Halloween Costume ideas 2015
September 2015

BANDA ACEH – Jurnalis senior di Aceh, Yarmen Dinamika, mengatakan konflik Aceh berpeluang relapse (kambuh) lagi setelah 10 tahun perdamaian. Katanya, hal ini terjadi di sekitar 50 negara dengan konflik internal yang pernah diteliti UNDP.

“Pihak pemerintah sudah teken perjanjian damai dengan kelompok pemberontak, tapi setelah 10 tahun perdamaian, konfliknya relapse lagi,” kata Yarmen.

Hal itu disampaikan Yarmen Dinamika, saat menjadi pembicara pada dialog pemahaman radikalisme untuk media massa dan humas instansi di Aceh di Gedung Palang Merah Indoesia (PMI) Aceh, Selasa, 29 September 2015.

Katanya, penyebabnya ada tiga, seperti sebab sebab lama muncul kembali, atau karena sebab sebab baru atau karena gabungan antara sebab lama dan baru.

“Itu terjadi berulang kali di Aceh seperti saat jeda kemanusiaan yang pernah berlangsung tapi kemudian buyar lagi,” kata Yarmen Dinamika.

Yarmen mengatakan perdamaian Aceh juga dapat terganggu akibat adanya korupsi, salah urus, dan munculnya kelompok-kelompok baru.

“Ini harus menjadi perhatian pemerintah Aceh, apalagi pasca perdamaian masih ada kelompok yang menyebutkan untuk kita damai dulu, nanti perang lagi,” ujarnya.

Namun menurutnya pemberian otonomi khusus dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, membuat keinginan untuk kembali berperang memudar di kalangan kombatan. Kalaupun ada, kata dia, maka itu bukan dari kelompok Malik Makmud.

“Tidak ada lagi yang ingin merdeka, kalaupun ada bukan dari kelompok Malik Mahmud,” ujar Yarmen Dinamika.[portalsatu.com]

BANDA ACEH – Mantan Bupati Aceh Utara Ilyas A. Hamid alias Ilyas Pase minta penyidik mengkonfrontir dirinya dengan Muhammad Thaib alias Cek Mad dan Melodi Taher terkait kasus dana pinjaman Rp7,5 miliar.

Cek Mad merupakan Bupati Aceh Utara saat ini. Ia sebagai penasehat Bupati Aceh Utara pada tahun 2009. Sedangkan Melodi taher adalah mantan Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Kabupaten Aceh Utara.

Permintaan untuk dikonfrontir itu disampaikan Ilyas Pase saat diperiksa penyidik Kejati Aceh di Banda Aceh, 27 April 2015. Ilyas Pase diperiksa sebagai tersangka dugaan korupsi dana pinjaman daerah pada Bank Aceh Cabang Lhokseumawe Rp 7,5 miliar tahun 2009. Saat pinjaman dana itu ia merupakan Bupati Aceh Utara.

“Ilyas A. Hamid minta kepada penyidik agar bisa dikonfrontir dengan Muhammad Thaib dan Melodi Taher agar perkara dan persoalan ini bisa jelas dan terang, sehingga jelas siapakah yang harus bertanggung jawab dalam kasus tersebut,” ujar Sayuti Abubakar, S.H., kuasa hukum Ilyas A. Hamid kepada portalsatu.com, Rabu, 29 April 2015.

Sayuti Abubakar yang mendampingi Ilyas A. Hamid selama pemeriksaan itu mengatakan kliennya memberi keterangan kepada penyidik bahwa pinjaman yang diajukan Pemerintah Aceh Utara kepada Bank Aceh untuk kebutuhan keuangan yang belum terakomodir dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Perubahan (APBK-P) tahun 2009.

“Saat itu Pemerintah Aceh Utara membutuhkan uang untuk meugang para eks kombatan GAM, proposal bantuan sosial dari masyarakat dan para eks kombatan serta bantuan sosial untuk korban konflik dan kaum dhuafa,” kata Sayuti Abubakar.

Pengakuan Ilyas Hamid, kata Sayuti Abubakar, pengajuan dana kredit tersebut berawal dari saran Muhammmad Thaib selaku keuangan KPA Wilayah Pase saat itu. Menurut Ilyas Hamid, kata Sayuti Abubakar, Muhammad Thaib menyatakan kebutuhan uang meugang sangat mendesak dan cara untuk mendapatkan uang adalah dengan pengajuan kredit kepada Bank Aceh.

“Atas saran tersebut, Ilyas A. Hamid diminta untuk membuat surat pengajuan kredit kepada Bank Aceh yang selanjutnya pengajuan tersebut akan dikoordinasi oleh Muhammad Thaib dan Melodi Taher,” ujar Sayuti Abubakar.

Sayuti Abubakar menjelaskan ketika pengajuan tersebut cair pada 16 Oktober 2009, Muhammad Thaib dan Melodi Taher yang menguasi uang itu. Selanjutnya, kata dia, uang tersebut digunakan untuk membayar utang kepada Perusahaan Daerah Bina Usaha milik Pemerintah Aceh Utara senilai Rp3 miliar, membayar utang kepada KONI Rp 500 juta serta Rp450 juta untuk pembayaran utang kepada Koperasi Perkebunan Sawit.

“Sisanya dikuasai oleh Muhammad Thaib dan Melodi Taher yang penggunaannya pada awalnya Ilyas A. Hamid tidak mengetahui, setelah diperlihat bukti oleh penyidik ternyata uang tersebut mengalir ke rekening Muhammad Thaib sebesar Rp713 juta dan uang cash lainnya dipegang Muhammad Thaib dan Melodi Taher,” kata Sayuti Abubakar.

Sayuti Abubakar menambahkan sejauh ini penyidik Kejati Aceh hanya menetapkan Melodi Taher dan Ilyas Hamid sebagai tersangka dalam kasus dana Rp7,5 miliar tersebut. Sedangkan pihak lain yang turut terlibat, kata dia, belum ditetapkan sebagai tersangka. “Padahal ada pihak lain yang jelas menguasai dan menikmati uang tersebut, tapi belum ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya.

Informasi diperoleh portalsatu.com, berkas perkara Melodi Taher bahkan telah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh.

Diberitakan sebelumnya, jaksa menangkap Ilyas Hamid (Ilyas Pase) sebagai buronan kasus korupsi yang bersembunyi di rumahnya di Deli Serdang, Sumatera Utara, 13 April lalu. Keesokannya, mantan Bupati Aceh Utara itu dibawa ke Kejati Aceh dan ditahan di Lapas Banda Aceh.[portalsatu.com]

Buku berjudul “Tahun 2015 Indonesia ‘Pecah’” oleh Djuyoto Suntani kembali ramai diperbincangkan. Buku tersebut adalah sebuah buku yang sudah beredar luas bahkan dari tahun 2008.

Dalam buku ini digambarkan bahwa Indonesia pada tahun 2015 akan menjadi beberapa Negara. Total ada 18 negara baru yang akan muncul jika Indonesia terpecah.

Perkiraan 18 Negara Pecahan Indonesia

1.Naggroe Atjeh Darrusallam : Banda Atjeh
2.Sumatra Utara : Medan
3.Sumatra Selatan : Lampung
4.Sunda Kecil : Jakarta
5.Jamar (Jawa Madura) : Surakarta
6.Yogyakarta : Yogyakarta
7.Kalimantan Barat : Pontianak
8.Kalimantan Timur : Samarinda
9.Ternate Tidore : Ternate
10.Sulawesi Selatan : Makassar
11.Sulawesi Utara : Manado
12.Nusa Tenggara : Mataram
13.Flobamora & Sumba: Kupang
14.Timor Leste : Dili
15.Maluku Selatan : Ambon
16.Maluku Tenggara : Tual
17.Papua Barat : Jayapura
18. Negara Riau Merdeka

Dari beberapa perkiraan diatas, beberapa wilayah bahkan sudah mendeklarasikan diri untuk hengkang dari NKRI. Sebut saja misalnya Papua Barat dan Aceh. Bahkan ada wilayah yang sudah resmi keluar dari NKRI seperti Timor Leste.(RED)

AMP - Menyimak, menelisik, membaca Perkembangan jalannya pemerintah Aceh dibawah komando ZIKIR yang sudah memasuki tahun ke 4 yang bisa dikatakan belum maksimal kalaupun "terlalu berlebihan untuk" dikatakan belum menunjukkan tanda-tanda ke arah yang sesuai dengan yang dijanjikan semasa pilkada dulu, yang terjadi malah "saling hantam" di internal pemerintahan, kalau sesama mereka saja sudah tidak akur bagaimana kita berharap mereka dapat bekerja sama untuk mengurus kita?

Dari 21 janji Zaini Abdullah - Muzakir Manaf (ZIKIR) sebelum jadi gubernur dan wakil gubernur Aceh semasa pilkada sepertinya semakin jauh dari kata realistis untuk terpenuhi.

Sekedar menyegarkan ingatan kita berikut janji-janji yang pernah dilontarkan dalam kampanye ZIKIR yang tercatat oleh berbagai media:

1. Wewujudkan pemerintahan Aceh yang bermartabat dan amanah;realitasnya? Sepertinya sangat jauh dari kata amanah, konon lagi bermartabat, bahkan nilai tawar Aceh di mata pemerintah pusatpun semakin rendah hal ini bisa dilihat dalam komunikasi yang antara Pemerintah Aceh dengan Jakarta, dimana pemerintah Aceh seperti kehilangan nilai tawar di mata pusat.

2. Mengimplementasikan dan menyelesaikan turunan UUPA, terkait dengan hal ini memang ada yang masih terkendala karena bersangkutan dengan pemerintah pusat, ada yang sudah disahkan pemerintah pusat namun belum sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan MoU,  selain itu ada juga qanun yang sudah disahkan namun tidak dijalankan sama sekali oleh pemerintah Aceh dibawah komando Zikir, semisal qanun KKR yang sudah disahkan.

3. Komit menjaga perdamaian Aceh sejalan dengan MoU Helsinki, untuk poin ini kita juga bisa melihat bahwa sepertinya itu hanya komitmen di atas kertas atau bahkan sebatas ungkapan lisan, kenapa dikatan demikian? Karena terkadang pemerintah Aceh "mengabaikan" berbagai kewajiban yang sejatinya sangat terkait dengan perdamaian dan MoU yang telah ditanda tangani, misalnya ada poin-poin tertentu dalam UUPA yang tidak sesuai dengan MoU namun pemerintah Aceh terkesan abai atau bahkan terkesan mengambil keuntungan secara politis dari "ketidak sesuaian" antara UUPA dengan MoU, cotohnya dalam masalah calon Independent yang bahkan kelompok penguasa (baca: ZIKIR) sendiri yang pernah bersikukuh untuk melanggar/mengangkangi poin MoU terkait hal tersebut.

4. Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan Islam di semua sektor kehidupan masyarakat, realitasnya? Dalam sektor pemerintahan saja sangat jauh dari nilai-nilai keadilan dan keterbukaan/kejujuran yang sejatinya sangat diutamakan dalam Islam, belum lagi dalam tatanan sosial masyarakat yang lebih luas yang semakin hari semakin jauh dari kata Islami mulai dari kasus narkoba, penculikan, perzinaan yang terjadi di mana-mana, bahkan lebih parah lagi Aceh juga dibanjiri berbagai macam aliran sesat yang terus merongrong Agama Islam, Qanun Jinayah yang terkait dengan syariat Islam juga melempem.

5. Menyantuni anak yatim dan kaum duafa, realitasnya? Masih banyak anak yatim dan kaum dhuafa ysng tidak tersentuh oleh perhatian pemerintah Aceh.

6. Mengupayakan jumlah penambahan kuota haji Aceh, dan

7. Pemberangkatan jamaah haji dengan kapal pesiar, 

8. Naik haji gratis bagi Anak Aceh yang sudah akil baliq, realitasnya?

Terkait dengan hal ini Yang sudah mendaftar dengan biaya sendiri saja harus mengantri puluhan tahun untuk mendapatkan giliran, belum terlihat upaya nyata dari pemerintah Aceh untuk mencarikan solusi atas persoalan ini, apa lagi menghajikan gratis bagi yang sudah baligh dengan kapal pesiar? Semakin jauh dari kata "mungkin" kalaupun tidak bisa dikatakan mustahil.

9. Menginventarisir kekayaan dan sumber daya alam Aceh, realitasnya?

10. Menata kembali sektor pertambangan di Aceh, realitasnya?

11. Menjadikan Aceh layaknya Brunei Darussalam dan Singapura, realitasnya? Aceh bahkan semakin dekat dengan somalia, kemiskinan, pengangguran, penculikan, perdagangan narkoba semakin mengerikan.

12. Mewujudkan pelayanan kesehatan gratis yang lebih bagus, alhasil? Pelayanan JKA yang sudah dirobah menjadi JKRA masih sangat-sangat jauh dari kata memuaskan.

13. Mendatangkan dokter spesialis dari luar negeri, realitasnya? Masih banyak pasien yang belum ditangani secara maksimal sehingga tidak mengherankan masih banyak warga Aceh yang memilih berobat keluar negeri, bahkan Malik Mahmud saja yang mendapatkan posisi yang sangat terhormat di Aceh masih harus ke Singapura untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

14. Pendidikan gratis dari SD sampai dengan perguruan tinggi, alhasil? Beasiswa dari pemerintah Aceh yang disalurkan melalui KBA/LPSDM sempat terhenti, meskipun kemudian dibuka lagi dan yang pasti tidak terealisasi pendidikan gratis yang dijanjikan, padahal pendidikan adalah modal utama untuk kemajuan sebuah bangsa.

15. Pemberian Rp. 1.000.000 (satu juta) per Kepala Keluarga per bulan dari hasil dana minyak dan gas (migas), realitasnya? Hingga 2015 belum juga terealisasi.

16. Mengangkat hononer PNS, yang terjadi malah "nepotisme" dalam pengangkatan PNS dengan berbagai macam cara dan manipulasi, ada Honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi diabaikan dan yang baru mengabdi malah di SK kan.

17. Meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh, realitasnya? Masih ada kasus gizi buruk di Aceh, bahkan masih ada korban lumpuh layu yang luput dari perhatian pemerintah yang sampai meninggal.

18. Membuka lapangan kerja baru,

19. Meningkatkan pemberdayaan ekonomi rakyat, dan

20. Memberantas kemiskinan dan menurunkan angka pengangguran; alhasil? Angka pengangguran dari tahun ketahun masih menunjukkan angka yang sangat menyedihkan. Angka kemiskinan di Aceh masih tinggi bahkan masih berada di rata-rata nasional.

21. Mengajak kandidat lain untuk bersama-sama membangun Aceh, realitasnya?

Hingga tahun ke 3 yang telah berlalu dan memasuki tahunke 4 belum ada tanda-tanda ingin melibatkan kandidat lain untuk sama-sama membangun Aceh, bahkan antar Gubernur dan Wakil Gubernur terjadi percekcokan, meski berulangkali dibantah namun publik bisa melihat dengan jelas bahwa keduanya tidak lagi sejalan dalam upaya membangun Aceh, masing-masing punya agenda sendiri.

Kesimpulannya dari 21 janji tersebut tak satupun janji terealisir sampai berakhirnja tahun ke 3 rezim ZIKIR berjalan, pantas saja rakyat merasa kecewa, bahkan dikhawatirkan Kalau "janji surga" ini terus digantung dan rakyat terus berharap maka yang akan terjadi adalah kekecewaan yang akan semakin besar dan bukan tidak mungkin akan memicu "konflik" baru antara pemerintah Aceh dengan rakyatnya, seperti kasus Din Minimi, perlawanan BPPA dan juga masih banyak rakyat lain yang kemungkinan masih punya batas toleransi yang cukup atau setidaknya lebih besar dari Din Minimi Cs.

Alangkah lebih bijak jika saja pemerintahan ZIKIR berani berterus terang kepada rakyatnya untuk meminta maaf atas kelemahan mereka dalam memenuhi janjinya untuk mensejaterkan rakyat Aceh, setidaknya meskipun mereka harus menerima "hukuman sosial" di dunia karena kelemahan atau pengkhianatan mereka namun insya Allah jika rakyat memaafkan mereka akan terbebas di akhirat kelak.

Secara manusiawi wajar saja rakyat berusaha menagih janjinya untuk bisa diperhatikan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh pemimpinnya, begitupun sangat manusiawi juga setiap orang punya kelemahan dan kekhilafan baik yang disengaja maupun tidak sehingga sangat wajar dan bijak ketika pemerintah Aceh dalam hal ini berbesar hati untuk berani minta maaf secara terbuka dan sungguh-sungguh kepada rakyat Aceh atas semua kekhilafan ini. Sehingga pada akhirnya persoalan ini tidak terus membesar.

Namun jikapun nantinya ada yang tidak mau memaafkan setidaknya pemerintah Aceh (ZIKIR) telah berupaya untuk memperbaiki kesalahannya dan yang pasti itu jauh lebih baik daripada harus terus terbebani oleh kesalahan masa lalu tersebut.

Di sisi lain sudah saatnya dan sudah seharusnya rakyat Aceh sudah harus sadar bahwa mereka tidak perlu menggantungkan harapan terlalu tinggi pada pemerintahan ZIKIR, rakyat Aceh harus berlapang dada untuk move on dari rasa "sakit" hati akibat dikhianati oleh Pemimpinnya.

Kenapa demikian?Bukankah janji itu hutang?Benar bahwa janji adalah hutang, namun ketika yang dijanjikan semakin jauh dari kenyataan maka terus berharap untuk dapat terpenuhi janji tersebut adalah pekerjaan sia-sia, buang-buang waktu, buang-buang energi kalau terus berharap pada sesuatu yang secara "logika" tak mungkin terpenuhi.

Sudahlah maafkan saja dausa orang tua atau pemimpin kita itu, anggap saja mereka khilaf telah menjanjikan sesuatu yang tidak realistis kepada kita, meskipun nantinya ada yang menawarkan kita janji yang ke 22, semoga saja kita kedepan harus bisa lebih cerdas dalam membaca dan menilai setiap janji yang ditawarkan oleh Calon pemimpin kita agar kita tidak lagi terperosok dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya.

Pilkada 2017 sudah semakin dekat, para bakal kandidatpun sudah tidak malu-malu lagi mengutarakan keinginannya untuk berkompetisi, sangat mungkin nantinya kita akan kembali disuguhkan dengan berbagai janji baru (janji ke22) berbau surga dari para kandidat/calon pemimpin kita, sudah seharusnya pengkhianatan-demi pengkhianatan yang pernah kita terima dapat membuat kita lebih selektif dan lebih cerdas serta lebih rasional dalam menentukan pilihan siapa yang akan kita percayakan untuk memimpin kita, apakah mereka punya kapasitas yang memadai untuk menjadi pemimpin? 

Apakah mereka punya visi yang cukup bagus untuk membawa kita ke kehidupan yang lebih baik?

Apakah mereka punya kemampuan yang cukup untuk memberikan berbagai terobosan untuk memperbaiki keadaan negeri yang sangat semeraut ini?

Apakah mereka punya program yang cukup realistis untuk dapat memajukan bangsa dan tanah air ini?

Atau mereka hanya bisa menjanjikan surga untuk kita sementara kemampuan dan mental mereka hanya cukup menggiring kita ke pintu neraka kesengsaraan?

Semoga saja kita semua dapat belajar dari pengalaman pahit yang telah berulang kali kita alami dan kita juga berharap para kadidat pemimpin kita kedepan juga tidak lagi berencana untuk kembali mengkhianati kita. by MR (peneliti politik Aceh)

LIBUR Idul Adha telah usai. Sejumlah Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) kembali aktif masuk kantor sejak beberapa hari lalu. Namun laporan P2K masih menunjukan adanya SKPA berapor merah.

Ini menunjukan SKPA ini belum adanya pembaikan kinerja. Hingga 28 September 2015, realisasi fisik secara keseluruhan masih 45, 9 persen. Dua SKPA seperti Bina Marga dan Dinas Pengairan Aceh juga masih berstatus merah. Serapan anggarannya masih sekitar 23 persen. Laporan ini sangat memilukan. Dimana kita ketahui, masa anggaran hanya sekitar beberapa bulan lagi.

Demikian juga dengan enam SKPA berapor kuning. Kinerja mereka masih jauh dari kata memuaskan. Berapor kuning bukan berarti lebih baik.

Makanya, gubernur dan wakil gubernur perlu memberikan teguran keras kepada para pejabat Aceh yang masih berkinerja lemah ini. Para pemimpin di SKPA berapor merah dan kuning ini perlu dipanggil untuk diminta pertanggungjawaban kinerjanya.

Demikian juga dengan anggota DPR Aceh, mereka harus memaksimalkan fungsi pengawasan untuk memacu kinerja SKPA ini.

Jangan sampai, pemimpin Aceh, baik gubernur dan wakil gubernur, justru diam melihat kinerja lelet para bawahannya ini.

Baik buruknya pemerintahan periode ini, akan ditentukan dengan terobosan yang ditempuh dalam dua tahun terakhir ini. Sedangkan tahun-tahun sebelumnya, sebagaimana yang kita ketahui, tak ada terobosan yang berarti.

Gubernur dan wakil gubernur, perlu memacu kinerja SKPA agar menghasilkan bukti nyata bagi masyarakat. Jika memang pejabat SKPA berapor merah dan kuning tak bisa mengikuti ritme kerja pemerintahan saat ini, maka sudah sepantasnya untuk diganti.

Jangan sampai, diamnya pemimpin Aceh saat ini justru dianggap enteng oleh para pejabat di SKPA setempat. Imbasnya, mereka hanya akan bekerja standar dan biasa. Akhirnya, rakyatlah yang sengsara. 



Oleh Muhammad Iqbal Jalil

UCAPAN terima kasih layak diberikan kepada Bapak Hasanuddin Yusuf Adan (HYA) atas opininya yang berjudul “Pawai Aswaja, Apa Untung-Ruginya?” (Serambi Indonesia, 17/9/2015). Di tengah kesibukannya sebagai Ketua Dewan Dakwah Aceh, Saudara HYA masih menyempatkan diri untuk memberi perhatian penuh terhadap kegiatan Pawai Aswaja (Ahlussunnah Waljamaah) yang berlangsung di Banda Aceh pada 10 September 2015 lalu. HYA juga ikut memberikan beberapa masukan dan pandangan serta mengajak para Pembaca untuk mempertimbangkan untung-ruginya kegiatan ini.

Hanya berbekal dialog dengan satu dua peserta parade, HYA telah mendapatkan gambaran bagaimana parade ini secara umumnya. Ia mengusulkan agar dalam orasi para tokoh perlu memberi pembelajaran dan pencerahan kepada umat mengenai apa itu Wahabi dan apa pula Ahlussunnah Waljamaah. Usulan ini memang baik, namun apa yang diusulkan oleh HYA sebenarnya telah menjadi salah satu topik utama yang dibahas oleh beberapa ulama Aceh dalam serangkaian kegiatan zikir dan tausiyah yang dipusatkan di Komplek Makam Syiah Kuala, sebelum pawai dimulai. Usulan ini menunjukkan bahwa HYA pada hakikatnya kurang memahami jalannya kegiatan pawai ini secara keseluruhan.

Sangat menggelitik
Dalam opininya, HYA juga mempertanyakan; apakah selain paham Ahlussunnah Waljamaah yang dimaksudkan seratus persen akan masuk neraka, sementara para penuntutnya dijamin masuk syurga? Pertanyaan semacam ini tentunya sangat menggelitik, apalagi itu muncul dari seorang tokoh yang notabene ketua Dewan Dakwah yang sejatinya sangat memahami konsep dan manhaj dakwah itu sendiri. Bukankah kita yang hidup di generasi ini semuanya tidak ada yang dijamin masuk syurga? Jaminan masuk syurga itu hanya dimiliki oleh para ambiya dan hamba Allah tertentu sebagaimana yang terdapat dalam hadis. Menolak berkembangnya paham yang menyimpang adalah bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar. Lalu, apakah hal itu mesti dilakukan oleh orang-orang yang mendapat jaminan masuk syurga? Siapakah yang punya wewenang untuk mencegah kemunkaran di zaman ini, di mana tidak seorang pun mendapat jaminan masuk syurga?

Pertanyaan yang disampaikan oleh HYA sangat berbenturan dengan manhaj dakwah dan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Dalam kajian fikih disebutkan, seorang pezina masih belum gugur kewajibannya melarang si perempuan membuka aurat, meskipun ia sedang berzina dengannya. Ini artinya, pelaku munkar sekalipun masih diperintahkan untuk mencegah kemunkaran. Maka di sini dapat dipahami bahwa mencegah kemunkaran tidak disyaratkan harus dilakukan oleh orang yang suci, apalagi harus ada jaminan masuk syurga.

Dalam mengamati Pawai Aswaja ini, Penulis melihat HYA sudah masuk terlalu jauh hingga menimbulkan prasangka dan dugaan-dugaan yang berlebihan. Sikap HYA dalam menilai kegiatan pawai Aswaja ini tak ubahnya bagaikan seseorang yang gundah dan risau tidak cukupnya makanan kenduri di rumah tetangganya. Padahal si empunya rumah sudah jauh-jauh hari mempertimbangkan kesesuaian jumlah tamu yang diundang dengan persediaan makannan yang disiapkan. HYA beranggapan kalau orang yang sebelumnya menyatu mengikuti pawai ini boleh jadi akan berebutan nasi bungkus yang dapat memicu keretakan di antara mereka, bahkan bisa saja berujung kepada “dakwa-dakwi” yang berlanjut hingga pulang ke kampung masing-masing.

Suatu hal yang barangkali tidak pernah terpikirkan oleh HYA, kalau pihak panitia acara pawai ini telah menyiapkan lebih dari tiga puluh ribu bungkus nasi yang merupakan sumbangan warga Banda Aceh dan Aceh Besar. Informasi ini penulis dapat secara langsung dari Tgk H Tu Bulqaini selaku koordinator acara. Kepanikan yang berlebihan soal nasi bungkus dari HYA barangkali dapat dimaklumi, karena HYA hanya melihat pawai ini dari kejauhan atau bertanya kepada orang-orang yang sama sekali tidak terlibat dalam kepanitiaan.



Menilai secara adil
Saudara HYA juga terlihat belum mampu memberikan porsi yang berimbang dalam menilai kegiatan pawai ini secara lebih objektif. HYA hanya melihat keuntungan pawai ini bagi orang yang jarang atau belum pernah ke Banda Aceh dimana kali ini sudah punya kesempatan untuk melihat ibu kota Provinsi Aceh. Suatu pernyataan yang sebenarnya kurang pantas untuk disampaikan. Padahal kalau kita mau jujur, terlepas dari segala kekurangannya, kegiatan pawai Aswaja ini telah mengajarkan banyak keteladanan.

Sebagaimana yang diberitakan Harian Serambi Indonesia (11/9/2015) bahwa massa menghentikan pawai dan orasinya saat waktu Zuhur tiba untuk melakukan shalat Zuhur berjamaah. Kesempatan ini barangkali juga dimanfaatkan oleh sebagian jamaah “musafir” dari luar Banda Aceh untuk melakukan shalat Ashar sekaligus (jama’ taqdim). Namun lagi-lagi HYA merisaukan kalau di balik kegiatan pawai ini akan memunculkan kekecewaan tersendiri manakala banyak yang tidak sempat melakukan shalat karena sibuk dengan pawai, seakan kegiatan pawai tidak dihentikan saat pelaksanaa shalat tiba.

Penulis menilai bahwa panitia pawai Aswaja ini patut diberikan apresiasi, karena dengan jumlah massa yang begitu banyak, panitia mampu mengondisikan agar kegiatan ini berjalan tertib dan lancar. Petugas kebersihan pun tidak perlu repot-repot dan disibukkan untuk membersihkan sisa-sisa sampah selepas kegiatan pawai, karena pihak panitia telah lebih awal mengingatkan agar massa tidak membuang sampah sembarangan.

Di samping itu, juga ada Tim Ansharullah yang secara khusus telah diamanahkan untuk membersihkan sampah-sampah di sepanjang jalanan pawai. Nah, alangkah lebih bijaknya bila kita lebih tertarik membuka mata melihat sisi positif dari orang lain, daripada sibuk memberikan kritikan dan berprasangka, padahal yang mengkritik itu belum tentu memahami apa sebenarnya yang sedang dikritisi.

Tak ada asap, kalau tidak ada api. Begitu juga dengan berkumpulnya ribuan massa pada kegiatan pawai ini juga merupakan buntut dari semakin bebasnya kelompok tertentu menyebar kebencian lewat tuduhan bid’ah dan syirik secara membabi buta. Mengutip pernyataan Tgk Zakasyi Oesdannur, ketika para “penjaja” paham Wahabi menghantam tradisi masyarakat lewat tuduhan bid’ah, syirik, atau sesat lewat mimbar dan radio, tidak ada tulisan atau pernyataan dari sosok yang dianggap moderat untuk melakukan pembelaan. Ketika ada aksi masyarakat yang mulai bosan dan tidak sabar dengan tuduhan-tuduhan bid’ah itu, baru kemudian muncul tokoh-tokoh yang melakukan pembelaan seolah-olah menjadi pahlawan bagi kelompok minoritas yang terzalimi.

Ada baiknya, bila melihat suatu permasalahan itu juga mempertimbangkan sebab-sebab yang melatarbelakangi mengapa masalah itu muncul, sehingga solusi yang diberikan lebih adil dan objektif. Apapun nama kelompoknya, Salafikah, Wahabi, pengikut Sunnah atau Aswaja sekalipun, kalau pekerjaannya cuma untuk mem-bid’ah-kan, menuduh syirik atau ahli neraka kepada masyarakat yang melakukan tahlil, zikir berjamaah, ziarah, tawassul, maulid, kenduri atau tradisi baik lainnya sangat tidak layak untuk berkembang di Aceh.

Dari dulu masyarakat Aceh dikenal suka berkenduri, gemar berziarah, sering berkumpul untuk berdoa bersama, dan suka melestarikan tradisi-tradisi yang mengandung nilai kebaikan. Kalau ada kelompok tertentu yang sacara membabi buta gemar mem-bid’ah-kan hal-hal di atas, maka sangatlah wajar kalau kemudian masyarakat Aceh menolaknya. Demikian, Wallahul Muwaffiq.

* Tgk. H. Muhammad Iqbal Jalil, Pengurus Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), Santri Dayah MUDI Mesra dan Staf Pengajar Dayah Jamiah Al-Aziziyah Batee Iliek. Email: m.iqbaljalil@gmail.com (dikutip, serambinews.com)

Banda Aceh - Organisasi Masyarakat (Ormas) yang tergabung dalam Harakah Assunniah Daulah Aceh (HADA) dari HUDA, FPI, INSAFUDDIN, RTA, dan ISAD kembali menggelar doa bersama dan aksi damai untuk mendesak Pemerintah Aceh agar segera mengeluarkan keputusan tentang larangan Wahabi Salafi, Syiah, Komunis, dan Aliran sesat lainnya yang dinilai menjurus kepada konflik baru di Aceh.

Hal tersebut disampaikan oleh Tgk. Muslim At Thahiri selaku sekretaris panitia pelaksana kegiatan.

Menurutnya, acara tersebut akan dilaksanakan pada hari Kamis 1 Oktober 2015 sekitar jam 8:00 WIB pagi dan berkumpul di Makam Syiah Kuala Banda Aceh dan juga akan melakukan doa bersama, setelah itu para Massa akan menuju kantor Gubernur Aceh untuk melakukan aksi damai.

Tgk Muslim juga menambahkan jika aksi ini murni Lillahi Ta'ala dan tidak ada kepentingan politik, dan juga tidak ada yang mendanai kecuali sumbangan alakadar dari masyarakat yang iklas.

"Tidak seperti yang dituduh oleh Profokator dan orang yang tidak senang dengan gerakan ini, mereka menuduh bahwa acara ini di sponsori oleh salah satu kandidat atau partai, itu adalah fitnah dan mereka itu tidak senang dengan pengikut Ahlussunah bersatu dan juga mereka bekerja keras untuk menggagalkan persatuan Ummat Islam, mereka adalah iblis dari kalangan manusia yang tidak pernah senang terhadap lahirnya kebenaran di muka bumi ini"tegas Tgk Muslim yang juga menjabat ketua FPI Aceh.

Selanjutnya Abi Muslim juga mengharapkan kepada seluruh masyarakat Aceh yang beraqidah Ahlussunnah  Waljamaah untuk dapat berpartisipasi dalam aksi ini dengan turut hadir dan juga mengajak saudara semua, semakin banyak yang hadir, Ahlussunnah Waljamaah akan semakin kuat, dan juga musuhpun akan semakin takut.harapnya.
 
Sumber: statusaceh.com

Langsa - Pengamat politik Aryos Nivada, MA menyatakan saat ini rakyat Aceh sudah menurun kepercayaannya kepada Partai Aceh yang merupakan partai lokal terbesar di daerah itu.

"Jelang pemilihan kepala daerah tahun 2017, rakyat sudah tidak lagi percaya kepada Partai Aceh," kata Aryos di Langsa, Senin.

Indikatornya, kata dia, diantaranya partai besutan eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu, selama ini kinerjanya, baik dieksekutif maupun legislatif tidak tampak dirasakan masyarakat.

Kemudian, lanjutnya, tertundanya atau tidak direalisasikan janji politik pada masa kampanye lalu juga mempengaruhi tingkat kepercayaan publik.

Partai Aceh juga pecah secara internal dan tidak lagi solid seperti Pemilu 2009 dan Pilkada 2012, katanya.

Karenanya, sambung Aryos, petinggi Partai Aceh sudah menyadarinya dan melalui Ketua Umumnya H Muzakir Manaf menyampaikan statement bahwa pada Pilkada 2017 akan berkoalisi dengan Partai Nasional (Parnas).

Mualem sapaan akrab Muzakir Manaf memang telah menyampaikan rencana partainya untuk berkoalisi dengan partai berbasis nasional dalam perhelatan Pilkada tahun 2017. Akan tetapi, pria yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh itu, belum menyebutkan partai mana yang akan menjadi mitra koalisinya.

Dalam kaca mata Aryos, partai yang berpeluang berkoalisi dengan Partai Aceh diantaraya Partai Gerindra, Partai Demokrat, Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera.

Akan tetapi, menurut Aryos, hal itu bisa berubah ketika hadirnya intervensi dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) masing-masing partai tersebut.

"Bisa berubah jika ada intervensi DPP dan konsensus yang merubah arah politik nasional. Semakin besar konsensus, maka semakin besar pula perubahan sikap dukungan dari Parnas," ulas Aryos.

Dilain sisi, Aryos menilai bahwa Parnas memiliki probema terkait karakter psikologi untuk mengambil posisi mengusung kandidatnya sendiri, sehingga relatif kecendrungannya adalah mengikuti arus dan kemungkinan berkoalisi dengan Partai Aceh.

Padahal, ujar dia, kondisi demikian menyulitkan Parnas untuk bangkit bersaing dengan partai lokal dalam perebutan kursi eksekutif di tataran Aceh satu.

"Sejatinya, ini momentum untuk Parnas bangkit mengimbangi parlok pada level eksekutif," kata dia.

Jika koalisi Partai Aceh dan Parnas terjadi, maka titik kontrol pengambilan keputusan eksekutif tetap bertumpu pada Partai Aceh.

"Dalam kondisi demikian, Parnas tidak akan mampu bangkit dan eksis menghadapi parlok," urai Aryos.

Dia juga mengatakan, bila koalisi itu terjadi, masyarakat juga tidak akan sejahtera. Belajar dari pengalaman pemerintahan Zaini-Muzakir, bahwa pelayanan publik stagnan, pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan juga tidak signifikan.

Pun demikian, Aryos berharap koalisi yang dibangun nantinya oleh Partai Aceh dan Parnas bisa merubah paradigma pembangunan dimasa mendatang.

Selanjutnya, pemerintahan baru nanti (jika koalisi PA-Parnas menang) bisa membangun kemitraan dan akses lobi yang baik antara pusat dan daerah.

Dimama, Parnas memiliki koneksi secara nasional dan memiliki perwakilannya di Senayan (DPR RI) yang mempermudah dan menyelaraskan pembangunan Aceh di masa mendatang, kata Aryos.

AMP - Ada sebuah keajaiban saat tsunami menerjang Aceh 10 tahun silam. Seorang nenek bisa selamat setelah ditolong oleh seekor ular.

Cerita ini memang terdengar tak masuk akal, namun ini sebuah kisah nyata. Adalah Ummikasum yang akrap disapa Maksum berkisah saat ia diselamatkan oleh seekor ular.

Nenek berprofesi sebagai juru memandikan mayat itu tidak ingat secara persis bagaimana cara dililit sang ular, hingga akhrnya bisa selamat dari hantaman gelombang tsunami setinggi pohon kepala tua.

Mulanya, Minggu pagi hari malapetaka bagi seluruh rakyat Aceh, Maksum sedang asyik menyiram dan membersihkan bunga yang ada di pekarangan rumahnya.

Tiba-tiba sekitar pukul 08.00 WIB, bumi Aceh bergetar, bergoyang ke kiri dan ke nanan. Baru ia sadar ternyata gempa berkekuatan 9,8 SR.

Dia bersama seorang cucu yang masih berusia 5 tahun dalam gendongannya menjauh dari bangunan dan mencari tanah lapang.

"Dulu rumah saya besar dan saya sedang di luar, sedang tanam bunga," kata Maksum dikutip Dream.co.id dari laman Merdeka.com, Kamis 25 Desember 2014.

Saat itu anak keduanya berlarian ke arah Maksum dan mengatakan air laut naik ke darat. Tiba-tiba, air laut benar-benar menerjang Maksum dari belakang.

Letak rumah Maksum dengan bibir pantai hanya berkisar 400 meter. Hingga ia terjatuh dan cucunya dalam gendongan pun terlepas.

Saat itu ia berusaha untuk meraih cucunya, namun derasnya gelombang tidak sebanding dengan kekuatan tangannya yang saat itu berusia 50 tahun. "Sempat saya tarik cucu saya, tetapi kawat yang terpegang, sampai luka ini jari saya," kata dia sambil menunjukkan bekas jarinya yang luka.

Kala itu maksum tak sadarkan diri lagi. Tiba-tiba saja ia sudah berada di daerah jembatan Krueng Cut yang berjarak sekitar 800 meter dari rumahnya. Saat itulah dia baru sadar, bahwa bersamanya ada seekor ular besar yang melilit tubuhnya. Kepala ular itu menjulur ke arah wajah Maksum.

Namun saat itu, Maksum tidak sedikit merasa takut. Justru Maksum mengaku, sempat berbisik dengan suara nada lemas, meminta agar bisa diselamatkan ke daratan. "Saya bilang waktu itu, tolong selamatkan saya ke darat," ucapnya dengan bahasa Aceh.

Lantas, ular itu mengantar ke darat langsung bergerak dan menenggelamkan ia ke dalam sungai dan tiba-tiba ia sudah berada di jembatan Lamnyong, Darussalam dengan Jaraknya sekitar 300 meter.

Ketika itu Maksum sudah mulai sadarkan diri. Dia mengaku bisa mendengar ada jeritan orang yang meminta tolong, karena digulung dalam gelombang arus sungai Krueng Cut tersebut.

"Saya waktu itu tidak ada lagi pakaian sehelai pun. Saya dalam sampah dan ular itu masih melilit tubuh saya," jelasnya.

Maksum bisa keluar dari tumpukan sampah dan lilitan ular di tubuhnya setelah 3 orang anak muda dari petugas Palang Merah Indonesia (PMI) menghampirinya.

Mereka langsung mengangkat tubuh Maksum dari sungai tersebut. "Saya sempat bilang, ada ular di tubuh saya melilit, namun salah satu dari mereka bilang tidak apa-apa, ular itu tidak menggigit kita," kenangnya.

Secara perlahan-lahan ular yang melilit tubuhnya tadi langsung melepaskan dirinya dan lalu menghilang dalam sekejap ke dalam sungai. Wa allahua'lam!

Kini Maksum menempati sebuah rumah bantuan di lokasi semula. Untuk mengisi waktu luang, ia membuka sebuah kios berjualan makan.

(Sumber: Merdeka.com) 

BIREUEN - Ayu (6), bocah perempuan asal Desa Pandrah Janeng, Kecamatan Pandrah, Bireuen, meninggal dunia dalam perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh, Selasa, 16 September 2015 lalu.

Ia mengalami luka bakar di wajah dan di tubuhnya diduga akibat dibakar dengan lampu teplok oleh tetangganya. Informasi yang diperoleh Minggu, 20 September 2015 malam menyebutkan, beberapa hari lalu, Ayu yang berasal dari keluarga miskin itu, dijemput tetangganya ke rumah. Malam itu ibu korban sempat menolak agar Ayu tak dibawa.

Entah bagaimana, sesampainya di rumah tetangga tersebut, korban dilempar dengan lampu teplok hingga terbakar. Sementara wanita yang membakar korban naik ke rumah panggungnya meninggalkan Ayu dalam kobaran api.

Informasi terkait kejadian yang menimpa bocah ini dikirim oleh Hery Wahyudi ke akun facebook Serambinews. Ia juga mengirim video kesaksian Ayu saat dirawat di rumah sakit. Video singkat kesaksian Ayu dalam bahasa Aceh bisa dilihat di youtube dengan judul  Bocah Ini Meninggal Diduga Dibakar.

Di akun facebooknya Hery juga memposting video bagaimana Ayu menceritakan saat tubuhnya terbakar dan berusaha mencari air di sumur. Ayu meninggal dalam perawatan di RSUDZA Banda Aceh, jenazah bocah ini dibawa pulang keluarga ke kampung halamannya di Desa Pandrah Janeng.

Kapolsek Pandarh, Ipda Tarmizi yang dikonfirmasi Minggu malam membenarkan kejadian itu. Ia mengatakan pihaknya sedang mengembangkan kasus tersebut.(LN)

BANDA ACEH – Asian Law Student Association (ALSA) mengadakan diskusi terkait kelompok bersenjata yang ada di Aceh. Kegiatan dilaksanakan di Aula fakultas Hukum Unsyiah, Senin, 21 September 2015.

Diskusi tersebut menghadirkan berbagai pihak seperti kepolisian, akademisi, dan aktivis HAM. Acara tersebut diadakan untuk melihat kasus penanganan kelompok bersenjata yang ada di Aceh, salah satunya terkait penembakan Beurijuk, anggota Din Minimi oleh polisi beberapa waktu lalu.

“Kita ingin tahu bagaimana keadaan sebenarnya dari kasus penanganan kelompok bersenjata di Aceh, jangan asal tembak, tidak ada pengadilan berjalan yang bisa memutuskan perkara di jalanan,” kata Ketua BEM Fakultas Hukum Unsyiah, Aqil, dalam kegiatan tersebut.

Seperti diketahui, Beurijuek (nama panggilan) merupakan salah satu anggota Din Minimi yang ditembak di SPBU kawasan Batuphat oleh pihak kepolisian pada Kamis, 27 Agustus 2015, usai siang. Tindakan polisi ini kemudian menuai pro dan kontra dari publik. Pasalnya ada yang menyebutkan tersangka saat itu tidak membawa senjata saat “dilumpuhkan”.

Sumber: portalsatu.com

Lhokseumawe - Manager Hukum Lembaga Swadaya Masyarakat Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) Hidayatul Akbar, SH menilai, tindakan Polres Lhokseumawe yang menahan dua wartawan atas dugaan tindakan pencemaran nama baik oleh anggota DPR Aceh asal Partai Aceh, AI terlalu tergesa-gesa dan terkesan asal-asalan.

Bagaimana tidak, kedua wartawan tersebut disangkakan dengan  Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ketentuan pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Sedangkan, jelas Hidayat, informasi yang dipublikasikan dengan judul ‘Diduga, Anggota DPR Aceh Booking Beberapa Kamar Hotel Bersama Dua Wanita Cantik, tidak terdapat isi berita yang menuduh, akan tetapi masih bersifat dugaan dan telah diakui sendiri oleh pelapor dalam keterangan persnya kepada salah satu media online pada tanggal 4 Mei 2015, bahwa benar dia pada tanggal 22 s/d 25 April 2015 berada di hotel tersebut dan menyewa beberapa kamar dan pelapor juga telah mengakui bahwa dia benar bersama dua wanita yang merupakan staf komisi I DPRA dan salah satunya merupakan keponakannya jadi dimana letak pencemaran nama baiknya?

Hidayat menduga, sepertinya penyidik telah salah menerapkan turunan perundang-undangan dengan memasukkan pertimbangan surat edaran (SE) Dewan Pers Nomor 01/SE-DP/I/2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang pers dan standar perusahaan pers bahwa setiap perusahaan pers sesuai pasal 9 ayat 2 UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers haruslah memiliki badan hukum Indonesia. Badan hukum yang dimaksud adalah berbentuk Perseroan Terbatas dengan Surat Edaran tersebut penyidik dapat menjerat kedua wartawan tersebut dengan unsur “TANPA HAK ” UU ITE Pasal 27 ayat 3 karena wartawan tersebut bernaung di bawah media yang berbadan hukum CV, sedangkan Surat Edaran tersebut jelas-jelas pedoman pelaksanaannya UU Pers bukanlah UU ITE dan penyidik juga mengabaikan dasar konstitusi yang jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F ‘bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

”Seharusnya dalam pemeriksaan kasus ini penyidik juga harus meminta pendapat ahli hukum jangan hanya meminta pendapat dewan pers dan ahli IT agar tidak salah-salah dalam menetapkan delik hukum,” kata Hidayat, Minggu (6/9/2015).
 
Sumber: lintasatjeh.com

IDI RAYEUK – Polisi menyita sejumlah barang bukti yang diduga milik komplotan Din Minimi di rumah Khatizah, warga Desa Padang Kasap, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur. Barang tersebut kini telah diamankan di Mapolres Aceh Timur untuk kepentingan penyelidikan, Jumat, 18 September 2015.

“Ya, barang buktinya kini telah kita sita di Polres untuk penyelidikan lanjut,” ujar Kapolres Aceh Timur AKBP Hendri Budiman melalui Kasat Reskrim AKP Budi Nasuha Waruwu saat dikonfirmasi portalsatu.com, Jumat, 18 September 2015, sekitar pukul 17.00 WIB.

Dia mengatakan barang bukti yang ditemukan di rumah Khadizah seperti alat-alat pelaminan, barang bawaan atau serahan untuk pesta perkawinan (Aceh: asoe talam), sepasang sepatu PDL, dan satu tempat tidur gantung (survival).

Sebelumnya diberitakan, pernikahan salah seorang anak buah Din Minimi yang dipanggil Rambo dengan seorang wanita di Desa Buket Kareung, Kecamatan Pante Bidari, Kabupaten Aceh Timur, Jumat pagi, 18 September 2015, pukul 08.00 WIB, gagal dilaksanakan. Ini karena polisi datang ke lokasi tersebut.

Informasi yang diperoleh portalsatu.com, Din Minimi juga hadir dalam acara ini. Namun begitu tahu polisi mendatangi lokasi, mereka akhirnya melarikan diri, termasuk Rambo.

Jajaran Polres Aceh Timur yang dihubungi portalsatu.com, membenarkan informasi ini. “Namun acara tersebut mendadak batal saat tim gabungan Brimob dan Polres datang ke lokasi sekira pukul 08.00 WIB,” kata Kapolres Aceh TImur AKBP Hendri Budiman melalui Kasat Reskrim AKP Budi Nasuha Waruwu.

“Kita dari tim gabungan anggota Brimob dan Polres kini sedang berada di lapangan,” ujarnya dengan singkat.

BERITA pahit kembali kita baca. Blok migas milik EMOI di Aceh Utara diserahterimakan ke anak usaha Pertamina. Pemindahan kepemilikan ini minus keterlibatan Pemerintah Aceh.

Secara logika bisnis mungkin ini tidak masalah. Sebab pindah tangan saham biasa di dunia usaha. Tapi persoalan blok migas menjelang habis konsesi sepertinya mereka sedang menelikung Aceh. Apa sih susahnya memberitahukan kepemerintah setempat?

Perilaku para pengambil kebijakan di Jakarta memang masih berparadigma penjajah. Menganggap merekalah berhak menentukan apapun atas negeri ini. Daerah wajib terima saja. EMOI memang perusahaan asing. Mereka tentu tak peduli dengan sosiocultural kita. Tapi pemerintah pusat atau dalam hal ini para pemangku kepentingan, harus mempertimbangkan banyak hal.

Mereka jangan pura-pura tidak tahu tentang aturan kekhususan Aceh. Yang kita takutkan setelah masa konsensi habis, mereka juga mengalihkan diam-diam. Kasus ini pernah terjadi seperti saat pengalihan konsensi blok ke Triangle Pase Energy. Juga dilakukan sebelum konsensi habis.

Tapi kemudian masa konsensi brakhir, perusahaan sakit itu masih diberi kuasa mengurus ladang migas bekas EMOI itu. Baru sekarang diserahkan ke pemerintah Aceh setelah gasnya tidak ada pembeli.

Paradigma Jakarta selaku tuan besar tidak juga berubah. Seperti mereka memang coba “preh silap” Aceh. Kalau tidak ada yang meributkan maka kita akan terus dibodohi. Dari cara ini tersirat mereka memang mau menipu Aceh.

Oleh karena itu Aceh tidak boleh lemah. Aceh harus melawan kezaliman ini. Tidak cukup dengan cuma mengundang mereka seperti dikatakan oleh Kadis ESDM Aceh. Harus ada langkah konkrit melawan kesewenangan mereka. Bukankah aturan memberi kita hak. Untuk terlibat dalam setiap urusan migas yang diusahakan atas bumi kita. Mereka tidak boleh lagi sewenang-wenang.

Mereka harus taat hukum. Bukan hukum Aceh. Tapi hukum Republik Indonesia. Kita tidak cukup hanya bicara di media. Pengalaman masalalu harus mengajarkan kita. Betapa sakit melihat bumi kita dikeruk. Tapi kita berkalang kemiskinan.

Ketika minta keadilan sedikit saja, tapi angkara murka yang kita peroleh. Kini setelah damai, setelah sejumlah konsensi kita terima, tidak boleh seorangpun mencoba menelikungnya. Tidak boleh siapapun menafikannya. Walaupun “seureudok” gas yang tersisa. Itu lah hak kita.

Setetespun tidak boleh orang mencurinya. Kita tidak minta bagian mereka. Tapi mereka juga jangan coba-coba merampas hak kita.

Pemerintah Aceh, DPRA harus berada di garda terdepan dalam perlawanan ini. Sebab mereka adalah pemegang mandat rakyat. Dan bilapun hak Aceh sukses didapat, maka mereka adalah penikmat pertama. Mereka yang paling besar mengambil manfaat.

Selanjutnya bila peran ini sukses mereka adalah pahlawan. Pahlawan perdamain dan pejuang hak Aceh. Karenanya mari berjuang dalam koridor aturan. Luruskan mereka agar taat hukum. Kita tidak boleh lagi dikebiri. Rakyat pasti mendukung.

Mari singsingkan lengan. Lawan setiap kesewenang-wenangan. Hancurkan setiap kebohongan mereka. Hukum adalah senjata kita. Mengapa harus takut. Bukankah berani karena benar, takut karena salah?

Banda Aceh - Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo (Jokowi) menyalurkan satu ekor sapi hasil inseminasi buatan jenis Limousine seberat 800 kilogram.
Hewan kurban tersebut dibeli seharga Rp55,8 juta dari peternak di Gampong Lam Ilie, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, Rabu (16/9/2015).

Satu ekor sapi dari Presiden Jokowi itu akan disembelih bersamaan dengan hewan kurban lainnya, termasuk sapi Gubernur Aceh, Zaini Abdullah pada Hari Raya Idul Adha 1436 Hijriah atau 24 September 2015 nanti.

Hewan kurban dari Jokowi disalurkan oleh Staf Sekretariat Istana Kepresidenan, Ismail, kepada panitia kurban Masjid Raya Baiturrahman, yang dalam hal ini diwakili Kasubbag Haji Biro Kesra Setda Aceh, Abdul Karim.(acehterkini)

Lhoksukon - Dua pria pengedar sabu asal Desa Matang Lada, Kecamatan Seunudon, Aceh Utara diringkus tim gabungan Polres Aceh Utara, Selasa (15/09) sore di sebuah gebuk di pertambakan warga desa setempat. Dari tangan keduanya polisi mengamankan sepucuk senjata api laras pendek jenis FN, sejumlah amunisi dan sabu seberat 0,15 gram.

Dalam konferensi pers yang digelar Polres Aceh Utara Rabu (16/09) pagi di aula Mapolres setempat, Kapolres Aceh Utara AKBP Achmadi SIK menjelaskan, pihaknya telah mengamankan dua bandit sabu yang menggunakan senjata api dengan inisial J (28) dan R (22) yang merupakan warga desa setempat.

“Dari J, kami amankan barang bukti berupa sabu seberat 0,15 gram, 65 amunisi aktif jenis AK, bong (alat penghisap sabu), handphone, dompet, dan timbangan sabu,” kata Kapolres didampingi Kabag Ops, AKP Edwin Aldro.

Sementara itu, kata Kapolres, dari tersangka R juga didapat barang bukti berupa senjata api laras pendek jenis FN beserta 4 butir amunisi aktif caliber 9 mm.

Menurut Kapolres, penangkapan dilakukan oleh tim gabungan satuan narkoba dan reserse kriminal pada sore hari kemarin, Selasa (15/09) setelah  warga setempat memberikan informasi terkait keberadaan bandit sabu di desa mereka.

Tim kemudian bergerak ke lokasi dan berhasil menangkap tersangka J di rumahnya tanpa perlawanan. Tak lama kemudian, sekitar pukul 17.00 WIB, dari keterangan J pihak kepolisian juga berhasil mengamankan R.

Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Aceh Utara, AKP Mahliadi  mengatakan, berdasarkan barang bukti  yang diperoleh, tidak tertutup kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah. Untuk itu pengembangan kasus tersebut akan segera dilakukan.(AJNN)
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget