AMP - DI negara ini tak ada larangan bagi seseorang untuk marah dan marah-marah. Seperti saat Ketua Partai Aceh dan Komite Peralihan Aceh (PA-KPA) Wilayah Pasee, Tgk Zulkarnaini bin Hamzah, mengibarkan bendera Bulan Bintang di Jabal Rahmah, Mekah, Arab Saudi. Di sela-sela ibadah umrah. Tindakan itu jelas didorong dari rasa marah yang dipendam sejak lama, jauh sebelum berangkat ke Tanah Suci.
Tindakan di Arafah itu tak cukup bagi Tengku Ni--nama alias Zulkarnaini. Kemarahannya ternyata terlalu dalam. Dalam sebuah kenduri maulid Nabi Muhammad saw, di Geudong, Aceh Utara, Tengku Ni juga menyampaikan pidato dan mengumbar rasa marah. Dia mengaku kecewa karena hingga kini pemerintah tak kunjung mengizinkan Bangsa Aceh, demikian dia bilang, untuk mengibarkan bendera Bulan Bintang.
Dia juga menyatakan butuh pengorbanan besar di pihaknya untuk menjaga para kombatan. Pemerintah dinilainya tak mempunyai nurani untuk menyantuni anak yatim. Dia mengancam akan mengajak anak-anak yatim itu untuk kembali angkat senjata melawan Pemerintah Indonesia.
Setiap orang punya kadar kesabaran berbeda. Dalam hal ini, Tengku Ni merasa dirinya paling dizalimi dan dibohongi oleh pemerintah. Sehingga dia menganggap seluruh amarah yang dilakukannya, mulai dari Tanah Suci hingga di Geudong, adalah tindakan wajar. Ini bukan mencari perhatian pemerintah. Ini adalah rasa marah. Sah-sah saja.
Namun orang marah suka silap. Pandangannya tak lagi objektif. Tertutup kabut amarah. Pengibaran bendera di Tanah Suci jelas bukan hal lazim. Apalagi bendera yang bersangkutan belum mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Indonesia. Kenyataan ini jelas mengganggu Kerajaan Arab Saudi yang langsung mempertanyakan sikap itu kepada Pemerintah Indonesia.
Jelas sekali bahwa dalam beribadah, Pemerintah Arab Saudi tak ingin diganggu dengan urusan politik. Sebelum mengibarkan bendera, harusnya, sebagai pemimpin orang banyak, Tengku Ni mempertimbangkan konsekuensi tindakannya. Salah satu memungkinannya--mudah-mudahan hal ini tidak terjadi--adalah pengurangan kuota haji Indonesia. Mau tak mau, ini akan berimbas pada kuota haji Aceh yang mengular hingga 15 tahun ke depan.
Melihat kondisi yang tak menguntungkan hubungan antara Aceh-Arab-Jakarta itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, selaku kepala pemerintahan dan orang tua, mengambil langkah cerdas: meminta maaf. Ini adalah sebuah keputusan sulit namun diperlukan. Zaini memilih menyelamatkan kepentingan Aceh ketimbang mempertahankan ego dan harga diri. Harga diri itu tak akan berarti apa-apa ketika harus mengorbankan urusan rakyat banyak.
Marah-marah dan menghujat adalah perkara mudah. Yang sulit itu adalah bersikap bijak dan tegas serta tetap tenang sesulit apapun situasinya. Zaini sadar, meminta maaf tidak merendahkan diri. Ini adalah sikap seorang gentleman. Zaini juga paham benar hal ini: mengurus Aceh itu perkara rumit. Berjibun masalah yang dihadapi tak bisa diselesaikan hanya dengan marah-marah. (AJNN)
Tindakan di Arafah itu tak cukup bagi Tengku Ni--nama alias Zulkarnaini. Kemarahannya ternyata terlalu dalam. Dalam sebuah kenduri maulid Nabi Muhammad saw, di Geudong, Aceh Utara, Tengku Ni juga menyampaikan pidato dan mengumbar rasa marah. Dia mengaku kecewa karena hingga kini pemerintah tak kunjung mengizinkan Bangsa Aceh, demikian dia bilang, untuk mengibarkan bendera Bulan Bintang.
Dia juga menyatakan butuh pengorbanan besar di pihaknya untuk menjaga para kombatan. Pemerintah dinilainya tak mempunyai nurani untuk menyantuni anak yatim. Dia mengancam akan mengajak anak-anak yatim itu untuk kembali angkat senjata melawan Pemerintah Indonesia.
Setiap orang punya kadar kesabaran berbeda. Dalam hal ini, Tengku Ni merasa dirinya paling dizalimi dan dibohongi oleh pemerintah. Sehingga dia menganggap seluruh amarah yang dilakukannya, mulai dari Tanah Suci hingga di Geudong, adalah tindakan wajar. Ini bukan mencari perhatian pemerintah. Ini adalah rasa marah. Sah-sah saja.
Namun orang marah suka silap. Pandangannya tak lagi objektif. Tertutup kabut amarah. Pengibaran bendera di Tanah Suci jelas bukan hal lazim. Apalagi bendera yang bersangkutan belum mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Indonesia. Kenyataan ini jelas mengganggu Kerajaan Arab Saudi yang langsung mempertanyakan sikap itu kepada Pemerintah Indonesia.
Jelas sekali bahwa dalam beribadah, Pemerintah Arab Saudi tak ingin diganggu dengan urusan politik. Sebelum mengibarkan bendera, harusnya, sebagai pemimpin orang banyak, Tengku Ni mempertimbangkan konsekuensi tindakannya. Salah satu memungkinannya--mudah-mudahan hal ini tidak terjadi--adalah pengurangan kuota haji Indonesia. Mau tak mau, ini akan berimbas pada kuota haji Aceh yang mengular hingga 15 tahun ke depan.
Melihat kondisi yang tak menguntungkan hubungan antara Aceh-Arab-Jakarta itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, selaku kepala pemerintahan dan orang tua, mengambil langkah cerdas: meminta maaf. Ini adalah sebuah keputusan sulit namun diperlukan. Zaini memilih menyelamatkan kepentingan Aceh ketimbang mempertahankan ego dan harga diri. Harga diri itu tak akan berarti apa-apa ketika harus mengorbankan urusan rakyat banyak.
Marah-marah dan menghujat adalah perkara mudah. Yang sulit itu adalah bersikap bijak dan tegas serta tetap tenang sesulit apapun situasinya. Zaini sadar, meminta maaf tidak merendahkan diri. Ini adalah sikap seorang gentleman. Zaini juga paham benar hal ini: mengurus Aceh itu perkara rumit. Berjibun masalah yang dihadapi tak bisa diselesaikan hanya dengan marah-marah. (AJNN)
loading...
Post a Comment