AMP - Gegap gempita kucuran dana otsus ke Aceh ternyata tidak mampu membuat para penguasa di negeri ini bekerja keras untuk mewujudkan Aceh yang makmur.
Dana pembangunan Aceh hanya sedikit yang mengucur untuk kepentingan rakyat banyak. Selebihnya untuk membiayai kebutuhan Pemerintah yang tiap tahun semakin membengkak.
Kita pantas untuk terkejut saat mengetahui kondisi tubuh APBA 2016 yang hanya menyediakan anggaran publik sebanyak 27%. Selebihnya terserap utuh untuk kebutuhan operasional daerah. Mayoritasnya untuk membayar gaji.
Pengakuan Bardan Sahidi pada diskusi yang digelar Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Jumat kemarin, tentang jumlah tenaga kontrak yang dibiayai oleh APBA 12.000 tentu sangat mengejutkan. Betapa tidak, selama ini hampir di semua kantor Pemerintah memasang pengumuman tentang tidak menerima lowongan kerja.
Ternyata, amaran itu hanya untuk membendung “serbuan si miskin” ke gedung-gedung ber ac. Sedangkan di internal mereka, sanak famili dan kerabat sedarah lancar masuk dan bekerja, yang akhirnya dikontrak atas alasan kebutuhan daerah.
Kehadiran tenaga kontrak yang demikian, perlahan namun pasti menggerus anggaran daerah.
Kita semua mahfum, bahwa ketidakmampuan Aceh keluar dari zona degradasi, bukan hanya karena persoalan meledaknya jumlah tenaga kontrak.
Di luar itu, permainan mata anggaran di berbagai instansi juga ikut menyumbang persoalan. Banyak dana yang ditujukan untuk kepentingan rakyat, tidak mampu dikelola dengan berbagai sebab. Ujung-ujungnya di akhir tahun anggaran, tiap instansi pemerintah berlomba membuat program pelatihan, seminar, workshop dll yang ujungnya jelas hanya untuk menyerap anggaran, tanpa punya efek apapun untuk peningkatan kemajuan Aceh.
Sebagian kita berharap DPRA, Polisi dan unsur pengawas lainnya mampu menjadi penyeimbang agar Aceh bisa diselamatkan. Namun harapan itu tidaklah wajar lagi. Bersebab, mereka yang selama ini diamanahkan menjaga Aceh, justru ikut-ikutan merusak Aceh.
Coba lihat dana aspirasi dewan. Saya meyakini lebih 80%dana ini bermasalah. Padahal angka yang dikelola cukup besar tiap tahunnya. Dari semua program peningkatan ekonomi usulan aspirasi mereka, berapa yang maujud?
Berharap pada polisi. Kita sudah pantas untuk ragu. Dengan begitu banyaknya penyelewengan dana rakyat, siapa yang sudah dimasukkan dalam hotel prodeo?
Siapapun kita, sebagai orang Aceh, kita patut untuk menggugat. Ini bukan persoalan benci atau suka. Tapi kondisi Aceh sudah dalam taraf berbahaya. Sengketa lahan di mana -mana yang tidak satupun dimenangkan oleh rakyat. Hutan suah dibelah ke dalam berbagai HGU. Tak jarang, selain diteror, rakyat juga ditangkap. Masih untung bisa disidang tanpa disiksa fisiknya. Banyak pula yang ditangkap, di siksa, sidang kilat dan kemudian masuk bui.
Bicara pengangguran dan kemiskinan, tak perlu membuka data BPS untuk membuktikannya. Dengan kasat mata kita bisa melihat bahwa Aceh sedang dalam kondisi sekarat. Rakyat sekarat dalam hal finansial, tidak berdaulat atas lahan serta ditekan secara politik.
Akhirnya, bagi yang masih waras tentu akan bertanya, sebenarnya apa yang selama ini dilakulan penguasa di Aceh? Kenapa begini hancur kondisi daerah. Kenapa dengan dana yang begitu besar kita gagal mandiri secara ekonomi.
Sebenarnya hendak kalian bawa kemana Aceh ini? Kita sudah di depan jurang. Haruskah menunggu bangkrut total untuk menyadari ini?[acehtrend]
Dana pembangunan Aceh hanya sedikit yang mengucur untuk kepentingan rakyat banyak. Selebihnya untuk membiayai kebutuhan Pemerintah yang tiap tahun semakin membengkak.
Kita pantas untuk terkejut saat mengetahui kondisi tubuh APBA 2016 yang hanya menyediakan anggaran publik sebanyak 27%. Selebihnya terserap utuh untuk kebutuhan operasional daerah. Mayoritasnya untuk membayar gaji.
Pengakuan Bardan Sahidi pada diskusi yang digelar Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Jumat kemarin, tentang jumlah tenaga kontrak yang dibiayai oleh APBA 12.000 tentu sangat mengejutkan. Betapa tidak, selama ini hampir di semua kantor Pemerintah memasang pengumuman tentang tidak menerima lowongan kerja.
Ternyata, amaran itu hanya untuk membendung “serbuan si miskin” ke gedung-gedung ber ac. Sedangkan di internal mereka, sanak famili dan kerabat sedarah lancar masuk dan bekerja, yang akhirnya dikontrak atas alasan kebutuhan daerah.
Kehadiran tenaga kontrak yang demikian, perlahan namun pasti menggerus anggaran daerah.
Kita semua mahfum, bahwa ketidakmampuan Aceh keluar dari zona degradasi, bukan hanya karena persoalan meledaknya jumlah tenaga kontrak.
Di luar itu, permainan mata anggaran di berbagai instansi juga ikut menyumbang persoalan. Banyak dana yang ditujukan untuk kepentingan rakyat, tidak mampu dikelola dengan berbagai sebab. Ujung-ujungnya di akhir tahun anggaran, tiap instansi pemerintah berlomba membuat program pelatihan, seminar, workshop dll yang ujungnya jelas hanya untuk menyerap anggaran, tanpa punya efek apapun untuk peningkatan kemajuan Aceh.
Sebagian kita berharap DPRA, Polisi dan unsur pengawas lainnya mampu menjadi penyeimbang agar Aceh bisa diselamatkan. Namun harapan itu tidaklah wajar lagi. Bersebab, mereka yang selama ini diamanahkan menjaga Aceh, justru ikut-ikutan merusak Aceh.
Coba lihat dana aspirasi dewan. Saya meyakini lebih 80%dana ini bermasalah. Padahal angka yang dikelola cukup besar tiap tahunnya. Dari semua program peningkatan ekonomi usulan aspirasi mereka, berapa yang maujud?
Berharap pada polisi. Kita sudah pantas untuk ragu. Dengan begitu banyaknya penyelewengan dana rakyat, siapa yang sudah dimasukkan dalam hotel prodeo?
Siapapun kita, sebagai orang Aceh, kita patut untuk menggugat. Ini bukan persoalan benci atau suka. Tapi kondisi Aceh sudah dalam taraf berbahaya. Sengketa lahan di mana -mana yang tidak satupun dimenangkan oleh rakyat. Hutan suah dibelah ke dalam berbagai HGU. Tak jarang, selain diteror, rakyat juga ditangkap. Masih untung bisa disidang tanpa disiksa fisiknya. Banyak pula yang ditangkap, di siksa, sidang kilat dan kemudian masuk bui.
Bicara pengangguran dan kemiskinan, tak perlu membuka data BPS untuk membuktikannya. Dengan kasat mata kita bisa melihat bahwa Aceh sedang dalam kondisi sekarat. Rakyat sekarat dalam hal finansial, tidak berdaulat atas lahan serta ditekan secara politik.
Akhirnya, bagi yang masih waras tentu akan bertanya, sebenarnya apa yang selama ini dilakulan penguasa di Aceh? Kenapa begini hancur kondisi daerah. Kenapa dengan dana yang begitu besar kita gagal mandiri secara ekonomi.
Sebenarnya hendak kalian bawa kemana Aceh ini? Kita sudah di depan jurang. Haruskah menunggu bangkrut total untuk menyadari ini?[acehtrend]
loading...

Post a Comment