Kelompok Abu Sayyaf |
AMP - Inspektur Jenderal Purnawirawan Benny Joshua Mamoto ingat betul peristiwa penyanderaan kapten Kapal Bonggaya 91, Ahmad Resmiadi, Maret 2005. Operasi yang berjalan berbulan-bulan itu berhasil membebaskan Ahmad dari sandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan.
Sebelumnya, 2 Anak Buah Kapal (ABK) Kapal Bonggaya Yamin Labuso dan Erikson Hutagaol, berhasil dibebaskan setelah 73 hari di dalam sekapan kelompok bersenjata.
"Tapi dua orang agen tewas dibunuh karena ketahuan sebagai penyusup. Sementara Ahmad Resmiadi dibawa ke dalam hutan," ujar Benny saat berbicang dengan Liputan6.com, Senin (4/4/2016).
Benny saat itu tergabung dalam tim terpadu pembebasan warga negara Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf, bersama TNI, BIN, BAIS, dan Polri. Perannya saat itu adalah sebagai seorang negosiator.
Kapolri Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar adalah yang memintanya turun membantu tim terpadu. Perintah dikeluarkan jelang sang jenderal berganti ke Jenderal Purnawirawan Sutanto.
Pengalamannya menginterograsi kelompok teroris menjadi bekal yang dia gunakan menghadapi kelompok ekstrimis tersebut.
"Waktu itu saya tutup perusahaan, keluarga agar jangan melayani telepon dan permintaan dari sandera. Semua kontak lempar ke saya dan saya jadi negosiator tunggal, sehingga penyandera bisa diarahkan. Jadinya tidak meneror tempat-tempat lain, sementara kita sudah siap mental," tutur mantan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) ini.
Setelah terbentuk komunikasi satu pintu, Benny mulai banyak ditelepon penyandera. Dering telepon terjadi tiap tengah malam.
"Karena jam-jam segitu mereka keluar dari persembunyian untuk mencari sinyal," jelas Benny.
Tidak hanya itu, berbekal literatur mengenai penyanderaan yang terjadi di Filipina dan juga bekal pengetahuan antropologi, Benny terus menggali informasi mengenai kelompok penyandera.
Selama bulak-balik Indonesia-Filipina itulah Benny mulai mencari literatur-literatur yang dapat membantu upaya pembebasan sandera.
"Perlu waktu tiga bulan untuk mampu membebaskan sandera, karena ini berbeda dimana wilayahnya belum diketahui, dan kekuatan penyandera itu berapa," terang Benny. Tiga bulan adalah waktu setelah sebelumnya operasi militer berjalan dalam penyelamatan sandera.
Pasang-Surut negosiasi terjadi dalam upaya pembebasan. Namun Benny optimistis bahwa sandera yang ditawan tersebut akan bebas dari cengkeraman Abu Sayyaf.
Benny mengungkapkan, kelompok Abu Sayyaf rupanya. Kelompok ini terpecah menjadi beberapa sel.
"Faksinya banyak, mereka nyari duit, butuh, dan mereka lakukan. Dari dulu mereka cari duit begitu," jelas Benny.
Benny berharap pemberitaan tidak terus menekan pemerintah terkait pembebasan sandera. "Karena ini masalahnya kompleks. Perlu proses, perlu waktu, ekspektasi masyarakat jangan berlebihan," terang Benny.
10 September 2005, Ahmad Resmiadi dibebaskan para penyandera. Lusa kemudian dia diserahkan ke Kementerian Luar Negeri dan selanjutnya ke Kementeriah Politik Hukum dan HAM. Selanjutnya, dia dikembalikan ke pihak keluarga yang telah menantinya.
"Tanpa luka," Benny menandaskan.[liputan6.com]
Sebelumnya, 2 Anak Buah Kapal (ABK) Kapal Bonggaya Yamin Labuso dan Erikson Hutagaol, berhasil dibebaskan setelah 73 hari di dalam sekapan kelompok bersenjata.
"Tapi dua orang agen tewas dibunuh karena ketahuan sebagai penyusup. Sementara Ahmad Resmiadi dibawa ke dalam hutan," ujar Benny saat berbicang dengan Liputan6.com, Senin (4/4/2016).
Benny saat itu tergabung dalam tim terpadu pembebasan warga negara Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf, bersama TNI, BIN, BAIS, dan Polri. Perannya saat itu adalah sebagai seorang negosiator.
Kapolri Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar adalah yang memintanya turun membantu tim terpadu. Perintah dikeluarkan jelang sang jenderal berganti ke Jenderal Purnawirawan Sutanto.
Pengalamannya menginterograsi kelompok teroris menjadi bekal yang dia gunakan menghadapi kelompok ekstrimis tersebut.
"Waktu itu saya tutup perusahaan, keluarga agar jangan melayani telepon dan permintaan dari sandera. Semua kontak lempar ke saya dan saya jadi negosiator tunggal, sehingga penyandera bisa diarahkan. Jadinya tidak meneror tempat-tempat lain, sementara kita sudah siap mental," tutur mantan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) ini.
Setelah terbentuk komunikasi satu pintu, Benny mulai banyak ditelepon penyandera. Dering telepon terjadi tiap tengah malam.
"Karena jam-jam segitu mereka keluar dari persembunyian untuk mencari sinyal," jelas Benny.
Tidak hanya itu, berbekal literatur mengenai penyanderaan yang terjadi di Filipina dan juga bekal pengetahuan antropologi, Benny terus menggali informasi mengenai kelompok penyandera.
Selama bulak-balik Indonesia-Filipina itulah Benny mulai mencari literatur-literatur yang dapat membantu upaya pembebasan sandera.
"Perlu waktu tiga bulan untuk mampu membebaskan sandera, karena ini berbeda dimana wilayahnya belum diketahui, dan kekuatan penyandera itu berapa," terang Benny. Tiga bulan adalah waktu setelah sebelumnya operasi militer berjalan dalam penyelamatan sandera.
Pasang-Surut negosiasi terjadi dalam upaya pembebasan. Namun Benny optimistis bahwa sandera yang ditawan tersebut akan bebas dari cengkeraman Abu Sayyaf.
Benny mengungkapkan, kelompok Abu Sayyaf rupanya. Kelompok ini terpecah menjadi beberapa sel.
"Faksinya banyak, mereka nyari duit, butuh, dan mereka lakukan. Dari dulu mereka cari duit begitu," jelas Benny.
Benny berharap pemberitaan tidak terus menekan pemerintah terkait pembebasan sandera. "Karena ini masalahnya kompleks. Perlu proses, perlu waktu, ekspektasi masyarakat jangan berlebihan," terang Benny.
10 September 2005, Ahmad Resmiadi dibebaskan para penyandera. Lusa kemudian dia diserahkan ke Kementerian Luar Negeri dan selanjutnya ke Kementeriah Politik Hukum dan HAM. Selanjutnya, dia dikembalikan ke pihak keluarga yang telah menantinya.
"Tanpa luka," Benny menandaskan.[liputan6.com]
loading...
Post a Comment