Oleh Aryos Nivada
MEMBACA peta politik pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 tidak bisa dilepaskan dari aktor-aktor yang berpartisipasi meramaikan bursa pencalonan. Beberapa kandidat sebagaimana diberitakan media, disebut-sebut akan maju sebagai calon Gubernur Aceh periode mendatang. Mereka antara lain adalah Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, Zakaria Saman, dan Tarmizi Karim. Semua kandidat ini berpeluang menjadi orang nomor satu di Aceh, namun kans yang lebih besar memenangkan Pilkada 2017 sepertinya ada pada dua kandidat, yaitu Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf.
Hasil survei Jaringan Survey Inisiatif untuk tiga wilayah (Banda Aceh, Bireuen, dan Lhokseumawe) menempatkan posisi Irwandi Yusuf di urutan pertama (67,66%), diikuti Muzakir Manaf (8,3%), Ahmad Farhan Hamid (4%), Tgk Nasruddin Bin Ahmad (3,5%), Sulaiman Abda (3,33%), Zaini Abdullah (1,5%), dan Zakaria Saman (1,33%). Sedangkan hasil Aceh Research Consulting (ARC) posisi Irwandi Yusuf untuk wilayah pantai Barat-Selatan menempati posisi teratas sebesar 45,17% dan Muzakir Manaf (24,24%).
Kemenangan seseorang tidak dapat diukur dengan hasil sebuah survei. Banyak faktor yang menentukan kemenangan para petarung pada Pilkada 2017 di Aceh. Strategi politik seseorang dapat mengubah hasil survei, ketika desain strateginya mampu mempengaruhi pemilih di Aceh. Dengan demikian kemenangan dapat diraih manakala kecerdasan, kecerdikan, dan kelihaian dimiliki personal dan tim pemenangannya pada Pilkada 2017.
Di sinilah saya mengamati dan menilai strategi politik Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem, dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Partai Aceh, lebih menerapkan strategi bertahan (survival strategy) serta mengedepankan strategi gain what we want from the enemy (mendapatkan apa yang kita inginkan dari lawan). Di sinilah tulisan ingin mengkhususkan untuk membaca bentuk-bentuk kedua strategi politik tersebut dari Muzakir Manaf.
Strategi bertahan
Siapa tidak mengenal Muzakir Manaf mantan panglima eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini menjadi Ketua Partai Aceh (PA) dan Wakil Gubernur Aceh. Dirinya mendeklarasikan maju sebagai calon gubernur 2017-2022. Partai yang mendukung pencalonan dirinya antara lain PA, Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, serta PKS karena relasi Koalisi Merah Putih (KMP).
Caranya ini bagian dari strategi PA guna berafiliasi secara politik dengan partai nasional (parnas). PA menyadari bahwa dukungan rakyat makin melemah karena faktor kinerja dan janji politik pilkada lalu, yang tidak direalisasikan untuk konstituen (rakyat Aceh) oleh pasangan Zikir (Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf) yang sekarang memimpin Aceh.
Mereka parnas yang bergabung di kubu Mualem nantinya akan menentukan siapa yang diusung menjadi pendamping Mualem.
Dukungan dari parnas mampu menambah dukungan suara bagi Mualem, karena parnas memiliki basis pemilih/konstituen yang loyal dan fanatik. Akan tetapi dalam logika pemilih di Aceh bisa tidak dilihat partai, namun dilihat personal orangnya yang maju di Pilkada 2017 nantinya.
Harus difahami ketika Mualem sudah menyatakan wakilnya dari kalangan Parnas, tetapi terjadi penolakan di internal PA maka berpotensi parnas akan mencabut mandat dukungan terhadap Mualem bilamana tetap berkeras Wagubnya dari kader partai atau elite PA sendiri. Dampak sistemik lainnya makin membuat PA menjadi semakin tidak solid dan terpecah. Para elite Aceh akan beralih mendukung kandidat lainnya bila terjadi perpecahan di elite PA.
Upaya konsolidasi dan pengkondisian tim Mualem belum final, karena masih bisa dipengaruhi dewan pimpinan pusat (DPP) dari masing-masing partai tersebut. Sudah menjadi ketentuan baku bahwa urusan pencalonan gubernur/wakil gubernur harus diputuskan oleh DPP. Bisa juga dipengaruhi konsensus berupa kekuasaan dan anggaran dalam mengubah arah dukungan politik.
Langkah dari Mualem melakukan pertemuan siraturahmi dengan mantan GAM eks Libya, PA, dan Komite Peralihan Aceh (KPA) di Hotel Lido Graha. Tujuannya hanya melakukan konsolidasi semata saja sekaligus menyusun langkah tim pemenangan. Kita pahami bahwa PA dan KPA mampu menjadi mesin politik yang masif. Strategi lainnya Mualem mencoba bersinergis dengan para akademisi guna mendukung dirinya di pencalonan gubernur mendatang.
Hal lainnya lagi Mualem membentuk gerakan Rakan Mualem Perekat Perjuangan. Tujuan untuk membangun dukungan, simpati dan empati untuk Mualem menjadi gubernur mendatang. Di kalangan tim Mualem tidak luput menggalang dukungan dari para ulama dengan janji akan memberikan dana bagi dayah yang dipimpin ulama serta tokoh-tokoh sentral di level gampong dengan janji pemberian dana desa (gampong).
Kemampuan finansial
Secara kemampuan finansial Mualem berpeluang sekali mendapatkan dana dari donatur plus selama menjabat sebagai Wagub Aceh, tentunya sudah mengumpulkan finansial guna mendukung kebutuhan kerja-kerja pemenangan. Bacaan lainnya dari strategi Mualem adalah seputar isu hak asasi manusia (HAM) berupa pemberian hak-hak korban konflik melalui dana reintegrasi, penegakan syariat Islam, isu kegagalan pemerintahan karena dirinya tidak memimpin sebagai orang nomor satu terkesanmembangun opini publik, terakhir isu nasionalisme keacehan.
Pemanfaatan sumber daya underbow Partai Aceh sudah pasti menjadi bagian dari strategi politik. Hampir semua underbow PA sudah terbentuk dan mampu digerakan mempengaruhi di grass root. Penggunaan media dengan membuat media sendiri sudah dilakukan Mualem untuk membuat pencitraan.
Perilaku memilih masyarakat Aceh masih sangat dipengaruhi oleh janji-janji kampanye yang disampaikan para kandidat, sehingga bisa dipahami jika kemudian tim pemenangan Mualem maupun PA memanfaatkan kecenderungan ini dengan mengemas sejumlah isu ke dalam janji politik Mualem. Belum lagi bahasa membangkit emosional, seperti: Meunyoe kon ie leuhop, meunyoe kon droe mandum gob (Kalau bukan air tentu lumpur, kalau bukan kita tentu orang lain). Dimungkinkan akan ada bahasa-bahasa penggugah emosional lainnya untuk mempengaruhi masyarakat Aceh.
Demikian pula emosi masyarakat dibangkitkan dengan memunculkan isu identitas, seperti penggunaan bendera dan laambang serta isu bahwa Pemerintah Pusat tidak memberikan merealisasikan butir MoU Helsinki maupun RPP dan Perpres. Lagi-lagi pola memainkan emosional masyarakat Aceh dilakukan agar simpatik dan empatik mengalir deras kepada Mualem.
Mengakhiri tulisan ini, penulis berpendapat bahwa strategi apa pun yang dibuat dan dijalankan Mualem akan sangat ditentukan dari sikap politik masyarakat Aceh dalam memberikan hak suaranya. Masyarakat Aceh sudah mulai berani bersikap dan cerdas memahami keadaan yang dirasakan. Sehingga melahirkan sikap dalam memberikan pilihan politik di Pilkada 2017 nantinya. Nah!
* Aryos Nivada, Pengamat politik dan keamanan Aceh. Email: aryos@acehinstitute.org
MEMBACA peta politik pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 tidak bisa dilepaskan dari aktor-aktor yang berpartisipasi meramaikan bursa pencalonan. Beberapa kandidat sebagaimana diberitakan media, disebut-sebut akan maju sebagai calon Gubernur Aceh periode mendatang. Mereka antara lain adalah Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, Zakaria Saman, dan Tarmizi Karim. Semua kandidat ini berpeluang menjadi orang nomor satu di Aceh, namun kans yang lebih besar memenangkan Pilkada 2017 sepertinya ada pada dua kandidat, yaitu Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf.
Hasil survei Jaringan Survey Inisiatif untuk tiga wilayah (Banda Aceh, Bireuen, dan Lhokseumawe) menempatkan posisi Irwandi Yusuf di urutan pertama (67,66%), diikuti Muzakir Manaf (8,3%), Ahmad Farhan Hamid (4%), Tgk Nasruddin Bin Ahmad (3,5%), Sulaiman Abda (3,33%), Zaini Abdullah (1,5%), dan Zakaria Saman (1,33%). Sedangkan hasil Aceh Research Consulting (ARC) posisi Irwandi Yusuf untuk wilayah pantai Barat-Selatan menempati posisi teratas sebesar 45,17% dan Muzakir Manaf (24,24%).
Kemenangan seseorang tidak dapat diukur dengan hasil sebuah survei. Banyak faktor yang menentukan kemenangan para petarung pada Pilkada 2017 di Aceh. Strategi politik seseorang dapat mengubah hasil survei, ketika desain strateginya mampu mempengaruhi pemilih di Aceh. Dengan demikian kemenangan dapat diraih manakala kecerdasan, kecerdikan, dan kelihaian dimiliki personal dan tim pemenangannya pada Pilkada 2017.
Di sinilah saya mengamati dan menilai strategi politik Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem, dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Partai Aceh, lebih menerapkan strategi bertahan (survival strategy) serta mengedepankan strategi gain what we want from the enemy (mendapatkan apa yang kita inginkan dari lawan). Di sinilah tulisan ingin mengkhususkan untuk membaca bentuk-bentuk kedua strategi politik tersebut dari Muzakir Manaf.
Strategi bertahan
Siapa tidak mengenal Muzakir Manaf mantan panglima eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini menjadi Ketua Partai Aceh (PA) dan Wakil Gubernur Aceh. Dirinya mendeklarasikan maju sebagai calon gubernur 2017-2022. Partai yang mendukung pencalonan dirinya antara lain PA, Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, serta PKS karena relasi Koalisi Merah Putih (KMP).
Caranya ini bagian dari strategi PA guna berafiliasi secara politik dengan partai nasional (parnas). PA menyadari bahwa dukungan rakyat makin melemah karena faktor kinerja dan janji politik pilkada lalu, yang tidak direalisasikan untuk konstituen (rakyat Aceh) oleh pasangan Zikir (Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf) yang sekarang memimpin Aceh.
Mereka parnas yang bergabung di kubu Mualem nantinya akan menentukan siapa yang diusung menjadi pendamping Mualem.
Dukungan dari parnas mampu menambah dukungan suara bagi Mualem, karena parnas memiliki basis pemilih/konstituen yang loyal dan fanatik. Akan tetapi dalam logika pemilih di Aceh bisa tidak dilihat partai, namun dilihat personal orangnya yang maju di Pilkada 2017 nantinya.
Harus difahami ketika Mualem sudah menyatakan wakilnya dari kalangan Parnas, tetapi terjadi penolakan di internal PA maka berpotensi parnas akan mencabut mandat dukungan terhadap Mualem bilamana tetap berkeras Wagubnya dari kader partai atau elite PA sendiri. Dampak sistemik lainnya makin membuat PA menjadi semakin tidak solid dan terpecah. Para elite Aceh akan beralih mendukung kandidat lainnya bila terjadi perpecahan di elite PA.
Upaya konsolidasi dan pengkondisian tim Mualem belum final, karena masih bisa dipengaruhi dewan pimpinan pusat (DPP) dari masing-masing partai tersebut. Sudah menjadi ketentuan baku bahwa urusan pencalonan gubernur/wakil gubernur harus diputuskan oleh DPP. Bisa juga dipengaruhi konsensus berupa kekuasaan dan anggaran dalam mengubah arah dukungan politik.
Langkah dari Mualem melakukan pertemuan siraturahmi dengan mantan GAM eks Libya, PA, dan Komite Peralihan Aceh (KPA) di Hotel Lido Graha. Tujuannya hanya melakukan konsolidasi semata saja sekaligus menyusun langkah tim pemenangan. Kita pahami bahwa PA dan KPA mampu menjadi mesin politik yang masif. Strategi lainnya Mualem mencoba bersinergis dengan para akademisi guna mendukung dirinya di pencalonan gubernur mendatang.
Hal lainnya lagi Mualem membentuk gerakan Rakan Mualem Perekat Perjuangan. Tujuan untuk membangun dukungan, simpati dan empati untuk Mualem menjadi gubernur mendatang. Di kalangan tim Mualem tidak luput menggalang dukungan dari para ulama dengan janji akan memberikan dana bagi dayah yang dipimpin ulama serta tokoh-tokoh sentral di level gampong dengan janji pemberian dana desa (gampong).
Kemampuan finansial
Secara kemampuan finansial Mualem berpeluang sekali mendapatkan dana dari donatur plus selama menjabat sebagai Wagub Aceh, tentunya sudah mengumpulkan finansial guna mendukung kebutuhan kerja-kerja pemenangan. Bacaan lainnya dari strategi Mualem adalah seputar isu hak asasi manusia (HAM) berupa pemberian hak-hak korban konflik melalui dana reintegrasi, penegakan syariat Islam, isu kegagalan pemerintahan karena dirinya tidak memimpin sebagai orang nomor satu terkesanmembangun opini publik, terakhir isu nasionalisme keacehan.
Pemanfaatan sumber daya underbow Partai Aceh sudah pasti menjadi bagian dari strategi politik. Hampir semua underbow PA sudah terbentuk dan mampu digerakan mempengaruhi di grass root. Penggunaan media dengan membuat media sendiri sudah dilakukan Mualem untuk membuat pencitraan.
Perilaku memilih masyarakat Aceh masih sangat dipengaruhi oleh janji-janji kampanye yang disampaikan para kandidat, sehingga bisa dipahami jika kemudian tim pemenangan Mualem maupun PA memanfaatkan kecenderungan ini dengan mengemas sejumlah isu ke dalam janji politik Mualem. Belum lagi bahasa membangkit emosional, seperti: Meunyoe kon ie leuhop, meunyoe kon droe mandum gob (Kalau bukan air tentu lumpur, kalau bukan kita tentu orang lain). Dimungkinkan akan ada bahasa-bahasa penggugah emosional lainnya untuk mempengaruhi masyarakat Aceh.
Demikian pula emosi masyarakat dibangkitkan dengan memunculkan isu identitas, seperti penggunaan bendera dan laambang serta isu bahwa Pemerintah Pusat tidak memberikan merealisasikan butir MoU Helsinki maupun RPP dan Perpres. Lagi-lagi pola memainkan emosional masyarakat Aceh dilakukan agar simpatik dan empatik mengalir deras kepada Mualem.
Mengakhiri tulisan ini, penulis berpendapat bahwa strategi apa pun yang dibuat dan dijalankan Mualem akan sangat ditentukan dari sikap politik masyarakat Aceh dalam memberikan hak suaranya. Masyarakat Aceh sudah mulai berani bersikap dan cerdas memahami keadaan yang dirasakan. Sehingga melahirkan sikap dalam memberikan pilihan politik di Pilkada 2017 nantinya. Nah!
* Aryos Nivada, Pengamat politik dan keamanan Aceh. Email: aryos@acehinstitute.org
Sumber: Serambinews.com 5 Oktober 2015
loading...
Post a Comment