Aceh Singkil - Insiden pembakaran sebuah gereja di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah pada 13 Oktober lalu dinilai sebagai titik kulminasi dari gejolak yang berkembang di masyarakat Kabupaten Aceh Singkil.
Menurut seorang 'dai resmi' pemerintah daerah NAD, Teuku Jamaluddin, masyarakat Muslim Aceh Singkil sudah berpuluh tahun menahan kesabaran akibat pembiaran yang dilakukan pemda Aceh Singkil.
Dai yang ditugaskan di Desa Natagaluh, Kecamatan Danau Paris, Aceh Singkil itu menuturkan kekecewaannya lantaran suara umat Islam setempat tak dihiraukan.
"Pemda Singkil ini bahkan tidak peduli sama sekali dengan keberadaan kami, dai. Padahal, kami itu ditugaskan oleh Gubernur. Dan ini sudah disetujui dalam Qanun," ujar Teuku Jamaluddin saat ditemui di acara takziah keluarga almarhum Syamsul bin Idal, korban penembakan insiden Aceh Singkil, Ahad (18/10).
Dia lantas menyayangkan bila di bumi ulama Nusantara kenamaan, Syekh Abdurrauf Asy-Syingkili, sekarang ini justru tumbuh subur gereja-gereja ilegal, setidaknya sejak tahun 1979.
Bahkan, lanjut Jamaluddin, keberadaan gereja-gereja tersebut cukup mengkhawatirkan bagi umat Islam. Sebab, di wilayah tempat gereja-gereja ilegal berada, marak ditemukan praktik yang bertentangan dengan syariat Islam, semisal konsumsi minuman keras dan perjudian.
"Hal-hal yang berbau maksiat (dalam agama Islam) itu enggak ada larangan kepada mereka (umat Nasrani). Sehingga itulah yang membuat rugi kita umat Islam," tegas dia.
"Ini adalah kelalaian dan pembiaran pemerintah sudah puluhan tahun. Pembiaran pemerintah terhadap berlangsungnya maksiat, judi, minuman keras dan sebagainya," sambung dai yang sudah mengabdi selama enam tahun itu.
Republika hari ini menyambangi keluarga korban penembakan tersebut di Desa Bulu Sema, Kecamatan Suro, Aceh Singkil. Dalam kesempatan itu, Idal, ayahanda korban mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas pelaku penembakan.
Menurut Idal (70), kematian putranya merupakan syahid lantaran Syamsul diterjang peluru tajam ketika sedang berupaya membela hak-hak umat Islam.
"Hukum seberat-beratnya (pelaku penembakan)," ucap Idal, Ahad.[ROL]
Menurut seorang 'dai resmi' pemerintah daerah NAD, Teuku Jamaluddin, masyarakat Muslim Aceh Singkil sudah berpuluh tahun menahan kesabaran akibat pembiaran yang dilakukan pemda Aceh Singkil.
Dai yang ditugaskan di Desa Natagaluh, Kecamatan Danau Paris, Aceh Singkil itu menuturkan kekecewaannya lantaran suara umat Islam setempat tak dihiraukan.
"Pemda Singkil ini bahkan tidak peduli sama sekali dengan keberadaan kami, dai. Padahal, kami itu ditugaskan oleh Gubernur. Dan ini sudah disetujui dalam Qanun," ujar Teuku Jamaluddin saat ditemui di acara takziah keluarga almarhum Syamsul bin Idal, korban penembakan insiden Aceh Singkil, Ahad (18/10).
Dia lantas menyayangkan bila di bumi ulama Nusantara kenamaan, Syekh Abdurrauf Asy-Syingkili, sekarang ini justru tumbuh subur gereja-gereja ilegal, setidaknya sejak tahun 1979.
Bahkan, lanjut Jamaluddin, keberadaan gereja-gereja tersebut cukup mengkhawatirkan bagi umat Islam. Sebab, di wilayah tempat gereja-gereja ilegal berada, marak ditemukan praktik yang bertentangan dengan syariat Islam, semisal konsumsi minuman keras dan perjudian.
"Hal-hal yang berbau maksiat (dalam agama Islam) itu enggak ada larangan kepada mereka (umat Nasrani). Sehingga itulah yang membuat rugi kita umat Islam," tegas dia.
"Ini adalah kelalaian dan pembiaran pemerintah sudah puluhan tahun. Pembiaran pemerintah terhadap berlangsungnya maksiat, judi, minuman keras dan sebagainya," sambung dai yang sudah mengabdi selama enam tahun itu.
Republika hari ini menyambangi keluarga korban penembakan tersebut di Desa Bulu Sema, Kecamatan Suro, Aceh Singkil. Dalam kesempatan itu, Idal, ayahanda korban mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas pelaku penembakan.
Menurut Idal (70), kematian putranya merupakan syahid lantaran Syamsul diterjang peluru tajam ketika sedang berupaya membela hak-hak umat Islam.
"Hukum seberat-beratnya (pelaku penembakan)," ucap Idal, Ahad.[ROL]
loading...
Post a Comment