HASAN Tiro muda pada suatu hari pernah mengeluh sambil menangis kepada ibunya. Ia mengaku setiap hari selalu terlambat sampai di sekolah karena orang-orang yang ditemuinya di jalan selalu mencium tangannya.
"Bila saya lewat, orang-orang yang duduk akan berdiri dan yang naik sepeda akan turun dari sepedanya untuk mencium tangan saya," katanya sambil menangis pada ibunya.
Sang Ibu, seorang perempuan Aceh yang sabar, menjawab bahwa apa yang dilakukan orang-orang itu bukan untuk mengganggunya.
"Itu karena mereka menghormati kita," kata sang Ibu.
Hasan Muhammad di Tiro, adalah legenda. Kisah masa kecil itu ditulis Presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), sebuah organisasi yang yang biasa disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dalam catatan hariannya, The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro.
Ada kesan romantis dalam kisah itu. Hasan Tiro, tokoh besar di balik Gerakan Aceh Merdeka, adalah pria yang menikmati romantika perjuangan dan menikmati penghargaan orang pada dirinya.
Setelah mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro membuktikan perannya dalam upaya memerdekakan bangsa Aceh. Ia keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976-1979 untuk melawan pemerintah Indonesia. Pada 1979, karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.
Setelah isu Aceh merdeka kembali menjadi sorotan menyusul jatuhnya Soeharto, organisasinya muncul ke pentas internasional. Kesepakatan Jenewa tentang "Jeda Kemanusiaan" antara Indonesia dan GAM 12 Mei 2000 lalu, bagi sebagian kalangan, dinilai telah mengangkat posisi GAM di mata internasional.
Hasan Tiro bersama Ibu
Hasan Tiro punya modal untuk menghargai dirinya. Selain karena perjuangannya itu, juga karena ia adalah keturunan ketiga Teungku Syeh Muhammad Saman di Tiro. Hasan dilahirkan di Pidie, Aceh. Ia adalah anak kedua pasangan Teungku Pocut Fatimah dan Teungku Muhammad Hasan.
Teungku Pocut adalah cucu perempuan Teungku Muhammad Saman di Tiro. Karena posisinya sebagai keturunan Teungku Saman di Tiro itulah ia memegang kendali Gerakan Aceh Merdeka. "Darah biru" itu kemudian diperkaya dengan ilmu hukum internasional yang ditimbanya di Universitas Colombia, Amerika Serikat, sampai meraih gelar doktor.
Kepemimpinan dalam birokrasi Aceh merdeka merupakan sebuah takhta yang turun-temurun. Ceritanya berawal dari wafatnya Sultan Muhammad Daud Shah, sultan Kerajaan Iskandar Muda yang terakhir, pada 1874, karena berperang melawan Belanda.
Ketika itu Belanda memang di atas angin. Setelah berpuluh tahun tak mampu menguasai Aceh, pada 25 Desember 1873 pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Sweiten berhasil mencaplok Aceh dan menjadikannya koloni.
Di dalam kesultanan sendiri terjadi masalah karena anak sultan yang seharusnya menggantikan Muhammad Daud Shah baru berusia 12 tahun. Suksesi macet. Di tengah gentingnya suasana perang, kekuasaan lalu diserahkan ke Teungku Muhammad Saman di Tiro sebagai wali negara sekaligus panglima perang.
Dari Teungku Saman inilah perjuangan dan kekuasaan berlanjut secara turun-temurun. Ketika Teungku Saman wafat pada 1891, posisinya digantikan oleh anak laki-lakinya, Teungku Muhammad Amin. Saat Muhammad Amin gugur, ia digantikan oleh adiknya, Teungku Bed Ubaidillah.
Anak Muhammad Saman yang terakhir memimpin peperangan sebagai wali negara adalah Teungku Muhammad Ali Zainul Abidin. Ketika belakangan Ali Zainul wafat, ia diganti oleh keponakannya, Teungku Ma'at di Tiro. Yang terakhir ini juga tewas dalam peperangan pada 1911 (lihat silsilah keluarga Tiro).
Pasukan GAM terima pelatihan di Libya
Setelah itu, suksesi dalam klan Tiro mandek. Aceh bergumul dalam persoalan apakah akan menjadi bagian dari Indonesia atau berdiri sebagai negeri yang merdeka. Deklarasi untuk mendefinisikan posisi Aceh ini datang silih berganti, mulai dari diproklamasikannya Negara Islam Aceh oleh Daud Beureuh pada 1953, Republik Persatuan Indonesia pada 1960, sampai Republik Islam Aceh (RIA) pada 1961.
Baru pada 1976 Hasan Tiro, wali negara dari klan Tiro terakhir, muncul. Ia menghidupkan kembali ide Aceh yang sepenuhnya terpisah dari Indonesia. Pada tahun itu ia datang kembali ke Aceh setelah selama 25 tahun meninggalkannya. Di Aceh, sejumlah tokoh yang sebelumnya telah lama bergerilya melawan tentara Indonesia, seperti Daud Paneuk dan Teungku Haji Ilyas Leubee, menyambut kedatangan sang pemimpin.
Dalam Unfinished Diary, Tiro menggambarkan betapa hangat sambutan itu dan betapa dielu-elukannya dia sebagai pemimpin yang ditunggu-tunggu.
"Ketika melintasi sungai, mereka bahkan tidak mengizinkan kaki saya basah oleh air. Mereka selalu membopong saya saat pasukan kami melintasi sungai," ujar Tiro.
Foto Dokumenter: Kembalinya Hasan ke Aceh 1976
Hasan Tiro memang berhasil menghidupkan kembali kepemimpinan dinasti Tiro dalam sejarah Aceh. Tapi sejarah, bagaimanapun, selalu melahirkan tafsir, pertanyaan, juga kritik. Pola suksesi ala kesultanan, misalnya, bagaimanapun menyisakan satu persoalan besar: bagaimana proses check and balance bisa diterapkan dan bagaimana aspirasi politik rakyat bisa diserap dalam sebuah sistem yang monolitik?
Lebih jauh, sebagian orang meragukan proses pengalihan kekuasaan dari Sultan Muhammad Daud Shah kepada Teungku Muhammad Saman di Tiro itu merupakan pengalihan kekuasaan yang multak. Husaini Hasan, tokoh Majelis Pemerintahan GAM (MP-GAM), sebuah sayap lain dari GAM Hasan Tiro, berpendapat yang terjadi saat itu sebetulnya adalah pengalihan kekuasaan sementara saja. Artinya, secara administratif, sebagai wali negara, klan Tiro suatu saat mesti mengembalikan kekuasaan itu ke Kesultanan Iskandar Muda.
Menurut Isa Sulaiman, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala, yang terjadi saat itu memang bukan penyerahan kedaulatan, melainkan pemberian semacam surat keputusan yang disebut sarakata. Sarkata itu memberi hak kepada Muhammad Saman untuk memimpin pasukan dan mengumpulkan uang guna membiayai angkatan perang. Selain kepada Muhammad Saman, sarakata juga diberikan kepada Teuku Umar untuk mengurus potensi maritim dan kelautan.
"Jadi, tidak ada penyerahan kedaulatan," kata Isa.
Jadi, apakah pengambilalihan itu tidak sah? Di mata sosiolog Universitas Syiah Kuala, Otto Syamsuddin Ishak, persoalannya bukan sah atau tidak sah. Masalahnya adalah secara psikologis ketika itu Aceh membutuhkan pemimpin. Teungku Muhammad Saman mengambil risiko sebagai pemimpin itu dan peran Kesultanan Iskandar Muda faktanya surut, seiring dengan terbunuhnya rajanya yang terakhir.
Dengan sudut pandang itu pulalah Otto menilai pertanyaan mengapa Hasan Tiro yang menjadi wali negara terakhir dan bukan abangnya, yakni Teungku Zainul Abidin, juga sama tidak relevannya.
"Kepala negara di sini jangan dipahami dalam konteks politik normal, tapi dalam konteks konflik yang berkelanjutan," kata Otto.
Dengan sudut padang ini, harapan terhadap suksesi yang demokratis dalam kepemimpinan Aceh merdeka memang masih terlalu jauh. Pengalihan kekuasaan nyatanya memang baru dilandasi oleh kebutuhan atas pemimpin sesaat dan kebutuhan itu difasilitasi oleh sistem kesultanan yang melembaga.
Demikianlah, Hasan Tiro akhirnya memimpin Gerakan Aceh Merdeka sejak 1976. Dalam artikel-artikelnya yang ditulis setelah kepergiannya dari Aceh pada 1979, ia berkali-kali menegaskan bahwa pemerintahan Indonesia adalah sebuah pemerintahan ilegal.
Dalam artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law yang ditulisnya pada 1980, ia menggugat penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949 sebagai tindakan yang sewenang-wenang. Kedaulatan, menurut Hasan Tiro, dimiliki oleh bangsa Aceh dan bukan Indonesia. Hasan menandai 1949 sebagai tahun dimulainya penjajahan Indonesia/Jawa terhadap Aceh.
Tafsir sejarah oleh Hasan Tiro ini sempat digugat. Ibrahim Alfian, misalnya, sejarawan Aceh dari UGM, berpendapat bahwa menyerahnya Aceh ke Belanda pada 1873 membuktikan bahwa Aceh telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Belanda. Wilayah Belanda inilah yang menjadi basis penentuan wilayah Indonesia dalam sidang KMB.
"Wilayah Indonesia adalah wilayah Pax Nederlandica dan ini diakui secara internasional," kata Alfian.
Tapi Hasan Tiro berkeras. Menurut dia, seperti yang dituturkannya kepada wartawan televisi Belanda dalam sebuah wawancara pada 1996, mestinya kepada rakyat Aceh diberlakukan pemilihan umum sebelum keputusan KMB itu diketuk.
Sikap keras Hasan Tiro dalam menolak Indonesia ini sebenarnya berbeda dengan sikapnya pada era sebelumnya. Sebelum berangkat ke Amerika pada 1950, dia terlibat aktif dalam berbagai organisasi keindonesiaan. Ia, misalnya, bersama abangnya, Zainul Abidin, pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Hasan bahkan pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945.
Ketika Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara, Hasan pernah menjadi stafnya. Atas jasa Syafruddin jugalah Hasan mendapat beasiswa Colombo Plan ke Amerika. "Malah sambil kuliah dia diperbantukan sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB, " kata Isa Sulaiman. Artinya, pada suatu periode Hasan pernah menaruh harapan pada Indonesia.
Setelah pecah pemberontakan DI/TII, sikap Tiro mengeras. Dari Amerika, pada 9 September 1954, Hasan Tiro pernah memperingatkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar menghentikan serangan bersenjata kepada aktivis DI/TII di Aceh. Hasan belakangan juga terlibat dalam Republik Persatuan Indonesia, sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku sebagai perlawan terhadap pemerintahan Sukarno yang sentralistis.
Barulah pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. "Jadi, apa yang dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965," kata Isa Sulaiman.
Ide Aceh Sumatra diambil Tiro dari wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada masa jayanya kerajaan ini memang pernah sampai menguasai Lampung, Bengkulu, dan sebagian wilayah Malaysia. Dengan kata lain, pembebasan yang ingin dilakukan oleh GAM adalah pembebasan terhadap seluruh Sumatra.
Lalu tidakkah gagasan ini berarti penjajahan baru terhadap bangsa-bangsa lain di Sumatra? Zaini Abdullah, Menteri Kesehatan GAM, menolaknya. Menurut Zaini, jika saatnya nanti Aceh merdeka, GAM akan memberikan kebebasan kepada bangsa lain untuk menentukan sikap. GAM memandang alternatif yang terbaik adalah menjadikan kawasan lain di Sumatra sebagai federasi Aceh.
Jikapun kawasan lain menolak, tidak apa-apa. Jadi, dengan kata lain, GAM bisa menerima wilayah Aceh seperti yang ditunjukkan dalam peta Provinsi Aceh sekarang. Wilayah Aceh Sumatra merdeka tampaknya bukan harga mati.
Husaini Hasan bahkan mengatakan, ketika digagas dulu, kata Sumatra dipakai lebih sebagai identifikasi terhadap pulau tempat Aceh berada. Dengan gagasan-gagasan itulah GAM tumbuh. Bertahun-tahun tanpa pernah bisa dipatahkan sampai benar-benar tumpas. Dan Aceh telah damai.
Sumber; Majalah Tempo Interaktif 12 Juni 2000
loading...
Post a Comment