Ilustrasi |
AMP - Hiruk pikuk pemilihan kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) di Aceh semakin semarak. Masing-masing kontestan gencar mengatur strategi dalam menghadapi pesta demokrasi serentak di Aceh. Berbagai manuver dan strategi politik dimainkan oleh para pendukung. Serangan yang menjurus pada personalpun sudah mulai gencar bertaburan di sosial media. Padahal gendang politik secara resmi baru mulai di awal Bulan Agustus 2016.
Tentu syahwat politik tidak bisa dibendung. Sejatinya serangan personal tidak mesti dilakoni oleh para pendukung. Biarkan rakyat menentukan arah dan keyakinan politiknya. Tak usah memakai gaya-gaya premanisme yang dibungkus dalam kedok atas nama rakyat.
Di Bulan Ramadhan ini sepanjang jalan dengan mudah kita lihat dan baca spanduk, bilboard, baliho, stiker akan eksistensi para bakal calon kepala daerah di semua level. Bahkan akhir-akhir ini media massa membuka ruang khusus atawa iklan pencitraan para bakal calon kepala daerah. Tentunya tidak ada yang melarang lakon itu, sejauh dilakukan secara prosuderal, santun dan bermartabat.
Masyarakat Aceh berharap Pemilukada 2017 nantinya membawa berkah positif bagi kemajuan Aceh. Apalagi alokasi dana Otsus Aceh dibatasi secara konstitusional. Untuk itulah butuh sosok pemimpin yang cerdas, santun, serta mampu memainkan irama dan gendang politiknya demi kemaslahatan Aceh.
Di sisi yang lain, potensi konflik cukup besar pada pemilukada Tahun 2017, dimana riak-riak kecil sudah mulai bermunculan sesama anak negeri. Ada yang merasa dikianati, bahkan ada pula yang mengklaim itu hal yang biasa dalam ranah politik. Ingat politik itu last minute bisa berubah. Tak Ada yang abadi dalam dunia politik, karena keabadian itu terletak pada kepentingan politik.
Arah Politik sulit ditebak, setidaknya Politik Tahun 2017 menjadi babak baru dalam pesta demokrasi Aceh. Kekuatan Politik Lokal sudah mulai mengendur, ini terbaca di beberapa daerah tidak solid lagi dalam menerima titah sang ketua parpol Lokal, sebut saja Pasca Muzakkir Manaf meminang TA Khalid sebagai Wakilnya, beberapa Pentolah KPA/PA mulai protes, sikap protes ini menandakan Partai Aceh sudah tidak solid lagi.
Begitupun Partai Nasional cendrung tidak solid bahkan terjadi dualisme kepemimpinan sebut saja PPP dan Golkar, walau sudah Islah namun, nuansa perpecahan masih terlihat mekipun bersifat abu-abu. Ya publik dapat membaca gelagat perpecahan internal partai politik baik Lokal maupun nasional.
Rakyat Aceh berharap ada kedamaian, Siapapun nantinya menjadi orang nomor satu di Propinsi dan Kabupaten/Kota. Bagi warga mereka butuh kedamaian, kesejahteraan dan ketenangan dalam arti yang luas. Sudah tidak elok lagi klaim kamilah pejuang sementara yang lain pengkhianat Bangsa. Jargon pejuang dan pengkhianat sudah tidak sesuai lagi dengan alam saat ini.
Pemilukada 2017 nantinya bukanlah ajang permusuhan, akan tetapi menjadikan sebagai instrumen politik sehat, santun dan Islami dalam rangka memperoleh kekuasaan untuk membangun Aceh lebih bermartabat. Biarkan hak-hak demokrasi rakyat berjalan sebagaimana mestinya, sesuai koridor, hilangkan budaya kekerasan, peusak hob, harus awak ke, meunyoe awak goeb hanjet, cara-rara ini bukan cerminan islami. Dalam alam demokrasi semua manusia mempunyai hak dan kedudukan yang sama.
Ibnu Taimiyyah pernah menegaskan dalam bukunya “Al-Siyaasah al-Syar’iyyah” kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna kekuasaan, tetapi di sisi lain juga bisa bermakna tanggungjawab. Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT.mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari siapa pun yang dikehendaki-Nya (QS. Ali-Imran:26).
Pemimpin dapat diibaratkan sebagai seorang “sopir” bus yang membawa penumpang-penumpangnya pada suatu tujuan dengan selamat dan memuaskan. Sebagai seorang sopir pastilah harus menguasai dan ahli dalam menyopir serta segala seluk-beluknya, baik itu keteknisian atau perbengkelannya dan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh polisi pada rambu-rambu lalu-lintas. Sedangkan kondektur bus adalah tim ahli yang juga dibutuhkan partisipasinya, yang membantu supir dalam mengontrol keadaan bus dan mendata jumlah penumpang serta menjaga barang-barang bawaan penumpang.
Dalam hal ini kondektur diumpamakan dewan-dewan legislatif yang wajib berpartisipasi selalu membantu program-program kerja pemimpin dalam membawa bangsa dan rakyatnya. Kaca spion, lampu, rem dan lainnya merupakan peralatan yang harus ada dan lengkap untuk menempuh perjalanan. Peralatan-peralatan seperti kaca spion, setir, klakson dan lainnya itu seperti perundang-undangan yang disepakati bersama dan layak untuk dipakai.
Mana mungkin penumpang akan naik sebuah bus yang tak ada kaca spion, rem, lampu dan peralatan-peralatan lainnya? Peralatan-peralatan itu juga bisa di-“stel” atau di- “utak-atik” dengan selera masing-masing menurut mode dan selera yang sama-sama disepakati. Kalau bus dengan peralatan-peralatan yang telah disepakati bersama dapat menghantarkan penumpang ke tujuannya, mengapa tidak perundang-undangan yang disetujui bersama dapat menjadikan rakyat kepada tatanan kehidupan yang makmur dan sejahtera? Supir yang sudah ahli dengan peralatan-peralatan yang lengkap, belum menjadi jaminan untuk sampai ke tujuan kecuali dengan do’a mengharap lindungan Allah SWT. Tak lebihnya juga, seorang pemimpin dengan dewan-dewan legislatifnya serta rakyat belum menjamin kemakmuran dan kesejahteraan kecuali dengan ridho dan hidayah Allah SWT. Disinilah pentingnya ketaqwaan itu, dengan kepatuhan dan ketaatannya kepada yang Maha Kuasa. Disamping itu, pemimpin juga harus orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Ada baiknya juga, jika kita belajar dari isi pidato Khalifah Abu bakar Assiddiq ra ketika beliau dilantik menjadi pemimpin umat sepeninggalnya Rasulullah SAW, yang mana inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pedoman dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut:
“Saudara-saudara, Aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ diantara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ diantara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Sholat semoga Allah Swt melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua”.
Ada 7 (tujuh) poin yang dapat diambil dari inti pidato khalifah Abu Bakar ra sebagai syarat untuk menjadi sosok Pemimpin Ideal yaitu:
Pertama : Sifat rendah hati. Pada hakikatnya kedudukan pemimpin itu tidak berbeda dengan kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang harus terus diistimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan dalam memimpin dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat yang di atas pundaknya terletak tanggungjawab besar yang mesti dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang “partner” dalam batas-batas yang tertentu bukan seperti “tuan dengan hambanya”. Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan, sebaliknya keegoan mencerminkan sifat takabur dan ingin menang sendiri.
Kedua: Sifat terbuka untuk dikritik. Seorang pemimpin haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Tidak seyogiayanya menganggap kritikan itu sebagai hujatan atau orang yang mengkritik sebagai lawan yang akan menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya mendzalimi orang tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai “mitra” dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang selama ini terjadi untuk membangun kepada perbaikan dan kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi sejati sebab sehebat manapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan partisipasi dari orang banyak dan mitranya. Disinilah perlunya social-support dan social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini bersumber dari norma-norma islam yang diterima secara utuh ajaran Nabi Muhammad Saw.
Ketiga : Sifat jujur dan memegang amanah. Kejujuran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan simpati rakyat terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan dari seluruh amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah didatangi putranya saat dia berada dikantornya kemudian bercerita tentang keluarga dan masalah yang terjadi dirumah. Seketika itu Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu ruangan dan si anak bertanya dari sebab apa sang ayah mematikan lampu sehingga hanya berbicara dalam ruangan yang gelap. Dengan sederhana sang ayah menjawab bahwa lampu yang kita gunakan ini adalah amanah dari rakyat yang hanya dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan bukan urusan keluarga.
Keempat : Sifat berlaku adil. Keadilan adalah konteks nyata yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Keadilan bagi manusia tidak ada yang relatif. Islam meletakkan soal penegakan keadilan itu sebagai sikap yang essensial. Seorang pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-adilnya bukan sebaliknya berpihak pada seorang saja-berat sebelah. Dan orang yang “lemah” harus dibela hak-haknya dan dilindungi, sementara orang yang “kuat” dan bertindak zhalim harus dicegah dari bertindak sewenang-wenangnya.
Kelima: Komitmen dalam perjuangan. Sifat pantang menyerah dan konsisten pada konstitusi bersama bagi seorang pemimpin adalah penting. Teguh dan terus Istiqamah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang tergoda oleh rayuan dan semangat menjadi orang yang pertama di depan musuh-musuh yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah di sepakati bersama. Bukan sebagai penonton di kala perang.
Keenam: Bersikap demokratis. Demokrasi merupakan “alat” untuk membentuk masyarakat yang madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam hal ini pemimpin tidak sembarang memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dari sebuah kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.
Ketujuh: Berbakti dan mengabdi kepada Allah SWT. Dalam hidup ini segala sesuatunya takkan terlepas dari pantauan Allah SWT, manusia bisa berusaha semampunya dan sehebat-hebatnya namun yang menentukannya adalah tetap Allah SWT. Hubungan seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah pentingnya; yaitu dengan berbakti dan mengabdi kepada Allah SWT. Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan ridho Allah SWT semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam menegakkan sholat lima waktu misalnya, seorang pemimpin akan mendapat hidayah untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan tercela. Selanjutnya ia akan mampu mengawasi dirinya dari perbuatan-perbuatan hina dan tercela. Syukur bila meraih suatu keberhasilan serta sabar dan tawakkal juga saat menghadapi kegagalan. Semoga Pemilukada 2017 melahirkan Pemimpin yang santun, cerdas dan religius.(*)
Tentu syahwat politik tidak bisa dibendung. Sejatinya serangan personal tidak mesti dilakoni oleh para pendukung. Biarkan rakyat menentukan arah dan keyakinan politiknya. Tak usah memakai gaya-gaya premanisme yang dibungkus dalam kedok atas nama rakyat.
Di Bulan Ramadhan ini sepanjang jalan dengan mudah kita lihat dan baca spanduk, bilboard, baliho, stiker akan eksistensi para bakal calon kepala daerah di semua level. Bahkan akhir-akhir ini media massa membuka ruang khusus atawa iklan pencitraan para bakal calon kepala daerah. Tentunya tidak ada yang melarang lakon itu, sejauh dilakukan secara prosuderal, santun dan bermartabat.
Masyarakat Aceh berharap Pemilukada 2017 nantinya membawa berkah positif bagi kemajuan Aceh. Apalagi alokasi dana Otsus Aceh dibatasi secara konstitusional. Untuk itulah butuh sosok pemimpin yang cerdas, santun, serta mampu memainkan irama dan gendang politiknya demi kemaslahatan Aceh.
Di sisi yang lain, potensi konflik cukup besar pada pemilukada Tahun 2017, dimana riak-riak kecil sudah mulai bermunculan sesama anak negeri. Ada yang merasa dikianati, bahkan ada pula yang mengklaim itu hal yang biasa dalam ranah politik. Ingat politik itu last minute bisa berubah. Tak Ada yang abadi dalam dunia politik, karena keabadian itu terletak pada kepentingan politik.
Arah Politik sulit ditebak, setidaknya Politik Tahun 2017 menjadi babak baru dalam pesta demokrasi Aceh. Kekuatan Politik Lokal sudah mulai mengendur, ini terbaca di beberapa daerah tidak solid lagi dalam menerima titah sang ketua parpol Lokal, sebut saja Pasca Muzakkir Manaf meminang TA Khalid sebagai Wakilnya, beberapa Pentolah KPA/PA mulai protes, sikap protes ini menandakan Partai Aceh sudah tidak solid lagi.
Begitupun Partai Nasional cendrung tidak solid bahkan terjadi dualisme kepemimpinan sebut saja PPP dan Golkar, walau sudah Islah namun, nuansa perpecahan masih terlihat mekipun bersifat abu-abu. Ya publik dapat membaca gelagat perpecahan internal partai politik baik Lokal maupun nasional.
Rakyat Aceh berharap ada kedamaian, Siapapun nantinya menjadi orang nomor satu di Propinsi dan Kabupaten/Kota. Bagi warga mereka butuh kedamaian, kesejahteraan dan ketenangan dalam arti yang luas. Sudah tidak elok lagi klaim kamilah pejuang sementara yang lain pengkhianat Bangsa. Jargon pejuang dan pengkhianat sudah tidak sesuai lagi dengan alam saat ini.
Pemilukada 2017 nantinya bukanlah ajang permusuhan, akan tetapi menjadikan sebagai instrumen politik sehat, santun dan Islami dalam rangka memperoleh kekuasaan untuk membangun Aceh lebih bermartabat. Biarkan hak-hak demokrasi rakyat berjalan sebagaimana mestinya, sesuai koridor, hilangkan budaya kekerasan, peusak hob, harus awak ke, meunyoe awak goeb hanjet, cara-rara ini bukan cerminan islami. Dalam alam demokrasi semua manusia mempunyai hak dan kedudukan yang sama.
Ibnu Taimiyyah pernah menegaskan dalam bukunya “Al-Siyaasah al-Syar’iyyah” kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna kekuasaan, tetapi di sisi lain juga bisa bermakna tanggungjawab. Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT.mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari siapa pun yang dikehendaki-Nya (QS. Ali-Imran:26).
Pemimpin dapat diibaratkan sebagai seorang “sopir” bus yang membawa penumpang-penumpangnya pada suatu tujuan dengan selamat dan memuaskan. Sebagai seorang sopir pastilah harus menguasai dan ahli dalam menyopir serta segala seluk-beluknya, baik itu keteknisian atau perbengkelannya dan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh polisi pada rambu-rambu lalu-lintas. Sedangkan kondektur bus adalah tim ahli yang juga dibutuhkan partisipasinya, yang membantu supir dalam mengontrol keadaan bus dan mendata jumlah penumpang serta menjaga barang-barang bawaan penumpang.
Dalam hal ini kondektur diumpamakan dewan-dewan legislatif yang wajib berpartisipasi selalu membantu program-program kerja pemimpin dalam membawa bangsa dan rakyatnya. Kaca spion, lampu, rem dan lainnya merupakan peralatan yang harus ada dan lengkap untuk menempuh perjalanan. Peralatan-peralatan seperti kaca spion, setir, klakson dan lainnya itu seperti perundang-undangan yang disepakati bersama dan layak untuk dipakai.
Mana mungkin penumpang akan naik sebuah bus yang tak ada kaca spion, rem, lampu dan peralatan-peralatan lainnya? Peralatan-peralatan itu juga bisa di-“stel” atau di- “utak-atik” dengan selera masing-masing menurut mode dan selera yang sama-sama disepakati. Kalau bus dengan peralatan-peralatan yang telah disepakati bersama dapat menghantarkan penumpang ke tujuannya, mengapa tidak perundang-undangan yang disetujui bersama dapat menjadikan rakyat kepada tatanan kehidupan yang makmur dan sejahtera? Supir yang sudah ahli dengan peralatan-peralatan yang lengkap, belum menjadi jaminan untuk sampai ke tujuan kecuali dengan do’a mengharap lindungan Allah SWT. Tak lebihnya juga, seorang pemimpin dengan dewan-dewan legislatifnya serta rakyat belum menjamin kemakmuran dan kesejahteraan kecuali dengan ridho dan hidayah Allah SWT. Disinilah pentingnya ketaqwaan itu, dengan kepatuhan dan ketaatannya kepada yang Maha Kuasa. Disamping itu, pemimpin juga harus orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Ada baiknya juga, jika kita belajar dari isi pidato Khalifah Abu bakar Assiddiq ra ketika beliau dilantik menjadi pemimpin umat sepeninggalnya Rasulullah SAW, yang mana inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pedoman dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut:
“Saudara-saudara, Aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ diantara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ diantara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Sholat semoga Allah Swt melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua”.
Ada 7 (tujuh) poin yang dapat diambil dari inti pidato khalifah Abu Bakar ra sebagai syarat untuk menjadi sosok Pemimpin Ideal yaitu:
Pertama : Sifat rendah hati. Pada hakikatnya kedudukan pemimpin itu tidak berbeda dengan kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang harus terus diistimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan dalam memimpin dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat yang di atas pundaknya terletak tanggungjawab besar yang mesti dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang “partner” dalam batas-batas yang tertentu bukan seperti “tuan dengan hambanya”. Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan, sebaliknya keegoan mencerminkan sifat takabur dan ingin menang sendiri.
Kedua: Sifat terbuka untuk dikritik. Seorang pemimpin haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Tidak seyogiayanya menganggap kritikan itu sebagai hujatan atau orang yang mengkritik sebagai lawan yang akan menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya mendzalimi orang tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai “mitra” dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang selama ini terjadi untuk membangun kepada perbaikan dan kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi sejati sebab sehebat manapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan partisipasi dari orang banyak dan mitranya. Disinilah perlunya social-support dan social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini bersumber dari norma-norma islam yang diterima secara utuh ajaran Nabi Muhammad Saw.
Ketiga : Sifat jujur dan memegang amanah. Kejujuran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan simpati rakyat terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan dari seluruh amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah didatangi putranya saat dia berada dikantornya kemudian bercerita tentang keluarga dan masalah yang terjadi dirumah. Seketika itu Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu ruangan dan si anak bertanya dari sebab apa sang ayah mematikan lampu sehingga hanya berbicara dalam ruangan yang gelap. Dengan sederhana sang ayah menjawab bahwa lampu yang kita gunakan ini adalah amanah dari rakyat yang hanya dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan bukan urusan keluarga.
Keempat : Sifat berlaku adil. Keadilan adalah konteks nyata yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Keadilan bagi manusia tidak ada yang relatif. Islam meletakkan soal penegakan keadilan itu sebagai sikap yang essensial. Seorang pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-adilnya bukan sebaliknya berpihak pada seorang saja-berat sebelah. Dan orang yang “lemah” harus dibela hak-haknya dan dilindungi, sementara orang yang “kuat” dan bertindak zhalim harus dicegah dari bertindak sewenang-wenangnya.
Kelima: Komitmen dalam perjuangan. Sifat pantang menyerah dan konsisten pada konstitusi bersama bagi seorang pemimpin adalah penting. Teguh dan terus Istiqamah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang tergoda oleh rayuan dan semangat menjadi orang yang pertama di depan musuh-musuh yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah di sepakati bersama. Bukan sebagai penonton di kala perang.
Keenam: Bersikap demokratis. Demokrasi merupakan “alat” untuk membentuk masyarakat yang madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam hal ini pemimpin tidak sembarang memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dari sebuah kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.
Ketujuh: Berbakti dan mengabdi kepada Allah SWT. Dalam hidup ini segala sesuatunya takkan terlepas dari pantauan Allah SWT, manusia bisa berusaha semampunya dan sehebat-hebatnya namun yang menentukannya adalah tetap Allah SWT. Hubungan seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah pentingnya; yaitu dengan berbakti dan mengabdi kepada Allah SWT. Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan ridho Allah SWT semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam menegakkan sholat lima waktu misalnya, seorang pemimpin akan mendapat hidayah untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan tercela. Selanjutnya ia akan mampu mengawasi dirinya dari perbuatan-perbuatan hina dan tercela. Syukur bila meraih suatu keberhasilan serta sabar dan tawakkal juga saat menghadapi kegagalan. Semoga Pemilukada 2017 melahirkan Pemimpin yang santun, cerdas dan religius.(*)
Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment