AMP - Panggung Duek Pakat Alabas bergemuruh. Bukan oleh geulanteu
yang datang dari langit. Tapi oleh orasi politik yang menyuarakan
pemekaran. Tidak ada suara parau kala para orator itu meneriakkan dua
kata: Provinsi Alabas.
Siang itu, meski lapangan Teuku Umar berkubang air hujan lebat tidak
membuat langkah warga berlari, menjauh. Mereka duduk di tenda berbalut
kain putih disisipi kain kuning, dan merelakan kaki mereka digelitik
air. Di pinggir lapangan, dari dalam mobil, dari teras rumah, mereka
mendengar vokal tuntutan pemekatan yang mengalun nyaring hasil olahan
sound system.
Dan dengan bantuan sound system itu pula, warga mendengar dari rumah
mereka, tanpa perlu mendekat apalagi hujan lebat. Tak ada petir,
sehingga seluruh orasi politik sampai dengan jelas ke telinga mereka.
Liputan media online yang menyebar di media sosiallah yang akhirnya
mengubah orasi politik tentang Alabas menjadi sangkilat politik yang
mengganggu telinga mereka yang tidak setuju dengan pemekaran. Ada yang
geram, mengecam, dan bahkan ada yang dengan lembut mencoba memberi
pengertian bahwa pemekaran bukan solusi. Begitulah, ragam komentar di
media sosial, membuat panggung duek pakat Alabas di Kota Pahlawan
Meulaboh menjadi topik perbincangan di media sosial di hari Minggu, 7
Februari 2016.
Panggung Duek Pakat Alabas yang digagas anak muda, mahasiswa dan
berbagai komponen sipil dari barat dan selatan itu makin bertambah
meriah begitu Abdullah Saleh menyatakan dukungannya atas Provinsi
Alabas.
Pernyataan Ketua Komisi I DPRA yang berasal dari Partai Aceh itu
menjadi amunisi baru bagi perjuangan Alabas yang sudah berjauang lebih
kurang 17 tahun. “Sudah 17 tahun dan kini generasi baru perjuangan Ala
telah tumbuh,” kata Ketua KP3 Ala, Armen Desky yang menyatakan
keharuaannya kepada anak-anak muda yang menyuarakan pemekaran Aceh.
Armen Desky bersama 40 tokoh Ala ikut meramaikan panggung Duek Pakat
Alabas made in pemuda dan mahasiswa.
Spontan generasi muda dan mahasiwa yang punya hajat girang mendengar
dukungan dari Abdullah Saleh. Pasalnya, semua orang tahu, Partai Aceh
tempat Abdullah Saleh bernaung menentang Ala dan Abas termasuk juga
Alabas.
Bagi Partai Aceh, pemekaran Aceh adalah memecah belah Aceh. Pemekaran
bukan solusi. Pemerataan pembangunanlah jawaban atas ketertinggalan.
Begitulah suara Partai Aceh. Tapi, lain pula dalam pandangan anak muda
di kawasan barat dan selatan Aceh. “11 tahun sudah kami menunggu. Aceh
masih dikepung masalah. Tidak ada gunanya lagi menanti, toh mereka tidak
peduli dengan daerah kami. Hanya pemanis janji di musim suksesi,” kata
Zuliansyah yang mengaku datang dari desa terjauh yang ada di Singkil.
Suara pemekaran bahkan menggema hingga ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Abdullah Saleh yang datang diundang selaku wakil rakyat dari Dapil 10
hari itu benar-benar bagai pahlawan. Ia menjadi bintang baru Alabas.
Padahal, Tagore Abu Bakarlah yang awalnya membakar semangat massa. “Mana
sikap juang Teuku Umar?!” Begitu kata politisi PDI-P menyentuh naluri
juang orang-orang pantai barat dan selatan Aceh. Sebelumnya, Senator
Rafly mendendangkan lagu Seulanga untuk menghibur massa.
Dan sebagai politisi pantai barat yang memiliki indatu pahlawan Teuku
Umar, ulama Habib Seunagan dan bahkan punya hubungan famili dengan
martir Tengku Bantaqiah, Abdullah Saleh, sepertinya tidak mau
dipertanyakan keberaniaannya.
“Saya dukung Alabas. Tidak ada yang bisa menghadang wakil rakyat
untuk memperjuangkan aspirasi rakyat (dari daerah yang di wakilinya).”
Di media sosial, sikap Abdullah Saleh disambut pro dan kontra. Malah
ada yang mencandainya dengan menyebut nama Abdullah Salah. Tapi, ada
juga yang memuji langkah beraninya. Bahkan, dari suara anak muda yang
menggelar acara duek pakat berkata: “jika terjadi sesuatu atas Abdullah
Saleh, kami pastikan akan ada konsekuensinya,” kata Fadly.
Hari Minggu itu Abdullah Saleh yang sudah banyak mengarungi lautan
politik bukan lagi nahkhoda kemarin sore yang gentar dengan gertakan
apalagi bila ia disebut politisi penakut. Di garis tangannya politik
adalah peta, dan dia adalah pembaca peta politik yang tidak mudah goyah
oleh badai dan gelombang.
Di Nagan, Abdullah Saleh bahkan ibarat jarum kompas. Arah laku
politiknya ada yang menjadikan tanda-tanda. Jika ia bergerak ke kanan
bisa jadi sebagai tanda kebaikan, begitu pula bila ia bergerak ke kiri.
Dan, sebagai pembaca Teuku Umar, ia juga sosok yang tahu dimana bumi
yang mesti dijunjung. []
Renungan Samping (Resam), Rigah, Senin 8/2
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment