Halloween Costume ideas 2015
November 2015

AMP - Empat aktivis organisasi Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) hadir dalam forum internasional yang digelar di kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk hak asasi manusia pada 24-25 November, di Palais des Nations, Jenewa, Swiss. Forum tersebut adalah forum tahunan yang diselenggarakan oleh PBB.

Dalam forum itu, empat aktivis ASNLF, Imran Syahbuddin, Yusri Taleb, Asnawi Ali, dan Yusril Abdullah, menyoroti kasus perlawanan kelompok bersenjata Din Minimi yang terjadi di Aceh setahun terakhir. Fokus aktivis tersebut adalah kepada operasi yang dilakukan aparat keamanan dalam melumpuhkan warga sipil yang tergabung dalam kelompok tersebut, yang selama ini diklaim sebagai pelaku kriminal bersenjata.

Diketahui Serambi dari video yang diunggah pada laman webtv.un.org dua hari lalu, Wakil Sekretaris ASNLF, Asnawi Ali, terlihat berbicara selama tiga menit dalam forum tersebut. Ia mengatakan, pelumpuhan terhadap beberapa warga sipil yang terlibat dalam kelompok tersebut termasuk cara di luar koridor hukum dan menyalahi aturan, karena Indonesia adalah negara yang menandatangani Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

“Yang kami sampaikan fokus kepada warga sipil Aceh yang menjadi korban dalam operasi pihak keamanan sejak Maret 2015. Seperti Junaidi (Beurijuek) warga sipil yang terbukti tanpa senjata tetapi tetap dilumpuhkan dengan menembak mati saat kejadian di SPBU Batuphat, Muara Satu, Lhokseumawe, Kamis 27 Agustus lalu,” tulis Asnawi Ali menjawab Serambi melalui media sosial tadi malam.

Kasus lainnya yang juga disampaikan adalah penyergapan salah satu anggota kelompok bersenjata bernama Ridwan pada 20 Agustus lalu di Aceh Utara.

Seperti dimuat pada Serambinews.com sebelumnya, Asnawi Ali mendesak PBB untuk menekan Indonesia agar bertindak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku setiap operasi saat memburu anggota kelompok bersenjata itu. “Banyak kasus impunitas (kekebalan hukum) yang menyebabkan selalu terulangnya kasus kekerasan seperti itu di tanah rencong,” katanya.

Ditanya kenapa ASNLF sangat menyoroti kasus tersebut, Asnawi Ali mengatakan, itu memang menjadi kewajiban dan tanggung jawab moral organisasi ASNLF. Asnawi juga mengatakan, keikutsertaan ASNLF dalam forum itu karena organisai yang pernah dikomandoi almarhum Hasan Tiro itu sudah terdaftar sebagai organisasi legal berkat lobi bantuan UNPO.

“Acara kemarin Indonesia diwakilkan oleh First Secretary Dubes Indonesia di Jenewa, namanya Caka A Awal. Semua yang kita sampaikan langsung didengar olehnya dan perwakilan dari dubes yang lain,” pungkas Asnawi Ali dalam wawancara singkat dengan Serambi tadi malam.

Serambinews.com

AMP - Menjelang Pilkada 2017, sejumlah Mahasiswa Aceh terjebak dengan politik praktis, keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis menjadi perdebatan di medsos bahkan jejaring sosial. Satu pihak berpendapat mahasiswa harus apolitis karena tugasnya adalah belajar dan jika terjun ke politik praktis dikhawatirkan memengaruhi prestasi belajar mereka. 

Argumentasi lain adalah mahasiswa sebagaimana dosen harus netral karena keterlibatannya akan mengganggu netralitas kampus

Kampus harus steril dari politik praktis yang cenderung hanya berurusan dengan perebutan kekuasaan. Keterlibatan masyarakat kampus dalam politik praktis dinilai akan mencederai posisi kampus sebagai penjaga moral yang lebih mengedepankan pendekatan objektif dalam menghadapi persoalan.

Berkurangnya peran dan aktivitas masyarakat kampus, khususnya mahasiswa, dalam politik praktis sangat erat kaitannya dengan pemberlakukan NKK/BKK pada akhir tahun 70-an. Sejak saat itu, kampus secara kelembagaan sepi dari aktivitas politik praktis. Keadaan berubah sesudah reformasi, dosennya beramai-ramai menghiasi dunia politik tanah air.

Sementara yaitu mahasiswa, kelihatan tidak terlalu banyak jumlahnya yang terjun langsung ke pentas politik praktis. Tidak jelas penyebabnya apakah karena terlalu sibuk urusan akademik, malu karena memandang kehidupan politik praktis tidak sejalan idealisme kampus, atau karena tidak ada akses untuk masuk.

Namun, walaupun para mahasiswa tidak terjun langsung ke arena politik praktis, aktivitas di organisasi kemahasiswaan cenderung menggunakan cara-cara politik praktis dan tindakannya mirip seperti para politisi sungguhan. Bahkan untuk organisasi mahasiswa di kampus, struktur organisasinya meniru dan menyerupai struktur organisasi pemerintahan dengan jabatan mulai dari presiden, wakil presiden, menteri kabinet, sampai gubernur. 

Mekanisme pemilihannya juga persis seperti di pemerintahan. Baik untuk lembaga eksekutifnya maupun lembaga legislatifnya ditentukan melalui pemilihan umum dengan peserta Pemilu yang terdiri dari partai-partai. 

Sementara itu, banyak kegiatan mahasiswa yang tidak jauh dari persoalan kekuasaan, persoalan kebangsaan, kerakyatan, kenegaraan, kebijakan pemerintah, dan pembangunan yang semuanya tidak jauh urusan politik. Hanya saja ide, saran, kritik, dan suara mahasiswa ini hanya bisa dilakukan di luar koridor resmi. Yang paling sering disuarakan melalui unjuk rasa, sehingga muncul julukan “parlemen jalanan kepada gerakan mahasiswa. 

Hal tersebut menjadi tanda tanya publik ketika mereka mendukung salah satu calon kandidat untuk menuju orang nomor satu di Aceh, seperti halnya dalam beberapa hari ini muncul pemberitaan bahwa mahasiswa se-Aceh mendukung Muzakir Manaf sebagai Calon Gubernur Aceh 2017.

Mungkin saja hanya beberapa mahasiswa yang kampusnya berdekatan dengan pusat kota Aceh yaitu banda Aceh, walau pemberitaannya agak lebay sedikit.

 Kritikan bagi mahasiswa tersebut terjadi dimedsos jejaringan sosial Facebook, diantaranya 

Hana di belajar tapi di jak mita status sagai, male mahasiswa laen , seharusnya mereka belajar dulu, politik jg dipelajari tapi bkn terlibat praktis,,,,,hana peunutoh bak gure....

Mahasiswa berasal dari masyarakat dan harus membawa perubahan yang baik dan berwibawa serta pembangunan SDM, bukan malah mendukung partai-partai politik yang hanya bersifat sesaat ....itu justru merusak Citra mahasiswa pada umumnya.ujar seorang pengkritik di Fb

Dan juga banyak kritikan yang lain, bahkan ada yang menganggap mahasiswa tersebut bergabung ke Rakan Mualem karena faktor uang.

Apakah ini yang dinamakan politik praktis yang menjadikan agent perubahan sebagai alat kampanye politik Mualem 2017 nantinya?..

hanya mereka yang lagi mencari gelar sarjana yang menjawabnya.

Editor: Rakan Uereung Pungoe

AMP - Zakaria Saman akrap disapa Apa Karya berharap Pemerintah Aceh agar menjaga rakyatnya. Menurut mantan Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, puluhan tahun rakyat membantu, ikut  memperjuangkan harkat martabat Aceh hingga lahir sebuah kesepakatan damai.

“Sekarang rakyat meminta balasan untuk jaga mereka, tetapi telah disia-siakan dan tidak ada yang bertanggung jawab. Jangan pikir bendera dulu, rakyat saat ini lapar tapi kita sibuk dengan bendera,” ujar Apa Karya saat pertemuan dengan mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam “Saudara Apa Karya” di sebuah warung kopi kawasan pusat kota Lhokseumawe, Senin, 30 November 2015.

Menurut Apa Karya, saat ini mestinya diselesaikan dulu semua peraturan turunan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyangkut ekonomi dan hak-hak Aceh lainnya, baru soal bendera.  Kata dia, jika semua peraturan turunan UUPA dituntaskan, maka dengan sendirinya bendera pun akan terealisasi.

“Namun, itu terserahlah, kalau memang mau naikkan silahkan. Menurut saya, saat ini selesaikan dulu UUPA, (terkait) ekonomi, PP Migas, Pertanahan dan lainnya, baru masalah bendera,” kata Apa Karya.[portalsatu.com]

AMP - Penggunaan Bendera Aceh di kantor pemerintahan yang telah disahkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang, sampai hari ini masih menjadi polemik. Salah satunya adalah Pemerintah Pusat yang melarang pengibaran bendera tersebut karena dianggap melanggar PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.

Dalam hal tersebut pemerintah Aceh telah berulang kali berunding dengan pemerintah pusat akan tetapi hingga saat ini belum juga mendapatkan titik temu dalam polemik ini.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Analisis dan Advokasi Rakyat Aceh Utara (PAKAR) Hidayatul Akbar, SH, kepada lintasatjeh.com, Senin (30/11/2015).

Sebagaimana diketahui bersama bahwa, persoalan bendera Aceh yang telah disahkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang sampai hari ini masih menjadi polemik, khususnya dari pemerintah pusat yang melarang pengibaran bendera tersebut karena dianggab melanggar PP No 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.

Regulasi ini, dijelaskan Hidayat, melarang bendera, lambang, dan himne daerah memiliki persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan bendera, lambang, dan himne organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis. Sehingga nasib bendera Aceh belum bisa dikibarkan secara menyeluruh di Aceh.

Polemik ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila Pemerintah Pusat menyadari status khusus yang disandang Aceh sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman tersebut, maka Gerakan Aceh Merdeka telah secara eksplisit mengakui status Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki karakteristik khusus dibanding daerah lain.

Gerakan Aceh Merdeka beserta seluruh perangkat yang dimilikinya tidak lagi dapat dipandang sebagai bagian dari gerakan separatis, apalagi Pemerintah Indonesia juga telah mengumumkan berbagai program khusus termasuk Amnesti bagi para Beligeren tersebut.

Sudah saatnya Pemerintah Aceh mengambil sikap tegas untuk segera merealisasikan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang.

PAKAR mendesak agar Pemerintah Aceh melalui Gubernur sebagai eksekutor dari sebuah aturan untuk segera mengeluarkar Surat Edaran Pengibaran bendera Aceh karena bendera tersebut adalah lambang dari proses panjang perjuangan masyarakat Aceh sehingga lahirlah kesepakatan MoU helsinki antara RI dan GAM. Dan hingga saat ini rakyat Aceh sangat menanti-nantikan bendera itu.[RILL]

AMP - Politikus PDI Perjuangan, Eva Sundari, menilai, sejumlah menteri di Kabinet Kerja justru menjadi beban bagi pemerintahan. Eva menganggap Jokowi dikelilingi penyelundup yang mengabaikan nilai Nawa Cita dan Trisakti, yang digadang-gadang pemerintah saat ini.

"Omongan saya di grup, 'Jokowi ibarat berjalan bersama para perampok, berenang bersama para hiu'," ujar Eva dalam diskusi di Jakarta, Minggu (29/11/2015).

Eva mengatakan, orang-orang tersebut berkeliaran bebas karena Jokowi kurang bertindak tegas. Hal tersebut justru akan membuat mafia hukum tetap berkeliaran di sekitarnya.

"Mafia di mana-mana dan didiamkan. Ini mempersempit kesempatan kita membangun," kata Eva.

Ia mengatakan, yang terpenting bagi PDI-P selaku partai pengusung adalah para pembantu presiden yang loyal. Ia tidak ingin menteri hanya menjadikan Nawa Cita dan Trisakti sebagai dasar mereka membuat suatu kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan kepentingan publik.

"Jangan sampai kontrak dia dan Presiden yaitu Nawa Cita dan Trisakti diabaikan," kata Eva.

Direktur Sabang Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan menilai, sudah saatnya Presiden Joko Widodo melakukan perombakan kabinet.

Ia menilai adanya gelagat sejumlah pembantu presiden yang bekerja tidak sesuai dengan konsep Nawacita yang digadang-gadang Jokowi. (Baca: "Saya Kasihan dengan Bu Mega, Kereta Pemerintah Makin Jauh dari Trisakti")

"Kalau Jokowi mau selamat, ini kesempatan Jokowi menteri yang anti-Nawacita dia bersihin," ujar Syahganda di Jakarta, Minggu (29/11/2015).

Syahganda menilai, salah satu menteri yang harus dicopot karena tidak pro Nawacita adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.

Menurut dia, Sudirman sengaja dimasukkan ke dalam kabinet untuk kepentingan tertentu. Hal ini, menurut Syahganda, tampak dari gerak-gerik Sudirman dalam kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk perpanjangan kontrak PT Freeport.

"Sudirman berusaha bermain dengan kontrak Freeport itu mungkin untuk kepentingan JK (Jusuf Kalla), karena yang bela dia JK," kata Syahganda.

Atas dasar itu, Syahganda menilai Jokowi perlu memecat menteri yang hanya membuat bangsa gaduh.  [KCM/KNF]

AMP - Warga yang melintas melintas di jalan nasional, tepatnya di Desa Meunasah Manyang, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar tak banyak yang tau ternyata ada kuburan persis di tengah jalan.

Kuburan yang tak dikenali identitasnya itu terletak di tengah jalan. Saat ini di sana terdapat sebuah lubang menganga yang siap menelan korban.

Lokasi lubang terletak pada lintasan sebelum jembatan Pango jika melintas dari arah Simpang lambaro Kafe. Di pinggir jalan juga terdapat genangan air sehingga pengemudi cenderung berkendara agak ke tengah jalan.

Hal ini diceritakan warga setempat Abdul Murat, Minggu (30/11/2015) usai menolong seorang mahasiswi yang terjatuh karena masuk lubang itu.

"Di lubang itu dulunya ada kuburan. Memang agak angker. Dalam sepekan ini mungkin sudah belasan pesepeda motor terjungkal akibat masuk lubang itu.

Lubangnya cukup lebar dan dalam. Seharusnya pemerintah menambalnya," katanya.

Dikatakan, di tempat itu sering terjadi kecelakaan pada malam hari karena lubang tak terlihat jika tak benar-benar diperhatikan. Namun siang hari juga banyak yang celaka.

Apalagi lubang itu terletak tikungan sehingga pengendara yang kurang jeli bisa masuk lubang.

Meski belum ada korban tewas, banyak yang sudah terluka bahkan ada yang dilarikan ke rumah sakit. Hari ini saja menurutnya sudah tiga orang terjatuh.

Dikatakan, meski mungkin kecelakaan tak terkait mistik seharusnya lubang itu ditambal oleh pemerintah.

"Yang jelas dulu di sana ada kuburan, lalu tanah itu dibebaskan untuk pelebaran jalan. Masalahnya saat pelebaran itu, mayat dalam kuburan itu tak diambil atau dipindahkan. Jadi agak angker. Ya setidaknya agar tak angker sebaiknya ditambal," katanya.

Pantauan Serambinews.com, lubang di jalan nasional Banda Aceh-Medan itu cukup lebar melebihi nampan atau talam. Kedalamannya juga diperkirakan capai sepuluh sentimeter. Ayo "Pak Pemerintah" segera ditambal. (*)

Sumber: Serambinews.com

AMP - Mujahiddin Chechnya dari front Republik Chechnya Ichkeria, hari kamis(26/11), menyatakan bahwa mereka akan berjuang bersama Turki dan menunggu komando Erdogan yang mereka sebut sebagai pemimpin kaum muslimin. Pernyataan tersebut sebagai tanggapan atas pernyataan Presiden Chechnya (pro Rusia), Ramdan Kadirov.

Tanggapan tersebut dinyatakan oleh mujahiddin Chechnya setelah Ramdan Kadirov menulis diinstallgramnya: “Saya tidak meragukan bahwa Turki akan menyesali tindakannya tersebut untuk waktu yang lama. Siapa pun yang berbicara mengenai persahabatan dan kerja sama di berbagai kesempatan, melakukan tindakan ‘licik’ seperti itu.”

Mujahiddin Chechnya (menurut sumber media Turki, Yeni Safak) menyatakan; “Sesungguhnya pernyataan Kadirov tersebut bertujuan untuk ‘menjilat’ dan ‘cari perhatian’ dengan Presiden Vladimir Putin. Oleh karena itu, kami menunggu perintah dari Erdogan, sang pemimpin bangsa-bangsa Muslim.”[tabayyunnews]

AMP - Panta Rei Ouden Menei. Semuanya mengalir dan berputar. Demikian pula Sriwijaya. Kerajaan besar Budha yang berpusat di selatan Sumatera ini pada akhir abad ke-14 M mulai memasuki masa suram. Invasi Majapahit (1377) atas Sriwijaya mempercepat kematiannya. Satu persatu daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya mulai lepas dan menjadi daerah otonom atau bergabung dengan yang lain. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk Islam lalu mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil. Beberapa kerajaan Islam di Utara Sumatera bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.

Di Eropa, akibat Perang Salib yang berlarut dan persinggungannya dengan para pedagang Islam, orang Eropa mulai mencari emas, rempah-rempah, kain, dan segala macam barang ke dunia lain yang selama ini belum pernah dijangkaunya. Kaum Frankish mendengar adanya suatu dunia baru di selatan yang sangat kaya.

Pada 1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol. Mandat ini dikenal sebagai Perjanjian Tordesillas1 yang membagi dua dunia selatan untuk dieksplorasi sekaligus target penyebaran agama Kristen, satu untuk Portugis dan yang lainnya untuk Spanyol.

Menyaksikan Portugis dan Spanyol sukses dalam ekspedisinya, bangsa-bangsa Eropa lainnya tertarik untuk mengekor. Perancis, Inggris, dan Jerman kemudian juga mencoba untuk mengirimkan armadanya masing-masing untuk menemukan dunia baru yang kaya-raya. Misi kerajaan-kerajaan Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Emas yang melambangkan Eropa tengah mencari daerah kaya untuk dijajah, Glory dan Gospel dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama Kristen.

Sejarahwan Belanda J. Wils mencatat jika pendirian pos-pos misionaris awal di Nusantara selalu mengikuti gerak maju armada Portugis-Spanyol, “…pos-pos misi yang pertama-tama di Indonesia secara praktis jatuh bersamaan dengan garis-garis perantauan pencarian rempah-rempah dan ‘barang-barang kolonial’. Dimulai dari Malaka, yang ditaklukkan pada tahun 1511, perjalanan menuju ke Maluku (Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ selanjutnya ke Timor (1520), Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1544, 1563), dan berakhir di paling Timur Pulau Jawa (1584-1599).”

Kesultanan Aceh Darussalam

Peran Sriwijaya digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam yang berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudera Pase/Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa di India, lalu Malaka pun akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam armada Salib Portugis.
Istana Daruddunya Kesultanan Aceh Darussalam - Lukisan Karya Sayed Dahlan al-Habsyi
A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh Sepanjang Abad, hal.92-93) menulis,
Untuk mencapai nafsu jahatnya, dari Malaka yang telah dirampoknya, Portugis mengatur rencana perampokan tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan-kaki tangan mereka ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara, seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi.”3
Strategi licik Portugis ini dikemudian hari dicontoh Snouck Hurgronje. Akibatnya, Portugis, menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 telah menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di wilayah yang didudukinya, Portugis mendirikan kantor-kantor dagang dengan penjagaan ketat sejumlah pasukan.
Perkembangan yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Perang yang juga putera mahkota Kerajaan Aceh ini yakin jika Portugis pasti akan menyerang kerajaannya. Mughayat Syah memaparkan hal ini kepada Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang sudah uzur. Sultan sadar, untuk menghadapi Portugis, maka Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh seorang yang muda, cekatan, dan cakap. Akhirnya Sultan Alaiddin Syamsu Syah segera melantik anaknya sebagai penggantinya. Ali Mughayat Syah pun menjadi raja baru dengan gelar Sultan Alaiddin Mughayat Syah.

Sultan yang baru ini memandang, untuk mengusir Portugis dari seluruh daratan pantai utara Sumatera, dari Daya hingga ke Pulau Kampai, seluruh kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil itu harus bersatu dalam kerajaan yang besar dan kuat. Maka begitu jadi sultan, Alaiddin Mughayat segera mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam. Padahal saat itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya masih diperintah oleh raja-raja lokal. Lewat peperangan yang gigih akhirnya laskar Islam ini berhasil menghalau Portugis bersama para sekutu lokalnya.

Berhasil mengusir Portugis, Sultan menciptakan bendera kerajaan Islam Aceh Darussalam yang dinamakan “Alam Zulfiqar” (Bendera Pedang) berwarna dasar merah darah dengan bulan sabit dan bintang di tengah serta sebilah pedang yang melintang di bawah berwarna putih. Sultan yang hebat ini menemui Sang Khaliq pada 12 Dzulhijah 936 H (Sabtu, 6 Agustus 1530).

Bersatu Dengan Kekhalifahan Turki Utsmani

Diikat kesatuan akidah yang kuat, Aceh Darusalam mengikatkan diri dengan kekhalifahan Islam Turki Ustmaniyah. Sebuah arsip Utsmani berisi petisi Sultan Alaiddin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni, yang dibawa Huseyn Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhalifahan Islam. Dokumen tersebut juga berisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya. Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sebab itu, Aceh mendesak Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi (Portugis).
Al-Fatih Bersama Pasukan Turkey Utsmani
Sultan Sulayman Al-Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini oleh Sultan diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh.5 Walau berangkat dalam jumlah amat besar, yang tiba di Aceh hanya sebagiannya saja, karena di tengah perjalanan, sebagian armada Turki dialihkan ke Yaman guna memadamkan pemberontakan yang berakhir pada 1571 M.6

Di Aceh, kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reis sebagai gubernur (wali) Nanggroe Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan di wilayah tersebut.7 Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, namun seluruhnya ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentara Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya, Malaka.

Agar aman dari gangguan perompak, Turki Ustmani juga mengizinkan kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani di kapalnya. Laksamana Turki untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau tiap pergerakan armada perang Portugis di Samudera Hindia. Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan kekhalifahan di Istanbul, Turki. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obazan sebagai berikut:
“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera…. Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, Insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.”

Namun Portugis tetap sombong. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”.
Futuhat Pedalaman Sumatera

Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar dilantik pada 1537 M dan bertekad untuk membebaskan pedalaman Sumatera dari kaum kafir. Dengan bantuan pasukan Turki, Arab, Malabar, dan Abesinia, Aceh masuk ke pedalaman Sumatera. Sekitar 160 mujahidin Turki dan 200 Mujahidin Malabar menjadi tulang punggung pasukan. Mendez Pinto, pengamat perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan komandan pasukan seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani dari Kairo. Sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, memperkuat Pinto dan menyatakan ini merupakan bentuk nyata ukhuwah Islamiyah antar umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap tentara Salib di wilayah sekitar Aceh.
Turki Utsmani bahkan diizinkan membangun satu akademi militer, “Askeri Beytul Mukaddes” yang di lidah orang Aceh menjadi “Askar Baitul Makdis” di wilayah Aceh. Akademi pendidikan militer inilah yang kelak dikemudian hari melahirkan banyak pahlawan Aceh yang memiliki keterampilan dan keuletan tempur yang dalam sejarah perjuangan Indonesia dicatat dalam dalam goresan tinta emas.11pasukan turki utsmani

Intelektual Aceh Nurudin Ar-Raniri dalam kitab monumentalnya berjudul Bustanul Salathin meriwayatkan, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.12 Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugis. Di perjalanan, Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala-bantuan yang diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan izzahnya sehingga mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.
Dalam peperangan di laut, armada perang Kesultanan Aceh terdiri dari kapal perang kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran besar. Sejarahwan Court menulis, kapal-kapal ini sangat besar, berukuran 500 sampai 2000 ton. Kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang ingin merampok wilayah-wilayah Muslim di seluruh Nusantara. Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan maritim yang besar dan sangat ditakuti Portugis di Nusantara karena mendapat bantuan penuh dari armada perang Turki Utsmani dengan segenap peralatan perangnya.

Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kegemilangan, juga pernah mengirimkan satu armada kecil, terdiri dari tiga kapal, menuju Istanbul. Rombongan ini tiba di Istanbul setelah berlayar selama 12,5 tahun lewat Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, dua belas penasehat militer Turki, dan sepucuk surat yang merupakan sikap resmi Kekhalifahan Utsmaniyah yang menegaskan bahwa antara kedua Negara tersebut merupakan satu keluarga dalam Islam. Kedua belas pakar militer itu diterima dengan penuh hormat dan diberi penghargaan sebagai pahlawan Kerajaan Islam Aceh. Mereka tidak saja ahli dalam persenjataan, siasat, dan strategi militer, tetapi juga pandai dalam bidang konstruksi bangunan sehingga mereka bisa membantu Sultan Iskandar Muda dalam membangun benteng tangguh di Banda Aceh dan istana kesultanan.

Dampak keberhasilan Khilafah Utsmaniyah menghadang armada Salib Portugis di Samudera Hindia tersebut amatlah besar. Di antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tengg ara ke Mekkah; memelihara kesinambungan pertukaran perniagaan antara India dengan pedagang Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; dan juga mengamankan jalur perdagangan laut utama Asia Selatan, dari Afrika dan Jazirah Arab-India-Selat Malaka-Jawa-dan ke Cina. Kesinambungan jalur-jalur perniagaan antara India dan Nusantara dan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah juga aman dari gangguan14.

Dan Bukan Hanya Aceh

Selain Aceh, sejumlah kesultanan di Nusantara juga telah bersekutu dengan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, seperti Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan. Salah satu Sultan Buton, Lakilaponto, dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din yang memiliki arti “penegak agama”, yang dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari Mekkah. Sejak itu, Sultan Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan gelar ‘sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga yang menyebutkan dari penguasa Mekkah).


Jika kita bisa menelusuri lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber Islam, maka janganlah kaget bila kita akan menemukan bahwa banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini sesungguhnya merupakan bagian dari kekhalifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyah. Jadi bukan sekadar hubungan diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan diplomatik yang lebih didasari oleh kesamaan iman dan ukhuwah Islamiyah. Jika satu negara Islam diserang, maka negara Islam lainnya akan membantu tanpa pamrih, semata-mata karena kecintaan mereka pada saudara seimannya. Bukan tidak mungkin, konsep “Ukhuwah Islamiyah” inilah yang kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat-Kristen (Christendom) di abad-20 ini dalam bentuk kerjasama militer (NATO, North Atlantic Treaty Organization), dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya seperti Uni-Eropa, Commonwealth, G-7, dan sebagainya.

Qanun Meukuta alam

Salah satu keunggulan lain dari Kesultanan Aceh Darussalam adalah konstitusi negara yang disebut Qanun Meukuta Alam yang bersumberkan dari Qur’an dan hadits, yang sangat lengkap dan rinci. Kesultanan Brunei Darussalam merupakan salah satu kesultanan yang mengadopsi hukum ini dari Aceh.

Salah satu yang diatur adalah perayaan hari besar agama Islam. Di akhir bulan Sya’ban, misalnya, ketika shalat tarawih akan diadakan untuk pertama kalinya, maka di halaman Masjid Raya Baiturahman, raja memerintahkan agar dipasang meriam 21 kali pada pukul lima lebih sedikit. Tiap 1 Syawal, pukul lima pagi setelah sholat Subuh, juga dipasang meriam 21 kali sebagai tanda Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Haji pun demikian. Setiap hari besar Islam, kerajaan mengadakan acara yang semarak yang sering dikunjungi oleh tamu-tamu agung dari negeri lain.

Kebesaran Aceh diakui dunia internasional. Wilfred Cantwell Smith dalam Islam in Modern History, kelima besar Islam dunia saat itu adalah: Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Maroko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah yang berpusat di Persia, Kerajaan Islam Mughol di anak benua India yang berpusat di Acra, dan yang kelima adalah Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara yang berpusat di Banda Aceh.

AMP - Setelah berbulan-bulan terjadi upaya pembersihan etnis atas penduduk Muslim di Republik Afrika Tengah (CAR), sebuah kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) terkemuka telah mengungkapkan bahwa umat Islam yang tersisa kini menghadapi penindasan dan pemurtadan di tangan teroris Kristen Anti-Balaka, dalam upaya untuk menghapus Islam secara total dari negara itu.

“Setelah memaksa puluhan ribu Muslim mengungsi dari CAR Barat, milisi Anti-Balaka sekarang menginjak-injak identitas agama dari ratusan Muslim yang menetap atau yang telah kembali,” kata Joanne Mariner, penasihat respon krisis senior dari Amnesti Internasional, seperti dikutip On Islam dari AFP pada bulan yang lalu Sabtu (1/8).

Laporan Amnesti, yang berjudul “Identitas yang terhapus: Muslim di daerah yang dibersihkan secara etnis dari Republik Afrika Tengah,” mengatakan bahwa umat Islam yang telah kembali ke rumah mereka di sebagian besar wilayah barat negara itu setelah pembunuhan massal 2014 yang memaksa eksodus “dilarang oleh milisi bersenjata anti-Balaka untuk mempraktekkan atau menunjukkan agama mereka di depan umum.”

“(Sebagian) telah dipaksa masuk Kristen dengan ancaman kematian,” tambah laporan itu.[RPT]

AMP - Sepekan setelah Polri dan TNI mengumumkan rencana menggelar kembali Operasi Camar Maleo IV untuk memburu Santoso, pemimpin kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur itu menunjukkan keberadaannya.

Jika beberapa waktu lalu dia menggunakan saluran YouTube, maka kali ini Santoso menunjukkan keberadaannya melalui video yang diunggah melalui Facebook.

Dalam video dengan gambar diam dan memutarkan suara yang disebut menyuarakan 'pesan dari komandan' itu menyebut beberapa nama tokoh yang pernah menggaungkan pemberontakan terhadap Indonesia.

Nama pemimpin pemberontakan Darul Islam, Kartosoewirjo, dan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi, Kahar Muzakkar, serta nama Ibnu Hadjar, terdengar lantang diteriakan oleh suara yang dikabarkan merupakan suara Santoso alias Abu Wardah.

"Cintailah negeri kalian, sebagaimana Kartosuwiryo mencintai negerinya. Wahai rakyat Sulawesi, cintailah negeri kalian, sebagaimana Kahar Muzakkar mencintai negeri ini. Wahai orang Kalimantan, perjuangkan tanah kalian, sebagaimana Ibnu Hajar memperjuangkannya," ujar suara dalam rekaman yang diunggah sejak Minggu (22/11) itu.

"Kirim Salam" buat Rakyat Aceh

Tak hanya ketiga nama tersebut, suara yang disandingkan dengan gambar Santoso dan kibaran bendera hitam ISIS atau Islamic State di bagian kiri, juga mengungkapkan salamnya kepada rakyat Aceh. Dia pun menyebut Aceh tidak berbeda dengan Poso.

"Dan kepada rakyat Aceh yang kami cintai, jangan lupakan Panglima Polim dan Teuku Umar! Dan jangan kalian tertipu seperti Abu Jihad (Abu Beureueh) telah tertipu. Syari'at Islam itu untuk seluruh penjuru bumi. Tidak ada bedanya Poso dengan Aceh," katanya.

Pada rekaman itu, Santoso juga sempat menyebut bahwa kelompok yang pernah membangun pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar, sama dengan kelompok Santoso yang meggunakan wilayah Gunung Biru, Poso, sebagai tempat persembunyian mereka.

"Tidak ada bedanya Jalin Jantho dengan Gunung Biru, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Rohingya (Myanmar), semua adalah tanggung jawab kita untuk menegakkan Islam," ujarnya.

CNN Indonesia

AMP - Seorang anggota TNI yang tergabung dalam satuan tugas (satgas) Camar Maleo tewas tertembak oleh kelompok teroris Santoso di Dusun Gayatri, Desa Maranda Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, atau sekitar kilometer 6-7 Sulawesi Tengah (Sulteng), Minggu sekitar pukul 09.00 Wita.

‎Serka Zainuddin yang diketahui menjabat Ba Purir Kipan C Yonif 712/ Raider tersebut tewas tertembak di bagian kepalanya.

Dari data yang dihimpun, korban sementara dievakuasi di tempat kejadian perkara (TKP).

Kepala Penerangan Kodam VII Wirabuana, Letkol CZI I Made Sutia saat dikonfirmasi mengakui anggotanya tewas tertembak kelompok teroris Santoso. Hanya, dia mengaku belum mendapatkan data lengkap mengenai kejadian tersebut.

"Saya masih kumpulkan data, kalau sudah ada saya sampaikan, "ujar Made Sutia kepada Liputan6.com, Minggu (29/11/2015).

Korban merupakan keponakan Supriani, PNS staf Slog Kodim 1426/ Takalar. Korban adalah warga Mattompo Dalle, Polongbangket Utara, Takalar, Sulsel.[L6]

AMP - Diskusi yang diselenggarakan Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) pada Sabtu, 28 November 2015 di 3in1 Coffee bertemakan Polemik Bendera dan Urgensi Kesejahteraan ternyata meninggalkan memori buruk di Juru Bicara Partai Aceh Adi Laweung. 
 
Argumen mantan anggota DPRK Kabupaten Sigli yang mengatakan ”Kami tetap mempertahankan karena ditakutkan pihak ketiga yang akan memanfaatkan dan menggunakan bendera bulan bintang” sangat tidak cerdas. 
 
Menurut Aryos Nivada, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, sangat tidak rasional ada pihak tertentu yang akan memakai karena bendera bulan bintang jelas-jelas sudah diketahui dunia internasional, nasional, sekaligus masyarakat Aceh sendiri. 
 
“Itu paranoid Bung Adi Laweung saja, jika berani tunjuk siapa pihak ketiga yang dimaksud. Jangan bermain dalam keabu-abuan”, ujarnya 
 
Kalau Adi Laweung mengatakan sudah sah Qanun No. 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang. Saran Aryos bendera dinaikan di depan kantor gubernur Aceh, DPRA, dan instansi pemerintah lainnya. "Jangan sampai publik menilai Adi Laweung sendiri menggunakan profaider yang ilegal makanya sama sekali tidak ada sinyal dalam memahami polemik bendera dan lambang", umpanya. “Dalam merancang Qanun No 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang seharusnya dalam proses pembuatan yang lalu memperhatikan perundang-undangan yang berlaku termasuk Peraturan Pemerintah No 77 tahun 2007 tentang pembuatan bendera dan lambang. Itu jelas dimandatkan dalam UU 11 tahun 2006 Pasal 246 ayat 4. Isinya berpedoman pada peraturan perundang-undangan,” ungkap peneliti Jaringan Survey Inisiatif. 
 
Ia menambahkan, kalau itu tidak diperhatikan, patut diduga ada unsur kesengajaan atau memang ketidaktauan atau gagal faham dalam memahami tata cara pembuatan sebuah produk qanun. "Atau, jangan-jangan ini sekedar mita sinyal bak tiang bendera," kata Aryos setengah bercanda. Anehnya menurut Aryos DPRA dan partai politik yang mengusung Qanun Bendera dan Lambang tidak bisa mempraktekan Fait accompli (kejadian memaksa). Kalau tetap memaksa urusan bendera dan lambang akan menggantung tanpa solusi kongkit. Ibarat di petieskan.[Rill]

AMP - Tiga tokoh politik Aceh yakni mantan gubernur Irwandi Yusuf, Wakil Gubernur Muzakir Manaf, dan Mantan Jubir tentara GAM Sofyan Daud bertemu di Jakarta hari ini, 29 November 2015.

“Reuni damai non politik. Lokasi: Balai Sudirman, tgl 29 11 15. Arah politik boleh berbeda,persaudaraan tetap dijaga,” tulis Irwandi Yusuf di akun facebook-nya sembari mengunggah foto pertemuan mereka.

Pertemuan tiga tokoh GAM ini menjadi menarik sebab ketiganya diketahui pernah berseteru.

Muzakir Manaf yang mantan Panglima GAM itu kini memimpin Partai Aceh. Sementara Irwandi dan Sofyan Daud mendirikan Partai Nasional Aceh. Belakangan, hubungan Irwandi dan Dofyan sempat dikabarkan merenggang.

Sumber: acehlon.com

AMP - Pemerintah Aceh diminta menggarap film layar lebar berlatar belakang tentang semangat Hasan Tiro, Ph.D, dalam konteks pendidikan dan loyalitasnya kepada masyarakat Aceh. Keberadaan film tersebut dinilai bisa menjadi inspirasi kepada generasi muda untuk terus belajar, bekerja dan membangun kemakmuran rakyat.

“Pengalaman saya berdiskusi tentang Hasan Tiro, ternyata mahasiswa atau masyarakat tidak paham bahwa Hasan Tiro adalah seorang intelektual dengan gelar akademik Ph.D yang diraihnya di Amerika Serikat. Bahkan Hasan Tiro itu sosok sutradara drama alias seniman," ujar Ketua Institut Peradaban Aceh (IPA) Haekal Afifa kepada wartawan di Banda Aceh, Minggu, 20 November 2015.

Haekal mengatakan melalui film layar lebar atau Compact Disk (CD), masyarakat dapat memahami spirit deklarator Aceh Merdeka dalam waktu sekitar 1-2 jam. Sebab disadari, untuk membaca buku biografi Hasan Tiro atau puluhan buku pemikirannya membutuhkan waktu berhari-hari. Apalagi dengan sulitnya menemukan buku tersebut dan budaya membaca masyakat yang belum berkembang maksimal.

“Kita yang nonton film layar lebar Tjoet Njak Dhien yang diputar pada akhir 1980-an, hingga kini ungkapan Tjoet Njak Dhien atau Teuku Umar dan lain-lain masih membekas. Gambar lebih gampang dinikmati dan disimpan memori dari pada membaca,” kata Haekal.

Dia mengatakan hal tersebut penting dilakukan agar sejarah tentang "Bapak Pembaruan Aceh" abad ke 20 ini tidak hilang dari kenangan warga. Karenanya kehadiran film layar lebar dari sisi daya juang untuk kemakmuran rakyat Aceh layak diangkat ke layar lebar.

“Secara bisnis, film biografi Hasan Tiro mampu menarik penonton yang membludak. Ada sisi-sisi yang hendak diketahui oleh publik baik oleh orang Aceh atau non Aceh. Jika mulai dirintis sekarang, maka pada 2017, film tersebut sudah bisa tayang di bioskop,” kata Haekal yang menerjemahkan buku Atjeh di Mata Donja dari bahasa Aceh ke bahasa Indonesia tersebut.

Haekal menuturkan, perlu langkah cepat mendokumentasikan pemikiran-pemikirannya agar semangat penulis buku Atjeh di Mata Donja ini tidak musnah. Ketua IPA menjelaskan gaya hidup Hasan Tiro yang sederhana itu harus dilanjutkan oleh siapa pun termasuk oleh eks-Libya yang selama berbulan-bulan dididik oleh Hasan Tiro di barak-barak.

Sebagai catatan, kata Haekal, Hasan Tiro tidak memiliki rumah, kendaraan dan harta lainnya hingga meninggal dunia pada 3 Juni 2010 di Banda Aceh. Menurutnya Hasan Tiro meninggal juga tidak mewariskan harta benda kepada anaknya.

“Fokus hidupnya melepaskan Aceh dari Indonesia dari aspek teritorial,” kata Haekal.

Cara lain merawat ingatan pengikut Hasan Tiro yakni membuat film dokumenter  yang berkaitan dengan karya-karya pemikirannya. Dari aspek intelektual, tidak berlebihan masyarakat mengikut kegigihan Hasan Tiro yang cerdas karena rajin belajar.  Selain itu, dia mahir tujuh bahasa asing seperti Arab, Belanda, Perancis, Swedia, Inggris dan lain-lain.

“Kecintaan kepada rakyat untuk hidup makmur yang menyebabkan dia rela dua tahun lebih bergerilya di hutan Aceh yang dikenal ganas. Padahal bisa saja Hasan Tiro hidup tenang bersama istri dan anak di Amerika tanpa perlu mendidik kader di rimba,” kata Haekal, yang menambahkan tahun ini genap usia Hasan Tiro 90 tahun (1925-2015).[]

Sumber: Portalsatu.com

AMP - Sebanyak 7 Narapidana Rutan cabang Sigli berhasil melarikan diri dari Rutan tersebut setelah sebelumnya ke 7 napi ini menodong senjata api ke arah petugas Rutan,Minggu (29/11).

Dari informasi diterima oleh Reporter statusaceh.com, Ke 6 napi tersebut kabur sekitar pukul 17:00 WIB melalui pintu utama rutan dengan menodongkan sebuah senjata api laras pendek kearah petugas P2U meminta agar petugas membukakan pintu masuk Rutan.

Dibawah ancaman senjata api petugas P2U kemudian membukakan pintu masuk rutan,dalam hitungan detik ke 6 napi tersebut lansung berhamburan keluar melarikan diri.

Petugas P2U segera melaporkan kejadian ini pada pimpinan yakni kepara rutan,tanpa berpikir panjang pihak rutan lansung berkoordinasi dengan aparat polres sigli lansung melakukan pengejaran dan pencarian ke 6 napi tersebut.

Dalam hitungan jam 3 napi berhasil dibekuk kembali oleh para petugas rutan yang dibantu aparat kepolisian polres sigli.

Kakanwikumham Aceh Suwandi yang dihubungi oleh Redaksi Statusaceh.com,membenarkan adanya insiden kaburnya 6 napi dari rutan sigli sore ini, Benar saya sudah dilaporkan oleh karutan sigli kaburnya 6 napi yang sebelumnya menodongkan senpi kearah petugas" jelas Kakanwilkumham Aceh

Suwandi juga mengatakan jika dari pihak rutan sigli yang dibantu oleh aparat kepolisian telah berhasil menangkap kembali 3 dari 6 napi yang kabur.

Pihaknya telah memerintahkan karutan sigli untuk terus melakukan pencarian dan penangkapan kembali sisa napi yang masih kabur dengan dibantu aparat polres sigli

"Saya dan Kadivpas sedang berada dipalembang,nama napi yang kabur belum terima namun saya sudah perintahkan Pak Meurah Budiman untuk memantau dan berkomunikasi terus dengan Karutan sigli,Besok untuk turun lansung ke sigli lakukan investigasi" ujar suwandi melalui Pesan Simgkat (SMS)

Sementara dari laporan Kapolres Pidie, 7 (tujuh) orang tahanan Rutan kelas II B Gp. Benteng, Kecamatan. Kota Sigli, Pidie melarikan diri dengan cara mengancam petugas penjaga pintu dengan menggunakan pistol jenis FN (Diduga Air Softgun). LP tersebut terletak bersebelahan dengan Asrama Benteng Kota Sigli (Asrama Kodim)

B. Kronologis kejadian sbb :

1. Pada pukul 16.30 Wib salah satu tahanan An. Musadi (usia 40 tahun, alamat Bireuen) bersama 6 org Tahanan lainnya berhasil keluar dari pintu tengah yang tidak dikunci oleh petugas piket Rutan an. Muhklis, kemudian Sdr. Musadi langsung menodongkan pistol ke arah leher Piket Rutan an. Sdr. Muhklis, namun hal tsb mendapat perlawanan dari piket sehingga terjadi perkelahian.

2. Pada saat terjadinya perkelahian tsb, Serda. Saiful Bahri (Babinsa yang membantu Pengamanan di depan Rutan) mencoba membantu Sdr. Mukhlis, sehinggga pistol yang di pegang oleh Musadi terjatuh ke lantai.

3. Selanjutnya salah satu tahanan lainnya mengambil pistol FN tsb dari lantai, dan 7 (tujuh) orang tahan tsb keluar dari pintu utama dan kabur berpencar secara bersamaan.

4. Selanjutnya dilakukan pengejaran oleh Petugas LP, Agt Polres Pidie dan Agt TNI dr Asrama Benteng, 1 orang tahanan An. Musadi tetangkap oleh Lettu Inf Irwan (Danramil 21/Kota Sigli) saat Ybs dlm perjalanan menuju Asrama Benteng. C. Dari 7 Org Tahanan yang melarikan diri, 4 Org berhasil tertangkap antara lain : 1. Hamdan, umr 40 th, warga Bireuen. (tertangkap) 2. Andri, umr 30 th, almt Ds. Kaye Jato Teupin Raya Kec. Glp. Tiga Kab. Pidie 3. Musadi, umr 40 th, warga Bireuen. (tetangkap) 4. Rusli, umr 45 th, almt Kec. Gempang Kab. Pidie (tetangkap) 5. Abu Bakar, umr 30 thn, almt Kec. Tiro Kab. Pidie. 6. M. Iksan, umr 25 thn, almt Samalanga Kab. Bireun (tertangkap) 7. Afifudin, umr 25 thn, almat Keumala Kab. Pidie. D. Dari Tahanan yang berhasil ditangkap kembali ditemukan 1 buah magasen Air Softgun, Kasus tsb sudah ditangani Polres PidIe dan Rutan Kelas-II/B Sigli.

Sumber: STATUSACEH

AMP - Sejumlah elemen sipil di Melaboh Sabtu, (28/11/2015) mengeluarkan pernyataan sikap, mendesak Jokowi Center Aceh (JCA) dibubarkan. Hal ini akibat sikap yang dianggap membungkam kebebasan berekpresi yang dilakukan Koordinator JCA Teuku Neta Firdaus yang melaporkan dua warga Aceh Barat ke polisi pada Kamis, (26/11/2015) lalu, karena diduga menyebar kebencian terhadap Presiden Joko Widodo.

Fitriadi Lenta yang merupakan juru bicara elemen sipil dalam pernyataan sikapnya mengatakan, demokrasi di Aceh harus diselamatkan, pembungkaman harus dilawan. Dia mengatakan sikap Teuku Neta Firdaus terlalu tendensius.

“Pelaporan ke polisi merupakan bentuk pembungkaman demokrasi dan pengangkangan Hak Asasi Manusia (HAM), kami mendesak Jokowi Center Aceh dibubarkan, karena disinyalir cenderung dijadikan alat intimidasi warga,” kata Fitriadi dalam konferensi pers di sebuah kafe di Meulaboh Sabtu, (28/11/2015) kemarin.

Lanjut Fitriadi, terkait dengan surat edaran Kapolri tentang ujaran kebencian (hate speech), agar dalam pelaksanaannya tidak berpotensi disalahgunakan.

Terkait pelaporannya terhadap dua warga Aceh Barat berinisial SB alias Ay, warga Meulaboh yang merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Agama dan TNN warga Meulaboh, Kecamatan Meureubo, Teuku Neta Firdaus membantah itu sebagai bentuk pembungkaman terhadap demokrasi.

“Pelaporan yang saya lakukan ini bukanlah untuk membungkam demokrasi dan kebebasan berpendapat, akan tetapi untuk mencegah kemungkaran,” kata Neta seperti dikutip juangnews.com dari sebuah media lokal di Aceh terbitan Minggu, (28/11/2015).

Sementara terkait desakan elemen sipil untuk membubarkan JCA, Neta menanggapinya dengan santai.

“Silahkan, itu adalah bagian dari demokrasi dan kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara,” pungkas Neta.[juangnews]

Ketua Delegasi ASNLF Asnawi Ali saat membacakan pernyataan di depan forum PBB dan ditayangkan melalui saluran UN WEB TV. (foto:Ist)
AMP - Empat delegasi Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) yang terdiri dari Asnawi Ali (kepala delegasi), Yusril Abdullah dan dua dari generasi muda Yusri Taleb dan Imran Abdurrauf  menghadiri Sidang PBB Urusan Minoritas yang ke 8 yang berakhir Kamis lalu (25/11).  Dalam acara tersebut delegasi ASNLF diberikan dua kesempatan berpidato di depan sejumlah perwakilan negara dan bangsa-bangsa minoritas di dunia.

Setiap delegasi hanya bisa berbicara satu kali saja, anggota delegasi ASNLF dari generasi muda Imran Abdurrauf, putra Syahbuddin A.R, membaca pernyataan atas nama organisasi Swedish Achehnese Association – Persatuan Masyarakat Aceh di Swedia, sementara Asnawi Ali resmi mewakili ASNLF atau Aceh Merdeka.

Forum Hak-hak Asasi Manusia Urusan Minoritas ini yang bersidang dua hari penuh dibuka pada Selasa (24/11) dengan fokus ”Minoritas dalam Sistem Peradilan Pidana” di ruang eksklusif XX gedung PBB, Jenewa, Swiss.  Para perwakilan negara, pakar-pakar PBB dan kira-kira 100 LSM termasuk kaum minoritas,  dari seluruh dunia yang mendapat kesempatan untuk berbicara, berkumpul di Palais des Nations, Jenewa, untuk membahas tentang perlakuan negara terhadap kaum minoritas dalam sistem peradilan pidana.

Sesuai dengan rekomendasi dan ketetapan Sidang, kedua pembicara ASNLF memfokuskan pidatonya tentang peran polisi dalam menjalankan hukum dan tantangan-tantangan yang dihadapi minoritas di seluruh Indonesia, khususnya di Aceh.  Selanjutnya kedua pembicara ASNLF memaparkan dengan singkat faktor-faktor nyata yang telah membuat hukum tidak bisa ditegakkan di Indonesia dan kekerasan serta pelanggaran HAM tidak bisa dihentikan.

Menurut ASNLF, ada tiga faktor yang telah membuat Indonesia gagal sebagai sebuah negara: Kekebalan hukum (impunitas), korupsi dan budaya sogok menyogok.  Asnawi Ali dengan lantang menunjukkan bahwa penegakan hukum dan impunitas merupakan tantangan paling berat untuk Indonesia. Kekebalan hukum terhadap pelanggar HAM berat yang telah membunuh, menyiksa dan ”menghilangkan” ribuan rakyat Aceh selama tiga dekade konflik yang tidak pernah diadili, apa lagi dihukum.

Delegasi ASNLF dalam acara forum kaum minoritas di Jenewa, Swiss 24-25 November 2015 adalah warga negara Swedia keturunan Aceh. Dari kiri, Imran Syahbuddin, Yusri Taleb, Asnawi Ali dan Yusril Abdullah. [Foto:
Istimewa]
Meski sudah memasuki kurun waktu sepuluh tahun pasca konflik, pejabat Indonesia tidak pernah menunjukkan niat baiknya untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan kemanusiaan di masa konflik. Sebaliknya, Indonesia malah masih menganggap Aceh sebagai sebuah ancaman keutuhan wilayah NKRI (But despite the deal, the authorities have shown no interest in addressing past crimes…Ten years on, Acheh is still regarded as a potential threat to Indonesia’s territorial integrity. The greatest challenges minorities are facing in Indonesia is law enforcement and impunity. Those responsible for the thousands of killings, torture and disappearances have never been prosecuted or punished.)

Sementara itu Imran Abdurrauf menekankan tentang korupsi yang sudah sangat membudaya di Indonesia dan menuding kepolisian  merupakan salah satu institusi yang paling korup di Indonesia. Perkara-perkara yang berkaitan dengan sogok-sogokan menimpa berbagai lapisan penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, dll. (”As corruption is rampant, police has become one of the most corrupt institutions in Indonesia. Problems related with bribery are everywhere, whether it be with police, judges, prosecutors etc. Indonesians have this culture when it comes to their dealings with the law”). Dia juga sangat menyayangkan bahwa penegak hukum di Indonesia, contohnya polisi, kadang-kadang dalam waktu yang sama juga sebagai pelanggar hukum alias kriminal (”.…the forces that should prevent human rights abuses are at the same time the perpetrators themselves – the police, for example, is at the same time the criminal”)

Pada akhir hari kedua Sidang, wakil delegasi tetap RI untuk PBB di Jenewa Caka A Awal  memberikan argumentasi bahwa untuk memberantas korupsi Indonesia telah mempunyai mekanisme sendiri seperti adanya badan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK),  dan penegakan hukum berjalan lancar sebagaimana perundang undangan yang berlaku  ”Setiap ada masalah hukum langsung ditanganinya dengan secepatnya”, ungkap Caka.

Menanggapi jawaban pihak Indonesia atas tudingan ASNLF, Asnawi Ali mengatakan bahwa “itu  merupakan jawaban normatif yang hampir sama setiap tahun kami dengar. Sedangkan penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM selama konflik bersenjata dan sesudahnya di Aceh, tidak pernah ditindak lanjuti”katanya.

Ditambahkan “Dibalik semua itu kehadiran ASNLF dalam forum ini telah menambahkan beban “batin” kepada Indonesia. Mereka (Indonesia-red) tidak bisa lagi menipu masyarakat internasional bahwa keadaan di Aceh baik-baik saja dan persoalan Aceh sudah selesai dengan adanya MoU Helsinki.

Menurut Asnawi yang lebih mencengangkan Indonesia kali ini adalah keberhasilan ASNLF memasukkan secara resmi dua delegasinya yang paling muda ke dalam forum Internasional ini,  Ini juga membuktikan bahwa ASNLF telah berhasil membina dan mempersiapkan kadernya untuk perjuangan yang masih panjang ini.

Pada kesempatan wawancara langsung dengan Asnawi Ali dirinya  mewakili ASNLF menyampaikan Terima kasih kepada UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organization) yang telah mendidik generasi muda ASNLF untuk menjadi diplomat-diplomat tangguh di kemudian hari dalam membela dan mempertahankan bangsa dan negerinya. (Jurnalatjeh)

Catatan : Redaksi jurnalatjeh.com dan jurnalatjeh TV juga menerima  pernyataan resmi dalam website UNPO dan  rekaman video yang diambil langsung dari UN website TV.

AMP - Ribuan anggota Forum Komunikasi Anak Bangsa (Forkab) Aceh menyatakan secara tegas menolak Bendera dan Lambang Aceh yang telah dituangkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 itu. Ketua Forkab Aceh, Polem Muda Ahmad Yani menegaskan lebih penting kesejahteraan daripada bendera.

Saat menjadi narasumber di acara diskusi publik “Polemik Bendera dan Urgensi Kesejahteraan” yang digagas IDeAS di 3in1 café, Sabtu (28/11/2015), Polem Muda menegaskan kesejahteraan masyarakat Aceh lebih penting daripada persoalan bendera.

“Kami tidak menerima bendera, 2.070 anggota Forkab di seluruh Aceh menolak bendera dan lambang Aceh sebelum keadilan ditegakkan,” tegas Polem Muda Ahmad Yani, putra Aceh Barat Daya ini.

Menurutnya anggota Forum Komunikasi Anak Bangsa (Forkab) menuntut keadilan yang pernah di janjikan.

“Kami juga mantan GAM, kami berjuang di hutan menuntut keadilan kepada Pemerintah Indonesia, tapi sekarang sangat disayangkan keadilan lebih parah yang kita anggap dulu Indonesia tidak adil,” katanya.

Dihadapan ratusan mahasiswa, LSM, wartawan dan masyarakat yang sedang menikmati kopi di 3in1, Polem mengatakan ada yang mengambil keuntungan di atas perjuangan. “Banyak yang terimbas konflik menjadi pengemis di Aceh, inilah yang tidak adil,” ungkapnya.

Forkab tidak pernah tampil, sejak berdiri tahun 2006, sepuluh tahun sudah kami diam bukan berarti kami kalah. “Tapi perdamaian untuk segelintir orang bukan untuk orang banyak,” ujarnya.

“Kami tetap  menolak bendera sebelum ada keadilan di aceh, kami Forkab dengan kekuatan 2070 orang tetap menolak, jangan timbul konflik sesama orang Aceh, damai Aceh bukan karena KPA atau Partai Aceh tapi usaha seluruh rakyat Aceh,” demikian Polem Muda Ahmad Yani.

Sumber: acehterkini

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget