AMP - Negara adalah pihak yang terlibat langsung dalam kasus pembantaian terhadap Teungku Bantaqiyah yang merupakan pimpinan sebuah dayah kecil di Beutong Ateuh, Aceh Barat, pada 23 Juli 1999. Dalam sebuah wawancara yang dilansir oleh Berpolitik.com pada 4 November 1999, dan kemudian dikutip oleh Otto Syamsuddin Ishak dalam pengantar buku Matinya Bantaqiyah, terbitan Cordova, Mayjend TNI-AD A. Rahman Gaffar mengatakan, sesuai dengan laporan intelijen bahwa pada Juni 1999, orang-orang Bantaqiyah telah membunuh sembilan serdadu RI, menjelang pemilu 1999.
Kemudian, Rahman Gaffar juga menyebutkan bila Bantaqiyah menyebarkan aliran sesat, terlibat jual beli senjata, terlibat menanam dan memperjualbelikan ganja dan sebelumnya ia pernah dihukum 20 tahun penjara.
Kolonel TNI-AD, Syarifuddin Tippe yang kala itu sebagai Komandan Korem 013/Teuku Umar, mengatakan, aksi pembantaian terhadap Bantaqiyah diawali dengan adanya kontak tembak. Opini yang penuh kebohongan ini kemudian diperkuat oleh Kapolda Aceh, Brigjen (Pol) Bahrumsyah. Ia mengatakan kontak tembak terjadi selama 10 menit serta serdadu RI menemukan berbagai jenis senjata dan peralatan, seperti: AK-56,AK-47, Colt-38,FN-45,100 butir peluru AK dan peralatan komunikasi antene Radio Ranggo, HT IC-02N; dan dua kilogram ganja kering.
Apa yang disampaikan oleh dua pimpinan serdadu tersebut dibantah oleh Tim Pencari Fakta (TPF) sebagaimana disampaikan oleh Kolonel Syahril Bakri. ” Tidak benar ada perlawanan senjata oleh Bantaqiyah. Kami menemukan fakta Bantaqiyah memang sengaja dihabisi oleh TNI,” (Lihat: Panjimas, 16 Februari 2000).
Kolonel Syafril Armen, Komandan Korem 011/Lilawangsa, Lhokseumawe membantah keterlibatan serdadu kostrad. “Setahu saya tidak ada pasukan kosrad yang dikirim.ke Aceh,” ujarnya (Gamma, 8 Agustus 1999).
Sedangkan Pangkostrad Letjend TNI-AD Agus Wirahadikusumah menyatakan: “Ya, semua yang merasa menjadi pimpinan dari prajurit saya yang mengendalikan operasi di sana (Aceh) harus bertanggung jawab, semua menurut garis komandonya. Yang jelas saya di sini sebagai penyiap kesatuan, bukan penanggungjawab operasional,”
“Saya sebagai komandan langsung dari anak buah saya meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh, khususnya keluarga korban, karena semua dilakukan oleh prajurit saya adalah dalam konteks pengabdian kepada bangsa dan negara,” ujarnya. (Bali Post, 21 Mei 2000).
Dyah Rahmany P, dalam buku Matinya Bantaqiyah, menuliskan awal dari bencana pembantaian terhadap Teungku Bantaqiyah, berawal dari surat resmi yang dikeluarkan oleh Danrem 012/Teuku Umar, Kolonel Syafnil Armen pada 15 Juli 1999, yakni Surat Telegram Rahasia (STR) Nomor: STR.232/VII/1999 tentang perintah penangkapan Teungku Bantaqiyah.
Operasi ini melibatkan kesatuan seperti kopassus, Linud 328/Dirgahayu Kostrad, Linud 100/ Prajurit Sentra, Yonif 113/Jaya Sakti, serta pasukan dari Korem 001/Lilawangsa. Operasi ini dilakukan secara matang dan sistematis. Seminggu sebelum tragedi itu terjadi, sudah dilakukan survey jalan menuju lokasi tempat tinggal Bantaqiyah. Letkol Sudjono yang memimpin tim intel, usai melakukan survey jalan juga melakukan persiapan persenjataan, perbekalan dan personil.
Hingga akhirnya pembantaian itu dilakukan, dalam hitungan detik dan tak lebih 10 menit, Bantaqiyah dan 30 santrinya tewas seketika. Serta 23 lainnya luka-luka. Serdadu melakukan pembantaian dengan berondongan senjata api dan diakhiri dengan meledakkan GLM. Tak ada perlawanan dari pihak Bantaqiyah. Mereka diberondong tatkala sedang dikumpulkan di dalam kompleks dayah.
Dalam sidang koneksitas pertama yang dipimpin oleh Ruslan Dahlan, setelah pembacaan uraian kronologi yang menewaskan Bantaqiyah dan 55 pengikutnya, JPU Nuraini A.S mendakwa 24 prajurit dan satu sipil dengan dakwaan berlapis.
Terlepas dari upaya hukum yang digelar, pengadilan koneksitas itu hanya menghadirkan kesaksian sepihak. Sehingga mengabaikan penggunaan ruang hukum secara optimal. Keluarga Bantaqiyah pun diteror agar tidak pernah memberikan kesaksian.
Walau pada akhirnya prajurit yang terlibat mendapatkan hukuman ringan, namun Letkol Sudjono dan keluarganya pun menghilang. Banyak kalangan yang menilai bahwa TNI sengaja menyembunyikan penanggung jawab lapangan itu.
Hingga saat ini, pembantaian terhadap Teungku Bantaqiyah masih dibalut misteri yang pekat. Belum ada yang mampu menjawab, kenapa Indonesia membantai lelaki berkulit hitam dan berperawakan kecil itu?(*)
Kemudian, Rahman Gaffar juga menyebutkan bila Bantaqiyah menyebarkan aliran sesat, terlibat jual beli senjata, terlibat menanam dan memperjualbelikan ganja dan sebelumnya ia pernah dihukum 20 tahun penjara.
Kolonel TNI-AD, Syarifuddin Tippe yang kala itu sebagai Komandan Korem 013/Teuku Umar, mengatakan, aksi pembantaian terhadap Bantaqiyah diawali dengan adanya kontak tembak. Opini yang penuh kebohongan ini kemudian diperkuat oleh Kapolda Aceh, Brigjen (Pol) Bahrumsyah. Ia mengatakan kontak tembak terjadi selama 10 menit serta serdadu RI menemukan berbagai jenis senjata dan peralatan, seperti: AK-56,AK-47, Colt-38,FN-45,100 butir peluru AK dan peralatan komunikasi antene Radio Ranggo, HT IC-02N; dan dua kilogram ganja kering.
Apa yang disampaikan oleh dua pimpinan serdadu tersebut dibantah oleh Tim Pencari Fakta (TPF) sebagaimana disampaikan oleh Kolonel Syahril Bakri. ” Tidak benar ada perlawanan senjata oleh Bantaqiyah. Kami menemukan fakta Bantaqiyah memang sengaja dihabisi oleh TNI,” (Lihat: Panjimas, 16 Februari 2000).
Kolonel Syafril Armen, Komandan Korem 011/Lilawangsa, Lhokseumawe membantah keterlibatan serdadu kostrad. “Setahu saya tidak ada pasukan kosrad yang dikirim.ke Aceh,” ujarnya (Gamma, 8 Agustus 1999).
Sedangkan Pangkostrad Letjend TNI-AD Agus Wirahadikusumah menyatakan: “Ya, semua yang merasa menjadi pimpinan dari prajurit saya yang mengendalikan operasi di sana (Aceh) harus bertanggung jawab, semua menurut garis komandonya. Yang jelas saya di sini sebagai penyiap kesatuan, bukan penanggungjawab operasional,”
“Saya sebagai komandan langsung dari anak buah saya meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh, khususnya keluarga korban, karena semua dilakukan oleh prajurit saya adalah dalam konteks pengabdian kepada bangsa dan negara,” ujarnya. (Bali Post, 21 Mei 2000).
Dyah Rahmany P, dalam buku Matinya Bantaqiyah, menuliskan awal dari bencana pembantaian terhadap Teungku Bantaqiyah, berawal dari surat resmi yang dikeluarkan oleh Danrem 012/Teuku Umar, Kolonel Syafnil Armen pada 15 Juli 1999, yakni Surat Telegram Rahasia (STR) Nomor: STR.232/VII/1999 tentang perintah penangkapan Teungku Bantaqiyah.
Operasi ini melibatkan kesatuan seperti kopassus, Linud 328/Dirgahayu Kostrad, Linud 100/ Prajurit Sentra, Yonif 113/Jaya Sakti, serta pasukan dari Korem 001/Lilawangsa. Operasi ini dilakukan secara matang dan sistematis. Seminggu sebelum tragedi itu terjadi, sudah dilakukan survey jalan menuju lokasi tempat tinggal Bantaqiyah. Letkol Sudjono yang memimpin tim intel, usai melakukan survey jalan juga melakukan persiapan persenjataan, perbekalan dan personil.
Hingga akhirnya pembantaian itu dilakukan, dalam hitungan detik dan tak lebih 10 menit, Bantaqiyah dan 30 santrinya tewas seketika. Serta 23 lainnya luka-luka. Serdadu melakukan pembantaian dengan berondongan senjata api dan diakhiri dengan meledakkan GLM. Tak ada perlawanan dari pihak Bantaqiyah. Mereka diberondong tatkala sedang dikumpulkan di dalam kompleks dayah.
Dalam sidang koneksitas pertama yang dipimpin oleh Ruslan Dahlan, setelah pembacaan uraian kronologi yang menewaskan Bantaqiyah dan 55 pengikutnya, JPU Nuraini A.S mendakwa 24 prajurit dan satu sipil dengan dakwaan berlapis.
Terlepas dari upaya hukum yang digelar, pengadilan koneksitas itu hanya menghadirkan kesaksian sepihak. Sehingga mengabaikan penggunaan ruang hukum secara optimal. Keluarga Bantaqiyah pun diteror agar tidak pernah memberikan kesaksian.
Walau pada akhirnya prajurit yang terlibat mendapatkan hukuman ringan, namun Letkol Sudjono dan keluarganya pun menghilang. Banyak kalangan yang menilai bahwa TNI sengaja menyembunyikan penanggung jawab lapangan itu.
Hingga saat ini, pembantaian terhadap Teungku Bantaqiyah masih dibalut misteri yang pekat. Belum ada yang mampu menjawab, kenapa Indonesia membantai lelaki berkulit hitam dan berperawakan kecil itu?(*)
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment