MASJID Agung At-Taqwa berdiri megah. Dibangun di atas tahan seluas 14 hektare, masjid ini mampu menampung sekitar 4.000 jamaah. Di balik kemegahan masjid ini, tersimpan teknologi yang membuat masjid ini, insya Allah, mampu bertahan dari guncangan hingga 9.0 skala richter.
Masjid megah ini dibangun dengan anggaran Rp 55 miliar. Sekitar Rp 40 miliar dana pembangunannya, atau lebih dari 2/3, berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh. Dan memang, pemerintah berharap masjid ini dapat menjadi simbol baru Aceh Tenggara.
Anehnya, pemerintah setempat seperti hendak menghapus jejak Pemerintah Aceh di masjid itu. Mereka lebih memilih Ade Komaruddin, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sebagai orang yang meresmikan. Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara malah mengundang secara khusus kader Golkar ini dan mengiklankannya, khusus, di media cetak.
Siapa saja yang meresmikan penggunaan masjid ini tentu tak ada masalah. Karena yang terpenting adalah upaya masyarakat di sekitar masjid untuk memakmurkan masjid ini dengan berbagai kegiatan islami. Masjid ini harus menjadi syiar Islam. Ibarat gerbang Aceh, masjid ini adalah penanda negeri syariat Islam dari kawasan tengah.
Namun penunjukkan Ade Komaruddin sebagai penandatangan peresmian masjid itu tentu menjadi pertanyaan besar dan terasa janggal. Karena lebih banyak tokoh yang pantas melakukannya. Sebut saja Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin atau Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Kapasitas keduanya lebih patas untuk membubuhkan di prasasti masjid itu.
Latar belakangan penunjukan Ade mudah ditebak. Ade dan Hasanuddin Broeh, Bupati Aceh Tenggara, berasal dari satu partai: Partai Golkar. Namun hendaknya Hasanuddin mampu memilah dan memilih tempat dia berpijak. Penunjukan Ade Komaruddin, berdasarkan “kapasitasnya” sebagai rekan separtai jelas tak etis.
Tak sepantasnya Hasanuddin meletakkan kepentingan partai di atas kepentingan Aceh. Apa yang dilakukannya sama dengan menelikung. Dan ini jelas tak baik, apalagi dilakukan di halaman masjid. Persis sabotase; Lembu punya susu, kambing punya nama. [Sumber: AJNN.NET]
Masjid megah ini dibangun dengan anggaran Rp 55 miliar. Sekitar Rp 40 miliar dana pembangunannya, atau lebih dari 2/3, berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh. Dan memang, pemerintah berharap masjid ini dapat menjadi simbol baru Aceh Tenggara.
Anehnya, pemerintah setempat seperti hendak menghapus jejak Pemerintah Aceh di masjid itu. Mereka lebih memilih Ade Komaruddin, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sebagai orang yang meresmikan. Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara malah mengundang secara khusus kader Golkar ini dan mengiklankannya, khusus, di media cetak.
Siapa saja yang meresmikan penggunaan masjid ini tentu tak ada masalah. Karena yang terpenting adalah upaya masyarakat di sekitar masjid untuk memakmurkan masjid ini dengan berbagai kegiatan islami. Masjid ini harus menjadi syiar Islam. Ibarat gerbang Aceh, masjid ini adalah penanda negeri syariat Islam dari kawasan tengah.
Namun penunjukkan Ade Komaruddin sebagai penandatangan peresmian masjid itu tentu menjadi pertanyaan besar dan terasa janggal. Karena lebih banyak tokoh yang pantas melakukannya. Sebut saja Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin atau Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Kapasitas keduanya lebih patas untuk membubuhkan di prasasti masjid itu.
Latar belakangan penunjukan Ade mudah ditebak. Ade dan Hasanuddin Broeh, Bupati Aceh Tenggara, berasal dari satu partai: Partai Golkar. Namun hendaknya Hasanuddin mampu memilah dan memilih tempat dia berpijak. Penunjukan Ade Komaruddin, berdasarkan “kapasitasnya” sebagai rekan separtai jelas tak etis.
Tak sepantasnya Hasanuddin meletakkan kepentingan partai di atas kepentingan Aceh. Apa yang dilakukannya sama dengan menelikung. Dan ini jelas tak baik, apalagi dilakukan di halaman masjid. Persis sabotase; Lembu punya susu, kambing punya nama. [Sumber: AJNN.NET]
loading...
Post a Comment