Halloween Costume ideas 2015
loading...

Merdeka Dalam Bingkai Perdamaian

Bagi kita yang hidup di bumi Nusantara, terkhusus di Aceh tercinta, bulan Agustus adalah bulan yang menyita perhatian. Agustus selalu riuh, seriuh euforia anak-anak ikut perlombaan balap karung. Gaduh, segaduh perlombaan panjat pinang. Semarak, sesemarak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) RI. Di sisi yang lain, bulan Agustus juga sejuk, sesejuk perdamain Aceh yang merasuk qalbu. Bulan Agustus ibarat rindu yang senantiasa diingat, entah itu sebagai medium untuk berefleksi dengan romantika masa lalu, atau menjadi batu loncatan demi masa depan yang lebih gemilang. Sebagaimana yang kita ketahui, ada dua perayaan sakral di dalam bulan agustus. Pertama, perayaan HUT RI; tahun 2015 Republik Indonesia genap berusia 70 tahun. Kedua, perayaan peringatan 10 tahun perdamaian Aceh; yang pada tahun 2015 genap berusia 10 tahun.

Dua momen penting tersebut begitu esensi sekaligus sensitif bagi Indonesia juga Aceh. Karena didalamnya bermuatan makna sejarah. Indonesia merdeka pada bulan agustus, 17 agustus 1945 dan perdamaian Aceh juga terwujud tepat di bulan yang sama, 15 agustus 2005. Entah itu sebuah kebetulan atau tidak, entahlah. Dua momen sakral tersebut sensitif lantaran bagi Aceh selalu terpatri bahwa sumbangsih masyarakat Aceh untuk Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan sangatlah besar. Hal ini termaktub harum dalam tinta sejarah bangsa ini. Meski pada perjalananya Aceh merasa tertipu dan dikerjai oleh pusat, sehingga timbulah pergolakan mulai dari DI/TII di bawah Daud Beureueh pada tanggal 20 September 1953, hingga pergolakan GAM yang bermula pada tarikh 4 Desember 1976 yang di proklamirkan oleh Hasan Tiro. Rentetan sejarah inilah yang kemudian mewarnai perjalan Indonesia juga Aceh. Romantisme abstrak menjadi warna dominan antara keduanya. Ada pergumulan didalamnya; kemesraan serta pengkhianatan. Terlepas siapa benar dan siapa salah.

Kini, antara Aceh dan Indonesia telah memasuki babak baru. Dari saling berseturu sepakat untuk berdamai. Konflik yang berlarut-larut nyatanya tidak baik bagi peradabaan kemanusiaan. Karena bila direnungi lebih jauh, konflik tidak semata-mata antara GAM dengan Pemerintah pusat maupun aparat keamanan; GAM juga Polri. Namun lebih dari itu. Sesungguhnya kita sedang berkoflik dengan rasa ego berkedok nasionalisme ataupun etno-nasionalisme yang pada akhirnya ada terlalu banyak nurani yang terkhianati. Namun, perseteruan, konflik dan perang adalah siklus yang pada akhirnya mencapai titiknya tersendiri meski pada dimensi yang lain siklus ini (tidak menutup kemungkinan) juga akan berulang. Alhamdulillah, pasca Tsunami titik siklus konflik ini menemukan titik tersendiri berupa ‘membijaksanakan ego’ keduabelah pihak untuk; perdamaian. 15 Agustus 2015 bertempat di Helsinki, Finlandia tercapailah Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dengan Pemerintah pusat; TNI dan Polri. Maka apa yang endatu petuahkan dulu: “Pat ujeun yang hana piram, pane prang yang hana reuda”, menjadi sahih adanya.

Perdamaian Aceh yang sudah berumur 10 tahun tentunya bukanlah sebuah usia kemarin sore, pun tidak jua remaja, apalagi tua. Ibarat seorang anak manusia yang berumur 10 tahun, ia amat sensitif. Butuh kasih sayang lebih serta perhatian yang ekstra. Dalam bahasa sekarang, fase 10 tahun berada pada ‘masa labil’. Perdamaian Aceh hari ini merupakan anugrah Allah SWT yang tak ternilai harganya, kiranya hal ini senantiasa harus kita syukuri bersama. Kita bina, rawat, serta jaga, menurut kadar kuasa masing-masing. Timbul pertanyaan: Apakah perdamaian Aceh hari ini sudah benar-benar sesuai dengan harapan? Jawabanya beragam. Yang pasti, perdamaian Aceh tak ubahnya kondisi laut. Setenang apapan ia, tetap beriak, pasti bergelombang! Begitulah analogi sederhananya. Kondisi perdamaian Aceh hari ini penuh riak, bergelombang gamang. Realitas di lapangan mengaminkan apa yang kita khawatirkan. Faktanya, pemerintahan Aceh hari ini tidak kompak, jika tak ingin dikatakan pecah! Hilangnya trust dari rakyat. Masyarakat berkubu-kubu, berkelompok-kelompok. Munculya pemberontakan baru; Din Minimi misalnya-terlepas salah atau benar. Dalam hal agama, betapa mudahnya gesekan antar mazhab, organisasi, tarikat hingga keyakinan lainnya timbul. Pada sektor kesejahteraan, perekonomian Aceh saat ini melempem, pembangunan terindikasi jalan di tempat, pengangguran dimana-mana, kemiskinan masih timpang. Dari lintas politik, tarik ulur kepentingan masih merajalela. Bahkan sudah jadi rahasia umum; antara gubernur dan wakil gubernur saja tidak akur! Besar harapan kita selaku rakyat Aceh kiranya Doto Zaini dengan Muallem rujuk untuk membina kembali keharmonisan yang lebih baik, untuk dan demi Aceh tercinta. Bukankah dulu keduanya berjanji untuk berbuat banyak terhadap Aceh dan rakyat Aceh khususnya? Bila nahkoda dan kapten kapal yang bernama Aceh tak kompak, haruskah kami rakyat selaku penumpang karam ditengah samudra ego yang amat ganas ini? Nyan pulang pike bak ureung droe neuh!. Dan masih banyak kenyataan lainnya yang bila diingat dan ditulis membuat kita mengelus dada, weuh hate.

Akumulasi daripada kenyataan tersebut sejatinya menjadi cambuk bagi kita bersama untuk saling berkontribusi demi  Aceh yang lebih cemerlang. Menyingsingkan lengan baju, bahu-membahu berfikir maupun bertindak demi kemajuan Aceh. Sebab, sebuah perjalanan pembangunan membutuhkan kolaborasi dalam harmonisasi semua pihak; Stekeholder, Civil society, dll. Tanpa itu, mustahil apa yang kita cita-citakan dapat terwujud. Rakyat tak melulu bisa mempersalahakan pemerintah, sebaliknya pemerintah juga tidak bisa abai akan tuntutan rakyat. Bek laloe, masih terlalu banyak PR yang musti kita selesaikan bersama-sama. Jika segala permasalahan yang ada tidak dapat terselesikan dalam waktu dekat ini, sungguh kita sedang menyemai benih-benih konflik/pergolakan baru dengan wajah berbeda yang muncul dan timbul karena keputus asaan, ketidaksejahteraan, bahkan karena hilangnya rasa percaya antar sesama.

Merujuk pada realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat Aceh dewasa ini, jujur harus kita akui, sungguh teror untuk merusak perdamaian Aceh hari ini tanpa kita sadari sedang dan telah  kita ciptakan sendiri. Banyak persoalan yang belum terselesaikan (Sebagaimana apa yang telah disebutkan di atas), ditambah lagi dengan persoalan baru yang nantinya akan muncuat, adalah virus perusak perdamaian dari dalam tubuh Aceh sendiri. Terlepas juga ada dugaan bahwa ada pihak ketiga/luar yang berusaha mengacaukan perdamaian Aceh. Singkat kata, tak berlebihan bila dikatakan; Aceh sedang menggali kuburnya sendiri-semoga ini salah.
Pada perjalanannya, perdamaian Aceh sampai hari ini sudah memasuki usia 10 tahun, tidaklah semulus apa yang dibayangkan. Muncul polemik dan gejolak dimana-mana. Bagi sebahagian pihak, perdamaian Aceh mendapatkan pertentangan amat keras. Perdamain Aceh dianggap sebuah pengkhianatan terhadap perjuangan yang sesunggunya. Di lain pihak, perdamain Aceh dianggap sebagai sebuah anugrah yang tak terkirakan. Medium lain perjuangan.  Bagi mereka, konflik yang berkepanjangan hanya akan membuat Aceh semakin terpuruk. Terperosok ke dalam keterbelakangan. Kalau harus jujur, nun jauh di lubuk hati masyarakat Aceh pada umumya, asa untuk merdeka memang tidak pernah benar-benar mati. Seandainya kita sedikit mau lebih wise, sesunggunhya ‘merdeka’ tidak bisa hanya dikotomi oleh dua hal saja; de facto dan de jure. Namun lebih dari itu. Pemaknaan merdeka tidak hanya sebatas mengartikan secara kata, makna harfiah saja. Namun bisa dirunut lebih jauh. Hemat penulis, Aceh untuk konteks kekinian, sedang menikmati kemerdekaan dalam bentuk lainnya; merdeka dalam bingkai perdamaian. Aktualisasi dari pada kemerdekaan itu sendiri ragam ekspresi, bisa jadi, menikmati segelas kupi pancong dengan kue pulot ialah merdeka. Jeut rabe leumo (ngangon sapi) sambil menyaksikan senja mengulum cakrawala juga merdeka. Bahkan, bisa menikahi seorang tambatan hati juga merupakan kemerdekaan sekaligus damai yang tak terkirakan. Aduhai, alangkah indahnya nikmat kedamaian dan kemerdekaan. Nyatanya kita memang sudah waktunya mengaktualisasikan kemerdekaan dan perdamaian versi masing-masing. Tentu haruslah bermuatan positif tanpa menggangu orang lain.

Hidup dalam perdamaian sejatinya merupakan proses kemerdekaan dari banyak hal. Minimal, masyarakat merdeka dari ketakutan konflik yang saban waktu menghantui. Untuk itu, sekarang ini fukos yang paling penting untuk Aceh dalam memaknai serta mengisi kemerdekaan dalam perdamaian ialah;

Pertama, pentingnya harmonisasi dan kolaborasi pemerintah Aceh. Kekompakan merupakan modal utama untuk membangun Aceh dalam mengisi perdamaian. Stekeholder memegan peranan penting sebagai nahkoda ataupun kompas untuk pembangunan Aceh yang berkelanjutan. Jangan mudah retak. Kalau pemerintah saja tidak kompak, bagaimana berharap rakyat bersatu padu untuk mendunkung program-program pemerintah? Bukankahan pemerintah yang didominasi elit merupakan teladan? Harusnya demikian.
Kedua, membumikan serta mengimplementasikan  Mou Helsinki dan UUPA. Keduanya perlu dimaknai secara baik, benar, tepat dan akurat sebagai modal untuk menjalankan roda pemerintahan, juga amunisi pembangunan ke arah yang lebih cerah. Sebab, selama ini bagi umumnya orang awam terkhusus masyarakat marginal, mereka tidak paham makna dan esensi MoU maupun UUPA. Butir-butir keduanya butuh pemaknaan yang bisa dipahami semua lapisan masyarakat. Jangan sampai MoU dan UUPA menjadi maop yang digembar-gemborkan tetapi tak (begitu) terasa kehadiranya. Kemudian, yang terpenting, MoU serta UUPA jangan sampai menjadi bahan jualan bagi sebahagian politisi untuk narsis serta mendulang populeritas demi meraup suara.
Ketiga,mengenjot perekonomian Aceh yang akhir-akhir ini lesu agar terus tumbuh. Ekonomi adalah rohnya pembangunan, tanpa perekonomian yang baik (stabil) dan kuat, semua hal akan menjadi sulit. Optimalisasi daya serap APBA juga dana Otsus untuk program-program yang memberdayakan serta pro rakyat. Pentingnya blue print maupun roadmap perekonomian Aceh yang jelas serta tepat sasaran sebagai landasan pembangunan Aceh yang meucuhu baik itu jangka pendek, menegah hingga jangka panjang.

Keempat, memperbaiki serta menjaga hubungan baik antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat guna merealisasikan apa-apa saja yang menjadi kesepakatan. Lobi-lobi politik perlu mendapatkan perhatian khusus sekaligus serius. Jadi, jangan terus dikungkungi sifat saling curiga antara kedua belah pihak. Memperbaiki rasa kepercayaan yang selama ini masih terkesah setengah-setengah. Demi Aceh, demi Indonesia.

Akhirnya, melalui momentun peringatan 70 tahun HUT Republik Indonesia (RI) dan peringatan 10 tahun perdamaian Aceh, mari memperbanyak rasa syukur terhadap apa yang telah kita peroleh maupun sepakati selama ini. Sebab, tanpa rasa syukur, memaknai Kemerdekaan dan Perdamaian hanya akan memupuk rasa saling curiga yang pada giliranya akan bermuara kepada pusara konflik jilid lanjutan. Mengundang siklus yang tak kita inginkan kembali terulang. Alangkah indahnya, bila hubungan yang telah terajut baik terus sama-sama kita rawat, demi perdamaian Aceh yang abadi serta untuk Kemerdekaan Indonesia yang tak kembali tergugat oleh sesama. Sebagai penutup, ada dua titah khusus dari dua tokoh besar yang kiranya menjadi renungan kita bersama. Presiden pertama RI, Soekarno pernah mengatakan: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Teungku Hasan Muhammad di  Tiro, sebelum ia berpulang keharibaan Allah SWT beliau berpesan: “Perihalah damai untuk kesejahteraan kita semua”. Pesan dua tokoh berpengaruh ini amatlah dalam. Semoga kita semua dapat belajar sekaligus terus bercermin demi Kemerdekaan dan Perdamaian yang hakiki hingga abadi selamaya. Wallahualam!

Penulis : Ichsan Maulana merupakan mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Syiah Kuala.

loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget