Halloween Costume ideas 2015
loading...

Sepenggal Kisah Menuju Perdamaian Aceh Dan Nasehat Wali Teungku Hasan Tiro

Mendengar nasehat Wali(Wali Negara, Bang Bakhtiar Abdullah, Ilyas Abed, Amni Ahmad Marzuki, Muhammad Nazar, Teuku Kamaruzzaman, Tengku Nashiruddin bin Ahmed, Teuku Muhammad Usman Lampoihawe dan Tengku Malik Mahmud)  

AMP- Setelah perjanjian damai ditandatangani pada 15 Agustus 2005, kami seluruh tim perunding Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki kembali ke base-camp di Stockholm Swedia.
Kami kemudian menghubungi pelbagai pihak di lapangan dan di luar untuk mensoalisasikan kesepakatan Helsinki ini. Banyak yang menerima, tidak jarang ada yang menolak sampai diskusi panas dan penuh aroma emosi.
Bang Irwandi Yusuf sudah berangkat ke Aceh dengan tugas menjadi kepala perwakilan GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM). Saya dan bang Teuku Hadi mendapat tugas membantu Bang Bakhtiar Abdullah di Swedia. Om Nur Djuli dan Kak Shadia Marhaban, mendapat amanah untuk kembali ke Malaysia.
Salah satu kendala pertama kami hadapi adalah masalah pelepasan tahanan GAM dan masyarakat yang ditangkap dituduh terlibat GAM selama konflik.
Sebelumnya di Helsinki, GAM menuntut seluruh tahanan agar dilepas oleh pemerintah khususnya mantan perunding yang ditahan. GAM sempat mengeluarkan pernyataan dua hari sebelum penandatanganan bahwa acara penekenan kesepakatan harus dihadiri oleh para perunding GAM yang ditangkap RI yang tersebar di tiga penjara di Jawa.
Teuku Muhammad Usman Lampoihawe, Teuku Kamaruzzaman dan Tengku Amni bin Ahmad Marzuki di penjara Sukamiskin Bandung, Tengku Nashiruddin Bin Ahmed di penjara Kosambi Cirebon dan kami meminta Muhammad Nazar, ketua presidium SIRA di penjara Lowokwaru Malang juga diikutkan.
Permintaan GAM ini sebenarnya diambil berat oleh pemerintah Indonesia, menteri hukum dan HAM Hamid Awaluddin sempat memerintahkan petinggi imigrasi untuk mengurus paspor para perunding.
Bahkan seperti Muhammad Nazar sempat memakai LP Lowokwaru Malang, tempat dia ditahan untuk alamat di paspornya. Namun keberangkatan tidak bisa diurus karena sempitnya waktu untuk mendapat visa Schengen. GAM akhirnya memaklumi.
Masalah tahanan juga sempat memanas ketika di beberapa penjara, para tahanan disyaratkan harus tabik bendera merah putih dan menandatangani surat sumpah setia sebelum dilepas. Telepon dalam sehari berdering puluhan kali di Stockholm, dari para tahanan dan panglima-panglima wilayah yang menentang syarat ini.
Pertama kami di sana sedikit bercanda, meminta tahanan untuk menandatangani saja, apalah arti sebuah tandatangan dibanding harus hidup dalam penjara di rantau sampai puluhan tahun. Banyak tahanan saat itu dipindahkan ke Pulau Jawa dan divonis dengan hukuman puluhan tahun.
Candaan kami ditangggapi sangat serius. Tidak ada tahanan yang mau menandatangi surat apapun. Mereka mau dibebaskan tanpa syarat. Jawaban mereka rata-rata biar dipenjara puluhan tahun, asal tidak menyerah.
Tandatangan surat sumpah setia, maknanya menyerah. Kami tidak mau menyerah, demikian teriakan para tahanan yang menelepon pimpinan di Swedia.
Mata saya berkaca-kaca mendengar percakapan itu. Mereka mempunyai niat yang ikhlas dalam berjuang. Siap berkorban apapun demi sebuah harapan.
Memang hal itu telah kami prediksi jauh-jauh hari. Makanya di dalam perundingan GAM meminta agar tahanan semua dibebaskan sesegera mungkin. Tanpa syarat langsung sesudah Kesepakatan ditandatangani selambat-lambatnya 15 hari. Dalam proses perundingan, keluar kata ‘amnesti’.
Kepada tahanan GAM akan diberikan ‘amnesti’ oleh pemerintah. GAM saat itu juga protes keras. Amnesti artinya pengampunan, berarti GAM mengaku telah berbuat kriminal sehingga harus diampuni.
Pihak RI kemudian menerangkan bahwa mereka sepakat dengan permintaan GAM untuk membebaskan seluruh tahanan politik Aceh tanpa syarat dan sesegera mungkin.
Mereka memohon untuk bisa memakai kata ‘amnesti’ di dalam kesepakatan, karena dengan pemakaian kata-kata itu, maka presiden bisa langsung mengeluarkan aturan untuk membebaskan semua tahanan politik.
GAM menekankan bahwa pembebasan adalah tanpa syarat dan tidak mengikuti mekanisme ‘amnesti’ yang ada. Hal ini diterima oleh delegasi RI.
Kemudian kembali ke masalah tahanan yang diharuskan untuk menandatangani sumpah setia, pimpinan menegaskan surat itu tidak perlu ditandatangani.
Tengku Malik Mahmud langsung menghubungi Jusuf Kalla, wakil presiden. Tengku Malik menyayangkan sikap pemerintah yang ada indikasi mensyaratkan syarat tertentu untuk pelepasan tahanan, dan itu menciderai perjanjian damai.
Jusuf Kalla mengamini keberatan Tengku Malik malah menimpali dia sendiri yang akan menegur pihak-pihak yang mempersulit proses pembebasan tahanan.
Akhirnya ribuan tahanan di pelbagai penjara dibebaskan secara bertahap. Namun tidak sempurna. Ada beberapa tokoh utama GAM diperselisihkan pembebasannya seperti Teuku Ismuhadi Jakfar dan kawan-kawan. Padahal Teuku Ismuhadi sangat berjasa dalam membantu kami melakukan pendataan para tahanan Aceh di semua penjara di Indonesia.
Tidak lama setelah dibebaskan, semua perunding tersebut, ditambah dengan Tengku Ilyas Abed, diundang pimpinan ke Stockholm Swedia untuk diajak berdiskusi tentang hasil perdamaian dan program-program untuk mengimplementasikan MoU.
Arlanda Airport, Stockholm. Menjemput tamu (Teuku Kamaruzzaman, Munawar Liza Zainal, Muhammad Nazar, Tengku Malik Mahmud, Ilyas Abed, Tengku Nashiruddin bin Ahmed dan Teuku Muhammad Usman Lampoihawe)
T.Kamaruzzaman,Munawarliza Zainal,M.Nazar,Malek Mahmud,Ilyas Abed,Tgk M.Usman Lampoh Awe Saat Di Airlanda Airport,Stockholm
Kami gembira sebab mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh perunding Aceh yang baru keluar dari penjara.Berangkatlah ke Swedia semua perunding GAM yang baru saja dilepas, mereka hanya mendapatkan visa beberapa hari saja.
Setelah rapat-rapat penting di Swedia, para perunding berniat pulang kembali ke Aceh dan menjenguk keluarga. Saya bermufakat dengan Bang Bakhtiar Abdullah dan Bang Teuku Hadi agar perunding tidak langsung pulang.
Tetapi mempergunakan kesempatan untuk bisa berkunjung ke negara-negara Skandinavia tetangga Swedia yaitu Denmark dan Norwegia, bertemu dengan masyarakat Aceh di sana. Di saat konflik, warga Aceh di sana menjadi salah satu tiang punggung perjuangan baik di bidang keuangan ataupun diplomasi.
Malamnya, setelah sepakat memperpanjang visa, beberapa dari kami bertemu kembali dengan Wali Negara, Tengku Hasan Muhammad di Tiro untuk menyampaikan rombongan akan memperpanjang visa tinggal mereka. Karena malam telah larut, kami meminta izin pulang, sambil saya sampaikan besok pagi kami akan kembali. Wali mengatakan untuk datang pukul 10.00 pagi.
Sepulang dari rumah Wali, Bang Bakhtiar berkomunikasi dengan pihak Olof Palme Center, mereka bersedia menjamin dan mengantar para perunding ke imigrasi untuk perpanjangan visa. Bang Bakhtiar Abdullah mengabarkan kepada semua bahwa besok pagi-pagi kami semua akan ke kantor pusat imigrasi.
Besoknya, ketika sedang mengurus perpanjangan visa di imigrasi, tiba-tiba saya mendapat telpon dari Kak Niazah, istri dr. Zaini Abdullah. Beliau bertanya, “Warzain (nama panggilan saya), ada janji apa dengan Wali pagi ini? Barusan Wali menghubungi, beliau tanyakan kenapa tidak jadi datang ke rumah Wali, kan semalam sudah berjanji akan ke sana?”.
La ilaaha illallah, iyaa. Saya lupa, memang semalam berjanji akan datang ke rumah Wali pukul 10.00 pagi,Saya benar-benar lupa, saking gembira mendapat informasi dari Olof Palme tentang visa, kami semua langsung berangkat ke imigrasi tidak ada yang ingat dengan janji untuk mengunjungi Wali.
Saya langsung menelepon rumah Wali, setelah salam, langsung minta maaf kepada Wali atas kelupaan yang tidak disengaja, dan tidak bisa datang pagi itu, karena sudah di kota untuk perpanjang visa.Nada suara Wali kurang senang, beliau kemudian memaklumi alasan saya.
Sepulang dari imigrasi, diantar bang Bakhtiar saya ke rumah Wali. Sejak dari pintu saya langsung meminta maaf kembali. Beliau tersenyum. Wali menerangkan, bahwa kemarin kami janjian pukul 10.00, Wali sudah mempersiapkan diri sejak pukul 09.45. Wali mengingatkan bahwa bangsa Aceh adalah bangsa yang beradab, yang menjaga janji-janji. Jangan ulangi lagi, jangan tidak menepati janji.
Kejadian ini benar-benar berbekas di dalam jiwa saya, pendidikan ini sangat berharga dari Wali. Sejak hari itu, sampai saat ini, janji bertemu dengan siapapun, selalu saya jaga sekuat tenaga. Bahkan tidak jarang saya datang lebih awal dari waktu pertemuan yang dijadwalkan, walaupun orang lain yang perlu dengan saya.
Salah satu kebesaran Tengku Hasan Muhammad di Tiro adalah sangat disiplin menjaga waktu,Hampir setiap rapat dengan Wali, beliau selalu tepat waktu. Bahkan kalau rapat di rumah Wali, beliau 5 atau 10 menit sebelumnya sudah rapi menunggu di depan pintu.
Mari kita ambil pelajaran dari almarhum, sebagian kita bahkan pernah mendapatkan pendidikan langsung dari Wali baik di Libya, Aceh atau di tempat lain. Ilmu dari beliau kita terapkan untuk kebaikan masyarakat kita.

Oleh: MUNAWAR LIZA ZAINAL
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget