AMP - Pernyataan Gubernur Aceh Zaini Abdullah di hadapan sejumlah bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka pantas disimak. Dengan nada jerah, Gubernur Zaini menegaskan komitmennya untuk tidak memberikan bantuan peningkatan ekonomi kepada anggota Komite Peralihan Aceh dan Partai Aceh, seperti yang dilakukannya pada anggaran 2013.
Apa yang terjadi pada 2013 itu cukup menyakitkan hati. Bukan karena balasan yang diterima Gubernur Zaini dari partai yang juga dia besarkan, melainkan karena anggaran tersebut disia-siakan.
Total dana sebesar Rp 650 miliar lebih itu tak dipergunakan sebagaimana niat peruntukannya. Uang itu habis tanpa bekas. Dengan anggaran sebesar itu, harusnya perekonomian masyarakat, terutama keluarga bekas kombatan, bisa lebih baik lagi.
Pengelolaan seluruh uang ini diserahkan kepada Satuan Kerja Perangkat Aceh. Di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, program ini terdiri dari tiga item. Satu di antaranya adalah pengadaan kapal nelayan. Sayang, program ini tak berjalan baik. Perlu waktu satu tahun untuk kapal ini dapat beroperasi karena nelayan tidak menerima kapal ini dalam kondisi lengkap.
Di Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh, jumlah anggaran terbilang fantastis. Rp 35,8 miliar dialokasikan untuk membangun kandang, pembelian pakan, dan pekerjaan pendukung lain.
Namun satu per satu, keinginan itu rontok. Pembangunan pabrik pakan ayam sebesar Rp 5,5 miliar, misalnya, tidak bisa dilakukan karena harga melonjak naik. Jumlah ayam juga jauh berkurang. Dari rencana pembelian 100 ribu ekor, hanya tersisa 2.500 ekor ayam di kandang.
Demikian halnya dengan sapi-sapi yang akan digemukkan raib karena “diternak” sendiri oleh KPA dari masing-masing wilayah. Anehnya, banyak anggota kelompok yang tidak mengetahui pembagian sapi itu. Nama mereka dicatut untuk memuluskan aksi “menguruskan” sapi.
Pantas saja jika niat baik Gubernur Aceh berubah menjadi murka hingga tidak lagi mau mengalokasikan secara khusus buat KPA dan PA di tahun-tahun berikutnya.
Demi menghentikan polemik Rp 650 miliar ini, maka seluruh kepala SKPA yang mengelola anggaran itu harus bertanggung jawab. Mereka wajib berbicara tentang pencapaian dan kegagalan pengelolaan uang tersebut.
Tanpa berprasangka buruk, Inspektorat Aceh dan Badan Pemeriksa Keuangan juga harus melakukan audit investigatif atas pengelolaan uang ini. Biar hal ini menjadi terang benderang. Jangan-jangan, uang setengah triliun rupiah lebih itu hanya jadi bancakan orang-orang tertentu saja.
Apa yang terjadi pada 2013 itu cukup menyakitkan hati. Bukan karena balasan yang diterima Gubernur Zaini dari partai yang juga dia besarkan, melainkan karena anggaran tersebut disia-siakan.
Total dana sebesar Rp 650 miliar lebih itu tak dipergunakan sebagaimana niat peruntukannya. Uang itu habis tanpa bekas. Dengan anggaran sebesar itu, harusnya perekonomian masyarakat, terutama keluarga bekas kombatan, bisa lebih baik lagi.
Pengelolaan seluruh uang ini diserahkan kepada Satuan Kerja Perangkat Aceh. Di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, program ini terdiri dari tiga item. Satu di antaranya adalah pengadaan kapal nelayan. Sayang, program ini tak berjalan baik. Perlu waktu satu tahun untuk kapal ini dapat beroperasi karena nelayan tidak menerima kapal ini dalam kondisi lengkap.
Di Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh, jumlah anggaran terbilang fantastis. Rp 35,8 miliar dialokasikan untuk membangun kandang, pembelian pakan, dan pekerjaan pendukung lain.
Namun satu per satu, keinginan itu rontok. Pembangunan pabrik pakan ayam sebesar Rp 5,5 miliar, misalnya, tidak bisa dilakukan karena harga melonjak naik. Jumlah ayam juga jauh berkurang. Dari rencana pembelian 100 ribu ekor, hanya tersisa 2.500 ekor ayam di kandang.
Demikian halnya dengan sapi-sapi yang akan digemukkan raib karena “diternak” sendiri oleh KPA dari masing-masing wilayah. Anehnya, banyak anggota kelompok yang tidak mengetahui pembagian sapi itu. Nama mereka dicatut untuk memuluskan aksi “menguruskan” sapi.
Pantas saja jika niat baik Gubernur Aceh berubah menjadi murka hingga tidak lagi mau mengalokasikan secara khusus buat KPA dan PA di tahun-tahun berikutnya.
Demi menghentikan polemik Rp 650 miliar ini, maka seluruh kepala SKPA yang mengelola anggaran itu harus bertanggung jawab. Mereka wajib berbicara tentang pencapaian dan kegagalan pengelolaan uang tersebut.
Tanpa berprasangka buruk, Inspektorat Aceh dan Badan Pemeriksa Keuangan juga harus melakukan audit investigatif atas pengelolaan uang ini. Biar hal ini menjadi terang benderang. Jangan-jangan, uang setengah triliun rupiah lebih itu hanya jadi bancakan orang-orang tertentu saja.
Sumber: ajnn.net
loading...
Post a Comment