AMP - “Mas gimana cara kirim HP atau sms. Di sinikan tidak ada sinyal HP,” sergah saya kepada seorang prajurit di Trieng Gading Pidie Jaya pada masa Darurat Militer 2003.
“Gampang mas,” jawab singkat prajurit itu.
“Gampang mas,” jawab singkat prajurit itu.
“Ya kalau warga ingin telepon atau kirim sms, mereka ke pantai karena ada sinyal. Gimana di sini. Kan teman-teman tidak mungkin ke pantai untuk telepon?” gugat saya.
“Mudah kok, kami kirim di ujung tiang bendera itu,” jelasnya menunjuk tiang bendera Merah Putih yang berkibar-kibar gagah.
Ya saya pun paham. Jika pagi hingga sore, ujung tiang bendera itu tempat Merah Putih melambai-lambai. Namun pada malam hari, ujung tiang bendera menjadi wadah melepaskan kerinduan dengan mengirim pesan singkat alias sms. Caranya, mereka mengetik pesan singkat lalu ditekan tut send. Kemudian telepon seluler dijebloskan ke plastik, diikat dan diderek layaknya mengibarkan bendera.
Begitu plastik mendarat di ujung tiang, bakal terdengar suara ting yang berarti pesan terkirim. Sekejab bersabar menunggu isyarat bunyi ting kedua yang bermakna pesan masuk. Begitulah cara prajurit itu melepaskan rasa penat pada keluarga atau teman dekat.
Sinya HP menjadi hal yang sangat penting untuk menyampaikan pesan. Suatu ketika, ketika meliput di daerah yang sudah berjam-jam tidak ada sinyal HP, tiba-tiba terdengar bunyi ting. Para jurnalis terkesima, mengapa ada jaringan di sini? Sedikit melangkah, tanda sinyal hilang. Inilah kesempatan jurnalis melaporkan posisinya kepada redaktur atau rekan. Jika tidak terhubung beberapa jam, bisa saja orang tua yang gelisah.
Kenangan 13 tahun kembali terkuak ketika membaca diskusi hangat antara Juru Bicara Partai Aceh Suaidi Sulaiman dengan pengamat politik dan keamanan Aceh Aryos Nivada yang mengatakan pihak ketiga tidak berani menggunakan bendera Bintang Bulan untuk menuntut kemerdekaan bagi Aceh. Disebutkan, Aryos jangan asal mengamati dan menganalisa jika jangkauannya hana troh sinyal. Ditambahkan, pengamat bisa mengamati yang terjangkau sinyal saja sehingga tidak menjadi tulalit. Polemik itu bermuara dari diskusi yang dihelat oleh Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) pada Sabtu, 28 November 2015 di 3in1 Coffee bertemakan Polemik Bendera dan Urgensi Kesejahteraan.
Apa kata Aryos merespons tidak diterima sinyal? Pemuda berkacamata itu menjawab
“Jangan-jangan ini sekedar mita sinyal bak tiang bendera (cari sinyal di tiang bendera)” kata Aryos bercanda.
Ah kata sinyal di ujung tiang bendera kini mencuap lagi. Dari makna sebenarnya pada era perang yakni membungkus HP dalam kantong plastik hingga masa damai dalam makna simbolis yakni gagal memahami persoalan.
Sebagian besar masalah di Aceh tersandung pada urusan tatanan komunikasi, informasi, dan konfirmasi. Diplomasi Aceh terhadap Jakarta belum dalam satu gelombang atau frekuensi. Suatu ketika Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh Prof Ibrahim Hasan menyatakan Aceh tidak kurang nasi namun kurang informasi. Maka perlu cari sinyal di ujung tiang bendera. Jika belum ada sinyal kuat, gunakan ujung kartu ATM untuk memakai HP terbaik dengan operator yang towernya terbanyak dari Sabang-Marauke. Bila sinyal masih hilang muncul, gunakan HP satelit yang lintas wilayah dari rimba ke perkotaan. Pastikan ujung uang yang berlipat-lipat untuk pesan pulsa HP satelit.
Murizal Hamzah, penulis buku biografi Hasan Tiro; Jalan Panjang Menuju Damai Aceh
loading...
Post a Comment