AMP - Militer Filipina mengirimkan pasukan dari dua batalion tempur ke Pulau Basilan pada Sabtu (9/4) menjelang pukul delapan waktu setempat. Itu sehari lewat tenggat pembayaran uang tebusan yang diminta kelompok teroris Abu Sayyaf (ASG) atas 10 warga Indonesia yang menjadi sanderanya.
Namun, pasukan yang terlibat dalam palagan, yang berlangsung selama hampir 10 jam, belum sanggup menjangkau lokasi para tawanan. Pasalnya, kubu lawan kadung menyergap.
"Pasukan pendahulu di depan kami terkena ranjau darat. Setelah itu, tiba-tiba tembakan terdengar dari mana-mana," ujar seorang anggota pasukan. Dalam pertempuran jarak dekat tersebut, yang "hanya berjarak 10 meter", 18 orang dari pihak tentara Filipina dan lima orang dari kelompok Abu Sayyaf tewas. Sebanyak 56 tentara dan 20 militan juga diperkirakan terluka.
Menurut laman South China Morning Post, serangan militer itu membidik Isnilon Hapilon, komandan Abu Sayyaf. Sang target telah menyatakan sumpah setia kepada gerombolan ISIS. Ia menjadi buruan selama bertahun-tahun berkat sejumlah keterlibatan dalam serangan teroris. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat menghargai kepalanya 5 juta USD, atau sekitar Rp65,6 miliar.
Laporan yang muncul pascaserangan, Isnilon tidak terlihat dalam daftar tewas. Tapi, sang putra, Ubaida Hapilon yang justru menemui akhir hidupnya.
Kegagalan itu tidak mencerminkan besarnya dana yang telah digelontorkan pemerintah Amerika Serikat untuk program antiterorisme Filipina. Padahal, ukuran kelompok Abu Sayyaf tidak sebanding dengan militer Filipina. Dalam peta organisasi militan yang dibuat Stanford University, jumlah pejuang kelompok berideologi Salafi-Sunni itu berkisar 500 orang (Mei 2015). Angka itu lebih kecil dari 2008 (500 orang) dan 2010 (445 orang).
Untuk persenjataan sendiri, belum ada data pasti mengenai koleksi kelompok. Namun, Ali Fauzi Manzi, pengamat urusan terorisme dan mantan aktivis gerakan radikal asal Lamongan, Jawa Timur, kepada Viva.co.id mengatakan persenjataan kelompok Abu Sayyaf komplet.
"Di sana, amunisinya lebih komplet daripada teroris (di) Indonesia. RPG (rocket- propelled grenade), granat untuk antitank itu, seperti sampah di sana. Seperti mortar, apalagi hanya M-16 dan AK-47 banyak sekali, biasa di sana," ujarnya, Rabu (30/3), seraya menambahkan bahwa milisi Abu Sayyaf sudah biasa menghadapi tentara Filipina.
Ali Fauzi, adik pelaku Bom Bali 2002 Amrozi, Ali Gufran, dan Ali Imran, mengetahui detail tersebut karena pernah mengikuti pelatihan militer di Mindanao saat bergabung dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Ia pun mengaku pernah "bersentuhan dengan kelompok Abu Sayyaf pada tahun 2002 sampai 2005."
Pada 2005, pemerintah Filipina pernah mengeluarkan taksiran mengenai perlengkapan militer ASG. Dilansir Stanford, jumlah senjata yang dimiliki kelompok itu mencapai 480 pucuk. Gerombolon tersebut juga dianggap memiliki peralatan untuk melihat menembus kegelapan (night vision), sensor panas tubuh, perahu cepat, dan lain sebagainya.
Yang mengagetkan, diduga sejumlah perlengkapan itu dipasok oleh angkatan bersenjata Filipina. Hal demikian tentu mengindikasikan problem korupsi yang menggerogoti militer setempat.
Selain itu, ASG pun diduga mendapatkan senjata dari kelompok Infante--sindikat penjualan obat bius dan senjata yang pemimpinnya dibekuk pada 2003--serta dari Viktor Bout, pedagang senjata gelap internasional yang turut memasok persenjataan Al-Qaeda dan Hizbullah sebelum tertangkap pada 2008. (beritagar.id)
Namun, pasukan yang terlibat dalam palagan, yang berlangsung selama hampir 10 jam, belum sanggup menjangkau lokasi para tawanan. Pasalnya, kubu lawan kadung menyergap.
"Pasukan pendahulu di depan kami terkena ranjau darat. Setelah itu, tiba-tiba tembakan terdengar dari mana-mana," ujar seorang anggota pasukan. Dalam pertempuran jarak dekat tersebut, yang "hanya berjarak 10 meter", 18 orang dari pihak tentara Filipina dan lima orang dari kelompok Abu Sayyaf tewas. Sebanyak 56 tentara dan 20 militan juga diperkirakan terluka.
Menurut laman South China Morning Post, serangan militer itu membidik Isnilon Hapilon, komandan Abu Sayyaf. Sang target telah menyatakan sumpah setia kepada gerombolan ISIS. Ia menjadi buruan selama bertahun-tahun berkat sejumlah keterlibatan dalam serangan teroris. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat menghargai kepalanya 5 juta USD, atau sekitar Rp65,6 miliar.
Laporan yang muncul pascaserangan, Isnilon tidak terlihat dalam daftar tewas. Tapi, sang putra, Ubaida Hapilon yang justru menemui akhir hidupnya.
Kegagalan itu tidak mencerminkan besarnya dana yang telah digelontorkan pemerintah Amerika Serikat untuk program antiterorisme Filipina. Padahal, ukuran kelompok Abu Sayyaf tidak sebanding dengan militer Filipina. Dalam peta organisasi militan yang dibuat Stanford University, jumlah pejuang kelompok berideologi Salafi-Sunni itu berkisar 500 orang (Mei 2015). Angka itu lebih kecil dari 2008 (500 orang) dan 2010 (445 orang).
Untuk persenjataan sendiri, belum ada data pasti mengenai koleksi kelompok. Namun, Ali Fauzi Manzi, pengamat urusan terorisme dan mantan aktivis gerakan radikal asal Lamongan, Jawa Timur, kepada Viva.co.id mengatakan persenjataan kelompok Abu Sayyaf komplet.
"Di sana, amunisinya lebih komplet daripada teroris (di) Indonesia. RPG (rocket- propelled grenade), granat untuk antitank itu, seperti sampah di sana. Seperti mortar, apalagi hanya M-16 dan AK-47 banyak sekali, biasa di sana," ujarnya, Rabu (30/3), seraya menambahkan bahwa milisi Abu Sayyaf sudah biasa menghadapi tentara Filipina.
Ali Fauzi, adik pelaku Bom Bali 2002 Amrozi, Ali Gufran, dan Ali Imran, mengetahui detail tersebut karena pernah mengikuti pelatihan militer di Mindanao saat bergabung dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Ia pun mengaku pernah "bersentuhan dengan kelompok Abu Sayyaf pada tahun 2002 sampai 2005."
Pada 2005, pemerintah Filipina pernah mengeluarkan taksiran mengenai perlengkapan militer ASG. Dilansir Stanford, jumlah senjata yang dimiliki kelompok itu mencapai 480 pucuk. Gerombolon tersebut juga dianggap memiliki peralatan untuk melihat menembus kegelapan (night vision), sensor panas tubuh, perahu cepat, dan lain sebagainya.
Yang mengagetkan, diduga sejumlah perlengkapan itu dipasok oleh angkatan bersenjata Filipina. Hal demikian tentu mengindikasikan problem korupsi yang menggerogoti militer setempat.
Selain itu, ASG pun diduga mendapatkan senjata dari kelompok Infante--sindikat penjualan obat bius dan senjata yang pemimpinnya dibekuk pada 2003--serta dari Viktor Bout, pedagang senjata gelap internasional yang turut memasok persenjataan Al-Qaeda dan Hizbullah sebelum tertangkap pada 2008. (beritagar.id)
loading...
Post a Comment