Halloween Costume ideas 2015
loading...

Pejuang Aceh Dulu Pantang Menyerah kepada Penjajah Belanda, Sekarang Malah Sebaliknya

AMP - Sejarah mencatat, bahkan penulis Belanda sendiri mengakui, para ulama dan pejuang Islam di Aceh pantang menyerah terhadap penjajah kafir Belanda. Anehnya sekarang manusia-manusia penjilat China komunis tidak punya malu menggadaikan agama dan harga dirinya. Itu sudah sangat memalukan bangsa bahkan pengkhianat nyata. Lebih memalukannya lagi ketika penjilatan itu justru secara massal dengan menggadaikan amanah yang dipegangnya beramai-ramai. Inilah sejatinya penjajah baru dalam bentuk wot penjajah (titian pijakan) penjajah.

Betapa hinanya mereka. Jadi gedibalnya penjajah kafir komunis China. Padahal dunia Islam sangat mengecam kekejaman China Komunis yang sangat kejam terhadap kaum Muslimin terutama di Xinjiyang yang dikenal dengan Muslim Uigur.

Anehnya para pengkhianat besar di negeri yang jumlah penduduk musiimnya terbesar di dunia justru di saat banyaknya pengangguran di negeri ini malah mereka mendatangkan puluhan ribu buruh-buruh dari China Tiongkok negeri komunis yang sangat kejam terhadap Islam. Padahal, telah terbukti China sangat menzalimi Muslim Uigur di Xinjiang, masjid-masjid ditutup, tidak boleh jum’atan, bahkan tidak boleh puasa Ramadhan, dan disumpah untuk tidak mengajarkan Islam kepada anak-anaknya.

Siapapun yang merasa dirinya Muslim, apakah tidak tersentuh hatinya ketika Allah Ta’ala telah memerintahkan dengan tegas:

{جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ } [التوبة: 73]

berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya [At Tawbah73]
Agar kita mampu mengaca diri, coba lihat sejarah perjuangan melawan penjajah kafir ini, kalau masih punya malu.

Pada halaman 100 buku Atjeh, Zentgraff (penulis Belanda) menulis;
“Demikianlah berakhir kehidupan Teungku di Barat dan ulama-ulama termasyhur lainnya di daerah itu yang lebih menyukai “mati syahid”daripada “melaporkan diri” (menyerah-kalah kepada lawan)… dan adakah satu bangsa di permukaan bumi ini yang tidak akan menulis di dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan yang setinggi-tingginya?.”
Inilah sejarah perjuangan para ulama dan pejuang Islam, dalam catatan orang Belanda sendiri pun diakui.
***

Bikin Merinding, Pengakuan Orang Belanda tentang Pejuang Aceh

PERANG yang dilancarkan Belanda di Aceh sejak dideklarasikan pada 26 Maret 1873, disebut-sebut sebagai perang terlama dan terbanyak menguras kantong Belanda untuk membiayai perang. Pernyataan itu disampaikan oleh sejumlah penulis Belanda sendiri.

Dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh yang diterbitkan tahun 1977, dimunculkan kutipan dari sejumlah peneliti Belanda. Beberapa diantaranya memuji kepahlawanan orang Aceh dalam menghadapi invasi Belanda. Berikut petikannya.

Penulis Belanda H.C. Zentgraaff dalam bukunya yang masyur, Atjeh, menulis:
“Yang sebenarnya ialah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa; mereka itu tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh perang terkenal kita”.

Pada halaman lain buku yang sama, Zentgraff menambahkan;
“Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.”
Pada halaman 100 buku Atjeh, Zentgraff menulis;

“Demikianlah berakhir kehidupan Teungku di Barat dan ulama-ulama termasyhur lainnya di daerah itu yang lebih menyukai “mati syahid”daripada “melaporkan diri” (menyerah-kalah kepada lawan)… dan adakah satu bangsa di permukaan bumi ini yang tidak akan menulis di dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan yang setinggi-tingginya?.”
Penulis Belanda yang lain, A.Doup, dalam buku berjudul Gedenkboek van het Korps Marechaussee 1890—1940 (Mengenang Korps Marsose) yang terbit tahun 1942, pada halaman 248 menulis;
“Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya, seperti yang diperagakannya selama perang Belanda di Aceh menimbulkan rasa hormat pada pihak marsose serta kekagumannya akan keberanian, kerelaan gugur di medan juang, pengorbanannya dan daya tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam menciptakan dan melaksanakan siasat perang yang murni asli, sementara daya pengamatannya sangat tajam. Ia mengamat-amati dengan cermat setiap gerak-gerik pemimpin brigade, dan ia tahu benar pemimpin-pemimpin brigade mana yang melakukan patroli dengan ceroboh serta mana pula yang selalu siap siaga dan berbaris secara teratur).”

Masih ada lagi komentar dari Paul van’t Veer dalam bukunya De Atjeh-Oorlog (Perang Aceh) yang terbit tahun 1969. Buku ini adalah salah satu buku yang kerap menjadi rujukan ketika menulis Perang Belanda di Aceh. Pada halaman 293, Paul menulis;

“Perang Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang seutas benang merah ke tahun 1942, sebuah jejak pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah sampai ke atas tanah yang menyebar luas sedemikian rupa dari tahun-tahun 1925 sampai tahun 1927 dan kemudian lagi dalam tahun 1933 sehingga kemudian terjelmalah pemberontakan-pemberontakan setempat. Puluhan “pembunuhan Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini disadari bahwa benang merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga sejarahnya sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yakni saat orang orang Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya, harus dianggap sebagai sebuah perang Belanda yang besar di Aceh atau boleh juga disebut sebagai sebuah deret, terdiri dari empat atau lima buah peperangan Belanda di Aceh yang berbagai-bagai sifatnya.”

Masih dalam buku yang sama, pada halaman 301, Paul menambahkan;
“Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih daripada cukup.”

Sementara Pierre Heijboer, dalam buku Klamboes, Klewangs, Klapperbomen, yang terbit tahun 1977 pada halaman 137 menulis;

“Orang-orang Aceh ternyata bukan saja pejuang-pejuang yang fanatik, akan tetapi mereka juga tergolong pembangun kubu-kubu pertahanan yang ulung sekali.” []/atjehpost.com
(nahimunkar.com)
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget