Oleh Mukhtar Syafari Husin
SANGAT terasa 11 tahun sudah terwujudnya perdamaian antara pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI di Helsinki, Finlandia. MoU Helsinki merupakan titik balik konflik puluhan tahu yang mengakibatkan kerugian besar yang belum terkira. Perjanjian damai pada 15 Agustus 2005 telah mengubah paradigma dan kehidupan masyarakat Aceh, khususnya para mantan kombatan GAM.
Para pejuang GAM yang dulunya begitu gigih menuntut kemerdekaan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kini sudah 11 tahun mengubur keinginan itu. Mereka yang dulu hidupnya tidak berkecukupan; sebungkus nasi makan bertiga, sebatang rokok dihisap bersama, nyawanya “digadaikan” demi menuntut kemerdekaan. Pasca perdamaian, mereka sudah menikmati udara bebas dan tidak lagi memanggul senjata di hutan belantara. Sebagian pejuang yang dulunya mengharap belas kasihan masyarakat untuk menyambung hidupnya. Sekarang banyak di antara mereka sedang menikmati hasil perjuangan. Ada yang menjadi pengusaha sukses, anggota legislatif, termasuk menduduki jabatan kepala pemerintah.
Aceh mendapat kucuran anggaran begitu besar sebagai konsekwensi perjanjian MoU Helsinki. Dana tersebut digunakan untuk kemakmuran rakyat Aceh, terutama membantu masyarakat miskin, mantan pejuang dan para korban konflik. Di saat semangat nasionalisme rakyat Aceh terus meningkat, kecintaan terhadap NKRI terus bersemi dalam dada mantan kombatan yang menikmati hasil perjuangan kemerdekaan Aceh dalam NKRI. Semoga gelora jiwa seperti ini tidak disia-siakan pemerintah pusat dengan melakukan wanprestasi terhadap MoU Helsinki dan tidak menepati janji manis yang disampaikan pemerintah dalam berbagai kesempatan.
Tak pernah padam
11 Tahun perdamaian Aceh telah terlewati. Sudahkah semua perjanjian itu ditepati para pihak yang berdamai? Kita khawatir poin MoU Helsinki tidak terimplementasi dengan sempurna. Kalau ini kembali terjadi, maka keinginan untuk memisahkan Aceh dari NKRI akan kembali menggema. Kita akui atau tidak, keinginan merdeka tidak akan pernah padam dalam sebagian hati rakyat Aceh.
Belakangan perjuangan untuk kemerdekaan kembali dilakukan putra Aceh yang berdomisili di luar negeri. Mereka melakukan diplomasi serta kampanye pelanggaran HAM yang pernah dilakukan alat negara di bumi Aceh. Berusaha menggugat keabsahan Aceh sebagai negara yang berdaulat dijadikan bagian RI pada 1949 yang merupakan negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sesuai hukum internasional, Belanda tidak bisa membiarkan dan menyerahkan Aceh kepada RI karena Belanda tidak pernah memiliki hak kedaulatan terhadap Aceh. Sebuah negara tidak boleh menduduki sebuah wilayah yang ada di dalam kedaulatan negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan. Seandainya izin itu didapatkan, itu hanya untuk menempati bukan untuk memiliki, jika tujuannya untuk memiliki, maka secara tidak langsung itu merupakan sebuah penjajahan tanpa peperangan.
M Arief Pranoto, peneliti Global Future Institute (GFI) menyebutkan ada perubahan pola kolonialisme di abad 21. Artinya, jika era-era sebelumnya lebih mengedepankan hard power atau simetris (penggunaan militer), maka pola dan model penjajahan abad kini kuat disinyalir berganti smart power atau asimetris (non militer). Inilah tema “penjajahan” gaya baru, meski skema permanennya tetap lestari sepanjang zaman yakni pendudukan (penguasaan) ekonomi, terutama pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di suatu wilayah/negara target. (www.theglobal-review.com, 21/1/2013). Berdasarkan analisis M Arief Pranoto, sangat memungkinkan menyebut Aceh sebagai negara jajahan dengan pola asimetri. Bahkan Indonesia sendiri tanpa disadari juga menjadi jajahan negara asing dengan pola ini ketika sebagian besar hasil alam dikuasai pihak asing.
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam pemandangan kehakimannya yang dikeluarkan pada tanggal 16 Oktober 1975, telah menyatakan menurut hukum internasional ada tiga hal bagi wilayah-wilayah yang masih terjajah untuk menjalankan hak penentuaan nasib diri-sendiri mereka, yaitu; menjadi sebuah negara merdeka yang berdaulat atau dengan bebas memilih untuk berserikat dengan negara lain yang merdeka atau dengan bebas memilih untuk memasukkan dirinya ke dalam satu negara lain yang sudah merdeka.
Klausul ‘self-determination’
Pada poin 2.1 MoU Helsinki dengan jelas tertulis klausul bahwa “Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”. Ternyata kalau kita buka isi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, disebutkan pada Pasal 1 bahwa “setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Berdasarkan hak asasi tersebut, setiap bangsa berhak untuk menentukan status politik bangsanya dan menjalankan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri dengan bebas”.
Mengomentari istilah self-determination dalam berbagai resolusi dan konvenan PBB, para pakar hukum internasional tidak memiliki perbedaan yang mendasar dalam mendefinisikan self-determination atau hak penentuan nasib sendiri. Menurut mereka, hak penentuan nasib sendiri dirumuskan: Pertama, sebagai hak dari suatu bangsa dari suatu negara untuk menentukan bentuk pemerintahannnya sendiri atau disebut juga hak penentuan nasib sendiri internal (right of internal self-determination).
Kedua, hak dari sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang merdeka atau disebut juga hak penentuan nasib sendiri eksternal (right of external self-determination) (Sidik Saputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya, 2006:192). Berdasarkan poin 2.1 MoU Helsinki, Aceh berpeluang menentukan nasib politiknya melalui jajak pendapat (plebisit) atau yang dikenal dengan istilah referendum.
Suatu harapan yang menggembirakan bagi penegakan HAM di Indonesia, setelah sekian lama status Indonesia diliputi oleh pelabelan negatif dari dunia internasional akibat pelanggaran HAM berat oleh alat negara. Tidak lama setelah penandatanganan MoU Helsinki, pada 28 Oktober 2005 pemerintah Indonesia meratifikasi (mengesahkan) dan menetapkan isi konvenan tersebut menjadi UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Tuntutan pelaksanaan referendum bukanlah hal yang tabu dalam negara demokratis. Sudah merupakan hal yang lumrah, referendum sering digelar di negara maju dan negara berkembang untuk menentukan nasib bangsanya. Sekitar 2 juta rakyat Aceh juga pernah berkumpul meminta pusat menggelar Referendum di Aceh pada 1999 yang dimotori oleh SIRA. Kalau Referendum digelar pada 2000 maka bisa dipastiakan Aceh akan lepas dari pangkuan NKRI. Namun setelah 11 tahun MoU Helsinki, sangat adil rasanya bila referendum ini digelar di tengah semangat nasionalisme rakyat Aceh yang terus meningkat.
Tidak tertutup kemungkinan, para mantan GAM yang sukses menikmati perdamaian akan mendukung dan mengerahkan kekuatan untuk memilih integrasi Aceh dalam NKRI. Pergelaran feferendum sangat penting dilakukan untuk finalisasi status Aceh, apalagi klausul ini juga tertulis secara implisit dalam MoU Helsinki sehingga diharapkan ke depan tidak lagi terjadi gugat menggugat dan disintegrasi NKRI yang bisa mengganggu stabilitas Nasional. Dirgahayu 71 tahun Republik Indonesia. Merdeka!
* Tgk. Mukhtar Syafari Husin, MA., Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat-Gerakan Intelektual Se-Aceh (DPP-GISA), alumnus Dayah MUDI dan Dosen Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga. Email: mukhtar_syafari@yahoo.com
SANGAT terasa 11 tahun sudah terwujudnya perdamaian antara pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI di Helsinki, Finlandia. MoU Helsinki merupakan titik balik konflik puluhan tahu yang mengakibatkan kerugian besar yang belum terkira. Perjanjian damai pada 15 Agustus 2005 telah mengubah paradigma dan kehidupan masyarakat Aceh, khususnya para mantan kombatan GAM.
Para pejuang GAM yang dulunya begitu gigih menuntut kemerdekaan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kini sudah 11 tahun mengubur keinginan itu. Mereka yang dulu hidupnya tidak berkecukupan; sebungkus nasi makan bertiga, sebatang rokok dihisap bersama, nyawanya “digadaikan” demi menuntut kemerdekaan. Pasca perdamaian, mereka sudah menikmati udara bebas dan tidak lagi memanggul senjata di hutan belantara. Sebagian pejuang yang dulunya mengharap belas kasihan masyarakat untuk menyambung hidupnya. Sekarang banyak di antara mereka sedang menikmati hasil perjuangan. Ada yang menjadi pengusaha sukses, anggota legislatif, termasuk menduduki jabatan kepala pemerintah.
Aceh mendapat kucuran anggaran begitu besar sebagai konsekwensi perjanjian MoU Helsinki. Dana tersebut digunakan untuk kemakmuran rakyat Aceh, terutama membantu masyarakat miskin, mantan pejuang dan para korban konflik. Di saat semangat nasionalisme rakyat Aceh terus meningkat, kecintaan terhadap NKRI terus bersemi dalam dada mantan kombatan yang menikmati hasil perjuangan kemerdekaan Aceh dalam NKRI. Semoga gelora jiwa seperti ini tidak disia-siakan pemerintah pusat dengan melakukan wanprestasi terhadap MoU Helsinki dan tidak menepati janji manis yang disampaikan pemerintah dalam berbagai kesempatan.
Tak pernah padam
11 Tahun perdamaian Aceh telah terlewati. Sudahkah semua perjanjian itu ditepati para pihak yang berdamai? Kita khawatir poin MoU Helsinki tidak terimplementasi dengan sempurna. Kalau ini kembali terjadi, maka keinginan untuk memisahkan Aceh dari NKRI akan kembali menggema. Kita akui atau tidak, keinginan merdeka tidak akan pernah padam dalam sebagian hati rakyat Aceh.
Belakangan perjuangan untuk kemerdekaan kembali dilakukan putra Aceh yang berdomisili di luar negeri. Mereka melakukan diplomasi serta kampanye pelanggaran HAM yang pernah dilakukan alat negara di bumi Aceh. Berusaha menggugat keabsahan Aceh sebagai negara yang berdaulat dijadikan bagian RI pada 1949 yang merupakan negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sesuai hukum internasional, Belanda tidak bisa membiarkan dan menyerahkan Aceh kepada RI karena Belanda tidak pernah memiliki hak kedaulatan terhadap Aceh. Sebuah negara tidak boleh menduduki sebuah wilayah yang ada di dalam kedaulatan negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan. Seandainya izin itu didapatkan, itu hanya untuk menempati bukan untuk memiliki, jika tujuannya untuk memiliki, maka secara tidak langsung itu merupakan sebuah penjajahan tanpa peperangan.
M Arief Pranoto, peneliti Global Future Institute (GFI) menyebutkan ada perubahan pola kolonialisme di abad 21. Artinya, jika era-era sebelumnya lebih mengedepankan hard power atau simetris (penggunaan militer), maka pola dan model penjajahan abad kini kuat disinyalir berganti smart power atau asimetris (non militer). Inilah tema “penjajahan” gaya baru, meski skema permanennya tetap lestari sepanjang zaman yakni pendudukan (penguasaan) ekonomi, terutama pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di suatu wilayah/negara target. (www.theglobal-review.com, 21/1/2013). Berdasarkan analisis M Arief Pranoto, sangat memungkinkan menyebut Aceh sebagai negara jajahan dengan pola asimetri. Bahkan Indonesia sendiri tanpa disadari juga menjadi jajahan negara asing dengan pola ini ketika sebagian besar hasil alam dikuasai pihak asing.
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam pemandangan kehakimannya yang dikeluarkan pada tanggal 16 Oktober 1975, telah menyatakan menurut hukum internasional ada tiga hal bagi wilayah-wilayah yang masih terjajah untuk menjalankan hak penentuaan nasib diri-sendiri mereka, yaitu; menjadi sebuah negara merdeka yang berdaulat atau dengan bebas memilih untuk berserikat dengan negara lain yang merdeka atau dengan bebas memilih untuk memasukkan dirinya ke dalam satu negara lain yang sudah merdeka.
Klausul ‘self-determination’
Pada poin 2.1 MoU Helsinki dengan jelas tertulis klausul bahwa “Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”. Ternyata kalau kita buka isi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, disebutkan pada Pasal 1 bahwa “setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Berdasarkan hak asasi tersebut, setiap bangsa berhak untuk menentukan status politik bangsanya dan menjalankan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri dengan bebas”.
Mengomentari istilah self-determination dalam berbagai resolusi dan konvenan PBB, para pakar hukum internasional tidak memiliki perbedaan yang mendasar dalam mendefinisikan self-determination atau hak penentuan nasib sendiri. Menurut mereka, hak penentuan nasib sendiri dirumuskan: Pertama, sebagai hak dari suatu bangsa dari suatu negara untuk menentukan bentuk pemerintahannnya sendiri atau disebut juga hak penentuan nasib sendiri internal (right of internal self-determination).
Kedua, hak dari sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang merdeka atau disebut juga hak penentuan nasib sendiri eksternal (right of external self-determination) (Sidik Saputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya, 2006:192). Berdasarkan poin 2.1 MoU Helsinki, Aceh berpeluang menentukan nasib politiknya melalui jajak pendapat (plebisit) atau yang dikenal dengan istilah referendum.
Suatu harapan yang menggembirakan bagi penegakan HAM di Indonesia, setelah sekian lama status Indonesia diliputi oleh pelabelan negatif dari dunia internasional akibat pelanggaran HAM berat oleh alat negara. Tidak lama setelah penandatanganan MoU Helsinki, pada 28 Oktober 2005 pemerintah Indonesia meratifikasi (mengesahkan) dan menetapkan isi konvenan tersebut menjadi UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Tuntutan pelaksanaan referendum bukanlah hal yang tabu dalam negara demokratis. Sudah merupakan hal yang lumrah, referendum sering digelar di negara maju dan negara berkembang untuk menentukan nasib bangsanya. Sekitar 2 juta rakyat Aceh juga pernah berkumpul meminta pusat menggelar Referendum di Aceh pada 1999 yang dimotori oleh SIRA. Kalau Referendum digelar pada 2000 maka bisa dipastiakan Aceh akan lepas dari pangkuan NKRI. Namun setelah 11 tahun MoU Helsinki, sangat adil rasanya bila referendum ini digelar di tengah semangat nasionalisme rakyat Aceh yang terus meningkat.
Tidak tertutup kemungkinan, para mantan GAM yang sukses menikmati perdamaian akan mendukung dan mengerahkan kekuatan untuk memilih integrasi Aceh dalam NKRI. Pergelaran feferendum sangat penting dilakukan untuk finalisasi status Aceh, apalagi klausul ini juga tertulis secara implisit dalam MoU Helsinki sehingga diharapkan ke depan tidak lagi terjadi gugat menggugat dan disintegrasi NKRI yang bisa mengganggu stabilitas Nasional. Dirgahayu 71 tahun Republik Indonesia. Merdeka!
* Tgk. Mukhtar Syafari Husin, MA., Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat-Gerakan Intelektual Se-Aceh (DPP-GISA), alumnus Dayah MUDI dan Dosen Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga. Email: mukhtar_syafari@yahoo.com
Sumber: Serambinews.com
loading...
Post a Comment