Halloween Costume ideas 2015
loading...

Politik ‘Ie Leuhob’

FENOMENA Partai Aceh (PA) menuju Pilkada 2017 selalu menarik untuk diperbincangkan. Mesinnya mampu menggilas apa saja, karena itu banyak kandidat yang ingin “menunggangi”-nya baik secara resmi atau terselubung. Sebutlah Zaini Abdullah (ZA), Muzakir Manaf (MM), Zakaria Saman (ZS), dan Irwandi Yusuf (IY) sebagai contoh. Pertanyaannya, bagaimana PA secara institusional menyikapi persoalan ini?

Adalah fakta naiknya PA ke panggung kekuasaan bermodalkan wacana nasionalisme Aceh yang kental. Secara nama saja, PA adalah singkatan dari Partai Aceh, memberi indikasi kuat bahwa partai ini adalah partainya mereka yang merasa diri Aceh; partai lain adalah partai jamee yang menumpang kiprah politik di Aceh. Wacana ini menguat di akar rumput. Pekerja partai mereproduksinya dengan baik, memetakan wajah politik ke dalam dalam dua kutub, Aceh versus non-Aceh, kita dan mereka, yang mewujud dalam kata sakti: Meunyo kon ie, leuhob; meunyoe kon droe, gob (kalau bukan air, maka lumpur; kalau bukan kita, maka orang lain).

Dalam terma psikologi hal ini dikenal dengan istilah ingroup-outgroup, di mana citra kelompok sendiri (self-esteem) diraih dan dipertahankan dengan cara meningkatkan jarak (distinctiveness) dengan kelompok lain. Agar diri terlihat lebih baik maka harus ada kualitas pembeda. Bila pembeda itu tidak tersedia, maka harus diciptakan, karenanya muncullah manuver-manuver tidak logis yang bermuara pada diskriminasi (intergroup discrimination: Tajfel & Turner 1979). Melalui paradigma inilah politik ie-leuhob terbaca dengan jelas.

Politik ie luehob muncul dalam wacana publik pada Pilkada 2006 ketika mengantarkan Irwandi-Nazar (Irna) ke panggung kekuasaan. Semua yang mengusung Irna adalah droe, kandidat lain beserta para Timses-nya adalah gob. GAM berhasil dan Irna duduk di pelaminan. Sayangnya, setelah tiga tahun berjalan mereka berdua juga dijadikan leuhob. Irwandi dan Nazar tidak dianggap mewakili kepentingan GAM, walaupun semua orang tahu bahwa Irwandi adalah Juru Propaganda GAM dan Nazar, sebagai Ketua Presidium SIRA, telah membangun hegemoni kekuatan sipil Aceh menghadapi Jakarta.

“Pisah ranjang”
Apa dikata, politik ie leuhob meminggirkan mereka dari pentas. Drama berulang, episode berganti, tetapi narasi masih menggunakan script lama. Tema “pisah ranjang” dan politik ie leuhob, kali ini menyasar diri sendiri; pasangan GAM Zaini-Muzakir (Zikir) yang memenangkan kontestasi Pemilukada 2012.

Zikir naik dengan icon pasangan perjuangan dan perdamaian. Secara akronim, istilah Zikir memiliki daya magis yang luar biasa. Zikir berasal dari bahasa Arab dengan akar kata “za-ka-ra” yang bermakna “mengingat”, “menyebut”, dan “memperingatkan”. Kosakata Zikir sangat familiar bagi rakyat Aceh karena ia mengesankan citra syariat Islam. Sentuhan akronim saja telah membuat rakyat yang notabene muslim berkenan untuk memberikan hak suaranya kepada pasangan ini. Zikir menang telak hampir di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Namun optimisme bergayut dua tahun saja. Lebih buruk dari Irna yang “berpisah ranjang” di tahun ke-empat, Zikir berpisah di tahun ketiga. Lebih buruk dari Irna yang berpisah baik-baik, Zikir berpisah dengan propaganda kepada mantan. Lebih buruk dari Irna yang diikat dengan hubungan sepupuan GAM/OMS Pro-GAM, Zikir diikat dengan hubungan sekandung GAM/GAM.

Hari ini, kepala kita dipenuhi oleh drama “pisah ranjang” Zikir dan trik-trik licik menuju singgasana baru. Seperti catatan di atas citra diri (self-esteem) sangat terkait dengan keunikan diri, walau tidak unik maka harus dibuat unik sehingga faktor pembeda itu muncul. Dalam mengusung Irna dulu yang muncul adalah adagium udep sare mate sajan. Lalu untuk menggusur Irna, perbedaan dicari-cari dan dipaksakan ada. Sebut saja kritik untuk JKA --produksi Irwandi-- yang dituduh menghambur-hamburkan uang. Faktanya, setelah terpilih Zikir tetap menggunakan kebijakan itu dengan mengubah penamaan sedikit saja dari JKA menjadi JKRA, agar terkesan berbeda.

Menjelang pentas 2017, cerita pisah ranjang Zikir terlihat kian tragis. Hari-hari penuh fitnah, perang dingin dan aksi sepihak. Menggunakan pendekatan self-esteem hypothesis (Oak & Turner 1980) Muzakir bergerilya menelanjangi Zaini. Muzakir ingin menciptakan kesan bahwa pemerintahan hari ini tidak becus, tidak bisa diandalkan, karena itu kita perlu pemerintahan baru, pemerintahan yang berbeda.

Pola-pola diskriminasi dan alienasi ini merupakan strategi yang dimunculkan oleh Muzakir untuk menjaga jarak (distinctiveness) dengan pemimpin incumbent, dan menciptakan kesan positif diri sendiri sebagai sosok penyelamat. Sayangnya, Muzakir lupa bahwa menelanjangi Zaini adalah juga menelanjangi diri sendiri, karena pemerintahan Aceh hari ini adalah pemerintahan di mana Muzakir juga terlibat dan harus bertanggung jawab. Borok Zaini adalah borok Muzakir juga. Terlepas dari itu, mentalitas nepotisme Zaini memang sangat bobrok dan memprihatinkan.

Manuver-manuver ini diperburuk oleh para pembisik, sebagiannya adalah aktivis yang haus remah-remah manisan bila propaganda berhasil. Manuver itu menjalar ke segala arah, termasuk dalam debat anti-Wahabi baru-baru ini, misalnya. Sangat jelas terlihat polarisasi dimana Muzakir dan Zaini berseberang pandangan (acehterkini.com, Kamis, 10/9/2015). Sejauh ini belum terbaca siapa yang akan menjadi droe dan siapa yang akan di-leuhob-kan dalam beberapa masa ke depan.

Fenomena lumrah
Semua ini merupakan fenomena lumrah dalam iklim politik yang bertuhankan uang. “Tauhid”-nya rupiah, “tariqaat”-nya kursi jabatan, dan pendekatannya fir’aunisme. Allah Swt menukilkan ini dengan sangat menarik. Dalam kisah Nabi Daud as, Allah Swt menguji pasukan Thalut yang sedang dalam perjalanan melawan rezim Jalut dengan sungai yang dingin dan menggoda tenggorokan. Allah Swt melarang pasukan meminumnya kecuali seceduk saja. Sayangnya, mayoritas tentara meminum sepuas-puasnya hingga tidak mampu lagi berperang, lalu kalah (QS. Al-Baqarah: 249).

Fenomena kerakusan tersebut kita temukan dengan mudah di sebagian petinggi-petinggi Aceh hari ini. Mereka tidak mampu lagi memperjuangkan kesejahteraan Aceh, mereka sudah membelakangi spirit MoU Helsinki dan UUPA, yang tersisa adalah kekuatan untuk menjemput jabatan dan memperkaya diri.

Kasihan para syuhada yang berkorban nyawa untuk perdamaian; anak yatim yang terlantar serta kehilangan masa depan, dan rakyat Aceh yang ikhlas memberi suara demi perubahan nasip. Mereka hanya mendapat perhatian dua tahun pertama saja, sementara tiga tahun setelah itu menjadi korban kezaliman penguasa yang menggiring-giring mereka untuk memenuhi libido kekuasaan tuha-tuha partai.

Sebagai khatimah, saya kutip satu amanah keprihatinan yang muncul dalam Reuni Aktivis 8 Agustus 2015 lalu. Forum berharap agar Zikir berhenti berseteru dan melakukan manuver murahan, lalu melakukan rekonsiliasi dan fokus pada janji-janji pembangunan yang belum tertunaikan, bukan menyibukkan diri dengan menyusun kekuatan merebut kursi 2017. Kembalilah pada misi kepemimpinan 2012.

Catatan ini menjadi “pengingat” agar Zikir tetap tampil waras, “penyebut” agar Zikir tetap membela kepentingan Aceh, dan “peringatan” agar kepemimpinan yang Zikir tidak menjelma menjadi kepemimpinan yang “zalem”. Wallaahu a’lamu bish-shawaab.

* Fajran Zain, Analis Politik The Aceh Institute, Banda Aceh. Email: fjzain@yahoo.com
(Dikutip: Serambinews Senin 5 Oktober 2015)
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget