KONON katanya hubungan Aceh dengan Malaysia sudah berlangsung sejak era kesultanan masa lalu. Akibatnya banyak orang-orang Aceh yang kemudian menjadi warga Malaysia, menikah dengan orang Malaysia, dan bahkan mencari penghasilan layak di negeri jiran. Sehingga pada waktu tertentu para perantau itu pulang ke tanoh indatunya, baik secara legal maupun ilegal. Begitu juga sebaliknya. Ada warga Aceh yang datang ke Malaysia (Aceh: Malaya) melalui jalur sah atau secara sembunyi-sembunyi.
Banyak orang Aceh yang kemudian berhasil di tanah perantauan, Malaysia. Sebut saja di antaranya adalah P Ramlee, yang kemudian menjadi seniman terkenal di negara tersebut. Ada juga beberapa orang Aceh yang kemudian menjadi negarawan terkenal di tanah Melayu itu. Hal inilah yang kemudian diduga menjadi salah satu faktor bagi orang-orang Aceh datang ke sana.
Selain itu, faktor konflik yang melanda daerah ini beberapa waktu lalu juga turut menjadi pemicu warga Aceh hijrah ke Malaya. Saat itu bahkan ada beberapa kombatan yang juga berlayar ke negeri tetangga ini. Tentu saja mereka hijrah dengan memanfaatkan jalur belakang alias ilegal. Pasalnya saat itu tidak mungkin orang-orang yang sudah diburu oleh negara ini melalui bea cukai atau mengurus paspor bahkan visa untuk masuk Malaysia.
Setelah damai, masih banyak orang Aceh yang betah di Malaysia. Alasannya beragam. Namun dari sekian banyak alasan tersebut, faktor ekonomi ‘lah yang menjadi pemicu utama bagi orang-orang Aceh datang ke Malaysia.
Anehnya pekerjaan yang dilakukan selama di sana tidak jauh berbeda dengan di Aceh. Meskipun upahnya jelas jauh berbeda dengan Indonesia karena mata uang ringgit jauh lebih besar nilainya dibandingkan rupiah. Sebut saja di antara pekerjaan tersebut seperti kuli bangunan, pembantu rumah tangga dan pedagang.
Pun begitu, orang-orang Aceh tetap nekat pergi ke Malaysia. Jika tidak bisa menempuh jalur resmi maka memanfaatkan agen ilegal adalah pilihan. Dan moda transportasi yang dipakai biasanya adalah perahu, boat atau kapal nelayan. Tentu saja pilihan yang terakhir ini tidak memiliki standar keselamatan untuk para penumpang.
Mereka nekat mengarungi Selat Malaka hanya untuk bisa merasakan hidup di Malaya. Padahal bahaya kerap mengintai selama mereka berada di perairan. Teranyar adalah tenggelamnya kapal tongkang yang mengangkut puluhan WNI di perairan Sabak Bernam, Malaysia. Musibah ini membuat puluhan nyawa hilang termasuk warga Aceh.
Kejadian serupa juga pernah berlaku pada beberapa waktu lalu di masa kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Dalam musibah serupa, orang-orang Aceh juga turut menjadi korban. Sayangnya hal ini tidak menjadi pengalaman atau pelajaran bagi kita.
Kita tetap ngotot jak u Malaya. Angin surga yang menyebutkan hidup disana lebih baik di Aceh, memang terkadang sangat menggiurkan. Namun apakah itu benar adanya?
Kita mengapresiasi sikap pemerintah yang bersedia menggelontorkan sejumlah dana untuk membawa orang-orang Aceh kembali ke kampung kelahirannya usai kejadian tersebut. Kita juga bersyukur pemerintah mau menyingsingkan lengan untuk membantu memulangkan korban yang tewas, termasuk menyediakan asuransi untuk para korban ini. Kita mengapresiasi sikap tanggap bencana pemerintah yang meski terkadang telat terjaga itu. Tapi pertanyaannya adalah bagaimana agar orang-orang Aceh bisa hidup dan mencari makan bahkan menjadi tuan di rumahnya sendiri? Bukan malah menjadi ‘babu’ di negara orang.
Hal ini adalah salah satu solusi yang harus dipikirkan oleh Pemerintah Aceh di masa mendatang. Pasalnya jika tidak dicari solusi bagaimana agar perekonomian Aceh membaik, maka ditakutkan kejadian seperti Sabak Bernam akan kembali terulang di masa depan. Tentu saja kita sangat berharap musibah seperti itu tidak lagi menimpa orang-orang Aceh.
Kita berharap hubungan Aceh dengan Malaya tidak sebatas evakuasi korban kapal tenggelam di masa mendatang. Harus ada yang lebih daripada itu. Termasuk di antaranya mengundang toke-toke Aceh yang ada di Malaya untuk membuka lapangan kerja di daerah asalnya. Atau mengundang orang-orang Melayu untuk berinvestasi di Bumi Iskandar Muda. Dan ini tentu saja membutuhkan kerja keras kita semua.
Banyak orang Aceh yang kemudian berhasil di tanah perantauan, Malaysia. Sebut saja di antaranya adalah P Ramlee, yang kemudian menjadi seniman terkenal di negara tersebut. Ada juga beberapa orang Aceh yang kemudian menjadi negarawan terkenal di tanah Melayu itu. Hal inilah yang kemudian diduga menjadi salah satu faktor bagi orang-orang Aceh datang ke sana.
Selain itu, faktor konflik yang melanda daerah ini beberapa waktu lalu juga turut menjadi pemicu warga Aceh hijrah ke Malaya. Saat itu bahkan ada beberapa kombatan yang juga berlayar ke negeri tetangga ini. Tentu saja mereka hijrah dengan memanfaatkan jalur belakang alias ilegal. Pasalnya saat itu tidak mungkin orang-orang yang sudah diburu oleh negara ini melalui bea cukai atau mengurus paspor bahkan visa untuk masuk Malaysia.
Setelah damai, masih banyak orang Aceh yang betah di Malaysia. Alasannya beragam. Namun dari sekian banyak alasan tersebut, faktor ekonomi ‘lah yang menjadi pemicu utama bagi orang-orang Aceh datang ke Malaysia.
Anehnya pekerjaan yang dilakukan selama di sana tidak jauh berbeda dengan di Aceh. Meskipun upahnya jelas jauh berbeda dengan Indonesia karena mata uang ringgit jauh lebih besar nilainya dibandingkan rupiah. Sebut saja di antara pekerjaan tersebut seperti kuli bangunan, pembantu rumah tangga dan pedagang.
Pun begitu, orang-orang Aceh tetap nekat pergi ke Malaysia. Jika tidak bisa menempuh jalur resmi maka memanfaatkan agen ilegal adalah pilihan. Dan moda transportasi yang dipakai biasanya adalah perahu, boat atau kapal nelayan. Tentu saja pilihan yang terakhir ini tidak memiliki standar keselamatan untuk para penumpang.
Mereka nekat mengarungi Selat Malaka hanya untuk bisa merasakan hidup di Malaya. Padahal bahaya kerap mengintai selama mereka berada di perairan. Teranyar adalah tenggelamnya kapal tongkang yang mengangkut puluhan WNI di perairan Sabak Bernam, Malaysia. Musibah ini membuat puluhan nyawa hilang termasuk warga Aceh.
Kejadian serupa juga pernah berlaku pada beberapa waktu lalu di masa kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Dalam musibah serupa, orang-orang Aceh juga turut menjadi korban. Sayangnya hal ini tidak menjadi pengalaman atau pelajaran bagi kita.
Kita tetap ngotot jak u Malaya. Angin surga yang menyebutkan hidup disana lebih baik di Aceh, memang terkadang sangat menggiurkan. Namun apakah itu benar adanya?
Kita mengapresiasi sikap pemerintah yang bersedia menggelontorkan sejumlah dana untuk membawa orang-orang Aceh kembali ke kampung kelahirannya usai kejadian tersebut. Kita juga bersyukur pemerintah mau menyingsingkan lengan untuk membantu memulangkan korban yang tewas, termasuk menyediakan asuransi untuk para korban ini. Kita mengapresiasi sikap tanggap bencana pemerintah yang meski terkadang telat terjaga itu. Tapi pertanyaannya adalah bagaimana agar orang-orang Aceh bisa hidup dan mencari makan bahkan menjadi tuan di rumahnya sendiri? Bukan malah menjadi ‘babu’ di negara orang.
Hal ini adalah salah satu solusi yang harus dipikirkan oleh Pemerintah Aceh di masa mendatang. Pasalnya jika tidak dicari solusi bagaimana agar perekonomian Aceh membaik, maka ditakutkan kejadian seperti Sabak Bernam akan kembali terulang di masa depan. Tentu saja kita sangat berharap musibah seperti itu tidak lagi menimpa orang-orang Aceh.
Kita berharap hubungan Aceh dengan Malaya tidak sebatas evakuasi korban kapal tenggelam di masa mendatang. Harus ada yang lebih daripada itu. Termasuk di antaranya mengundang toke-toke Aceh yang ada di Malaya untuk membuka lapangan kerja di daerah asalnya. Atau mengundang orang-orang Melayu untuk berinvestasi di Bumi Iskandar Muda. Dan ini tentu saja membutuhkan kerja keras kita semua.
Sumber: portalsatu.com
loading...
Post a Comment