AMP - Sejarah mencatat, bahkan penulis Belanda
sendiri mengakui, para ulama dan pejuang Islam di Aceh pantang menyerah
terhadap penjajah kafir Belanda. Anehnya sekarang manusia-manusia
penjilat China komunis tidak punya malu menggadaikan agama dan harga
dirinya. Itu sudah sangat memalukan bangsa bahkan pengkhianat nyata.
Lebih memalukannya lagi ketika penjilatan itu justru secara massal
dengan menggadaikan amanah yang dipegangnya beramai-ramai. Inilah
sejatinya penjajah baru dalam bentuk wot penjajah (titian pijakan) penjajah.
Betapa
hinanya mereka. Jadi gedibalnya penjajah kafir komunis China. Padahal
dunia Islam sangat mengecam kekejaman China Komunis yang sangat kejam
terhadap kaum Muslimin terutama di Xinjiyang yang dikenal dengan Muslim
Uigur.
Anehnya para pengkhianat besar
di negeri yang jumlah penduduk musiimnya terbesar di dunia justru di
saat banyaknya pengangguran di negeri ini malah mereka mendatangkan
puluhan ribu buruh-buruh dari China Tiongkok negeri komunis yang sangat
kejam terhadap Islam. Padahal, telah terbukti China sangat menzalimi
Muslim Uigur di Xinjiang, masjid-masjid ditutup, tidak boleh jum’atan,
bahkan tidak boleh puasa Ramadhan, dan disumpah untuk tidak mengajarkan
Islam kepada anak-anaknya.
Siapapun yang merasa dirinya Muslim, apakah tidak tersentuh hatinya ketika Allah Ta’ala telah memerintahkan dengan tegas:
{جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ } [التوبة: 73]
berjihadlah
(melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam. Dan itu adalah
tempat kembali yang seburuk-buruknya [At Tawbah73]
Agar kita mampu mengaca diri, coba lihat sejarah perjuangan melawan penjajah kafir ini, kalau masih punya malu.
Pada halaman 100 buku Atjeh, Zentgraff (penulis Belanda) menulis;
“Demikianlah
berakhir kehidupan Teungku di Barat dan ulama-ulama termasyhur lainnya
di daerah itu yang lebih menyukai “mati syahid”daripada “melaporkan
diri” (menyerah-kalah kepada lawan)… dan adakah satu bangsa di permukaan
bumi ini yang tidak akan menulis di dalam buku-buku sejarahnya mengenai
gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan yang
setinggi-tingginya?.”
Inilah sejarah perjuangan para ulama dan pejuang Islam, dalam catatan orang Belanda sendiri pun diakui.
***
Bikin Merinding, Pengakuan Orang Belanda tentang Pejuang Aceh
PERANG
yang dilancarkan Belanda di Aceh sejak dideklarasikan pada 26 Maret
1873, disebut-sebut sebagai perang terlama dan terbanyak menguras
kantong Belanda untuk membiayai perang. Pernyataan itu disampaikan oleh
sejumlah penulis Belanda sendiri.
Dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh yang
diterbitkan tahun 1977, dimunculkan kutipan dari sejumlah peneliti
Belanda. Beberapa diantaranya memuji kepahlawanan orang Aceh dalam
menghadapi invasi Belanda. Berikut petikannya.
Penulis Belanda H.C. Zentgraaff dalam bukunya yang masyur, Atjeh, menulis:
“Yang
sebenarnya ialah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada
umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka
pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara
pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang menjadi
kebanggaan setiap bangsa; mereka itu tidak kalah gagahnya daripada
tokoh-tokoh perang terkenal kita”.
Pada halaman lain buku yang sama, Zentgraff menambahkan;
“Namun
dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap
pelosok kepulauan kita ini kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa
yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa
Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban
yang jauh melebihi wanita-wanita lain.”
Pada halaman 100 buku Atjeh, Zentgraff menulis;
“Demikianlah
berakhir kehidupan Teungku di Barat dan ulama-ulama termasyhur lainnya
di daerah itu yang lebih menyukai “mati syahid”daripada “melaporkan
diri” (menyerah-kalah kepada lawan)… dan adakah satu bangsa di permukaan
bumi ini yang tidak akan menulis di dalam buku-buku sejarahnya mengenai
gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan yang
setinggi-tingginya?.”
Penulis Belanda yang lain, A.Doup, dalam buku berjudul Gedenkboek van het Korps Marechaussee 1890—1940 (Mengenang Korps Marsose) yang terbit tahun 1942, pada halaman 248 menulis;
“Kepahlawanan
orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya,
seperti yang diperagakannya selama perang Belanda di Aceh menimbulkan
rasa hormat pada pihak marsose serta kekagumannya akan keberanian,
kerelaan gugur di medan juang, pengorbanannya dan daya tahannya yang
tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam menciptakan dan
melaksanakan siasat perang yang murni asli, sementara daya pengamatannya
sangat tajam. Ia mengamat-amati dengan cermat setiap gerak-gerik
pemimpin brigade, dan ia tahu benar pemimpin-pemimpin brigade mana yang
melakukan patroli dengan ceroboh serta mana pula yang selalu siap siaga
dan berbaris secara teratur).”
Masih
ada lagi komentar dari Paul van’t Veer dalam bukunya De Atjeh-Oorlog
(Perang Aceh) yang terbit tahun 1969. Buku ini adalah salah satu buku
yang kerap menjadi rujukan ketika menulis Perang Belanda di Aceh. Pada
halaman 293, Paul menulis;
“Perang
Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun
1914 terentang seutas benang merah ke tahun 1942, sebuah jejak
pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah sampai ke
atas tanah yang menyebar luas sedemikian rupa dari tahun-tahun 1925
sampai tahun 1927 dan kemudian lagi dalam tahun 1933 sehingga kemudian
terjelmalah pemberontakan-pemberontakan setempat. Puluhan “pembunuhan
Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh
Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini disadari bahwa benang
merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga sejarahnya
sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yakni saat orang orang
Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya, harus dianggap
sebagai sebuah perang Belanda yang besar di Aceh atau boleh juga disebut
sebagai sebuah deret, terdiri dari empat atau lima buah peperangan
Belanda di Aceh yang berbagai-bagai sifatnya.”
Masih dalam buku yang sama, pada halaman 301, Paul menambahkan;
“Aceh
adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan
daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari
sana pada tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama
69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah
lebih daripada cukup.”
Sementara Pierre Heijboer, dalam buku Klamboes, Klewangs, Klapperbomen, yang terbit tahun 1977 pada halaman 137 menulis;
“Orang-orang
Aceh ternyata bukan saja pejuang-pejuang yang fanatik, akan tetapi
mereka juga tergolong pembangun kubu-kubu pertahanan yang ulung sekali.”
[]/atjehpost.com
(nahimunkar.com)
loading...
Post a Comment