Lambang Kerajaan Samudera Pasai |
AMP - Keberasalan orang Melayu dan bahasa Melayu masih terus dibincangkan para ahli, sekalipun secara garis besar, mereka telah mencapai beberapa kesimpulan. Antara lain, dikarenakan kawasan selatan Sumatra (Jambi-Palembang) sampai dengan waktu ini merupakan kawasan yang terbanyak memiliki prasasti-prasasti dalam bahasa Melayu kuno, maka para ahli masih pada kesimpulan bahwa bahasa Melayu berasal dari sana.
Keberasalan bahasa Melayu ini juga dikaitkan dengan sebuah kerajaan bercorak Buddhisme yang pernah muncul di kawasan selatan Sumatera, yakni Kerajaan Sriwijaya. Sebab itu, mereka juga berkesimpulan bahwa prasasti-prasasti bahasa Melayu kuno yang dijumpai di kawasan selatan Sumatera berasal dari masa sebelum kemunculan kerajaan-kerajaan Islam.
Sementara mengenai prasasti tertua dalam bahasa Melayu kuno yang dibuat dalam zaman Islam dan masih menggunakan aksara Sumatra kuno, para ahli sepakat menunjuk prasasti pada satu batu nisan yang berada di Gampong Menye Tujoeh, Kecamatan Pirak Timur, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Nisan tersebut adalah nisan makam seorang ratu yang namanya disebutkan pada inskripsi berbahasa Arab. Beberapa ahli telah membacanya, namun menyangkut nama orang yang dimakamkan, mereka menghasilkan bacaan yang berbeda satu sama lain: Nurul A’la, Nurul ‘Aqla, Nurul Ilah, Wabisah. Saya sendiri membacanya: Danir atau Dannir. Inskripsi berbahasa Arab itu juga memuat tarikh wafat pada hari Jum’at 7 (9?) Dzulhijjah 791 Hijriah (26 November 1389 Masehi).
Sementara prasasti berbahasa Melayu kuno yang terdapat pada nisan bagian kaki makam telah dibincangkan oleh para ahli semisal J. G. de Casparis, W. F. Stutterheim, Morisson, dan yang paling mutakhir telah dibaca dan dibahas oleh Willem van der Molen dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (2008).
Pada prasasti berbahasa Melayu kuno ini juga disebutkan dua nama negeri di mana ratu ini telah dipertuan agung, yakni Pasai dan Kedah.
Seraya menolak bulat-bulat prasangka bahwa prasasti berbahasa Melayu kuno ini hadir di wilayah pesisir utara Aceh akibat ekspansi Majapahit, maka perlu dipertanyakan tentang kedudukan kedua negeri ini: Pasai dan Kedah—malah tiga negeri jika ditambahkan Jambur Ayir—sebelum masa Islam, atau dengan kata lain pada zaman mana pengaruh Kerajaan Sriwijaya di kawasan selatan Sumatera (geografi Arabo-Persia: Jaziratul Maharaj) masih mendominasi kawasan besar meliputi Pulau Sumatera dan Daratan Semenanjung Melayu sampai Indocina.
Kepustakaan geografi yang ditulis dalam bahasa Arab sejak Sulaiman At-Tajir (abad ke-3 H/ke-9 M) sampai dengan Ibnu Majid (wafat 906 H/1501 M) menyebutkan sebuah daerah bernama Jawah (Javah) dan mengacu ke wilayah pesisir utara Aceh. Ibnu Baththuthah yang memuat informasi lebih panjang tentang Sumuthrah (Samudra Pasai) dalam karyanya Tuhfah An-Nazhzhar menyebutkan dengan terang, ia telah melihat “Jawah” yang hijau dari jarak setengah hari perjalanan laut.
Di sini, saya memaklumi sensitivitas orang Aceh terhadap sebutan “Jawa”, tapi toponimi semisal Krueng Jawa dan Rayeuk Jawa di wilayah pedalaman Krueng Pase, menurut sumber sangat terpercaya, sudah dikenal paling tidak sejak sebelum 100 tahun silam—tokoh yang kami wawancarai untuk keterangan ini pada waktu itu (2010) telah berusia sekira 80 tahun dan ia menuturkan tentang toponimi yang sudah didengar sejak masa kakeknya yang bernama Panglima Si Kleing dari Meuraksa, Lhokseumawe. Maknanya, sensitivitas saya dan Anda tidak dapat menggugurkan kenyataan.
Mohon bersabar sejenak sebab belum tentu semuanya seperti yang kita duga selama ini, dan jangan sampai gara-gara sensitivitas yang tidak sepenuhnya beralasan itu kita akhirnya melepaskan sesuatu yang hakikatnya kita miliki. Menurut Anda yang sensitif, dari mana datangnya istilah Jawi(جاوي) atau Al-Jawi (الجاوي) itu sendiri? Jawiy merupakan sebuah nisbah yang sejak abad ke-16 sudah mulai ditabalkan untuk penghuni kepulauan bawah angin di India Belakang, dan Al-Jawiyyah menjadi nama sebuah bahasa yang merupakan muasal dari Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu hari ini.
Ibnu Baththuthah dalam karyanya menyebut Jawah dan Mul Jawah. Jawah, dalam catatan tahun 746 Hijriah (1346 Masehi) yang ditulis Ibnu Baththuthah, adalah wilayah di mana dijumpai sebuah kota yang besar, indah dan dikelilingi benteng serta menara-menara penjagaan yang terbuat dari kayu. Sultannya seorang Muslim pengikut mazhab Al-Imam Al-A’zham Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy—Radhiyya-Llahu ‘anhu. Sedangkan Mul Jawah adalah sebuah negeri kafir.
Sebelum Ibnu Baththuthah, Marco Polo dalam laporannya juga telah menyebutkan Jawa Minor yang nama negeri-negerinya antara lain Samara.
Maka tentang wilayah pesisir utara Aceh yang disebut dengan Jawah (Javah) dalam kepustakaan geografi Arab adalah sesuatu yang tidak saya ragukan lagi. Pelacakan bukti-bukti untuk adanya daerah inti dari wilayah yang disebut dengan Jawah ini juga masih dilakukan. Daerah aliran Krueng Jawa dan Rayek Jawa di Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, adalah di antara daerah-daerah yang sangat dinanti-nantikan dapat menyajikan informasi-informasi berguna menyangkut persoalan keberasalan Jawiy atau Al-Jawiy ini.
CISAH Lhokseumawe, pada 2011, telah melakukan ekspedisi besar-besaran di daerah pedalaman yang berjarak kurang lebih 20 km di selatan Lhokseumawe. Selain temuan-temuan dari masa Islam, CISAH juga menemukan petunjuk-petunjuk yang menyemangatkan mengenai kehidupan masa sebelumnya.
Sesuatu yang sudah ditemukan pula lewat inskripsi pada batu nisan adalah nama negeri-negeri kuno yang diyakini sudah ada sebelum Islam, yakni Pasai di wilayah Krueng Pase, Kedah di wilayah Krueng Keureuto dan Pirak, serta Jambur Ayir di wilayah Krueng Jamboe Aye. Dari ketiga wilayah ini, Kedah atau wilayah Krueng Keureuto merupakan wilayah yang berada di bagian paling tengah.
Pada 2012, CISAH telah melancarkan ekspedisi yang menghabiskan biaya besar untuk menjelajah kawasan Paya Bakoeng dan sebagian Pirak Timur selama dua bulan lamanya. Dari ekspedisi yang didukung Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara itu, CISAH membawa pulang berbagai informasi yang mengejutkan. Siapa sangka jika daerah di pedalaman Keureuto yang merupakan daerah paling belakang di Aceh Utara dan bertapal batas dengan rimba tengah Aceh itu merupakan pusat permukiman yang sangat padat, dan layak untuk disebut sebagai sebuah kenegerian atau kerajaan?!
Ratusan kompleks makam tersebar di sepanjang bantaran aliran sungai Krueng Keureuto dan Pirak begitu pula di tepi alur-alur air kuno. Pecahan gerabah dan keramik yang ditemukan di daerah itu, menurut Arkeolog Dedy Satria, juga menunjukkan kelas kehidupan mereka yang mewah, dan telah mampu mengimpor barang-barang mewah sejak abad ke-15 M. Ukuran dan bentuk nisan pada beberapa kompleks makam juga mengesankan adanya satu wilayah politis yang kuat dari sejak sebelum Islam datang.
Dari sumber masyarakat setempat, CISAH pada akhirnya menemukan sebuah kejelasan yang terpercaya bahwa yang dimaksud dengan Kedah pada prasasti Melayu kuno dan Arab di Meunye Tujoeh—yang juga disebut dalam sebuah sumber sekunder—ialah wilayah tengah dari aliran sungai Krueng Keureuto dan Pirak, dan sama sekali bukan Kedah di semenanjung Melayu.
Baca Selanjutnya
loading...
Post a Comment