Halloween Costume ideas 2015
loading...

Lilianne Fan: Jafar Siddiq Hamzah Pejuang Aceh dan Pembimbing Generasi Muda

Almarhum Nyak Jafar Siddiq Hamzah bersama Lilianne Fan. | Foto: Nurdin Hasan
AMP - Salah seorang aktivis kemanusiaan, Lilianne Fan, berbagi kisahnya tentang sosok almarhum Nyak Jafar Siddiq Hamzah SH, salah seorang pejuang HAM Internasional.

Berikut kisahnya yang dikirimkan ke redaksi ACEHXPress.com :

Saya pertama kali bertemu dengan Almarhum Bang Jafar Siddiq Hamzah pada September 1999 dan saya masih seorang mahasiswi S1 di universitas New School for Social Research di New York. Ketika itu saya tidak menyadari bahwa Bang Jafar akan menjadi salah seorang yang paling berpengaruh dalam hidup saya dikemudian hari.

Saya kenal nama Bang Jafar beberapa minggu sebelum bertemu dengan beliau, ketika secara tidak sengaja melihat sebuah poster tentang seminar yang berjudul “After East Timor: a discussion on the future of Indonesia”, saat menuju ke kelas anthropologi di kampus tempat saya belajar. Saya mencatat informasi tentang seminar tersebut dan merasa tertarik dengan narasumbernya, yaitu : Sidney Jones, Direktur Eksekutif, Human Rights Watch, Asia Division; Jafar Siddiq Hamzah, Chairperson, International Forum for Aceh; dan Abdul Malik, mahasiswa S3 bidang Sains Politik, di New School University.

Sebagai seorang warganegara Malaysia, dan karena orang tua saya sendiri adalah aktivis HAM, saya telah dibesarkan dengan kesadaran tentang konflik dan pelanggaran HAM di seluruh Asia dan Timur Tengah–– Sri Lanka, Burma, Kashmir, Timor Timur, Mindanao, Palestina, Iraq dan lainnya. Ketika saya membaca poster tersebut saya menyadari bahwa saya hampir sama sekali tidak tahu tentang Aceh dan apa yang terjadi di sana. Yang saya tahu pada waktu itu hanya Aceh terletak di bagian utara Sumatra dan Aceh mengalami kondisi konflik. Hanya itu yang saya tahu. Saya tidak pernah melihat laporan apapun tentang konflik atau pelanggaran HAM yang sedang terjadi Aceh. Kesadaran tersebut membuat saya bertanya–– kenapa? Apakah Aceh begitu tertutup dari mata dunia sehingga jaringan HAM di Asia sendiri tidak tahu apa yang terjadi di sana? Malam itu juga saya mulai belajar lebih banyak tentang Aceh. Informasi yang saya dapatkan di internet pada malam itu membuat saya merasa sedih dan tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membantu. Saya tidak bisa mempercayai bahwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang begitu besar sedang terjadi diseberang selat Melaka.

Sekitar 10 hari sebelum seminar diadakan, dalam perjalanan pulang dari universitas setelah kelas filasafat politik. Saya naik Keretapi nomor 4 di stasiun Union Square. Beberapa saat sebelum pintu keretapi ditutup, seorang lelaki yang membawa tas ransel dan beberapa kertas serta buku masuk dan duduk di sebelah saya. Saya memperhatikannya dan berpikir kira–kira dia berasal dari negara mana. Ketika keretapi mula bergerak, lelaki itu mulai membaca kertas yang dipegangnya, dan saya melihat bahwa dia membaca artikel berita dalam Bahasa Indonesia tentang pilpres yang akan diadakan di Indonesia dalam beberapa minggu kedepan. Saya memberanikan diri untuk bertanya dalam Bahasa Melayu, “Maaf, Encik, anda dari Indonesia?” Dia tersenyum dan membalas dengan ramah dalam Bahasa Indonesia, dan kita bicara sepanjang perjalanan tentang pilpres dan kondisi di Indonesia. Sebelum sampai ke stasiun Grand Central, dia memberikan kartu namanya kepada saya. Saya merasa kaget ketika membaca namanya: “Jafar Siddiq Hamzah, Chair, International Forum for Aceh.” Saya langsung memberitahu Bang Jafar bahwa saya sudah pernah membaca namanya dalam sebuah poster dan bahkan saya berencana untuk menghadiri seminarnya. Bang Jafar merasa kaget dan senang lalu menawarkan untuk melanjutkan diskusi sambil minum secangkir teh. Kemudian kami keluar dari Grand Central dan mencari sebuah kafe terdekat.

Malam itu, Bang Jafar menceritakan apa yang terjadi Aceh–– tentang puluhan ribu korban sipil dan juga tentang pelanggaran HAM yang terus terjadi dan kekebalan hokum para pelakunya. Saya bisa melihat kesedihanannya ketika bercerita tentang penderitaan masyarakat Aceh, dan komitmennya yang tinggi untuk membantu rakyat Aceh. Saya berjanji pada malam itu untuk membantu Bang Jafar sejauh yang saya mampu. Sejak malam itu, saya mulai membantu Bang Jafar di IFA, salah satunya membantu menerjemahkan laporan pelanggaran HAM dari lapangan untuk didistribusikan ke jaringannya di Amerika Serikat dan dunia internasional. Bang Jafar kemudian memperkenalkan saya dengan kawan–kawan IFA lainnya termasuk Om Nur Djuli yang sampai hari ini saya anggap seperti keluarga saya sendiri.

Setelah seminar Bang Jafar di New School, saya ikut makan malam bersama dia dan Abdul Jalil, teman serumahnya Bang Jafar. Malam itu Bang Jafar memberitahukan kepada saya sesuatu yang baru–– tentang kebangkitan sebuah gerakan mahasiswa dan pemuda di Aceh yang sedang berjuang demi keadilan, perdamaiaan, non–kekerasan, demokrasi dan mengakhiri kekebalan hukum dikalangan militer. Dia memberitahu saya bahwa gerakan ini sedang bersiap sedia untuk memobilisasi sebuah demo massal di Masjid Raya Banda Aceh untuk menggelar sebuah referendum untuk Aceh. Saya kagum sekali dan bersemangat mendengar tentang gerakan mahasiswa ini. Untuk pertama kalinya sejak saya mulai peduli tentang Aceh saya merasa ada sebuah harapan. “Kita harus memberitahu dunia tentang gerakan ini,” kata saya ke Bang Jafar. “Inilah yang harus diketahui oleh dunia internasional tentang Aceh”. Jafar memberitahu saya bahwa dia sedang berusaha untuk membawa beberapa tokoh gerakan mahasiswa Aceh ke New York dalam beberapa bulan yang akan datang. Malam itu kami sepakat untuk mendirikan the Student Coalition for Aceh (SCA), dan saya menjadi koordinatornya.

Beberapa minggu kemudian, Bang Jafar memperkenalkan saya dengan Aguswandi dan kami mengorganisir seminar di beberapa universitas. Dalam beberapa bulan berikutnya saya bertemu dengan aktivis lainnya, seperti Muhammad Nazar dan Radhi Darmansyah, dan juga sering berkomunikasi lewat telefon dan email dengan tokoh–tokoh mahasiswa di Aceh, termasuk Kautsar, Juanda, Nasruddin Abubakar, Raihan, Arabiyani, Tarmizi dan Taufik Abda. SCA berusaha untuk mendokumentasikan gerakan sipil di Aceh, termasuk kiprah lembaga–lembaga seperti SMUR, SIRA, PCC, Farmidia, Forum Rakyat dan lainnya. SCA mendirikan sebuah jaringan mahasiswa dan pemuda di New York yang bersolidaritas dengan mahasiswa dan aktivis di Aceh, selain itu SCA juga sering bertemu dengan masyarakat Aceh di Queens, dan melakukan advokasi untuk mengangkat issue gerakan sipil di Aceh sebagai sebuah gelombang non–violence dan demokrasi yang harus didukung oleh dunia Internasional.

Walaupun kerjasama saya dan Bang Jafar tidak berlangsung untuk jangka waktu yang sangat lama, namun sejak saat itu saya bekerja setiap hari dengan Bang Jafar sampai saat dia diculik di Medan pada tanggal 5 Augustus tahun 2000. Dalam jangka waktu itu, Bang Jafar telah menjadi seorang teman akrab yang saya anggap sebagai keluarga sendiri dan juga seorang pembimbing bagi saya. Kepergiaan Bang Jafar adalah sebuah kehilangan terbesar yang pernah saya alami. Sampai hari ini, kepeduliaan dan kerja–kerja kemanusiaan yang saya lakukan di Aceh saya dedikasikan sebagai keberlanjutan kerja Bang Jafar untuk Aceh, karena saya telah janji kepadanya untuk senantiasa peduli kepada Aceh.

Bang Jafar dibunuh dengan sangat kejam karena dia membela HAM, keadilan, demokrasi dan perdamaian di Aceh. Dia juga dibunuh karena keyakinannya bahwa sebuah Aceh yang damai dan berdemokrasi adalah sesuatu yang mungkin dan sudah mulai terwujud. Dari semua tokoh Aceh yang pernah saya kenal, Bang Jafar adalah satu–satunya yang sangat percaya dan menaruh harapan besar bahwa peran aktif mahasiswa dan pemuda aceh sangat diperlukan dalam mewujudkan Aceh yang damai, adil dan bermartabat. Saya berharap semangat perjuangan Bang Jafar akan terus hidup dalam hati rakyat, terutama mahasiswa dan pemuda Aceh.

Lelaki yang bernama Jafar Siddiq Hamzah memang sudah tidak bersama kita lagi hari ini, namun saya percaya semangat dan cita–citanya yang mulia untuk Aceh akan terus hidup bersama kita, hari ini, besok dan selamanya. []

Lilianne Fan adalah Direktur Internasional Yayasan Geutanyoe dan seorang aktivis kemanusiaan.

loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget