kadis Pendidikan Aceh Hasanuddin Darjo. “Saya tidak tahu, makanya kami duduk satu kursi bersempit-sempitan,” ujar T. Aznal Azhari, Senin lalu.
Kepala Biro (Karo) Humas Setda Aceh Frans Dellian mengaku, pada pertemuan itu, dirinya hanya berdiri di pinggir, tidak berada dalam arena politik Abu Doto. “Saya tidak berada persis di dalamnya, tapi di pinggir-pinggir,” katanya.
Karena sudah memberi penjelasan, dua pejabat itu tak diundang lagi pada pertemuan Senin 11 April 2016 ini. Namun, bukan berarti penjelasan Frans Dellian sudah selesai. Tapi, berlanjut setelah Komisi I DPR Aceh mendalami keterlibatan mereka, pada agenda politik Abu Doto.
Berlanjutnya pertemuan Senin pekan ini, karena DPRA belum mendapatkan klarifikasi dari PNS yang diduga terlibat pada kegiatan politik dr. Zaini Abdullah, termasuk penjelasan Abu Doto sendiri. Karena, gubernur aktif yang dulu diusung Partai Aceh pada Pilkada 2012 silam, tak memenuhi panggilan DPRA. Ketua Komisi I Abdullah Saleh juga mengaku, tidak tahu alasan resmi Abu Doto kenapa tidak hadir ke DPRA. “Kami kecewa, karena tidak ada penjelasan resmi kenapa Gubernur Aceh tidak hadir,” kata Abdullah Saleh, di awal pertemuan.
Bukan hanya SKPA yang tak hadir diundang kembali. Komisi I DPRA juga bersepakat mengundang dua SKPA lagi pada pertemuan klarifikasikan yang telah ditetapkan, Senin 11 April 2016. Dua nama tambahan yang akan diminita klarifikasi adalah Kepala Dinas Pengairan Aceh Syamsurizal dan Kepala Biro Pembangunan Setda Aceh Nurkhalis SP. Komisi I DPRA berharap dengan dilayangkannya undangan lanjutan semuanya dapat hadir. Bila eksekutif masih membangkang, Abdullah Saleh mengaku siap “melibas” SKPA dimaksud.
Menurut Abdullah Saleh, tujuan pihaknya memanggil eksekutif tadi, agar netralitas pegawai negeri sipil terjaga, menyusul berlangsungnya Pilkada 2017 di Aceh mendatang. Karena itu, Abdulllah Saleh menegaskan, PNS yang dipanggil itu bukan karena ikut Abu Doto saja. Tapi, jika ada bukti kepala dinas atau PNS yang ikut agenda politik bakal calon lain, Komisi I DPRA tak akan segan memanggil, termasuk PNS yang ikut Wakil Gubernur Muzakir Manaf.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengaku, sudah menyiapkan surat pemecatan jika terbukti ada pegawai negeri sipil yang bersikap tidak netral pada pilkada serentak 2015. “Jika terbukti bersalah, maka sanksinya sudah bukan teguran atau adminitrasi saja, tapi pemberhentian dengan tidak hormat,” tegas Yuddy di Surabaya, Jawa Timur, Minggu, 29 November 2015 lalu.
Menurut dia, netralitas PNS dalam pilkada merupakan harga mati yang tak bisa ditawar. Sebagai abdi negara, PNS tidak boleh berpihak terhadap kepentingan politik tertentu.
Yuddy mengatakan, kementeriannya tidak hanya memproses aduan terkait PNS tidak netral, tapi akan menindaklanjuti jika ada temuan dalam berbagai bentuk dengan menerjunkan tim investigasi.
“Semisal ada di media sosial bahwa ada PNS tak netral, maka pasti kami tindaklanjuti kebenaran tersebut. Jadi, kami tak hanya menunggu laporan masuk,” katanya. Dia berharap PNS bekerja secara profesional jika tak ingin ditunda promosi, kenaikan pangkatnya, hingga pemberian tunjangan kinerja atau tunjangan perbaikan penghasilan (TPP). Namun, Yuddy mengakui kesulitan mendeteksi PNS tidak netral pada pilkada, karena jumlah PNS seluruh Indonesia lebih dari 4,5 juta.
“Kalau harus netral 100 persen sepertinya sangat sulit karena jumlah PNS di Indonesia yang sangat banyak. Yang pasti jika ada PNS tidak netral itu wajar, tapi saya yakin 99 persennya netral,” ujarnya.
Yuddy menekankan, sikap netral PNS di antaranya tidak boleh mendukung salah satu calon, tidak boleh menggunakan aset pemerintah, dan tidak boleh mempengaruhi. “Tidak boleh kampanye, dilarang menjadi tim sukses, bahkan menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk menggerakkan anak buahnya dalam mendukung calon tertentu sekaligus mengganggu calon lain serta menggunakan fasilitas negara,” tegas dia.
Nah, akankah praktik yang dilakukan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah dengan memboyong sejumlah pejabat di jajaran Pemerintah Aceh dengan alasan kunjungan kerja, tapi berbalut “kampanye terselumbung” ini menular hingga kabupaten/kota? Juli Saidi dari MODUS ACEH menulisnya sebagai Laporan Utama edisi 50/XIII 2016.***
Rapat yang berlangsung sekitar pukul 10.30 WIB itu, mengundang orang nomor satu Aceh, dr. H. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto. Bahkan, posisi kursi mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, persis di sebelah kiri Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh. Politisi Partai Aceh tersebut, berasal pantai barat-selatan.
Hari itu, Gubernur Aceh diundang ke DPRA untuk menjelaskan adanya keikutsertaan sejumlah pejabat eselon II, dalam agenda politik temu relawan pemenangan dr. H. Zaini Abdullah menuju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 mendatang di Kutacane, Aceh Tenggara, Minggu 27 Maret 2016 lalu.
Itu sebabnya, selain dr. H. Zaini Abdullah yang juga Tuha Peut Partai Aceh, Komisi I Bidang Pemerintahan juga mengundang Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) untuk mendapatkan mengklarifikasi atas kehadiran mereka pada acara politik dr. H. Zaini Abdullah di Aceh Tenggara.
Sedikitnya, ada 13 abdi negara yang diundang yaitu Kepala Inspektorat Aceh Drs. Abdul Karim M.Si, Kepala Dinas Keuangan Aceh Jamaluddin SE M.Si, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Mobilitas Penduduk Kamaruddin Andalah S.Sos, Kepala Dinas Cipta Karya Aceh Ir. Zulkifli MM, Kepala Dinas Bina Marga Aceh Ir. Rizal Aswandi. Ada juga nama Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika Aceh Ir. Hasanuddin, Kepala Dinas Syariat Islam Prof. Dr. Syahrizal Abbas, Kepala Dinas Sosial Drs. Al Khudri, Kepala Dinas Pendidikan Drs. Hasanuddin Darjo, Kepala Biro Umum Setda Aceh T. Aznal Zahri, Kepala Biro Humas Setda Aceh Frans Dellian, Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh Drs. H. Mohd Ali Alfatah, Kepala Dinas Kesehatan Aceh M. Yani.
Dari 13 pegawai negeri sipil (PNS) yang diundang, hanya tiga orang yang hadir. Mereka adalah Karo Humas Setda Aceh Frans Dellian, Kepala Biro Umum T. Aznal Zahri dan Kepala Dinas Kesehatan Aceh M. Yani. Ketiganya memberi penjelasan pada DPRA. M Yani misalnya, menyampaikan keterangan bahwa ia tidak ikut dalam acara temu relawan Abu Doto. M. Yani mengaku, hanya mengikuti peresmian rumah sakit swasta Nurul Hasanah, setelah itu ia menuju Puskesmas Lawe Sigala-Gala dan Medan, Sumatera Utara. “Saya kebetulan tidak ikut dalam pertemuan tim relawan,” ujar M Yani, Senin pekan lalu.
Sedangkan T. Aznal Azhari mengaku tidak tahu-menahu ihwal kegiatan temu relawan. Semula ia hanya mengetahui adanya perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan silaturahmi. Namun, kata T Aznal, selaku Kepala Biro Umum, dia hanya menjalankan tugas kegiatan Gubernur Aceh. “Tugas saya melekat pada Gubernur,” ujarnya berkilah. T Aznal juga menjelaskan sohibnya saat duduk di kursi temu relawan. Sebab, dalam foto yang ditampilkan Komisi I DPRA Aceh, wajah T. Aznal jelas terpampang. Tapi, kata Aznal, sosok yang wajahnya tak terlihat kamera adalah Jamaluddin. Sementara, wajah yang jelas adalah Kadis Pendidikan Aceh Hasanuddin Darjo. “Saya tidak tahu, makanya kami duduk satu kursi bersempit-sempitan,” ujar T. Aznal Azhari, Senin lalu.
Kepala Biro (Karo) Humas Setda Aceh Frans Dellian mengaku, pada pertemuan itu, dirinya hanya berdiri di pinggir, tidak berada dalam arena politik Abu Doto. “Saya tidak berada persis di dalamnya, tapi di pinggir-pinggir,” katanya.
Karena sudah memberi penjelasan, dua pejabat itu tak diundang lagi pada pertemuan Senin 11 April 2016 ini. Namun, bukan berarti penjelasan Frans Dellian sudah selesai. Tapi, berlanjut setelah Komisi I DPR Aceh mendalami keterlibatan mereka, pada agenda politik Abu Doto.
Berlanjutnya pertemuan Senin pekan ini, karena DPRA belum mendapatkan klarifikasi dari PNS yang diduga terlibat pada kegiatan politik dr. Zaini Abdullah, termasuk penjelasan Abu Doto sendiri. Karena, gubernur aktif yang dulu diusung Partai Aceh pada Pilkada 2012 silam, tak memenuhi panggilan DPRA. Ketua Komisi I Abdullah Saleh juga mengaku, tidak tahu alasan resmi Abu Doto kenapa tidak hadir ke DPRA. “Kami kecewa, karena tidak ada penjelasan resmi kenapa Gubernur Aceh tidak hadir,” kata Abdullah Saleh, di awal pertemuan.
Bukan hanya SKPA yang tak hadir diundang kembali. Komisi I DPRA juga bersepakat mengundang dua SKPA lagi pada pertemuan klarifikasikan yang telah ditetapkan, Senin 11 April 2016. Dua nama tambahan yang akan diminita klarifikasi adalah Kepala Dinas Pengairan Aceh Syamsurizal dan Kepala Biro Pembangunan Setda Aceh Nurkhalis SP. Komisi I DPRA berharap dengan dilayangkannya undangan lanjutan semuanya dapat hadir. Bila eksekutif masih membangkang, Abdullah Saleh mengaku siap “melibas” SKPA dimaksud.
Menurut Abdullah Saleh, tujuan pihaknya memanggil eksekutif tadi, agar netralitas pegawai negeri sipil terjaga, menyusul berlangsungnya Pilkada 2017 di Aceh mendatang. Karena itu, Abdulllah Saleh menegaskan, PNS yang dipanggil itu bukan karena ikut Abu Doto saja. Tapi, jika ada bukti kepala dinas atau PNS yang ikut agenda politik bakal calon lain, Komisi I DPRA tak akan segan memanggil, termasuk PNS yang ikut Wakil Gubernur Muzakir Manaf.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengaku, sudah menyiapkan surat pemecatan jika terbukti ada pegawai negeri sipil yang bersikap tidak netral pada pilkada serentak 2015. “Jika terbukti bersalah, maka sanksinya sudah bukan teguran atau adminitrasi saja, tapi pemberhentian dengan tidak hormat,” tegas Yuddy di Surabaya, Jawa Timur, Minggu, 29 November 2015 lalu.
Menurut dia, netralitas PNS dalam pilkada merupakan harga mati yang tak bisa ditawar. Sebagai abdi negara, PNS tidak boleh berpihak terhadap kepentingan politik tertentu.
Yuddy mengatakan, kementeriannya tidak hanya memproses aduan terkait PNS tidak netral, tapi akan menindaklanjuti jika ada temuan dalam berbagai bentuk dengan menerjunkan tim investigasi.
“Semisal ada di media sosial bahwa ada PNS tak netral, maka pasti kami tindaklanjuti kebenaran tersebut. Jadi, kami tak hanya menunggu laporan masuk,” katanya. Dia berharap PNS bekerja secara profesional jika tak ingin ditunda promosi, kenaikan pangkatnya, hingga pemberian tunjangan kinerja atau tunjangan perbaikan penghasilan (TPP). Namun, Yuddy mengakui kesulitan mendeteksi PNS tidak netral pada pilkada, karena jumlah PNS seluruh Indonesia lebih dari 4,5 juta.
“Kalau harus netral 100 persen sepertinya sangat sulit karena jumlah PNS di Indonesia yang sangat banyak. Yang pasti jika ada PNS tidak netral itu wajar, tapi saya yakin 99 persennya netral,” ujarnya.
Yuddy menekankan, sikap netral PNS di antaranya tidak boleh mendukung salah satu calon, tidak boleh menggunakan aset pemerintah, dan tidak boleh mempengaruhi. “Tidak boleh kampanye, dilarang menjadi tim sukses, bahkan menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk menggerakkan anak buahnya dalam mendukung calon tertentu sekaligus mengganggu calon lain serta menggunakan fasilitas negara,” tegas dia.
Nah, akankah praktik yang dilakukan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah dengan memboyong sejumlah pejabat di jajaran Pemerintah Aceh dengan alasan kunjungan kerja, tapi berbalut “kampanye terselumbung” ini menular hingga kabupaten/kota? Juli Saidi dari MODUS ACEH menulisnya sebagai Laporan Utama edisi 50/XIII 2016.***
Sumber: modusaceh.com
loading...
Post a Comment