Oleh Muhammad Iqbal Jalil
UCAPAN terima kasih layak diberikan kepada Bapak Hasanuddin Yusuf Adan (HYA) atas opininya yang berjudul “Pawai Aswaja, Apa Untung-Ruginya?” (Serambi Indonesia, 17/9/2015). Di tengah kesibukannya sebagai Ketua Dewan Dakwah Aceh, Saudara HYA masih menyempatkan diri untuk memberi perhatian penuh terhadap kegiatan Pawai Aswaja (Ahlussunnah Waljamaah) yang berlangsung di Banda Aceh pada 10 September 2015 lalu. HYA juga ikut memberikan beberapa masukan dan pandangan serta mengajak para Pembaca untuk mempertimbangkan untung-ruginya kegiatan ini.
Hanya berbekal dialog dengan satu dua peserta parade, HYA telah mendapatkan gambaran bagaimana parade ini secara umumnya. Ia mengusulkan agar dalam orasi para tokoh perlu memberi pembelajaran dan pencerahan kepada umat mengenai apa itu Wahabi dan apa pula Ahlussunnah Waljamaah. Usulan ini memang baik, namun apa yang diusulkan oleh HYA sebenarnya telah menjadi salah satu topik utama yang dibahas oleh beberapa ulama Aceh dalam serangkaian kegiatan zikir dan tausiyah yang dipusatkan di Komplek Makam Syiah Kuala, sebelum pawai dimulai. Usulan ini menunjukkan bahwa HYA pada hakikatnya kurang memahami jalannya kegiatan pawai ini secara keseluruhan.
Sangat menggelitik
Dalam opininya, HYA juga mempertanyakan; apakah selain paham Ahlussunnah Waljamaah yang dimaksudkan seratus persen akan masuk neraka, sementara para penuntutnya dijamin masuk syurga? Pertanyaan semacam ini tentunya sangat menggelitik, apalagi itu muncul dari seorang tokoh yang notabene ketua Dewan Dakwah yang sejatinya sangat memahami konsep dan manhaj dakwah itu sendiri. Bukankah kita yang hidup di generasi ini semuanya tidak ada yang dijamin masuk syurga? Jaminan masuk syurga itu hanya dimiliki oleh para ambiya dan hamba Allah tertentu sebagaimana yang terdapat dalam hadis. Menolak berkembangnya paham yang menyimpang adalah bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar. Lalu, apakah hal itu mesti dilakukan oleh orang-orang yang mendapat jaminan masuk syurga? Siapakah yang punya wewenang untuk mencegah kemunkaran di zaman ini, di mana tidak seorang pun mendapat jaminan masuk syurga?
Pertanyaan yang disampaikan oleh HYA sangat berbenturan dengan manhaj dakwah dan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Dalam kajian fikih disebutkan, seorang pezina masih belum gugur kewajibannya melarang si perempuan membuka aurat, meskipun ia sedang berzina dengannya. Ini artinya, pelaku munkar sekalipun masih diperintahkan untuk mencegah kemunkaran. Maka di sini dapat dipahami bahwa mencegah kemunkaran tidak disyaratkan harus dilakukan oleh orang yang suci, apalagi harus ada jaminan masuk syurga.
Dalam mengamati Pawai Aswaja ini, Penulis melihat HYA sudah masuk terlalu jauh hingga menimbulkan prasangka dan dugaan-dugaan yang berlebihan. Sikap HYA dalam menilai kegiatan pawai Aswaja ini tak ubahnya bagaikan seseorang yang gundah dan risau tidak cukupnya makanan kenduri di rumah tetangganya. Padahal si empunya rumah sudah jauh-jauh hari mempertimbangkan kesesuaian jumlah tamu yang diundang dengan persediaan makannan yang disiapkan. HYA beranggapan kalau orang yang sebelumnya menyatu mengikuti pawai ini boleh jadi akan berebutan nasi bungkus yang dapat memicu keretakan di antara mereka, bahkan bisa saja berujung kepada “dakwa-dakwi” yang berlanjut hingga pulang ke kampung masing-masing.
Suatu hal yang barangkali tidak pernah terpikirkan oleh HYA, kalau pihak panitia acara pawai ini telah menyiapkan lebih dari tiga puluh ribu bungkus nasi yang merupakan sumbangan warga Banda Aceh dan Aceh Besar. Informasi ini penulis dapat secara langsung dari Tgk H Tu Bulqaini selaku koordinator acara. Kepanikan yang berlebihan soal nasi bungkus dari HYA barangkali dapat dimaklumi, karena HYA hanya melihat pawai ini dari kejauhan atau bertanya kepada orang-orang yang sama sekali tidak terlibat dalam kepanitiaan.
Menilai secara adil
Saudara HYA juga terlihat belum mampu memberikan porsi yang berimbang dalam menilai kegiatan pawai ini secara lebih objektif. HYA hanya melihat keuntungan pawai ini bagi orang yang jarang atau belum pernah ke Banda Aceh dimana kali ini sudah punya kesempatan untuk melihat ibu kota Provinsi Aceh. Suatu pernyataan yang sebenarnya kurang pantas untuk disampaikan. Padahal kalau kita mau jujur, terlepas dari segala kekurangannya, kegiatan pawai Aswaja ini telah mengajarkan banyak keteladanan.
Sebagaimana yang diberitakan Harian Serambi Indonesia (11/9/2015) bahwa massa menghentikan pawai dan orasinya saat waktu Zuhur tiba untuk melakukan shalat Zuhur berjamaah. Kesempatan ini barangkali juga dimanfaatkan oleh sebagian jamaah “musafir” dari luar Banda Aceh untuk melakukan shalat Ashar sekaligus (jama’ taqdim). Namun lagi-lagi HYA merisaukan kalau di balik kegiatan pawai ini akan memunculkan kekecewaan tersendiri manakala banyak yang tidak sempat melakukan shalat karena sibuk dengan pawai, seakan kegiatan pawai tidak dihentikan saat pelaksanaa shalat tiba.
Penulis menilai bahwa panitia pawai Aswaja ini patut diberikan apresiasi, karena dengan jumlah massa yang begitu banyak, panitia mampu mengondisikan agar kegiatan ini berjalan tertib dan lancar. Petugas kebersihan pun tidak perlu repot-repot dan disibukkan untuk membersihkan sisa-sisa sampah selepas kegiatan pawai, karena pihak panitia telah lebih awal mengingatkan agar massa tidak membuang sampah sembarangan.
Di samping itu, juga ada Tim Ansharullah yang secara khusus telah diamanahkan untuk membersihkan sampah-sampah di sepanjang jalanan pawai. Nah, alangkah lebih bijaknya bila kita lebih tertarik membuka mata melihat sisi positif dari orang lain, daripada sibuk memberikan kritikan dan berprasangka, padahal yang mengkritik itu belum tentu memahami apa sebenarnya yang sedang dikritisi.
Tak ada asap, kalau tidak ada api. Begitu juga dengan berkumpulnya ribuan massa pada kegiatan pawai ini juga merupakan buntut dari semakin bebasnya kelompok tertentu menyebar kebencian lewat tuduhan bid’ah dan syirik secara membabi buta. Mengutip pernyataan Tgk Zakasyi Oesdannur, ketika para “penjaja” paham Wahabi menghantam tradisi masyarakat lewat tuduhan bid’ah, syirik, atau sesat lewat mimbar dan radio, tidak ada tulisan atau pernyataan dari sosok yang dianggap moderat untuk melakukan pembelaan. Ketika ada aksi masyarakat yang mulai bosan dan tidak sabar dengan tuduhan-tuduhan bid’ah itu, baru kemudian muncul tokoh-tokoh yang melakukan pembelaan seolah-olah menjadi pahlawan bagi kelompok minoritas yang terzalimi.
Ada baiknya, bila melihat suatu permasalahan itu juga mempertimbangkan sebab-sebab yang melatarbelakangi mengapa masalah itu muncul, sehingga solusi yang diberikan lebih adil dan objektif. Apapun nama kelompoknya, Salafikah, Wahabi, pengikut Sunnah atau Aswaja sekalipun, kalau pekerjaannya cuma untuk mem-bid’ah-kan, menuduh syirik atau ahli neraka kepada masyarakat yang melakukan tahlil, zikir berjamaah, ziarah, tawassul, maulid, kenduri atau tradisi baik lainnya sangat tidak layak untuk berkembang di Aceh.
Dari dulu masyarakat Aceh dikenal suka berkenduri, gemar berziarah, sering berkumpul untuk berdoa bersama, dan suka melestarikan tradisi-tradisi yang mengandung nilai kebaikan. Kalau ada kelompok tertentu yang sacara membabi buta gemar mem-bid’ah-kan hal-hal di atas, maka sangatlah wajar kalau kemudian masyarakat Aceh menolaknya. Demikian, Wallahul Muwaffiq.
* Tgk. H. Muhammad Iqbal Jalil, Pengurus Ikatan Penulis
Santri Aceh (IPSA), Santri Dayah MUDI Mesra dan Staf Pengajar Dayah
Jamiah Al-Aziziyah Batee Iliek. Email: m.iqbaljalil@gmail.com (dikutip, serambinews.com)
loading...
Post a Comment