AMP - Kemarin seorang teman yang berpofesi sebagai guru, mengeluh tentang seringnya rombongan “wartawan” menyambangi sekolahnya dengan dalih adanya dugaan penyalahgunaan dana BOS.
Kehadiran mereka, seperti biasa, dengan gaya menakuti akan memberitakan penyelewengan dana, apabila sang kepala sekolah tidak mau bekerjasama.
Teman lainnya yang bekerja di salah satu dinas mengaku hampir tiap hari didatangi oleh orang- orang yang membawa setumpuk kliping koran, yang berisi pemberitaan seremonial, yang hendak dia tukarkan dengan sejumlah uang.
Seorang teman lainnya, berprofesi sebagai politisi mengeluh karena pemberitaan sejumlah media yang menurutnya tidak jelas. Lema hancur-hancuran serta banyak mengutip sumber anonim.
Teman saya, seorang polisi bercerita sambil tertawa tentang perilaku seorang oknum yang mengaku wartawan. Oknum itu menolak ditilang, setelah berkendara melawan arus, dengan alasan sedang terburu-buru meliput berita.
Teman saya yang polisi itu dituduh oleh oknum itu mencoba menghalang-halangi pekerja pers dan melanggar Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
Seorang warga protes karena dia tidak lagi mendapatkan informasi yang benar, setelah Aceh damai. Menurutnya, kian mendekati tahun-tahun politik, semakin marak berita tidak jelas, puja- puji tanpa dasar.Juga pembusukan yang luar bias tanpa data.
Wartawan Asli Tapi Palsu
Fenomena di atas merupakan ekstrak dari ragam pengalaman saya dan teman-teman jurnalis di lapangan.
Banyak pihak yang mengaku terganggu dengan kehadiran ragam pewarta di kehidupan mereka. Mulai yang meminta uang dengan membawa kliping koran berisi puja-puji. Mengancam menulis kasus bila tak bisa barter, membawa proposal kegiatan kunjungan si wartawan ke luar daerah.juga wartawan yang selalu mengaburkan fakta dengan menulis tanpa cover both side serta gemar menggunakan narasumber anonim.
Kenapa pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan oleh mereka yang mengaku wartawan?
Pertama karena ketidaktahuan. Banyak orang yang sekarang menyandang badge wartawan, ternyata tidak mengenal dunia yang dia geluti. Satu-satunya alasan mengapa dia terlibat, karena mudahnya mencari uang. Coba anda perhatikan, di daerah ysng sarat masalah, di situ tumbuh subur praktik jurnalistik “buta huruf”.
Biasanya pula, para pejabat setempat akan berbaik-baik dengan wartawan demikian. Komitmennya adalah:tulis yang baik saja, nanti pemerintah akan bayar.
Ini punya hubungan erat dengan kegagalan pemerintah setempat membangun fondasi ekonomi rakyat. Ujung-ujungnya mereka yang sedikit “cerdas” dan “tebal muka” akan menyaru menjadi wartawan. Daripada menjadi pengemis kumal, lebih baik menjadi pengemis yang mempunyai ID card.
Di sisi lain, banyaknya media yang dibangun untuk pencitraan politik, telah pula menyeret mereka yang profesional, menjadi pelaku jurnalistik yang kejam membunuh lawan politik tuannya. Kata-kata “diduga”, “punya hak jawab” menjadi tameng ampuh untuk menikam musuh tauke yang menggaji mereka.
Media-media seperti ini, cenderung tidak fair. Dia tidak akan garang dengan kesalahan sang tuannya. Seberat apapun kesalahan sang tuan, mereka akan masa bodoh.
Lalu apakah masih ada jurnalis dan media yang berada pada jalur yang benar? Tentu saja masih ada.
Jurnalis sejati bekerja sesuai kode etik jurnalistik, berpedoman pada UU Pers, menguasai ilmu komunikasi dan ilmu tata bahasa, walau dia bukan sarjana yang linier dengan kedua hal itu.
Lalu siapa saja mereka? Pembaca tentu punya kemampuan yang memadai untuk membedakannya. [acehtrend.co]
Kehadiran mereka, seperti biasa, dengan gaya menakuti akan memberitakan penyelewengan dana, apabila sang kepala sekolah tidak mau bekerjasama.
Teman lainnya yang bekerja di salah satu dinas mengaku hampir tiap hari didatangi oleh orang- orang yang membawa setumpuk kliping koran, yang berisi pemberitaan seremonial, yang hendak dia tukarkan dengan sejumlah uang.
Seorang teman lainnya, berprofesi sebagai politisi mengeluh karena pemberitaan sejumlah media yang menurutnya tidak jelas. Lema hancur-hancuran serta banyak mengutip sumber anonim.
Teman saya, seorang polisi bercerita sambil tertawa tentang perilaku seorang oknum yang mengaku wartawan. Oknum itu menolak ditilang, setelah berkendara melawan arus, dengan alasan sedang terburu-buru meliput berita.
Teman saya yang polisi itu dituduh oleh oknum itu mencoba menghalang-halangi pekerja pers dan melanggar Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
Seorang warga protes karena dia tidak lagi mendapatkan informasi yang benar, setelah Aceh damai. Menurutnya, kian mendekati tahun-tahun politik, semakin marak berita tidak jelas, puja- puji tanpa dasar.Juga pembusukan yang luar bias tanpa data.
Wartawan Asli Tapi Palsu
Fenomena di atas merupakan ekstrak dari ragam pengalaman saya dan teman-teman jurnalis di lapangan.
Banyak pihak yang mengaku terganggu dengan kehadiran ragam pewarta di kehidupan mereka. Mulai yang meminta uang dengan membawa kliping koran berisi puja-puji. Mengancam menulis kasus bila tak bisa barter, membawa proposal kegiatan kunjungan si wartawan ke luar daerah.juga wartawan yang selalu mengaburkan fakta dengan menulis tanpa cover both side serta gemar menggunakan narasumber anonim.
Kenapa pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan oleh mereka yang mengaku wartawan?
Pertama karena ketidaktahuan. Banyak orang yang sekarang menyandang badge wartawan, ternyata tidak mengenal dunia yang dia geluti. Satu-satunya alasan mengapa dia terlibat, karena mudahnya mencari uang. Coba anda perhatikan, di daerah ysng sarat masalah, di situ tumbuh subur praktik jurnalistik “buta huruf”.
Biasanya pula, para pejabat setempat akan berbaik-baik dengan wartawan demikian. Komitmennya adalah:tulis yang baik saja, nanti pemerintah akan bayar.
Ini punya hubungan erat dengan kegagalan pemerintah setempat membangun fondasi ekonomi rakyat. Ujung-ujungnya mereka yang sedikit “cerdas” dan “tebal muka” akan menyaru menjadi wartawan. Daripada menjadi pengemis kumal, lebih baik menjadi pengemis yang mempunyai ID card.
Di sisi lain, banyaknya media yang dibangun untuk pencitraan politik, telah pula menyeret mereka yang profesional, menjadi pelaku jurnalistik yang kejam membunuh lawan politik tuannya. Kata-kata “diduga”, “punya hak jawab” menjadi tameng ampuh untuk menikam musuh tauke yang menggaji mereka.
Media-media seperti ini, cenderung tidak fair. Dia tidak akan garang dengan kesalahan sang tuannya. Seberat apapun kesalahan sang tuan, mereka akan masa bodoh.
Lalu apakah masih ada jurnalis dan media yang berada pada jalur yang benar? Tentu saja masih ada.
Jurnalis sejati bekerja sesuai kode etik jurnalistik, berpedoman pada UU Pers, menguasai ilmu komunikasi dan ilmu tata bahasa, walau dia bukan sarjana yang linier dengan kedua hal itu.
Lalu siapa saja mereka? Pembaca tentu punya kemampuan yang memadai untuk membedakannya. [acehtrend.co]
loading...
Post a Comment