AMP - Sempat lama diperdebatkan, akhirnya Aceh harus rela menerima bagi hasil minyak dan gas bumi sebesar 30 persen. Sementara 70 persen lainnya menjadi hak Jakarta alias Pemerintah Pusat. Padahal, MoU Helsinki menyebut Aceh berhak menguasai 70 persen kekayaan sumber daya alamnya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Mari kita simak satu per satu pembahasan soal bagi hasil minyak dan gas bumi sejak Mou Helsinki ditantangani oleh perwakilan Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005.
Poin 1.3.4 MoU Helsinki menyebutkan,”Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial di sekitar Aceh.”
Namun, angka itu berubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ada yang lebih besar, ada juga yang jauh lebih kecil. Pada pasal 181 UUPA yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Agustus 2006 disebutkan:
Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumberdaya alam lain, yaitu:
1. Bagian dari kehutanan sebesar 80 persen.
2. Bagian dari perikanan sebesar 80 persen.
3. Bagian dari pertambangan umum sebesar 80 persen
4. bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80 persen
5. bagian dari pertambangan minyak sebesar 15 persen.
6. bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30 tiga puluh persen.
Selain Dana Bagi Hasil, Pemerintah Aceh mendapat tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh yaitu:
a. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 55 persen
b. bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40 persen
Maka ketika Pemerintah Aceh menuntut jatah 70 persen dari hasil pertambangan minyak dan gas bumi saat penyusunan PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, Jakarta berpegang kepada UUPA yang telah sah secara hukum. Artinya, Aceh telah kecolongan saat UUPA disahkan. Poin 1.3.4 MoU Helsinki pun tak lagi menjadi rujukan.
Walhasil, dalam PP No. 23 Tahun 2015 yang diteken Presiden Jokowi pada 5 Mei 2015 Aceh hanya mendapat bagi hasil 30 persen dari minyak dan gas bumi. Memang, ada penambahan 15 persen dari pertambangan minyak. Jika dalam UUPA disebut Aceh mendapat 15 persen dari pertambangan minyak, dalam PP No. 23 Tahun 2015 menjadi 30 persen.
Berikut poin lengkap PP No. 23 Tahun 2015 terkait bagi hasil minyak dan gas bumi.
Pasal 69
Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa bagi hasil dalam pengelolaan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi adalah untuk Pemerintah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan untuk Pemerintah Aceh sebesar 30% (tiga puluh persen).
(Poin ini sesuai dengan UUPA, bahkan ada penambahan 15 persen untuk bagi hasil pertambangan minyak, tetapi tidak sesuai dengan MoU Helsinki yang menyebut 70 persen untuk Aceh)
Pasal 70
Bonus tanda tangan yang diterima oleh Pemerintah Pusat akibat penandatanganan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dibagi dua antara Pusat dan Pemerintah Aceh, masing-masing mendapat 50 persen.
Pasal 71
Bonus produksi yang diterima oleh Pemerintah sebagai hasil tercapainya target produksi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) wajib dibagi dua antara Pemerintah Pusat dan Aceh, masing-masing mendapat 50 persen.(atjehpost.com)
Mari kita simak satu per satu pembahasan soal bagi hasil minyak dan gas bumi sejak Mou Helsinki ditantangani oleh perwakilan Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005.
Poin 1.3.4 MoU Helsinki menyebutkan,”Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial di sekitar Aceh.”
Namun, angka itu berubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ada yang lebih besar, ada juga yang jauh lebih kecil. Pada pasal 181 UUPA yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Agustus 2006 disebutkan:
Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumberdaya alam lain, yaitu:
1. Bagian dari kehutanan sebesar 80 persen.
2. Bagian dari perikanan sebesar 80 persen.
3. Bagian dari pertambangan umum sebesar 80 persen
4. bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80 persen
5. bagian dari pertambangan minyak sebesar 15 persen.
6. bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30 tiga puluh persen.
Selain Dana Bagi Hasil, Pemerintah Aceh mendapat tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh yaitu:
a. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 55 persen
b. bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40 persen
Maka ketika Pemerintah Aceh menuntut jatah 70 persen dari hasil pertambangan minyak dan gas bumi saat penyusunan PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, Jakarta berpegang kepada UUPA yang telah sah secara hukum. Artinya, Aceh telah kecolongan saat UUPA disahkan. Poin 1.3.4 MoU Helsinki pun tak lagi menjadi rujukan.
Walhasil, dalam PP No. 23 Tahun 2015 yang diteken Presiden Jokowi pada 5 Mei 2015 Aceh hanya mendapat bagi hasil 30 persen dari minyak dan gas bumi. Memang, ada penambahan 15 persen dari pertambangan minyak. Jika dalam UUPA disebut Aceh mendapat 15 persen dari pertambangan minyak, dalam PP No. 23 Tahun 2015 menjadi 30 persen.
Berikut poin lengkap PP No. 23 Tahun 2015 terkait bagi hasil minyak dan gas bumi.
Pasal 69
Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa bagi hasil dalam pengelolaan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi adalah untuk Pemerintah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan untuk Pemerintah Aceh sebesar 30% (tiga puluh persen).
(Poin ini sesuai dengan UUPA, bahkan ada penambahan 15 persen untuk bagi hasil pertambangan minyak, tetapi tidak sesuai dengan MoU Helsinki yang menyebut 70 persen untuk Aceh)
Pasal 70
Bonus tanda tangan yang diterima oleh Pemerintah Pusat akibat penandatanganan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dibagi dua antara Pusat dan Pemerintah Aceh, masing-masing mendapat 50 persen.
Pasal 71
Bonus produksi yang diterima oleh Pemerintah sebagai hasil tercapainya target produksi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) wajib dibagi dua antara Pemerintah Pusat dan Aceh, masing-masing mendapat 50 persen.(atjehpost.com)
loading...
Post a Comment