AMP - Staf khusus presiden soal Papua, Lenis Kogoya, mengaku tidak tahu soal pertemuan internasional tentang kemerdekaan Papua yang diselenggarakan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) di London, Selasa (03/05).
"Aku baru tahu informasi hari ini jadi berkomentar juga tidak tahu nanti malah saya disalahin. Lebih baik nanti dulu," kata Lenis kepada BBC Indonesia, Selasa kemarin.
Beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan kepada BBC Indonesia bahwa kampanye yang diadakan di luar negeri untuk memisahkan Papua dari Indonesia bukan langkah berarti.
"Kadang-kadang apa yang mereka lakukan misalnya seperti sesuatu yang sangat besar, tapi sebenarnya tidak," kata Retno.
IPWP didirikan aktivis Papua Merdeka dan beberapa anggota parlemen dari Vanuatu, Inggris dan Papua Nugini pada 2008. Kelompok ini terinspirasi oleh keberhasilan Parlemen Internasional untuk Timor Timur.
Pertemuan IPWP kembali mengangkat persoalan hak warga papua untuk menentukan nasib sendiri ke dunia internasional.
Papua Barat masih dalam jajahan Belanda ketika Republik Indonesia benar-benar merdeka pada 1949. Pada akhir 1961, Papua Barat mengadakan kongres yang menyatakaan kemerdekaan Papua Barat dan mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Tentara Indonesia menginvasi Papua Barat tak lama kemudian. Terjadi konflik antara pemerintah Belanda, Indonesia, dan penduduk asli Papua tentang siapa yang berhak memerintah wilayah itu. Pada 1962, Amerika Serikat mensponsori perjanjian antara Belanda dan Indonesia yang memberikan Papua Barat kepada pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia diwajibkan mengadakan pemilihan umum yang diawasi PBB mengenai hak warga Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri pada 1969.
Alih-alih menyelenggarakan pemilu yang terbuka bagi seluruh warga Papua, pemerintah Indonesia memilih 1022 ‘perwakilan’ dari populasi sekitar 800.000. Mereka memilih dengan suara bulat untuk bergabung ke NKRI. Telegram dari kedutaan besar AS di Indonesia ke Gedung Putih menunjukkan bahwa hasil pemilihan tersebut telah ditetapkan sebelumnya.
“The Act of Free Choice (AFC) di Irian Barat bagaikan tragedi Yunani, akhirnya sudah ditentukan. Protagonis utama, Pemerintah Indonesia, tidak bisa dan tidak akan mengizinkan penyelesaian selain keberlanjutan penyertaan Papua Barat ke Indonesia. Aktivitas pemberontakan amat mungkin meningkat tapi angkatan bersenjata Indonesia akan dapat menahannya, dan kalau perlu, menindasnya,” tercantum dalam dokumen rahasia yang dibuka ke publik pada tahun 2004.
Meski demikian, PBB merestui pemilihan tersebut dan Papua Barat berada dalam pemerintahan Indonesia sejak saat itu. The Act of Free Choice sering dikritik sebagai “Act of No Choice".
Kekerasan aparat
Sementara itu di Papua, pada Selasa kemarin tidak ada aksi yang menyuarakan dukungan untuk pertemuan IPWP; setelah lebih dari 1.000 aktivis yang menggelar aksi demikian pada Senin 2 Mei diangkat dan ditahan Polda Papua sampai Senin (02/05) malam. Sedikitnya tujuh orang dilaporkan mengalami luka-luka akibat pukulan popor senapan dan tendangan sepatu aparat.
Salah seorang pengunjuk rasa, Leah, mengaku menerima pelecehan dari aparat polisi.
"Di saat kami di TKP, mereka tarik dan berusaha lepas pakaian yang saya pakai sehingga Sali (pakaian tradisional Papua -red.) yang saya pakai itu sudah terputus-putus... Dan saya ditarik sehingga saya tergores di bagian kaki karena kena aspal," kata Leah kepada BBC Indonesia.
Selain pelecehan, Leah juga mengaku ditendang dengan sepatu laras di bahu kanannya ketika diangkut dengan mobil Brimob.
Penahanan aparat terhadap aktivis yang berunjuk rasa sering terjadi di Papua. Pada 13 April 2016, demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menyuarakan kemerdekaan Papua Barat dilaporkan terhenti karena karena dihadang barikade anggota TNI/Polri. Juru bicara KNPB, Bazoka Logo mengatakan bahwa aparat menangkap 31 pengunjuk rasa.
Secara terpisah, mantan tahanan politik Papua, Filep Karma, menyebut penahanan itu sebagai intimidasi aparat Indonesia.
"Itu yang selama ini terjadi di tanah Papua... Jadi dengan kemarin mereka mempertontonkan kekerasan, kekuasaan, dan apapun yang mereka buat, itu menjadi tontonan internasional - bahwa itulah yang selama ini dipraktekkan di atas tanah Papua sejak '63 sampai dengan hari ini," ujarnya kepada BBC Indonesia.(bbc)
"Aku baru tahu informasi hari ini jadi berkomentar juga tidak tahu nanti malah saya disalahin. Lebih baik nanti dulu," kata Lenis kepada BBC Indonesia, Selasa kemarin.
Beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan kepada BBC Indonesia bahwa kampanye yang diadakan di luar negeri untuk memisahkan Papua dari Indonesia bukan langkah berarti.
"Kadang-kadang apa yang mereka lakukan misalnya seperti sesuatu yang sangat besar, tapi sebenarnya tidak," kata Retno.
IPWP didirikan aktivis Papua Merdeka dan beberapa anggota parlemen dari Vanuatu, Inggris dan Papua Nugini pada 2008. Kelompok ini terinspirasi oleh keberhasilan Parlemen Internasional untuk Timor Timur.
Pertemuan IPWP kembali mengangkat persoalan hak warga papua untuk menentukan nasib sendiri ke dunia internasional.
Papua Barat masih dalam jajahan Belanda ketika Republik Indonesia benar-benar merdeka pada 1949. Pada akhir 1961, Papua Barat mengadakan kongres yang menyatakaan kemerdekaan Papua Barat dan mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Tentara Indonesia menginvasi Papua Barat tak lama kemudian. Terjadi konflik antara pemerintah Belanda, Indonesia, dan penduduk asli Papua tentang siapa yang berhak memerintah wilayah itu. Pada 1962, Amerika Serikat mensponsori perjanjian antara Belanda dan Indonesia yang memberikan Papua Barat kepada pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia diwajibkan mengadakan pemilihan umum yang diawasi PBB mengenai hak warga Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri pada 1969.
Alih-alih menyelenggarakan pemilu yang terbuka bagi seluruh warga Papua, pemerintah Indonesia memilih 1022 ‘perwakilan’ dari populasi sekitar 800.000. Mereka memilih dengan suara bulat untuk bergabung ke NKRI. Telegram dari kedutaan besar AS di Indonesia ke Gedung Putih menunjukkan bahwa hasil pemilihan tersebut telah ditetapkan sebelumnya.
“The Act of Free Choice (AFC) di Irian Barat bagaikan tragedi Yunani, akhirnya sudah ditentukan. Protagonis utama, Pemerintah Indonesia, tidak bisa dan tidak akan mengizinkan penyelesaian selain keberlanjutan penyertaan Papua Barat ke Indonesia. Aktivitas pemberontakan amat mungkin meningkat tapi angkatan bersenjata Indonesia akan dapat menahannya, dan kalau perlu, menindasnya,” tercantum dalam dokumen rahasia yang dibuka ke publik pada tahun 2004.
Meski demikian, PBB merestui pemilihan tersebut dan Papua Barat berada dalam pemerintahan Indonesia sejak saat itu. The Act of Free Choice sering dikritik sebagai “Act of No Choice".
Kekerasan aparat
Sementara itu di Papua, pada Selasa kemarin tidak ada aksi yang menyuarakan dukungan untuk pertemuan IPWP; setelah lebih dari 1.000 aktivis yang menggelar aksi demikian pada Senin 2 Mei diangkat dan ditahan Polda Papua sampai Senin (02/05) malam. Sedikitnya tujuh orang dilaporkan mengalami luka-luka akibat pukulan popor senapan dan tendangan sepatu aparat.
Salah seorang pengunjuk rasa, Leah, mengaku menerima pelecehan dari aparat polisi.
"Di saat kami di TKP, mereka tarik dan berusaha lepas pakaian yang saya pakai sehingga Sali (pakaian tradisional Papua -red.) yang saya pakai itu sudah terputus-putus... Dan saya ditarik sehingga saya tergores di bagian kaki karena kena aspal," kata Leah kepada BBC Indonesia.
Selain pelecehan, Leah juga mengaku ditendang dengan sepatu laras di bahu kanannya ketika diangkut dengan mobil Brimob.
Penahanan aparat terhadap aktivis yang berunjuk rasa sering terjadi di Papua. Pada 13 April 2016, demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menyuarakan kemerdekaan Papua Barat dilaporkan terhenti karena karena dihadang barikade anggota TNI/Polri. Juru bicara KNPB, Bazoka Logo mengatakan bahwa aparat menangkap 31 pengunjuk rasa.
Secara terpisah, mantan tahanan politik Papua, Filep Karma, menyebut penahanan itu sebagai intimidasi aparat Indonesia.
"Itu yang selama ini terjadi di tanah Papua... Jadi dengan kemarin mereka mempertontonkan kekerasan, kekuasaan, dan apapun yang mereka buat, itu menjadi tontonan internasional - bahwa itulah yang selama ini dipraktekkan di atas tanah Papua sejak '63 sampai dengan hari ini," ujarnya kepada BBC Indonesia.(bbc)
loading...
Post a Comment