BISAKAH seluruh elemen di Aceh bersatu? Pertanyaan ini mungkin terlintas di benak para pihak mengingat berbagai macam persoalan yang melanda Aceh usai perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan RI.
Diakui atau tidak, GAM pernah menjadi satu kekuatan besar di Aceh. Namun sayangnya kelompok ini kini terpecah dalam beberapa kelompok.
Tidak hanya itu, partai yang sejatinya menampung aspirasi politik mantan kombatan juga terbelah. Sebut saja misalnya PNA dan Partai Aceh serta PDA, selaku partai lokal. Padahal jika seluruh kelompok politik ini bersatu maka akan menjadi modal besar dalam membangun Aceh.
Di sisi lain ada Forkab dan PETA yang juga memiliki dukungan kuat dari massa garis bawah. Demikian juga partai nasional yang ada di Aceh. Mereka punya jaringan kuat di tingkat pusat yang bisa digunakan untuk percepatan pembangunan Aceh usai terjalinnya perdamaian.
Di pihak selanjutnya, ada ulama dan akademisi yang memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan Aceh. Ada organisasi kepemudaan seperti KNPI, KMPA, serta FPMPA. Keberadaan para pemuda ini merupakan salah satu unsur untuk mempercepat pembangunan di Aceh.
Jika semua komponen tadi bersatu. Maka pembangunan Aceh bukan mustahil untuk diwujudkan dalam waktu yang singkat.
Namun tentu saja hal tersebut belum terwujud. Jika mau jujur, semua komponen tadi sejauh ini masih berjalan sendiri-sendiri. Antara satu pihak dengan pihak lainnya masih saling menyalahkan dan merasa kelompok mereka lah yang paling benar. Imbas dari hal ini akhirnya membuat politik di Aceh menjadi kacau.
Pemerintah pusat pun seperti tak lagi segan dengan Pemerintah Aceh. Ini karena para pihak tadi telah dengan sengaja mempertontonkan keributan dalam ‘rumah tangga’ ke publik.
Bukti mulai melemahnya nilai tawar Aceh di mata Pusat yaitu dengan banyaknya aturan turunan UUPA hingga kini tak kunjung disahkan. Padahal, ini merupakan poin penting dalam perjanjian MoU Helsinki. Jika poin ini terlaksana, bukan tak mungkin kesejahteraan masyarakat Aceh akan segera diperoleh.
Kita berharap para pihak sadar akan kondisi kekinian di Aceh. Sadar bahwa solusi pembangunan di Aceh adalah kebersamaan. Mari buang ego jauh-jauh demi masyarakat Aceh. Demikian juga dengan akademisi. Kita berharap tak sekedar berteori soal Aceh, tapi mari sama-sama berfikir dan membangun daerah ini menjadi lebih baik.
Para pemimpin Aceh saat ini juga diharapkan tak menutup telinga terkait saran membangun dari para pihak tadi. Mereka harus sadar bahwa membangun Aceh tak cukup dengan melibatkan kelompok sendiri. Pemimpin Aceh harusnya memanggil para pihak ini untuk sama-sama berpikir untuk Aceh. Tujuannya agar Aceh lebih baik lagi ke depan.
Diakui atau tidak, GAM pernah menjadi satu kekuatan besar di Aceh. Namun sayangnya kelompok ini kini terpecah dalam beberapa kelompok.
Tidak hanya itu, partai yang sejatinya menampung aspirasi politik mantan kombatan juga terbelah. Sebut saja misalnya PNA dan Partai Aceh serta PDA, selaku partai lokal. Padahal jika seluruh kelompok politik ini bersatu maka akan menjadi modal besar dalam membangun Aceh.
Di sisi lain ada Forkab dan PETA yang juga memiliki dukungan kuat dari massa garis bawah. Demikian juga partai nasional yang ada di Aceh. Mereka punya jaringan kuat di tingkat pusat yang bisa digunakan untuk percepatan pembangunan Aceh usai terjalinnya perdamaian.
Di pihak selanjutnya, ada ulama dan akademisi yang memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan Aceh. Ada organisasi kepemudaan seperti KNPI, KMPA, serta FPMPA. Keberadaan para pemuda ini merupakan salah satu unsur untuk mempercepat pembangunan di Aceh.
Jika semua komponen tadi bersatu. Maka pembangunan Aceh bukan mustahil untuk diwujudkan dalam waktu yang singkat.
Namun tentu saja hal tersebut belum terwujud. Jika mau jujur, semua komponen tadi sejauh ini masih berjalan sendiri-sendiri. Antara satu pihak dengan pihak lainnya masih saling menyalahkan dan merasa kelompok mereka lah yang paling benar. Imbas dari hal ini akhirnya membuat politik di Aceh menjadi kacau.
Pemerintah pusat pun seperti tak lagi segan dengan Pemerintah Aceh. Ini karena para pihak tadi telah dengan sengaja mempertontonkan keributan dalam ‘rumah tangga’ ke publik.
Bukti mulai melemahnya nilai tawar Aceh di mata Pusat yaitu dengan banyaknya aturan turunan UUPA hingga kini tak kunjung disahkan. Padahal, ini merupakan poin penting dalam perjanjian MoU Helsinki. Jika poin ini terlaksana, bukan tak mungkin kesejahteraan masyarakat Aceh akan segera diperoleh.
Kita berharap para pihak sadar akan kondisi kekinian di Aceh. Sadar bahwa solusi pembangunan di Aceh adalah kebersamaan. Mari buang ego jauh-jauh demi masyarakat Aceh. Demikian juga dengan akademisi. Kita berharap tak sekedar berteori soal Aceh, tapi mari sama-sama berfikir dan membangun daerah ini menjadi lebih baik.
Para pemimpin Aceh saat ini juga diharapkan tak menutup telinga terkait saran membangun dari para pihak tadi. Mereka harus sadar bahwa membangun Aceh tak cukup dengan melibatkan kelompok sendiri. Pemimpin Aceh harusnya memanggil para pihak ini untuk sama-sama berpikir untuk Aceh. Tujuannya agar Aceh lebih baik lagi ke depan.
loading...
Post a Comment