AMP - Kisah beginian seperti yang sering terjadi saat konflik 2002-2004 silam, seakan terulang kembali diera damai. Saat itu sangat sering terjadi keterangan pejabat keamanan dengan saksi mata berbeda. Bahkan masyarakat stress sekalipun bisa diklaim terlibat GAM, Intel GAM, Pemasok Logistik GAM atau lain-lain.
Kebenaran yang hakiki hanya ada dimulut masyarakat setelah kejadian itu terjadi, karena masyarakat yang mengetahui aktivitas warganya.
Pada tahun 2002 di Kecamatan Kuta Makmur, seorang warga yang berfrofesi sebagai tukang panjat kelapa dan dikenal sedikit mengalami gangguan jiwa menjadi bulan –bulanan aparat karena tuduhan sebagai anggota gerilyawan dan terlibat penyerangan salah satu pos aparat keamanan dikawasan itu.
Fakta ini jelas berbeda, setelah keluar konfrensi pers dari otoritas keamanan, si pemanjat kelapa dan si gangguan jiwa itu kemudian naik pangkat menjadi salah salah anggeta pasukan Gerilyawan.Bahkan kronologis telah tersusun rapi, se-akan si pemanjat kelapa plus gangguan jiwa ini dengan penuh patriotik menenteng senjata menyerbu pos keamanan.
Dulu juga sering terjadi bila tertembak anak masih dibawah umur, menaikkan umur dalam sebuah konfrensi pers juga terjadi, misalnya dari 14 menjadi 17 tahun. Klaim –klaim seperti ini hampir menghiasi hari –hari di era 2002 hingga 2004 silam.
Ferivikasi adalah waktu yang panjang bagi wartawan media harian saat itu, menelan mentah hasil konfrensi Pers suatu kegembiraan bagi otoritas pemberi konfrensi pers dan suatu kedukaan bagi keluarga korban.
Namun pilihan ada pada masing-masing, bila masih memiliki sisa nurani ditengah tuntutan deadlin minimal masih mau menyebutkan bahwa itu klaim yang dilakukan oleh si pemberi konfrensi pers, dan jika tidak, ya hayak langsung.
Dimasa konflik silam, penambahan kasus terhadap orang yang sedang di buru (populer) dan orang yang sudah tertembak terkadang terjadi, misalkan ia tertembak, karena mencuri ayam…. kemudian ditambah lagi sebelumnya juga terlibat mencuri kambing– padahal itu belum tentu benar.
Di era damai kita berhadapan dengan pemberitaan kelompok Din Minimi, sedikitnya sudah dua kasus menjadi pembelajaran, pertama kasus Ridwan (35), Kamis 20 Agustus 2015 di Desa Pulo Meuria dan kasus Junaidi alias Brujuek di SPBU Batuphat Lhokseumawe, Kamis 27 Agustus 2015. Dari dua kejadian ini keterangan keluarga korban dan polisi jauh berbeda, pada proses kejadiannya.
Dalam kasus Ridwan, polisi menyebutkan ada terjadi kontak tembak hingga puluhan menit, sementara sumber yang layak dipercaya menyebutkan peluru yang keluar dari magazen Ridwan hanya 3 butir. Mungkin kah dengan peluru 3 butir terjadi kontak tembak hingga puluhan menit?
Belum lagi menyimak keterangan keluarga korban. Keterangan polisi menyebutkan Ridwan melompat dari jendela, sementara keluarganya mengatakan Ridwan sempat dipegang oleh polisi dan ditarik keluar kemudian baru ditembak.
Begitu juga dengan Junaidi alais Brujuek, Keterangan polisi Junaidi hendak kabur dan melawan petugas. Sementra keterangan warga yang sedang isi bensin, posisi Junaidi dan aparat sudah sangat dekat, dan Junaidi tak punya senjata.
Fakta –fakta seperti ini tidaklah berlebihan jika boleh kita sebutkan, ini sedang terjadi pola masa konflik yang sedang terpraktik dimasa damai?
Mari kita simak keterangan keluarga Ridwan
Pengakuan Ibu Almarhum Ridwan
TEWASNYA Ridwan (35), anggota Din Minimi memunculkan pengakuan kontroversi. Pihak keluarga almarhum Ridwan menyatakan Ridwan ditembak hingga menemui ajal setelah ditangkap tangan, bukan disebabkan kontak tembak sebagaimana pernyataan pihak kepolisian.
Sebelumnya polisi menyebutkan Ridwan tewas dalam kontak tembak dengan tim Polda dan Polres Lhokseumawe di kawasan Desa Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, Kamis 20 Agustus 2015 sekitar 17.10 WIB.
Senin, 31 Agustus 2015, pihak keluarga Ridwan, difasilitasi Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin SH menggelar konferensi pers
Di Kantor YARA, Jalan Pelangi, Gampong Keramat, Banda Aceh. YARA menghadirkan langsung ibunda korban, Rohani (70) bersama tiga saudara kandung almarhum yaitu Nurhayati (46), Abdisyah (45), dan Ti Aminah (30).
Dalam konferensi pers itu, Rohani mengaku tidak ada terjadi kontak tembak di desanya. Pada siang itu, Ridwan pulang seorang diri. Kepulangan Ridwan, bukan karena kebetulan, melainkan hasil bujukan yang selama ini dilakukan pihak keluarga atas permintaan aparat keamanan.
“Saya bujuk-bujuk terus, tapi (awalnya) Ridwan tidak mempercayainya. Bahkan saya (berusaha) membujuk melalui adik, abang, keponakan, hingga cucu saya. Akhirnya anak saya pulang ke rumah,” kata Aminah dalam bahasa Aceh.
Menurut Aminah, pada sore itu, Kamis 20 Agustus 2015, sekitar pukul 15.00 WIB, Ridwan tiba di rumah dan memanggil-manggil ibunya. “Mak… Lon kalon woe mak,” kata Rohani menirukan panggilan anaknya.
Sang ibu menjawab, “Ngon soe kawoe neuk?” (Dengan siapa kamu pulang, Nak?) Terdengar lagi jawaban Ridwan, “Sidroe lon mak, saket lon mak. Nyoe lon keuneek jak eh, bek neupeugoe-peugoe.” (Sendiri Mak, sakit saya Mak. Saya mau langsung tidur, jangan dibangunin ya). Rohani pun diam.
Sekitar dua jam kemudian, kata Rohani, tiba-tiba empat orang tak dikenal datang ke rumahnya. Dua orang berdiri tepat di belakang Rohani. Saat itu, Rohani baru saja shalat Ashar. Beberapa saat setelah itu, pintu kamar tempat Ridwan tidur didobrak oleh pria yang terakhir diketahui polisi.
Keadaan itu membuat Rohani terbangun dari tempat shalatnya dan berusaha melindungi sang anak. Sayangnya Rohani tertahan dan tidak bisa mendekat. “Saat itu, anak saya ditarik ke luar rumah lewat jendela,” ujarnya.
Ketika sudah berada di luar, Ridwan langsung ditembak. Pada tembakan kedua, Rohani jatuh pingsan. “Yang lain saya tidak tahu lagi, karena tidak saya lihat lagi sebab sudah pingsan,” kata Rohani dibenarkan tiga saudara kandung almarhum.
Adik almarhum Ridwan, Ti Aminah juga mengaku melihat eksekusi itu dilakukan dari rumahnya. Jarak rumah Aminah dengan rumah orang tuanya atau lokasi penembakan Ridwan hanya sekitar 10 meter.
“Begitu bunyi suara letusan, saya bangun, saya lihat Ridwan sudah jatuh. Saat itu saya mau lari ingin bantu, tapi ditahan oleh suami saya, karena itu saya hanya melihat dari jauh,” katanya.
Menurut pengakuannya, usai ditembak, Ridwan sempat diseret ke belakang rumah dalam gelap. Di sana, tubuh Ridwan dibolak-balik seperti mencari sesuatu. Bahkan dia melihat polisi mengambil sesuatu dari saku celana Ridwan. “Tapi saya tidak tahu, setelah itu baru dibawa ke tepi jalan,” ucap Aminah.
Abang kandung Ridwan, Abdisyah mengatakan tidak terima perlakuan terhadap adiknya. Pasalnya, saat itu Ridwan sudah ditangkap tangan dan tidak ada lagi celah untuk lari. Abdisyah juga membantah kematian Ridwan karena ada kontak tembak.
“Dia sebenarnya tidak wajar untuk ditembak, karena sudah dipegang,” katanya. Menurut keluarga korban, mereka meminta pendampingan kepada YARA agar kasus penembakan Ridwan diproses secara hukum.
Direktur YARA, Safaruddin SH membenarkan sudah menerima permohonan pendampingan dari pihak keluarga almarhum Ridwan. “Kalau kita melihat memang benar ada pelanggaran HAM di sini.
Untuk melapor ke Komnas HAM pasti, tapi kita melihat situasi dulu. Begitu juga dengan pelaporan pidananya sedang kita diskusikan, apakah relevan kita laporkan ke Polda Aceh atau Mabes Polri,” demikian Safaruddin.(Sumber Serambi Indonesia)
Dan ini keterangan pihak Kepolisian ?
“Ridwan Meninggal dalam Kontak Tembak”
KABID Humas Polda Aceh, Kombes Pol T Saladin yang dimintai tanggapannya terhadap pengakuan keluarga Ridwan (35), bahwa korban tewas bukan karena kontak tembak melainkan ditembak setelah ditangkap tangan di rumahnya, tidak bersedia menanggapi hasil konferensi pers di Kantor YARA, Banda Aceh, Senin (31/8).
Ketika dimintai konfirmasi tentang pengakuan yang kontroversi itu, Saladin menjelaskan kembali kronologis kejadian saat penyergapan Ridwan yang dilakukan oleh tim khusus Polda Aceh.
Menurutnya, tim bergerak ke lokasi setelah mendapat kabar dari warga tentang adanya kelompok bersenjata di Desa Pulo Meuria. “Pada hari Kamis tanggal 20 Agustus itu, paginya kita dapat info dari warga ada lima orang anggota kelompok Din Minimi di Desa Pulo Meuria, termasuk salah satunya dia (Ridwan). Setelah diselidiki ternyata benar dan langsung kita ke lokasi untuk melakukan penangkapan,” kata Kombes Saladin.
Menurut Saladin, saat empat anggota polisi tiba di lokasi rumah itu, seorang ibu–belakangan diketahui ibu almarhum Ridwan—terlihat berada di belakang rumah. Melihat anggota polisi turun dari mobil, ibu tersebut langsung lari dari lokasi. “Hanya ada dua orang di rumah saat itu, tersangka Ridwan dan ibunya yang kemudian lari ke rumah sebelah saat anggota masuk ke dalam rumah. Sementara empat teman Ridwan berada di kebun belakang rumahnya,” sebut Saladin.
Kemudian, lanjut mantan kapolres Bireun ini, polisi langsung mendobrak pintu belakang dan masuk ke dalam rumah, sementara dua anggota berjaga di luar rumah. Saat itulah, kata Saladin, Ridwan loncat melalui jendela kamarnya untuk kabur dari sergapan polisi. “Setelah ia loncat ke luar jendela, tersangka ternyata menembaki anggota yang ikut dibantu oleh empat rekannya dari belakang rumah. Saat itu, kontak tembak tak terelakkan,” ungkap Saladin.
Dalam kontak tembak itu, Ridwan disebutkan terkena tembakan polisi dan jatuh dengan senjatanya di pekarangan belakang rumah. Sementara polisi langsung memburu empat temannya yang lari sambil mengarahkan tembakan ke polisi. “Keempat temannya itu tak berhasil kita temukan, karena cepat sekali kabur dan menyeberangi alur di kebun belakang rumah Ridwan. Akhirnya anggota kembali ke lokasi awal untuk melakukan penggeledahan di dalam kamar Ridwan,” sebut Saladin.
Dari hasil penggeledahan, polisi menemukan sebuah magazin, sejumlah amunisi, cas HT, baju rompi, dan disebut-sebut polisi juga menemukan satu paket ganja di dalam kantong baju milik Ridwan di dalam kamar. “Kemudian tim menelepon ke Polres Lhokseumawe untuk didatangkan ambulance guna mengevakuasi jenazah Ridwan. Itu kronologis sebenarnya,” tutur Saladin.
Saat didesak lagi tentang konferensi pers yang difasilitasi YARA dengan menghadirkan langsung keluarga Ridwan, Saladin tetap tidak mau menanggapi itu. “Jangan beri keterangan yang bisa menyesatkan publik, itu saja. Kita tetap fokus untuk memberantas kelompok kriminal bersenjata di Aceh,” demikian Kabid Humas Polda Aceh.(Sumber Serambi Indonesia)
Kebenaran yang hakiki hanya ada dimulut masyarakat setelah kejadian itu terjadi, karena masyarakat yang mengetahui aktivitas warganya.
Pada tahun 2002 di Kecamatan Kuta Makmur, seorang warga yang berfrofesi sebagai tukang panjat kelapa dan dikenal sedikit mengalami gangguan jiwa menjadi bulan –bulanan aparat karena tuduhan sebagai anggota gerilyawan dan terlibat penyerangan salah satu pos aparat keamanan dikawasan itu.
Fakta ini jelas berbeda, setelah keluar konfrensi pers dari otoritas keamanan, si pemanjat kelapa dan si gangguan jiwa itu kemudian naik pangkat menjadi salah salah anggeta pasukan Gerilyawan.Bahkan kronologis telah tersusun rapi, se-akan si pemanjat kelapa plus gangguan jiwa ini dengan penuh patriotik menenteng senjata menyerbu pos keamanan.
Dulu juga sering terjadi bila tertembak anak masih dibawah umur, menaikkan umur dalam sebuah konfrensi pers juga terjadi, misalnya dari 14 menjadi 17 tahun. Klaim –klaim seperti ini hampir menghiasi hari –hari di era 2002 hingga 2004 silam.
Ferivikasi adalah waktu yang panjang bagi wartawan media harian saat itu, menelan mentah hasil konfrensi Pers suatu kegembiraan bagi otoritas pemberi konfrensi pers dan suatu kedukaan bagi keluarga korban.
Namun pilihan ada pada masing-masing, bila masih memiliki sisa nurani ditengah tuntutan deadlin minimal masih mau menyebutkan bahwa itu klaim yang dilakukan oleh si pemberi konfrensi pers, dan jika tidak, ya hayak langsung.
Dimasa konflik silam, penambahan kasus terhadap orang yang sedang di buru (populer) dan orang yang sudah tertembak terkadang terjadi, misalkan ia tertembak, karena mencuri ayam…. kemudian ditambah lagi sebelumnya juga terlibat mencuri kambing– padahal itu belum tentu benar.
Di era damai kita berhadapan dengan pemberitaan kelompok Din Minimi, sedikitnya sudah dua kasus menjadi pembelajaran, pertama kasus Ridwan (35), Kamis 20 Agustus 2015 di Desa Pulo Meuria dan kasus Junaidi alias Brujuek di SPBU Batuphat Lhokseumawe, Kamis 27 Agustus 2015. Dari dua kejadian ini keterangan keluarga korban dan polisi jauh berbeda, pada proses kejadiannya.
Dalam kasus Ridwan, polisi menyebutkan ada terjadi kontak tembak hingga puluhan menit, sementara sumber yang layak dipercaya menyebutkan peluru yang keluar dari magazen Ridwan hanya 3 butir. Mungkin kah dengan peluru 3 butir terjadi kontak tembak hingga puluhan menit?
Belum lagi menyimak keterangan keluarga korban. Keterangan polisi menyebutkan Ridwan melompat dari jendela, sementara keluarganya mengatakan Ridwan sempat dipegang oleh polisi dan ditarik keluar kemudian baru ditembak.
Begitu juga dengan Junaidi alais Brujuek, Keterangan polisi Junaidi hendak kabur dan melawan petugas. Sementra keterangan warga yang sedang isi bensin, posisi Junaidi dan aparat sudah sangat dekat, dan Junaidi tak punya senjata.
Fakta –fakta seperti ini tidaklah berlebihan jika boleh kita sebutkan, ini sedang terjadi pola masa konflik yang sedang terpraktik dimasa damai?
Mari kita simak keterangan keluarga Ridwan
Pengakuan Ibu Almarhum Ridwan
TEWASNYA Ridwan (35), anggota Din Minimi memunculkan pengakuan kontroversi. Pihak keluarga almarhum Ridwan menyatakan Ridwan ditembak hingga menemui ajal setelah ditangkap tangan, bukan disebabkan kontak tembak sebagaimana pernyataan pihak kepolisian.
Sebelumnya polisi menyebutkan Ridwan tewas dalam kontak tembak dengan tim Polda dan Polres Lhokseumawe di kawasan Desa Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, Kamis 20 Agustus 2015 sekitar 17.10 WIB.
Senin, 31 Agustus 2015, pihak keluarga Ridwan, difasilitasi Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin SH menggelar konferensi pers
Di Kantor YARA, Jalan Pelangi, Gampong Keramat, Banda Aceh. YARA menghadirkan langsung ibunda korban, Rohani (70) bersama tiga saudara kandung almarhum yaitu Nurhayati (46), Abdisyah (45), dan Ti Aminah (30).
Dalam konferensi pers itu, Rohani mengaku tidak ada terjadi kontak tembak di desanya. Pada siang itu, Ridwan pulang seorang diri. Kepulangan Ridwan, bukan karena kebetulan, melainkan hasil bujukan yang selama ini dilakukan pihak keluarga atas permintaan aparat keamanan.
“Saya bujuk-bujuk terus, tapi (awalnya) Ridwan tidak mempercayainya. Bahkan saya (berusaha) membujuk melalui adik, abang, keponakan, hingga cucu saya. Akhirnya anak saya pulang ke rumah,” kata Aminah dalam bahasa Aceh.
Menurut Aminah, pada sore itu, Kamis 20 Agustus 2015, sekitar pukul 15.00 WIB, Ridwan tiba di rumah dan memanggil-manggil ibunya. “Mak… Lon kalon woe mak,” kata Rohani menirukan panggilan anaknya.
Sang ibu menjawab, “Ngon soe kawoe neuk?” (Dengan siapa kamu pulang, Nak?) Terdengar lagi jawaban Ridwan, “Sidroe lon mak, saket lon mak. Nyoe lon keuneek jak eh, bek neupeugoe-peugoe.” (Sendiri Mak, sakit saya Mak. Saya mau langsung tidur, jangan dibangunin ya). Rohani pun diam.
Sekitar dua jam kemudian, kata Rohani, tiba-tiba empat orang tak dikenal datang ke rumahnya. Dua orang berdiri tepat di belakang Rohani. Saat itu, Rohani baru saja shalat Ashar. Beberapa saat setelah itu, pintu kamar tempat Ridwan tidur didobrak oleh pria yang terakhir diketahui polisi.
Keadaan itu membuat Rohani terbangun dari tempat shalatnya dan berusaha melindungi sang anak. Sayangnya Rohani tertahan dan tidak bisa mendekat. “Saat itu, anak saya ditarik ke luar rumah lewat jendela,” ujarnya.
Ketika sudah berada di luar, Ridwan langsung ditembak. Pada tembakan kedua, Rohani jatuh pingsan. “Yang lain saya tidak tahu lagi, karena tidak saya lihat lagi sebab sudah pingsan,” kata Rohani dibenarkan tiga saudara kandung almarhum.
Adik almarhum Ridwan, Ti Aminah juga mengaku melihat eksekusi itu dilakukan dari rumahnya. Jarak rumah Aminah dengan rumah orang tuanya atau lokasi penembakan Ridwan hanya sekitar 10 meter.
“Begitu bunyi suara letusan, saya bangun, saya lihat Ridwan sudah jatuh. Saat itu saya mau lari ingin bantu, tapi ditahan oleh suami saya, karena itu saya hanya melihat dari jauh,” katanya.
Menurut pengakuannya, usai ditembak, Ridwan sempat diseret ke belakang rumah dalam gelap. Di sana, tubuh Ridwan dibolak-balik seperti mencari sesuatu. Bahkan dia melihat polisi mengambil sesuatu dari saku celana Ridwan. “Tapi saya tidak tahu, setelah itu baru dibawa ke tepi jalan,” ucap Aminah.
Abang kandung Ridwan, Abdisyah mengatakan tidak terima perlakuan terhadap adiknya. Pasalnya, saat itu Ridwan sudah ditangkap tangan dan tidak ada lagi celah untuk lari. Abdisyah juga membantah kematian Ridwan karena ada kontak tembak.
“Dia sebenarnya tidak wajar untuk ditembak, karena sudah dipegang,” katanya. Menurut keluarga korban, mereka meminta pendampingan kepada YARA agar kasus penembakan Ridwan diproses secara hukum.
Direktur YARA, Safaruddin SH membenarkan sudah menerima permohonan pendampingan dari pihak keluarga almarhum Ridwan. “Kalau kita melihat memang benar ada pelanggaran HAM di sini.
Untuk melapor ke Komnas HAM pasti, tapi kita melihat situasi dulu. Begitu juga dengan pelaporan pidananya sedang kita diskusikan, apakah relevan kita laporkan ke Polda Aceh atau Mabes Polri,” demikian Safaruddin.(Sumber Serambi Indonesia)
Dan ini keterangan pihak Kepolisian ?
“Ridwan Meninggal dalam Kontak Tembak”
KABID Humas Polda Aceh, Kombes Pol T Saladin yang dimintai tanggapannya terhadap pengakuan keluarga Ridwan (35), bahwa korban tewas bukan karena kontak tembak melainkan ditembak setelah ditangkap tangan di rumahnya, tidak bersedia menanggapi hasil konferensi pers di Kantor YARA, Banda Aceh, Senin (31/8).
Ketika dimintai konfirmasi tentang pengakuan yang kontroversi itu, Saladin menjelaskan kembali kronologis kejadian saat penyergapan Ridwan yang dilakukan oleh tim khusus Polda Aceh.
Menurutnya, tim bergerak ke lokasi setelah mendapat kabar dari warga tentang adanya kelompok bersenjata di Desa Pulo Meuria. “Pada hari Kamis tanggal 20 Agustus itu, paginya kita dapat info dari warga ada lima orang anggota kelompok Din Minimi di Desa Pulo Meuria, termasuk salah satunya dia (Ridwan). Setelah diselidiki ternyata benar dan langsung kita ke lokasi untuk melakukan penangkapan,” kata Kombes Saladin.
Menurut Saladin, saat empat anggota polisi tiba di lokasi rumah itu, seorang ibu–belakangan diketahui ibu almarhum Ridwan—terlihat berada di belakang rumah. Melihat anggota polisi turun dari mobil, ibu tersebut langsung lari dari lokasi. “Hanya ada dua orang di rumah saat itu, tersangka Ridwan dan ibunya yang kemudian lari ke rumah sebelah saat anggota masuk ke dalam rumah. Sementara empat teman Ridwan berada di kebun belakang rumahnya,” sebut Saladin.
Kemudian, lanjut mantan kapolres Bireun ini, polisi langsung mendobrak pintu belakang dan masuk ke dalam rumah, sementara dua anggota berjaga di luar rumah. Saat itulah, kata Saladin, Ridwan loncat melalui jendela kamarnya untuk kabur dari sergapan polisi. “Setelah ia loncat ke luar jendela, tersangka ternyata menembaki anggota yang ikut dibantu oleh empat rekannya dari belakang rumah. Saat itu, kontak tembak tak terelakkan,” ungkap Saladin.
Dalam kontak tembak itu, Ridwan disebutkan terkena tembakan polisi dan jatuh dengan senjatanya di pekarangan belakang rumah. Sementara polisi langsung memburu empat temannya yang lari sambil mengarahkan tembakan ke polisi. “Keempat temannya itu tak berhasil kita temukan, karena cepat sekali kabur dan menyeberangi alur di kebun belakang rumah Ridwan. Akhirnya anggota kembali ke lokasi awal untuk melakukan penggeledahan di dalam kamar Ridwan,” sebut Saladin.
Dari hasil penggeledahan, polisi menemukan sebuah magazin, sejumlah amunisi, cas HT, baju rompi, dan disebut-sebut polisi juga menemukan satu paket ganja di dalam kantong baju milik Ridwan di dalam kamar. “Kemudian tim menelepon ke Polres Lhokseumawe untuk didatangkan ambulance guna mengevakuasi jenazah Ridwan. Itu kronologis sebenarnya,” tutur Saladin.
Saat didesak lagi tentang konferensi pers yang difasilitasi YARA dengan menghadirkan langsung keluarga Ridwan, Saladin tetap tidak mau menanggapi itu. “Jangan beri keterangan yang bisa menyesatkan publik, itu saja. Kita tetap fokus untuk memberantas kelompok kriminal bersenjata di Aceh,” demikian Kabid Humas Polda Aceh.(Sumber Serambi Indonesia)
loading...
Post a Comment