Ilustrasi |
Oleh: Ishalyadi
TERLEPAS dari ketentuan Allah SWT terhadap makhluknya, kejadian yang menimpa keluarga Muslem Puteh, warga Gampong Lambatee, Kecamatan Darul Makmur, Aceh Besar, menyisakan kesedihan mendalam. Baik bagi keluarga maupun masyarakat ramai. Meninggalnya Suriyani, beserta bayi, dalam proses persalinan disebabkan oleh birokrasi yang tidak tertata dengan baik.
Salah satunya adalah penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di rumah sakit. Kejadian ini adalah salah satu kejadian yang terekspose ke media dari sekian banyaknya kejadian yang menimpa pasien di rumah sakit. Seperti kejadian salah diagnosa, sehingga menyebabkan meninggalnya pasien; tertinggalnya kain kassa di dalam perut pascaoperasi, dan berbagai kejadian lain, yang tidak terekposes--bahkan banyak yang ditutup-tutupi--ke publik.
Kejadian seperti ini menjadi mimpi paling menakutkan bagi masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap hak-hak sebagai pasien dan hilang rasa tanggung jawab rumah sakit. Pasien dan keluarga pasien dipaksa menerima segala tindakan salah yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan.
Kejadian yang menimpa Suriyani beserta bayinya merupakan salah satu indikator tidak adanya komitmen pihak Rumah Sakit Ibu dan Anak terhadap penerapan Patient Safety (keselamatan pasien) di rumah sakit, sesuai tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Pada pasal 1 ayat 1 dikatakan, “keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan risiko dan mencegah cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil”.
Kalimat “tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil” dalam pasal 1 ayat 1 sangatlah cocok dengan pengakuan Saudara Muslem, suami Suryani. Muslem mengatakan bahwa dari pukul 06.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB tidak mendapatkan penanganan khusus. Pengakuan tersebut merupakan salah satu indikasi kelalaian pihak RSIA dalam penanganan kasus Suriyani, sehingga menyebabkan ibu dan anaknya itu meninggal dunia. Keselamatan dan kesehatan di rumah sakit itu tidak berjalan semestinya.
Konsep dasar keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit adalah upaya terpadu seluruh pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit, untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja yang sehat, aman dan nyaman. Baik bagi pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar rumah sakit.
Sesuai ketentuan penerapan K3 rumah sakit adalah hal yang harus dipenuhi oleh pemberi pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit pemerintah, swasta ataupun klinik kesehatan lainnya. Penerapan K3 rumah sakit terbentuk oleh adanya sumber daya manusia profesional, mampu bekerja sama dengan baik, berintegritas tinggi. Rangkaian ini akan mencapai sebuah pelayanan sempurna dalam menjamin keselamatan dan kesehatan pasien.
Konsekuensi rumah sakit yang tidak menerapkan K3 rumah sakit adalah ketidakpastian. Mereka tak punya prosedur standar dalam menangani masalah. Kejadian di RSIA yang menimpa Suriyani memang tidak menimbulkan kerusakan terhadap barang-barang, akan tetapi menimbulkan kerugian sosial yang banyak tidak didasari oleh pimpinan rumah sakit.
Citra seorang direktur dan kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan hilang begitu saja. Harusnya ini dapat dicegah. Dan kejadian seperti ini tidak hanya merugikan pasien, akan tetapi juga merugikan sektor pelayanan kesehatan secara luas.
Untuk mencegah terulang kembali kejadian yang menimpa Muslem, tentunya harus ada kerja sama lintas sektor yang kuat dalam penerapan K3 rumah sakit, di antaranya adalah peran pemerintah. Peran pemerintah sangatlah penting dalam membentuk dan mengimplementasikan penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Pemerintah memiliki peranan yang kuat dalam menyosialisasikan dan mempromosikan semua turunan aturan pemerintah pusat melalui dinas yang berkaitan langsung dengan bidang kesehatan. Pemerintah jangan hanya melakukan sidak pada saat kejadian yang merugikan orang terjadi. Akan tetapi harus memberlakukan reward dan punishment, sebagai upaya meningkatkan kinerja seluruh elemen di rumah sakit.
Peran pimpinan rumah sakit juga sangatlah vital. Sebuah kebijakan yang dibuat oleh pimpinan tentu akan mudah dijalankan oleh bawahannya. Dimulai dengan proses risk assessment, pengalokasian anggaran sampai ke tahap pelaksanaan dan evaluasi. Akan tetapi hal ini sering dianggap sebagai pemborosan anggaran sehingga banyak tidak menerapkannya dan kebijakan ini tentukannya akan lahir pada pimpinan yang memiliki tanggung jawab moral tinggi.
Peran pasien, masyarakat, dan pekerja rumah sakit untuk menjalankan K3 rumah sakit juga dominan. Sama pentingnya dengan peran lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di sektor kesehatan. Elemen ini harus mampu memberikan masukan dan kritik di bidang keselamatan dan kesehatan pasien. LSM harus mampu memberi opini terhadap perubahan kebijakan dalam penerapan kesehatan dan keselamatan pasien.
Keberanian Muslem untuk mengekspos kejadian yang menimpa keluarganya harus menjadi catatan penting bagi semua pihak dalam peningkatan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja maupun keselamatan dan kesehatan pasien di rumah sakit.
Pihak pemerintah dan manajemen RSIA harus memastikan hal ini tidak terulang kembali. Kasus ini menjadi perwakilan keluh-kesah pasien lainnya. Dan kejadian ini menjadi bahan evaluasi, karena dalam penerapan K3 rumah sakit, kasus yang terjadi merupakan salah satu landasan penting untuk penerapan K3 rumah sakit.
Dan pada akhir kata, semoga pemerintah dan pihak RSIA cerdas dalam menanggapi kasus yang menimpa pada keluarga Muslem sehingga penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dan keselamatan dan kesehatan pasien di rumah sakit berjalan sesuai dengan peraturan berlaku.
Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja/pasien di rumah sakit bukanlah semata-mata sebagai pengisap biaya dan membelenggu rumah sakit. Ini adalah penerapan peraturan di bidang keselamatan dan kesehatan pekerja/pasien, yang menjadi investasi masa depan dan penjamin mutu pelayanan.
*)Penulis adalah Alumni FKM-UTU dan Mahasiswa Magister Promosi K3 di UNDIP, Semarang.
TERLEPAS dari ketentuan Allah SWT terhadap makhluknya, kejadian yang menimpa keluarga Muslem Puteh, warga Gampong Lambatee, Kecamatan Darul Makmur, Aceh Besar, menyisakan kesedihan mendalam. Baik bagi keluarga maupun masyarakat ramai. Meninggalnya Suriyani, beserta bayi, dalam proses persalinan disebabkan oleh birokrasi yang tidak tertata dengan baik.
Salah satunya adalah penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di rumah sakit. Kejadian ini adalah salah satu kejadian yang terekspose ke media dari sekian banyaknya kejadian yang menimpa pasien di rumah sakit. Seperti kejadian salah diagnosa, sehingga menyebabkan meninggalnya pasien; tertinggalnya kain kassa di dalam perut pascaoperasi, dan berbagai kejadian lain, yang tidak terekposes--bahkan banyak yang ditutup-tutupi--ke publik.
Kejadian seperti ini menjadi mimpi paling menakutkan bagi masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap hak-hak sebagai pasien dan hilang rasa tanggung jawab rumah sakit. Pasien dan keluarga pasien dipaksa menerima segala tindakan salah yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan.
Kejadian yang menimpa Suriyani beserta bayinya merupakan salah satu indikator tidak adanya komitmen pihak Rumah Sakit Ibu dan Anak terhadap penerapan Patient Safety (keselamatan pasien) di rumah sakit, sesuai tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Pada pasal 1 ayat 1 dikatakan, “keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan risiko dan mencegah cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil”.
Kalimat “tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil” dalam pasal 1 ayat 1 sangatlah cocok dengan pengakuan Saudara Muslem, suami Suryani. Muslem mengatakan bahwa dari pukul 06.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB tidak mendapatkan penanganan khusus. Pengakuan tersebut merupakan salah satu indikasi kelalaian pihak RSIA dalam penanganan kasus Suriyani, sehingga menyebabkan ibu dan anaknya itu meninggal dunia. Keselamatan dan kesehatan di rumah sakit itu tidak berjalan semestinya.
Konsep dasar keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit adalah upaya terpadu seluruh pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit, untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja yang sehat, aman dan nyaman. Baik bagi pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar rumah sakit.
Sesuai ketentuan penerapan K3 rumah sakit adalah hal yang harus dipenuhi oleh pemberi pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit pemerintah, swasta ataupun klinik kesehatan lainnya. Penerapan K3 rumah sakit terbentuk oleh adanya sumber daya manusia profesional, mampu bekerja sama dengan baik, berintegritas tinggi. Rangkaian ini akan mencapai sebuah pelayanan sempurna dalam menjamin keselamatan dan kesehatan pasien.
Konsekuensi rumah sakit yang tidak menerapkan K3 rumah sakit adalah ketidakpastian. Mereka tak punya prosedur standar dalam menangani masalah. Kejadian di RSIA yang menimpa Suriyani memang tidak menimbulkan kerusakan terhadap barang-barang, akan tetapi menimbulkan kerugian sosial yang banyak tidak didasari oleh pimpinan rumah sakit.
Citra seorang direktur dan kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan hilang begitu saja. Harusnya ini dapat dicegah. Dan kejadian seperti ini tidak hanya merugikan pasien, akan tetapi juga merugikan sektor pelayanan kesehatan secara luas.
Untuk mencegah terulang kembali kejadian yang menimpa Muslem, tentunya harus ada kerja sama lintas sektor yang kuat dalam penerapan K3 rumah sakit, di antaranya adalah peran pemerintah. Peran pemerintah sangatlah penting dalam membentuk dan mengimplementasikan penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Pemerintah memiliki peranan yang kuat dalam menyosialisasikan dan mempromosikan semua turunan aturan pemerintah pusat melalui dinas yang berkaitan langsung dengan bidang kesehatan. Pemerintah jangan hanya melakukan sidak pada saat kejadian yang merugikan orang terjadi. Akan tetapi harus memberlakukan reward dan punishment, sebagai upaya meningkatkan kinerja seluruh elemen di rumah sakit.
Peran pimpinan rumah sakit juga sangatlah vital. Sebuah kebijakan yang dibuat oleh pimpinan tentu akan mudah dijalankan oleh bawahannya. Dimulai dengan proses risk assessment, pengalokasian anggaran sampai ke tahap pelaksanaan dan evaluasi. Akan tetapi hal ini sering dianggap sebagai pemborosan anggaran sehingga banyak tidak menerapkannya dan kebijakan ini tentukannya akan lahir pada pimpinan yang memiliki tanggung jawab moral tinggi.
Peran pasien, masyarakat, dan pekerja rumah sakit untuk menjalankan K3 rumah sakit juga dominan. Sama pentingnya dengan peran lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di sektor kesehatan. Elemen ini harus mampu memberikan masukan dan kritik di bidang keselamatan dan kesehatan pasien. LSM harus mampu memberi opini terhadap perubahan kebijakan dalam penerapan kesehatan dan keselamatan pasien.
Keberanian Muslem untuk mengekspos kejadian yang menimpa keluarganya harus menjadi catatan penting bagi semua pihak dalam peningkatan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja maupun keselamatan dan kesehatan pasien di rumah sakit.
Pihak pemerintah dan manajemen RSIA harus memastikan hal ini tidak terulang kembali. Kasus ini menjadi perwakilan keluh-kesah pasien lainnya. Dan kejadian ini menjadi bahan evaluasi, karena dalam penerapan K3 rumah sakit, kasus yang terjadi merupakan salah satu landasan penting untuk penerapan K3 rumah sakit.
Dan pada akhir kata, semoga pemerintah dan pihak RSIA cerdas dalam menanggapi kasus yang menimpa pada keluarga Muslem sehingga penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dan keselamatan dan kesehatan pasien di rumah sakit berjalan sesuai dengan peraturan berlaku.
Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja/pasien di rumah sakit bukanlah semata-mata sebagai pengisap biaya dan membelenggu rumah sakit. Ini adalah penerapan peraturan di bidang keselamatan dan kesehatan pekerja/pasien, yang menjadi investasi masa depan dan penjamin mutu pelayanan.
*)Penulis adalah Alumni FKM-UTU dan Mahasiswa Magister Promosi K3 di UNDIP, Semarang.
Dikutip dari AJNN.Net
loading...
Post a Comment