Halloween Costume ideas 2015
loading...

Lingkaran “Setan” APBA

MEMBACA berita lambannya realisasi APBA seperti mendengar suara kodok di musim hujan. Riuh tapi tidak berefek apapun. Hanya menjadi penanda bahwa musim hujan telah tiba. Berita itu hanya jadi penanda bahwa Aceh masih punya anggaran.

Kenapa hal ini terus berulang-ulang sepanjang waktu sejak 2008 lalu. Apakah ini takdir? Ataukah memang disengaja?

Bila ini takdir maka kita tidak layak mengkritik siapapun. Kita tidak berhak melawan kehendak Allah (takdir). Tapi bila kita dikatakan takdir tentu kriterianya harus jelas.

Secara umum kasus leletnya APBA boleh dikatakan “human error”. Jadi kesalahan terletak pada pelaku dan pengendali anggaran. Kenapa mereka tidak berubah. Kenapa manusianya selalu jatuh di lubang yang sama. Mengapa mereka lebih bodoh dari keledai?

Secara kasuistik kita lihat Dinas Pendidikan Aceh. Di awal rezim Zikir, Anas M Adam menyapu bersih pejabat lama. Mereka dianggap rejim lama Irwandi Nazar. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Anas untuk menempatkan sejumlah keluarga dan kroninya.

Kemudian, enam bulan lalu, Anas dilengserkan. Dia bertukar tempat dengan Hasanuddin Darjo. Dalam tempo dua bulan “berkuasa”, Hasanuddin Darjo menggusur kabinet Anas. Hanya satu orang yang selamat. Darjo membentuk kabinet sendiri. Perilakunya lebih kurang sama dengan Anas. Kesempatan ini dimanfaatkan menempatkan kroni-kroninya di jabatan. Bahkan ada yang langsung ditarik dari guru.

Nah, sepanjang waktu Dinas Pendidikan Propinsi tidak pernah berada di zona hijau versi P2K. Jawabannya adalah bahwa penggantian semua pejabat struktural di bawah mengakibatkan rusaknya harmonisasi program. Bukan cerita bohong bahwa pejabat lama menyembunyikan data dan tidak mau bersinergi dengan pejabat baru.

Masalah lain adalah sejumlah pejabat baru sama sekali bukan dari birokrat. Mereka tidak pernah terlibat dalam tata kelola anggaran. Mereka perlu belajar dan menyesuaikan diri. Selanjutnya bagi mereka yang dari daerah, biasanya mengelola anggaran kecil. Namun tiba-tiba sampai di propinsi “lage cicak wa krong”.

Biasa mengelola anggaran kecil tapi kemudian mengelola anggaran maha besar. Maka tak heran bila akhirnya mereka terus berada di zona merah. Para pejabat baru “lage bue drop dareut”. Mereka kalang kabuet. Tidak tahu harus memulai dari mana. Apalagi penggantian di pertengahan tahun anggaran makin menyulitkan mereka memahami postur anggaran.

Ini hanya satu contoh SKPA. Dinas pendidikan Aceh seperti milik sang pimpinan. Dinas itu seperti perusahaan warisan keluarga pimpinan. Sehingga seenak perut pimpinan menentukan siapa yang diberi jabatan mengurus usaha warisan itu.

Bila Anas dulu besar kemungkinan disebabkan faktor promordial politik. Maka mungkin perlu mengakomodir para pihak. Tak jelas apakah Darjo mengalami hal yang sama? Agak kecil kemungkinannya.

Mungkin nafsu berkuasanya yang menghilangkan rasionalitasnya. Mengabaikan aturan kepegawaian. Demi memberi kesempatan kroninya dapat posisi. Bisa jadi dia juga sedang didongkel oleh berbagai pihak. Termasuk oleh para dedengkot “mafia Disdik Aceh” yang sangat mengakar di sana.

Maka selama pimpinan dinas tersebut tidak melepaskan diri dari nafsu kekuasaan, maka jangan harap tujuan mereka tercapai. Pendidikan Aceh telah menjadi tunggangan. Menjadi alat paling subur mengakomodir keluarga dan kroni. Mereka yang hari ini punya jabatan juga akan selalu was-was dengan nasibnya. Nasib mereka kapan saja bisa sama dengan orang yang mereka gantikan. Sehingga jelas kenyamanan kerja tidak ada di sana.

Lagi pula para staf juga membangun benteng sampai mereka menemukan chemestry dengan pejabat baru. Dan ketika mendengar isu mutasi maka mereka segera memilih zona aman. Mereka pun dengan wajah berbinar menyambut bos baru.

Jika siklus seperti ini tidak diakhiri, jangan harap Dinas Pendidikan Aceh menyelesaikan tugas mulianya. Pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah rakyat. Rakyat selalu gagal harapan. Gagal mendapat hak-haknya hanya karena ambisi kekuasaan pimpinan dinas itu.

Menjelang akhir rejim ini, kita berharap siklus ini diputus. Bilapun Darjo harus dilengserkan karena KKN dan berkinerja buruk, maka jangan sampai ke bawah juga turut dihabisi. Pasalnya sebenarnya operator daya serap anggaran berada pada pejabat teknis bukan pada kepala dinas.

Semoga pimpinan baru Disdik ke depan bukan datang karena ambisi kekuasaan. Tapi benar-benar niat mengabdi untuk pendidikan Aceh yang lebih baik, mencerdaskan anak-anak Aceh, dan memanusiakan anak-anak pemilik masa depan Aceh. Semoga!

loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget